Unpredictable Love {Kel 5}

Alunan lagu merdu radio mengiringi perjalanan Amortentia Clarista saat dia berdiam di tengah jalan. Decakan keluar bersamaan dengan ketukan jari terhadap kemudi mobil. Darahnya mulai meninggi. Gadis itu kembali meninggikan posturnya, berusaha melirik ke depan.

Duh, kok belum jalan juga? batinnya. Suhu kepala gadis itu terasa mulai meningkat. Mata Claris melirik ke jam tangan kanannya. Raut tegang tercermin jelas.

Klakson seakan menggema di sekitarnya. Satu per satu bersuara tanpa asal yang jelas.

*kring kring*

Claris bergegas mengangkat telepon yang masuk. "Halo, Mr. Sigmund?" tanyanya dengan cepat.

"Claris, kamu dim-?"

"Aku bangun kesiangan dan sekarang terjebak macet di Oliver Street." Dia menjawab sambil mengemudikan mobil mini sedannya.

"Kantor kita ada di March Street, tiga jalan di samping 42 Oliver Street."

Hening.

"Serius, Pak?"

"Iya. Empat hari bekerja dan kamu sudah lupa nama jalannya."

"Waduh! Gimana dong?". Desahan berat terdengar dari sisi lain. "Empat puluh dua, ya?" Pria menjelang lansia itu berpikir sekilas. "Ambil belokan ke VignetteStreet lalu lurus terus hingga perempatan Vignette& March Street, lalu belok kanan."

"Baiklah."

"Cepatlah. Hanya kamu yang telat di hari kelima pertama bekerja."

"Baiklah, Pak."

Claris menutup telepon lalu berbelok ke kanan, memisahkan diri dari kemacetan. Tiga perempatan dia lewati sebelum berhenti sejenak lalu berbelok ke kanan. Dua blok kemudian, dia bergegas memarkirkan mobilnya di tempat parkir lalu bergerak keluar. Tanpa peduli apapun, Claris mengunci pintu mobil lalu mengabrit ke kantor sebelah.

Selekasnya masuk, tanpa ambil nafas, Claris melesat ke sisi kiri gedung berlantai lima belas. Dia menemukan lift yang masih terbuka dan sempat menyelip masuk ke dalamnya. Barulah dia mengganti ulang nafas yang tadi terbuang.

"Lantai sepuluh, tolong," katanya pada orang terdekat dari tombol lantai.

Dalam lift berisikan delapan orang, Claris sempat-sempatnya merapikan penampilan diri. Rok dan jas kelabu gelap dia sikat ke bawah dengan tangan, merapikan penampilannya. Rambut di atas bahunya juga dia sisir dengan jari-jemarinya.

Setibanya di lantai sepuluh, Claris bergegas keluar. Baru tujuh langkah ia keluar, dirinya tidak sengaja menabrak lengan seseorang berjas hitam garis. Keseimbangannya hilang dan kemudian...

Brukk!

Semua perhatian tertuju ke arah mereka. Ketika menyadarinya, Claris mendapati sosok pria menatapnya tajam. Perhatiannya seakan tertarik padanya. Wajah bundar dengan ujung kotak dihiasi sepasang mata dan rambut cokelat yang tersisir rapi.

"Kamu tidak apa-apa?" tanyanya bersuara berat.

"Aku tidak apa-apa." Claris bangkit berdiri.

"Lain kali hati-hati jalannya."

"I-iya, pak ...."

Mata Claris mengikuti arah gerak pria tersebut. Dia kemudian mengamati punggungnya. Tubuhnya jangkung dan sedikit berotot. Raut mukanya tadi terlihat begitu serius. Gadis itu kemudian duduk di tempatnya lalu mulai melamun.

"Pagi-pagi sudah melamun, rajin kamu," komentar Viana, rekan kerjanya, membuat Claris sedikit tersentak.

"Iya, begitulah." Senyum lebar menghias wajahnya Claris. "Ngomong-ngomong, Viana, siapa dia?"

"Pria yang tadi kamu tabrak itu adalah bos kita, Revano Asgard."

*****

Ia menghafal nama tersebut dengan sangat teliti. Revano Asgard. Ia belum sepenuhnya kenal dengan semua orang yang berada disini, bosnya saja baru ia ketahui namanya sekarang, apalagi yang lainnya?

Sudah lupakan. Ia mulai sibuk dan menatap layar komputernya dengan seksama. Baru lima hari ini bekerja, tapi semua tugas serasa berat dan tidak ada akhirnya. Ya, Amortentia Clarista namanya, sosok cewek yang sangat punya hobi petakilan, suka jailan orang, suka tak pikir panjang, ceroboh dan banyak lagi, tapi dibalik semua itu dirinya menyimpan satu fakta yang sangat miris yaitu otaknya yang terlalu polos sehingga menciptakan sosok yang terlihat berbeda.

Clarista memijit pelipisnya dengan pelan. Ia memang tidak betah untuk menatap layar komputer terlalu lama. Ia bisa pusing tujuh keliling. Tetapi tanpa aba-aba kejadian tersebut mengusik pikiran Clarista.

Mendadak jantung Clarista berdetak tak karuan, nafas seolah sesak, seolah tak lagi ada oksigen disini. Ia juga tidak mengerti apa ini. Tiba-tiba ide cemerlang mendadak muncul di kepala Clarista.

Ia ingin membuktikan, apakah ini benar rasa cinta yang telah hadir dengan pandangan pertama atau hanya rasa bersalah semata. Ia berniat pergi keruangan Revan dengan alasan menanyakan pertanyaan yang menurutnya tidak perlu dipertanyakan.

Tapi, setelah difikir-fikir, cara itu tidak akan berhasil. Ia mulai menimbang, akankah ia memutuskan untuk pergi? Tidak, tidak, Batin Clarista. Ya, nomer ponsel.

"Vi, viana!" teriak Clarista dengan lantangnya.

Tiba-tiba pusat perhatian tertuju padanya, setelah melihat semua itu, ia hanya bisa terkekeh dengan menunjukkan deretan gigi putihnya yang rapi. Viana yang menyadari hal itu, secepatnya berkata, "Yaelah, gausah teriak juga kali Vin, tuh kan, lu di liatian semua orang."

Clarista menunjukkan kedua jarinya membentuk huruf "V" tanda ia meminta maaf.

"Itu Vi, gue minta tolong, hehehe," ucap Clarista enteng. Viana menggeleng-gelengkan kepalanya seraya tidak percaya,

"Tuh kan, ada maunya. Kalo kamu ga teriak-teriak pasti ga ada apa-apa." Clarista tertawa pelan.

"Ada apa?" tanya Viana to the point.

"Gue minta nomer pak bos dong." ucap Clarista dengan kekehan.

"Ha?" Viana seolah tidak percaya dengan ucapan Clarista. Ia menyentuh kening Amor, memastikan apakah rekan kerja satunya itu memang baik-baik saja.

"Gue beneran Vi, gue minta ya." ucap Clarista memohon, dengan wajah yang dibuat sejelek mungkin.

"Nggak gratis, wleee" ucap Viana dengan menjulurkan lidahnya kepada Clarista.

"Kamu pelit banget ish," ucap Clarista dengan wajah cemberut.

"Kamu harus traktir aku es krim di kedai depan," ucap Viana.

"Kamu mau gak?" lanjut Viana.

"Iya, iya. Aku traktir sepuasnya. Asal kamu kasih nomer Pak Bos itu," ucap Clarista. Viana mulai sibuk dengan handphonennya.

"Nih." Viana menyerahkan handphonennya kepada Clarista yang telah menampilkan nomer pak bos.

"Yes, makasih Viana cantik." Teriak girang Clarista dengan menunjukkan deretan gigi putinya.

Clarista segera melakukan aksinya dengan cara memberikan rentetan kepada bosnya.

Mungkin dengan cara inilah, ia dapat dekat dengan bosnya.

*****

Amor menahan nafasnya saat panggilannya tersambung, tinggal menunggu jawaban dari dalam. Ia berada di depan pintu ruangan Revano Asgard, pria yang entah sejak kapan membuatnya menjadi gila seperti ini.

"Yeah?" ucap Revan dari telepon yang bahkan ia tidak mengenal nomornya.

"I'm Amor, lunch with me?" Amor berani bersumpah ia mencengkram erat ponsel yang ada di genggamannya.

Tak ada balasan hanya terdengar suara sambungan terputus, Revan mematikan teleponnya dengan keputusan sepihak.Amor menaikkan alisnya tinggi-tinggi dan memukul pintu dengan keras, lalu melenggang pergi. Sementara itu, Revan tertawa lepas melihat tingkah Amor melalui cctv yang terpasang tepat di depan pintu bagian atas ruangannya.

Semua terekam dengan sangat jelas, bahkan terlihat olehnya saat Amor mencengkram erat ponselnya sendiri, lalu memukul pintu dengan keras.

"Gadis bodoh," ucap Revan di sela- sela tawanya, ia benar- benar kehilangan kewarasannya. Dua minggu setelah kejadian itu, Amor justru rutin membawakan makanan untuknya, entah itu cheesecake, snack, hingga masakannya sendiri.

"Aku membuat semuanya sendiri." Begitulah jawabannya saat ditanya di mana ia mendapatkannya.

Awalnya Revan menolak mentah- mentah semua pemberian Amor, namun bagaimana pun ibunya pernah bilang, apapun pemberian orang lain, ia harus menerimanya. Seperti hari ini, ia kembali makan masakan Amor, bedanya adalah ia makan bersama Amor, entah siapa yang mengizinkan gadis bodoh ini masuk ke ruang kebesarannya.

"Lezat sekali." Amor berdecak kagum atas hasil usahanya sendiri.

Dengan segera Revan berhenti mengunyah dan menatap aneh ke arah Amor, yang ditatap justru memutar bola matanya. Selang beberapa menit kemudian, rantang makanan yang dibawa Amor kosong, bersih mengkilap.

"Aku ingin pulang, suruh pelayanmu bersihkan meja mahalmu," Amor berujar sambil bangkit dari posisi nyamannya.

"Hei, gadis bodoh, bersihkan apa yang kau lakukan, untuk apa menyuruh pelayan kalau kau ada di sini?" Revan bertanya dengan senyumnya yang manis.

"Untuk apa punya pelayan kalau harus melakukannya sendiri?" kata Amor, "Pria bodoh."

Selanjutnya, ia melenggang pergi begitu saja dan dalam detik yang sama juga pelayan masuk untuk membersihkan meja tuannya. Revan hanya bisa menggeleng dan menghembuskan nafasnya lalu meraih kunci mobilnya dan berjalan keluar.

Alunan musik dari radio mobil Revan bersahut- sahutan dengan suara derasnya hujan yang menghantam jalanan. Revan kembali tersenyum saat bayang-bayang Amor muncul di dalam kepalanya.

"Gadis unik," gumam Revan sambil memandang ke depan, saat ia memalingkan wajahnya ke jendela di sampinya, detik itu juga ia hampir melompat.

Ada seorang wanita di sana, ia mengetuk kaca jendela mobil Revan dengan jari telunjuknya, sadar kalau gadis itu adalah Amor, Revan menurunkan kaca jendelanya.

"Hm," gumam Revan singkat.

"Buka pintunya dan aku akan menjelaskan semuanya," Amor memutar mobil dan membuka pintunya ketika Revan mengangguk.

"Kenapa dengan badanmu?" tanya Revan, "Bagaimana bisa ada luka- luka seperti itu?"

"Jadi begini, aku menemukan ikan ini tergeletak hampir mati di tengah jalan,lalu aku memungutnya, entah bagaimana ada motor hampir menabrakku,aku menghindar lalu jatuh, selesai," Amor mengakhiri ceritanya dengan senyum manis.

Tangannya mengambil kotak obat di dashboard Revan yang tidak sengaja menyentuh tangannya. Jantung Revan berdetak tidak sewajarnya hingga membuatnya menjauhkan tangannya. Amor tersenyum dan sisa waktu perjalanan dihabiskan dengan keheningan.

*****

Amor menarik nafasnya dalam-dalam seranya menyandarkan punggungnya pada sandaran ranjangnya. Matanya terpejam rapat, seluruh tulangnya serasa remuk sehabis bekerja. Padahal tak banyak aktivitas yang ia lakukan.

Pukul 20.37, tapi matanya sudah terasa begitu berat. Sebelumnya, ia terbiasa begadang tiap malam. Tapi begitu ia teringat wajah tampan Revan, senyum kikuk terlukis di wajahnya, ia melupakan rasa kantuknya untuk sejenak.

"Kenapa ada orang setampan dia, sih?! Kalau begini caranya, aku lebih suka mengerjakan Revan daripada mengerjakan pekerjaan," gerutunya kesal.

Belum puas menggerutu, ia mengandai. "Kalau aku yang jadi bos, ku pecat dia dengan alasan mengganggu konsentrasi yang lain."

Puas menggerutu, Amor merebahkan tubuhnya. Rasa nyeri menyerang tulang dan sendinya begitu kuat, sampai-sampai ia tertidur masih memakai pakaian kantornya, berharap ketika ia bangun esok pagi tubuhnya akan kembali segar bugar.

Keesokan paginya, rasa nyerinya justru bertambah hebat, seluruh tubuhnya seolah berubah menjadi jeli. Hal semacam ini memang sering terjadi pada Amor tiap saat ia kelelahan, tapi kali ini rasanya lebih sakit. Berkali-kali lipat dari yang sebelumnya. Tadinya, Amor berniat untuk menelepon Vivian untuk titip absen, tapi mengingat masa kerjanya masih kurang dari seminggu, Amor mengurungkan niatnya.

Jangan buat masalah dan jangan cari masalah, Amor, batinnya kemudian melesat menuju kamar mandi. Duapuluh menit kemudian, ia sudah rapih. Tubuhnya dibalut blouse berwarna merah marun dan rok span hitam selutut. Tinggal merias diri, lalu berangkat, pikirnya. Spesial kali ini, ia terbangun pagi hari sekali, rasa nyeri membangunkannya.

Amor membuka laci penyimpanan peralatan riasnya, lalu duduk di kursi rias. Ia tersenyum cerah melihat pantulan wajahnya di cermin rias, "mirror mirror on the wall, who's the pretties girl in this world?" nyanyinya, menirukan nada film Descendants. Kemudian, ia menjawab nyanyiannya sendiri, "Mortentia Clarista!" sambil menirukan suara Alvin si chipmunk. Lima menit waktunya ia habiskan untuk tertawa.

"Okay, focus, do not ruin your day anymore, Amor."

Ia memperhatikan wajahnya di cermin, kemudian alisnya mengernyit, "pucat betul, mungkin aku butuh lebih banyak lapisan foundation hari ini."

Usai merias diri, ia langsung melesat pergi menuju kantor. Duapuluh menit kemudian, pantatnya sudah beralaskan kursi empuk dengan komputer yang baru dinyalakan sebagai pemandangan.

"Hari ini harus berjalan sempurna!" katanya semangat lalu menyalakan layar komputer. Tapi cahaya terang komputer begitu menusuk matanya, panik, Amor langsung bangkit dari kursinya dan menjerit histeris tanpa sadar.

Perhatian karyawan lain langsung teralih padanya. Vivian, yang duduk di sebelah Amor, langsung berdiri dan menghampiri Amor. Amor menutup kedua matanya dengan tangannya, memalingkan tubuhnya membelakangi layar komputer, kemudian membuka mata. Nafasnya ngos-ngosan. Dalam hidupnya, baru kali ini ia merasa komputer bisa membunuh matanya.

"Kenapa, Mor?" Vivian bertanya panik.

Amor hanya terdiam membungkuk, merasakan ingus turun dari hidungnya. Kemudian ia bangkit, hendak mengambil tisu di meja, hingga akhirnya gantian Vivian yang menjerit histeris.

"BLOOD! YOUR NOSE! OH MY GOSH, PERIOD!"

Amor tak mengerti, "what do you mean? You stupid. Gimana caranya aku menstruasi di hidung?" tanyanya balik, tak sadar kalau darah sudah mengotori hidung dan mulutnya.

Vivian melenguh panjang, jijik. "I swear to God, you're the one who's stupid here! Kamu mimisan! How--"

Belum sempat Vivian menyelesaikan kalimatnya, Amor ikutan panik. Ia mengelap darah di hidungnya dengan tangan, kemudian menatapnya untuk beberapa menit, sebelum akhirnya pingsan.

Amor takut darah.

*****

Amor tersadar dengan nyeri yang bersarang di kepalanya. Sumpah demi apapun yang ada di dunia ini! Rasa sakit di kepalanya benar-benar menyiksa! Ia mengerjapkan matanya berkali-kali. Bau obat-obatan sangat mengganggu indra penciumannya. Ia mulai berusaha mengingat apa yang terjadi.

Lima menit, ia mengingat semuanya. Rasa sakit itu, wajah pucatnya, dan ohh ... Ia pingsan di kantornya. Astaga!

"Kau sudah bangun?" suara berat itu mengintrupsinya. Membuat Amor berbalik menatapnya. Revan? Apa yang ia lakukan disini?

"Apa? Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya Revan seakan tahu apa yang ada di pikiran Amor.

"Sedang apa kau disini?" bukannya menjawab, Amor justru berbalik bertanya pada bos tampannya itu. Yang alhasil mendapat jawaban berupa helaan napas.

Belum juga Revan mencoba untuk menawab, Vivian dengan lancang masuk ke ruangan itu dan terkejut dengan kehadiran Revan.

"Vivian, kenapa pria ini ada disini?" bisik Amor saat Vivian mendekat ke arahnya dan memberikan segelas air putih.

"Dia yang membawamu kemari."

Satu detik...

Dua detik...

Tiga detik...

Dan..

"What?!!!!! Dia yang membawaku?? Dari kantor? Kemari?!" pekik Amor dengan nyaring yang membuat Revan dan Vivian menutup kedua telinga mereka.

"Astaga! Gadis bodoh!" ucap Revan dengan geram akan kelakuan gadis itu. Vivian hanya menghela napas pasrah karena ia sudah terbiasa dengan kelakuan sahabatnya itu.

"Kau baru saja sadar, jangab membuat dokter yang ada disini lelah jika kau pingsan lagi," gerutu Vivian yang membuat Amor meringis.

"Aku akan pergi sebentar, kau butuh makanan 'kan?" tanya Revan tiba-tiba yang membuat kedua gadis itu melirik aneh padanya.

"Ya! Tentu saja, makanan di rumah sakit biasanya hambar," balas Amor dengan semangat. Membuat Revan terkekeh geli seraya memutar kedua matanya.

Dasar gadis aneh.

Sedetik kemudian, pria berbadan tegap itu sudah keluar dari ruang rawat Amor. Sekarang hanya ada Vivian dan Amor di ruangan itu. Dan sampai sekarang, hanya Vivian yang tahu apa yang sebenarnya terjadi pada sahabatnya itu.

"Jadi, mengapa aku bisa sampai pingsan tadi? Apa yang dokter katakan?" tanya Amor yang membuat degup jantung Vivian menggila. Astaga.. Apa yang harus ia katakan? Apa ia harus memberitahu sahabatnya?

"Jika aku mengatakannya, kau harus berjanji untuk tidak menganggapnya terlalu serius, Amor. Berjanjilah."

Setelah beberapa menit terdiam, akhirnya Vivian memutuskan untuk memberitahu Amor. Dahi Amor berkerut heran. Memangnya apa yang terjadi pada dirinya? Apa ia terjangkit penyakit?

"Katakan dulu ada apa, Vivian!!" desak Amor seraya mengguncang-guncangkan pundak Vivian.

Tangan Vivian terulur untuk menggenggam erat tangan Amor. Seolah memberikan kekuatan pada Amor bahwa ia bisa. Ia bisa melewati semua ini.

"Cepat katakan, Vian! Kenapa kau terlihat ragu? Ada apa sebenarnya?" desak Amor semakin menjadi-jadi. Peluh sudah bercucuran di kedua sisi wajahnya. Wajahnya yang sudah pucat pun semakin bertambah pucat. Vivian menatap nanar pada Amor dan ia kembali menghela napas.

"Kau terkena kanker darah."

Dengan mengalirnya kata-kata itu dari mulut Vivian, detik itu juga Amor merasa dunianya runtuh.

*****

Ini adalah hari kedua Amor berada di rumah sakit. Amor masih tak bisa mempercayai bahwa ia terkena kanker darah. Revan juga tidak pernah absen mengunjunginya selama dua hari ini. Begitu juga dengan Vivian. Amor bingung, apakah ia harus mengejar cintanya atau penyakitnya?

Tiba-tiba pintu ruangan Amor terbuka. Ternyata, itu adalah ibunya.

"Amor, ini Mom bawakan makanan kesukaanmu," ucap Ibu Amor dengan memberikan sebuah tempat makan ke Amor. Amor menerima tempat makan tersebut. Lalu, membukanya.

"Terima kasih, Mom," ucap Amor tersenyum manis. Amor menghabiskan makanan yang dibawakan oleh Ibunya dengan lahap.

"Amor, hari ini kamu boleh pulang dari rumah sakit," ucap Ibu Amor. "Tapi, Mom sama Dad memutuskan untuk membawamu ke Jerman untuk pengobatan," Ucap Ibu Amor.

"Memangnya disini tidak bisa?" tanya Amor. "Mom, Amor baru saja berkerja 1 minggu. Tidak mungkin Amor meninggalkannya begitu saja," ucap Amor.

"Bisa saja. Tapi, Mom dan Dad mau yang terbaik buat kamu," ucap Ibu Amor.

"Sore ini kita berangkat kesana. Masalah perkerjaanmu itu gampang. Dad akan mengatasinya," ucap Ibu Amor.

Amor diam memikirkan, bagaimana kelanjutan kisah cintanya nanti? Sementara itu, Ibu Amor menata pakaian Amor kedalam koper.

"Siang ini kamu akan pulang," ucap Ibu Amor.

Amor tak bergeming. Seharusnya ia senang karena tak perlu mencium bau obat lebih lama lagi. Namun, ia teringat. Tujuannya ke Jerman untuk pengobatan dan artinya ia akan bertemu dengan bau obat lebih lama lagi. Ibu Amor telah selesai menata pakaian Amor ke dalam koper.

"Mom mau ke bandara dulu. Kamu nanti di jemput sama Dad," kata Ibu Amor lalu mencium kening Amor.

"Iya, Mom hati hati ya," balas Amor.

Amor kembali bertengkar dengan pikirannya saat Ibunya telah keluar. Ia tidak mau meninggalkan rasa cintanya pada Revan begitu saja. Namun, ia juga tidak mau jika nantinya penyakitnya bertambah parah.

"Cukup Amor cukup," sahut Amor pada dirinya sendiri.

Mulai detik ini, Amor berjanji pada dirinya untuk melupakan Revan ketika pengobatan nanti. Amor memutuskan untuk membersihkan dirinya dahulu. Seusai ia membersihkan dirinya. Amor bermain ponsel sejenak untuk melihat pesan dari Vivian.

"Take care, Amor." Isi pesan dari Vivian.

Amor membalas pesan Vivian. Lalu, ia membuka beberapa aplikasi lainnya. Amor asyik dengan ponselnya.

Hingga tak terasa siang hari telah tiba. Pintu ruangan Amor terbuka. Muncullah seorang pria paruh baya. Ayah Amor.

"Daddy." Amor tak percaya. Ayah Amor melangkah mendekat lalu memeluk Amor erat.

"Ayo kita ke bandara. Dad sudah urus semuanya," ucap Ayah Amor.

Datanglah seorang suster. Suster itu kemari untuk melepas selang yang berada di tangan Amor.

"Terima kasih, Suster," balas Ayah Amor.

"Sama sama, Pak. Untuk pembayaran sudah lunas. Pasien boleh pulang." Suster itu lalu membantu Amor berdiri.

Amor berjalan menuju parkiran mengikuti Ayahnya. Sesampainya di mobil Amor duduk di samping Ayahnya. Mereka mulai menempuh perjalanan menuju ke bandara.

*****

Disisi lain...

Revan masih berkutat dengan pekerjaannya,dengan sebuah berkas yang masih menggunung di mejanya.Ini adalah hari tersibuk menurutnya.

"Ini laporan kantor mingguan pak, bisa anda lihat." Pegawai laki-lakinya datang dengan aba-aba tangan yang diberikan Revan, pegawai itu pun langsung keluar dari ruangan bosnya tersebut.

Revan masih berkutat dengan map merah yang berisikan proposal kerjasama. Tangannya berhenti bergerak ketika ia memandang sebuah map hijau yang berisikan laporan kantor mingguan.

Revan mengambil map tersebut dan mulai membaca perlahan lahan. Matanya membulat ketika ia melihat sebuah kalimat yang menyatakan bahwa Amor sudah tidak masuk kerja beberapa hari. Revan bangkit dan keluar menuju ruang staff yang berada di lantai satu.

"Kemana Amor?" tanya Revan kepada para staf disana.

"Maaf pak ... kami tidak tau," ucap salah satu staf dengan gemetar karena melihat wajah Revan seolah ingin memangsa.

Mendengar penjelasan pegawainya, Revan pun langsung menghubunginya .Berkali kali Revan menghubungi,tetap saja hasilnya nihil.Perempuan itu mematikan ponselnya.

****

"Amor," panggil sang ayah dan membuat Amor tersentak.

"Iya ada apa yah?"

"Apa yang sedang kau pikirkan?"

"Tidak ada."

Amor tidak mungkin jujur kepada ayahnya jika ia sedang memikirkan Revan.Entah mengapa, Amor benar-benar merindukan pria tersebut.Padahal beberapa jam yang lalu,ia bertekad untuk melupakan Revan.Hati kecilnya menolak untuk melupakannya.

"Benar kata orang,melupakan tak semudah membuat alur cerita bersama dia." Gumam Amor pelan,tanpa sadar ayahnya masih berada disitu.

"Apa yang kau bicarakan?" tanya Ayahnya.

"Eh ... tidak ada yah.Oh iya,kemana ponselku?"

Baru ayahnya akan menjawab, tiba-tiba ada suara pemberitahuan yang mengatakan bahwa pesawat menuju Jerman akan berangkat 10 menit lagi.

"Ayo siap siap," sahut ibu amor.

Amor berdiri dengan tatapan sendu. Apa ini akan adalah akhir dari kisah cintanya? Apakah ia akan menemukan orang baru di luar sana yang mirip dengan Revan? Amor masih terus berfikir. Jika sehat saja Revan tak menyukainnya, bagaimana jika Revan mengetahui ia terkena penyakit? Apakah dirinya akan semakin menjijikan di depan pria tersebut.

Amor mulai melangkah dan mulai memasuki pesawat bertujuan Jerman. Setelah duduk dengan nyaman, pesawat itu pun langsung lepas landas. Amor menatap langit dari kaca pesawat, dan tak sadar ia meneteskan air mata.

'I Love You Revan.'

****

Revan mengendarai mobilnya dengan kecepatan di luar nalar. Ia akan pergi ke rumah Amor malam ini juga. Hujan tak membuatnya berhenti untuk terus mencari Amor.

Sesampainya di rumah Amor. Revan keluar dari mobil dan mulai meneriaki nama Amor dari balik gerbang yang cukup besar. Rumah itu gelap,seperti tidak ada tanda kehidupan disana. Tetapi Revan tak perduli, ia tetap saja meneriaki nama Amor.

*****

Revan berkali-kali menggebrak meja kantornya, saat anak buah yang ia perintahkan untuk mencari keberadaan Amor tidak ada yang membawakan hasil. Mulutnya tak henti mengeluarkan umpatan. Bagaimana bisa Amor menghilang tanpa kabar disaat dirinya mulai merasakan perasaan yang biasa disebut 'cinta' terhadap wanita itu.

Merasa frustasi, Revan menjambak rambutnya sendiri. Ia sudah seperti orang yang kehilangan akal saat tak mendapatkan titik terang tentang keberadaan Amor.

"Where are you now, Amor. Where are you? Aaaargggh!"

Berkas- berkas yang tadinya tertata rapi di atas meja kerjanya, kini sudah berserakan kemana-mana.

Tok ... tok ... tok ...

Revan menatap pintu ruangannya yang sedikit terbuka. Disana tampak seorang wanita dengan beberapa berkas di tangan kanannya sedang mengintip kedalam.

Gadis itu menunduk. Tidak berani menatap Revan dengan wajah penuh kemarahan dan frustasi. Sadar akan hal itu, Revan segera mengubah ekspresi wajahnya. Ia menarik napasnya panjang, lalu menghembuskannya perlahan. "Masuklah, Viana."

Dengan ragu, Viana memasuki ruangan Revan. "Permisi, Pak," cicitnya pelan.

"Silakan duduk."

Viana mengangguk pelan dan menarik kursi yang berseberangan dengan kursi Revan.

"Ada apa kau kemari?" tanya Revan to the point.

Viana tersenyum kikuk dan menyodorkan beberapa berkas kepada Revan. "Ini, Pak. Ada beberapa berkas mengenai perjanjian kita dengan Perusahaan Yudharta Global Finance yang perlu bapak tanda tangani."

Revan menatap berkas-berkas itu dengan pandangan malas. Prioritasnya saat ini adalah mencari Amor sampai ketemu. Tapi, ia juga tidak mungkin mengabaikan masalah pekerjaannya begitu saja.

Setelah mengambil berkas yang diberikan Viana, Revan membacanya sejenak, kemudian menandatanganinya tanpa ragu. "Ini, kamu bisa memgurus sisanya." Ia menyerahkan kembali berkas itu kepada Viana.

"Baik, Pak. Saya permisi dulu," pamit Viana seraya bangkit dari kursi.

Revan hanya mengangguk dan berdehem pelan. Namun, detik berikutnya ia tersadar akan sesuatu. "Tunggu!" panggilnya menghentikan langkah Viana yang hendak mencapai pintu.

Viana menoleh dan menatap bingung ke arah Revan. "Apa ada yang kelupaan, Pak?"

"Ah, tidak ... ini bukan masalah pekerjaaan."

Oke. Jawaban Revan semakin membuat Viana mengernyit bingung dan mulai merasa takut. Apakah bosnya ini akan menanyakan soal itu lagi. Soal keberadaan Amor?

"Apa kau sudah tahu, dimana Amor berada?"

Tepat sekali dugaan Viana. Wanita itu merasa gugup dan bingung harus menjawab apa. Disisi lain ia tak bisa terus-terusan berbohong kepada bosnya. Tapi, disisi lain ia juga tidak bisa membocorkan dimana keberadaan sahabatnya saat ini. Mana mungkin ia tega mengingkari janji, bahwa ia tidak akan memberi tahu kepada siapapun bahwa Amor tengah menjalani pengobatan di Jerman itu.

"Ti-tidak, Pak. Saya belum tahu kabar apa-apa dari Amor," jawab Viana gagap.

Revan memperhatikan Viana dari atas hingga bawah. Sadar bahwa wanita di depannya tengah berbohong. Lihat saja, jari-jari tangannya tak henti meremas berkas yang ia genggam. Bahkan pandangan matanya mulai kemana-mana.

"Tidak perlu takut padaku," tukas Revan. Viana menatap wajah bosnya yang tampak serius.

"Aku tahu kamu berbohong. Katakan padaku, dimana Amor sekarang. Atau ...,"

Napas Viana seolah tercekat saat Revan menggantung kalimatnya dan berjalan mendekat ke arah Viana dengan seringaian di sudut-sudut bibirnya. "Atau ... kau mau aku pecat sekarang juga."

*****

Napas Vivian tercekat saat mendengar pertanyaan Revan. Apa? Pecat? Hanya karena ia tidak memberitahu dimana Amor? Ya ampun, sepertinya Revan benar- benar sudah terpikat dengan Amor!

"Ngg ... Baiklah, saya akan memberitahu dimana Amor. Tapi, berjanjilah pada saya pak, jangan memberitahu Amor jika saya yang memberitahu bapak ya?"tanya Vivian. Revan berjanji dan mengancungkan jari kelingkingnya.

"Baiklah. Saya berjanji. Cepat katakan, dimana Amor sekarang!" Revan tidak sabar. Ia mengguncangkan bahu Vivian.

"Eng ... saat ini Amor sedang berobat ke Jerman," jawab Vivian agak ragu. Maafkan aku Amor! Sungguh maafkan aku!

"Jerman? Berobat? Memangnya ia sakit apa sampai berobat sejauh itu?" tanya Revan heran.

"Lah, bapak tidak tahu? Tempo hari, saat bapak mengantarnya ke rumah sakit, dokter mendiagnosa Amor terkena kanker darah."

Revan tersentak kaget. Ia seakan tidak percaya dengan jawaban Vivian. Kanker darah? Tempo hari Amor hanya mimisan! Dan ia pingsan. Bagaimana bisa Amor terkena kanker darah?

"Kamu tahu di rumah sakit mana Amor di rawat?" Vivian mengeleng. Revan menatapnya dengan tatapan curiga.

"Amor tidak memberitahuku tentang hal itu. Dia bahkan tidak ingin ada yang mengetahui dimana ia sekarang dan apa yang terjadi," jelas Vivian. "Kami sudah tidak saling kontak sejak Amor berangkat ke Jerman."

Revan mengangguk paham. Hm, sepertinya ia harus mencari sendiri rumah sakit tempat Amor berobat sekarang.

"Oke baiklah Vivian, terima kasih atas informasinya. Kamu boleh keluar sekarang." Revan membukakan pintu untuk Vivian, bak seorang penjaga pintu hotel. Vivian sedikit malu dengan sikap Revan.

"Pak, berjanjilah jangan memberitahu Amor bahwa saya yang memberitahu bapak. Dan saya harap bapak tidak menyusulnya ke sana," ujar Vivian.

"Kenapa tidak boleh?" tanya Revan heran. Sial, Vivian sepertinya tahu niat awalnya tadi.

"Saya juga tidak bisa memberikan alasan yang pasti. Saya hanya takut Amor malah semakin sedih melihat anda."

"Baiklah, saya akan berjanji tidak memberitahu Amor pasal kamu yang memberikan informasi itu pada saya," ujar Revan. "Tapi saya tidak bisa berjanji untuk tidak menemuinya."

Revan sedikit mendorong Vivian keluar dari ruangannya. "Terima kasih dan selamat siang, Miss Vivian."

***

Selepas Vivian keluar dari ruangannya, Revan langsung memesan tiket pesawat dan hotel via online. Ia akan berangkat ke Jerman sore ini. Ia tidak akan meminta bantuan anak buahnya untuk mencari rumah sakit tempat Amor di rawat. Ia akan mencarinya sendiri. Tidak peduli seberapa jauh ia cari, asal ia bisa bertemu dengan Amor.

"Hallo, Jack? Tolong siapkan koper saya. Saya akan berangkat ke Jerman sore ini"

***

Revan sudah tiba di bandara. Ia mengeluarkan kopernya di bantu oleh Mr. Robert, kepala pelayan di rumahnya.

"Tuan, apakah tidak apa apa jika tuan pergi sendiri?" tanya Mr. Robert khawatir. Biasanya, setiap Revan pergi dinas, Mr. Robert turut serta.

"Tenanglah Mr. Robert. Lagipula, saya tidak pergi untuk urusan dinas. Saya ingin menemui seseorang di sana," jawab Revan sambil menepuk pelan pundah Mr. Robert. dan dibalas senyum simpul ala Mr. Robert.

"Semoga tuan bisa bertemu dengannya di sana ya, dan cinta tuan tertaut di sana." Revan tersipu malu saat Mr. Robert mengatakan hal itu.

"Baiklah, saya pergi dulu. Sebentar lagi pesawat akan tiba." Pamit Revan.

"Hati-hati tuan. Jika terjadi sesuatu, telponlah saya. Saya akan menyusul anda ke sana."

***

Kini, ia tahu dimana keberadaan Amor selama ini.

"I've finally found you," gumam Revan.

1 jam yang lalu ia telah sampai di Jerman. Tujuannya saat ini adalah hotel, karena ia ingin beristirahat lalu esok hari mencari rumah sakit tempat keberadaan Amor berada.

"Atas nama Revano Asgard, saya sudah memesan kamar untuk hari ini saja," ucap Revan saat di depan receptionist.

"Baiklah, sir. Pegawai kami akan mengantarkan anda ke kamar," jawab wanita itu.

Bruk!

Saat Revano berbalik, tiba-tiba ada seorang pria yang belum terlalu tua menabrak bahu nya.

"Sorry, sir. I accidentally," ucap pria itu sambil memegang handphone nya. Revano menatap pria tersebut.

"Apa! Amor sudah tidak ada?!" ucap pria tersebut dengan suara kaget dan cukup lantang.

Revano terdiam membeku. Apa yang ia dengar adalah salah? Kenapa namanya mirip seperti Amor yang ia cari? Mungkin itu orang yang bernama sama seperti orang yang ia cari, pikirnya.

Ia pun kembali berjalan dan menuju kamarnya. Keesokan paginya, ia telah bersiap untuk mencari rumah sakit tempat keberadaan Amor berada. Tiba-tiba handphone nya berdering yang menampilkan nama Mr. Robert.

"Ya, ada apa?"

"Tuan, saya sudah menemukan rumah sakit tempat keberadaan nona Amora."

"Cepat kirimkan alamat nya padaku."

"Baik, tuan."

Sambungan pun terputus dan ia telah mendapat lokasi tempat Amor berada.

"Tolong antarkan saya ke rumah sakit tersebut," ucap Revan pada supirnya.

"Baik, sir," patuh supir itu.

Revan menatap ke arah luar sambil melihat kota ini. Hanya satu jam, ia telah sampai di rumah sakit tempat Amor berada.

"Apa yakin jika informasi yang kalian dapatkan itu benar?" tanya Revan pada Mr. Robert di telepon.

"Benar, tuan. Nona Amor sedang berobat di rumah sakit ini," jawab Mr. Robert. Sambungan telepon pun terputus. Revan turun dari mobil sembari menuju meja recepsionist.

"Ada yang bisa saya bantu, sir?" tanya wanita tersebut.

"Apa benar ada pasien yang bernama Amortentia Clarista?" tanya Revan pada wanita tersebut.

"Sebentar ya, saya cek dulu," ucap wanita tersebut.

Beberapa menit kemudian. "Maaf, sir. Pasien atas nama Amortentia Clarissa telah tiada," ucap wanita tersebut.

Mendengar pernyataan tersebut, seketika tubuh Revan lemas. Pikirannya melayang pada kejadian kemarin. Dimana, saat ada pria yang menabraknya dan menyebut nama Amor telah tiada. Seharusnya, kemarin ia mengikuti pria itu agar bisa memastikan siapa yang telah tiada.

"Sir, anda baik-baik saja?" tanya wanita itu karena kasihan melihat Revano yang sedang menatap kosong.

"Sir, anda baik-baik saja?" ulang wanita tersebut menanyakan keadaannya.

"Saya baik-baik saja," ucap Revano datar kemudian pergi ke taman rumah sakit tersebut. Tubuhnya lemas, pandangannya kosong, hati nya sakit mendengar kenyataan tersebut.

Ia tidak menyangka jika Amor telah meninggalkan dirinya untuk selamanya. Tidak ada lagi Amor yang memberinya makanan saat jam makan siang tiba. Tidak ada lagi Amor yang selalu tersenyum manis padanya. Tidak ada lagi Amor yang menyebutnya pria bodoh.

*****

Tidak ada lagi Amor.

Jenazah Amor dipulangkan ke Amerika untuk di kuburkan. Suasana haru meliputi kantor, keluarga, dan tetangga- tetangganya. Isak tangis terdengar dimana- mana. Vivian sudah menangis sejak semalaman. Ibu Amor melarangnya untuk ikut memakamkan, tapi Vivian tetep keukeh untuk ikut. Ia ingin ikut memulangkan sahabatnya ke peristirahatan terakhirnya.

Revan menatap wajah- wajah sendu itu. Sepertinya mereka mengenal Amor begitu dekat. Bahkan para pegawai barunya juga ikut menangis. Amor anak yang ramah, semua tahu itu. Meskipun terkadang ia semberono.

Hujan turun dengan derasnya, seakan ikut bersedih dengan kepergian Amortentia Clarista. Revan masih duduk termangu di samping batu nisan Amor. Ia mengusap batu itu, seakan ia mengusap puncak kepala Amor. Ia sangat rindu Amor. Rindu dengan tawanya, rindu dengan sikap cerobohnya, semuanya.

"Amor, aku mencintamu. Maaf jika aku banyak salah padamu. Tidurlah yang tenang ya, Amorku sayang."

***

Sepulang dari acara pemakaman, Revan tertidur pulas di apartementnya. Ia terlalu capek untuk bersedih hari ini. Saat tidur, ia bermimpi bertemu dengan Amor. Ia memeluk Amor begitu erat, seakan tidak ingin melepasnya. Melepas semua rindunya.

Amor tersenyum, ia membalas pelukan Revan. Ia usap pelan kepala Revan. Revan menangis pelan.

"Amor, aku mencintamu," bisik Revan di tengah isak tangisnya.

"Ya, aku pun begitu. Terima kasih sudah mencintaiku Revan. Dan maaf, aku kalah. Aku tidak bisa menemanimu. Sampai jumpa Revan, semoga kita bisa bertemu di surga nanti".

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top