Advanture Seeker {Kel 4}

Tok tok tok

Ketukan seseorang di balik pintu menggema dalam gubuk tua milik Tuan John Alexander. Pria tua berusia sekitar 70-80 tahun yang sudah sangat renta dan rapuh.

Klek.

Pintu terbuka, memperlihatkan seorang pemuda lajang dengan kumis tipis menjalar di bawah hidungnya. Ia membawa banyak kertas dan tinta untuk menulis. Mungkin.

"Siapa kau, anak muda?" John bertanya dengan suara berat dan gemetar khas orang tua.

"Maaf saya mengganggu malam indahmu, Tuan John. Saya seorang penulis terkenal dari barat. Saya ke sini untuk menulis sedikit cerita Anda yang tidak pernah dialami nelayan lainnya. Saya sangat tertarik." Pemuda itu tampak antusias.

"Pulanglah! Jika kau menulisnya untuk kepentinganmu, itu sama saja kau membangun mimpi burukku kembali!" Nada suara John terang-terangan mengucap tidak suka.

"Maaf sekali lagi. Saya hanya ingin menulisnya, ingin mengabadikan cerita langka dari seorang pemuda lugu yang ikut ke laut dan bernasib buruk. Saya seorang penulis, saya hanya ingin menulis dan berbagi kepada masyarakat." Pemuda itu meyakinkan.

John sedikit berpikir. Trauma besar sangat nampak di raut wajahnya. Semua berkecamuk dalam pikiran John. Ada rasa penyesalan dan marah bercampur di lubuknya.

"Masuklah," kata John pasrah.

Pemuda itu mengekori langkah John. Ia terlihat sangat antusias dan tertarik dengan kehidupan John. Mereka sampai di depan perapian. Di sana ada meja bundar dengan empat kursi yang mengelilingi. Pemuda itu duduk berhadapan dengan John.

"Siapa namamu, penulis?" John mumbuyarkan aktivitas pemuda yang sedang membereskan bukunya yang basah karena hujan di luar.

"Namaku Gerald Parker, kau bisa memanggilku Gerald." Pemuda itu menunduk sopan sambil tersenyum.

"Baiklah, kau ingin mulai dari mana?" Tampak wajah John ingin segera mengakhiri semuanya.

"Aku ingin semuanya. Awal dari kisahmu," perjelas Gerald.

"Ingatlah! Catat apapun yang kau dengar jika kau mendengar, jangan harap aku ingin mengulang pembicaraanku. Di usiaku, membuang waktu itu sangat merugikan!" Ada penegasan di setiap kata yang diucapkan John.

"Baiklah, aku akan menulis setiap detailnya." Lagi-lagi, Gerald menanggapi dengan sangat sopan.

"Dengarkanlah setiap katanya ...."

***

Suatu pagi yang indah. Semua masih berjalan dengan semestinya. Keluarga lengkap, ekonomi teratur, dan sebuah kebahagiaan yang mengalir.

"Tuan John, cepatlah!" teriak seseorang dalam kapal besar pengangkut bahan bakar.

Iya, John bekerja di sebuah kapal besar pengumpul bahan bakar dari minyak ikan. Pada masa itu, minyak terkenal di sana adalah minyak paus.

"Baiklah!" John berlari semangat menaiki kapal besar itu. Tidak lupa dia memberi ciuman kepada istri dan anaknya.

John berlari kecil menaiki kapal rapuh itu. Kapal tua yang masih berdiri kokoh. Cat pudar dan layar usang yang terlihat membosankan. Namun percayalah, mereka menganggap kapal ini keberuntungan setiap ingin berlayar.

Dengan deru angin pagi, kapal melaju dengan lembutnya. Suara deburan ombak laut penambah ketenangan seakan telah menyatu dalam tubuh mereka.

Seperti biasa, mereka telah berhenti di tengah laut dan memancing perhatian paus agar muncul ke permukaan laut. Setelah melihat beberapa paus, mereka menombak setiap kepala paus dengan besi runcing berikat tali. Ketika mengenai kepala paus, paus tersebut akan berenang kesana kemari sambil membawa besi berikat tali itu untuk melepaskan diri dan berakhir mati kelelahan.

Mereka mengangkat paus ke bagian bawah kapal dan mencari apa yang dicari. Kau tahu cara mereka memgambil lemak paus tersebut? Caranya dengan merobek bagian air pancur paus sekitar 60-70 cm, kemudian salah satu dari mereka masuk ke dalam tubuh paus dan mengambil lemaknya dengan tangan kosong. Bisa dibayangkan betapa menjijikannya.

Setelah merasa cukup, mereka pulang pada petang hari. Menyusuri ombak yang membawa mereka kembali ke rumah.

"Kau tahu? Semakin hari penghasilan kita semakin menipis." John angkat bicara

"Benar. Lama-lama aku juga muak dengan pekerjaan ini. Apakah populasi paus sudah habis? Omong kosong!" Robert, salah satu awak kapal juga ikut mengiyakan pernyataan John.

Tiba-tiba semua terasa canggung. Tidak ada yang berbicara sampai kapal berlabuh di pelabuhan mereka.

***

Robert berlari menuju rumah John sambil sesekali tertawa bahagia. Lelaki itu ingin memberi tahu sebuah kabar menakjubkan pada John.

Tok tok tok!

Robert mengetuk dengan kencang pintu cokelat tua di hadapannya. Dengan sesekali berjingkrak kegirangan.

Tok tok tok!

"John! Cepat buka! Ada sebuah kabar yang aku dapat! Cepat!" Lelaki itu memekik di depan pintu.

Klek.

"Ada apa denganmu, Robert? Kau sangat mengganggu tidur siangku!" John tak terima dengan kegaduhan yang dibuat oleh temannya itu.

"Kau tahu, John? Aku mendapat kabar dari temanku bahwa di salah satu laut terdapat paus yang sangat besar! Bahkan, bisa dibilang tiga kali lipat dari ukuran paus yang biasa kita tangkap!" Robert menunjukkam senyum girangnya.

John yang semula kesal mendadak berubah ikut girang dengan kabar itu. Dengan semangat membara, John kembali bertanya, "Benarkah? Astaga! Dimana? Ayo kita kesana sekarang!"

Namun, kini giliran Robert yang mendadak lesu.

"Tapi, John. Kata temanku, laut itu sangat berbahaya. Ombaknya terbilang tinggi. Cuaca di sana juga kurang mendukung," kata Robert sambil menepuk bahu John.

Sementara John hanya terkekeh.

"Ya Tuhan! Kau sudah berapa lama menjadi nelayan pencari paus? Sudah berapa kali kita menaklukan ombak di berbagai lautan? Pernahkah kita menyerah? Percaya padaku, Robert, kita akan baik-baik saja."

"Tapi, John ...."

John menggelengkan kepalanya. "Ini demi kelangsungan hidup kita, Robert." John berlirih.

Robert menyerah. Lelaki bertubuh tinggi itu mengangguk lalu tersenyum.

"Dimana laut itu?" tanya John.

"Nama lautan itu Laut Vormirr."

Lalu, mereka bersiap untuk berangkat keesokan harinya.

***

Pagi hari buta, seluruh awak kapal sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Beberapa menyiapkan persediaan makanan yang akan dibutuhkan nanti. Kesibukan yang mereka lakukan tentunya membuat mereka lelah sebelum berlayar. Namun, mengingat keuntungan yang akan mereka dapat nantinya membuat mereka tetap bersemangat.

Setelah satu jam, seluruh awak kapal bersiap. Pelayaran panjang akan mereka tempuh, dan sebuah keuntungan besar akan mereka dapat.

"Ah! Tidak bisa kubayangkan bagaimana besarnya paus yang akan kita tangkap!" John benar-benar kelewat gembira. Seakan ada tungku api di dalam jiwanya yang membakar semangat mudanya.

"Sudahlah, John. Kau beristirahat saja. Karena setelah ini kau akan menghabiskan tenaga ekstra untuk menangkap paus besar itu." Kali ini, Rickson, salah satu teman dekat John angkat bicara.

"Baiklah."

Ketika mereka hampir sampai di laut yang bernama Laut Vormirr itu, beberapa awak kapal mulai menyiapkan alat penangkapan paus.

"Bagaimana kalau kita berhenti sejenak di sini? Sambil menangkap beberapa paus juga tidak masalah, 'kan?" Rickson berucap.

Robert yang mendengar hal itu sontak saja tidak terima. "Apa kau bilang? Ini sama saja kita buang-buang waktu! Daripada menangkap paus yang berukuran kecil, lebih baik kita melanjutkan pelayaran menuju Vormirr untuk menangkap paus yang lebih besar!"

"Kau jangan serakah, Robert. Bagaimana jika di sana kita tidak mendapatkan paus besar itu? Lebih baik kita tangkap yang lebih nyata tersedia lebih dahulu." Rickson berusaha meredam emosi yang berkecamuk, tidak ingin membuat kekacauan hanya karena perdebatan konyol itu.

Robert mengacak sendiri rambutnya, dia sangat kesal dengan sifat Rickson yang selalu saja seperti ini.

"Sudahlah! Terserah kau saja!"

***

"Hei! Bangunlah! Kita sudah sampai di Vormirr! Ayo kita tangkap paus yang sesungguhnya!" Seseorang menepuk pelan pipi John yang tengah terlelap.

John menggeliat, lalu bangun.

"Ah, sudah sampai rupanya? Baiklah! Mari kita menjadi nelayan sesungguhnya!" kata John yang diiringi tawa bahagia.

Sementara Robert—seseorang yang membangunkannya tadi—hanya terkekeh.

John keluar dari bagian dalam kapal. Lelaki itu melihat beberapa awak kapal telah bersiap.

Ombak di Laut Vormirr lumayan besar. Bahkan, resiko tenggelam juga kemungkinan sangat besar dialami kapal tua kokoh itu. Cuaca perlahan berubah. Berawal dari langit cerah berangsur memudar dan kabut abu-abu mulai menyelimuti.

Setelah satu jam menangkap beberapa paus, tak ada satu pun yang benar-benar berukuran sangat besar. Paling maksimal, paus yang mereka tangkap itu hanya dua kali lipat dari ukuran paus biasanya.

"Paus yang seperti ini saja ukurannya sudah sangat memuaskan, apalagi paus yang lebih besar dari ini? Benar-benar tak bisa dibayangkan!" kata John sambil tertawa puas melihat paus-paus hasil tangkapan mereka.

"Ini belum seberapa, John. Masih ada yang lebih dari ini!" timpal Robert.

Rickson yang mendengar hal itu angkat bicara. "Kurasa ini semua sudah sangat cukup. Kita tidak perlu lagi melanjutkan pelayaran. Lagipula, cuaca mulai memburuk. Aku tidak yakin kita akan tetap selamat jika tetap nekat meneruskan pelayaran."

Robert mendecih. "Kau terlalu penakut, Rickson. Sudah sampai sini dan kau meminta pulang? Sia-sia perjalanan kita!"

John mengangguk mengiyakan.

Tak peduli cuaca yang lumayan buruk, John dan teman-temannya melanjutkan perjalanan untuk menangkap paus tersebut.

"Sebaiknya kita pulang. Cuaca semakin memburuk!"

"Diamlah, sebentar lagi kita akan mendapatkan hasil," tutur Rickson.

Kapal terus melayar ke tengah laut, badai pun semakin besar. Beberapa kali mereka menangkap paus, tetapi belum ada yang berukuran sangat besar.

Cukup kecewa, mereka pun beristirahat sejenak. Walau badai masih menerpa, John tetap kekeuh.

Di sisi lain, ada sepasang mata yang memandang murka ke arah kapal milik John dan rombongannya. "Cukup! Aku tidak akan pernah membiarkanmu memburu paus itu lagi, John." Seringaian mengerikan hadir membingkai wajah ayunya.

***

Uhuk ... Uhuk ...

Gerald memberikan gelas untuk John, ia terbatuk-batuk saat menceritakan hal itu, "Maafkan aku. Maaf jika sudah menjeda cerita ini, aku memiliki sebuah penyakit," jelas John.

"Tidak apa-apa, jika kau sudah merasa baikan, silakan lanjutkan ceritamu," tutur Gerald.

Sekian lama, John merasa baikan kemudian ia melanjutkan ceritanya itu.

"Kemudian ..."

***

"Kini aku akan melancarkan aksi selanjutnya." Kemudian, seseorang yang memperhatikan John tadi menyeburkan dirinya ke dalam air laut.

Ia berenang mengejar kapal John. "Tolong! T-tolong!" Ia bersandiwara sebisa mungkin untuk mengalihkan perhatian John.

Rickson, Robert, dan John mencari sumber suara itu. Rickson pun melihat seorang gadis tengah menyelamatkan dirinya agar tidak tenggelam.

"Ayo kita bantu dia!" Tanpa basa-basi, John menerjunkan dirinya ke dalam air laut yang lumayan dingin.

John berusaha sebaik mungkin menyelamatkan hidup gadis itu, kemudian ia membawa gadis itu ke kapal.

"Kau tidak apa-apa?" tanya John selembut mungkin. Gadis itu menggeleng dan tersenyum palsu.

"Aku baik-baik saja, terima kasih," tutur gadis itu. Mereka bertiga tidak tau jika semua yang dilakukan gadis itu hanyalah sandiwara semata.

"Kalian sedang apa di laut ini? Perkenalkan namaku Anslyn," ucapnya dengan senyum yang misterius.

"Kami sedang mencari paus yang ukurannya lebih besar dari yang biasanya itu. Jika kita berhasil, kita akan memecahkan rekor dunia," ujar Rickson.

"Boleh aku membantu kalian? Aku tau sedikit tentang paus tersebut," tutur Anslyn.

"Tentu saja boleh, mengapa tidak?" semuanya tidak tau akan rencana buruk yang dilakukan oleh Anslyn. Mereka membawa sendiri bencana mereka ke dalam hidup.

Mereka pun menyusun strategi, mereka membuat sebuah jaring yang kuat untuk menangkap paus itu.

"Apakah di kapal kalian ada bahan makanan? Aku akan memasak," jelas Anslyn. Semuanya mengangguk, sedangkan Anslyn pergi ke bawah kapal untuk melihat persediaan makanan.

John, ia mulai penasaran dengan sikap Anslyn. Maka, ia pun mengikuti Anslyn. Ia tersenyum tipis saat melihat Anslyn yang sangat telaten memotong daging dan sayuran.

***

"Makanan udah siap, selamat mencicipi. Maafkan kalau tidak enak," ujar Anslyn sembari membawa makanan dan menaruhnya di meja makan.

"Ehm, kelihatannya enak," ucap Rickson sambil mengambil paha ayam dan memasukkannya ke dalam mulutnya.

"Kalian makan saja dulu, aku akan melanjutkan membuat jaring." Anslyn pun pergi dan menuju gudang kapal.

John yang melihatnya pun ikut beranjak, "Aku akan menemaninya, tidak baik jika dia membuat jaring sendiri," ucap John kemudian meninggalkan kedua temannya.

Rickson dan Robert pun mengedikkan bahunya acuh tak acuh, dan melanjutkan acara makan mereka.

John, ia tidak tau kalau Anslyn membuat sebuah rencana yang besar. Dibalik wajah polos dan lugu Anslyn, akan ada sebuah bencana yang besar.

"Dia sangat cantik, lebih malah," gumam John sambil tersenyum tipis saat melihat Anslyn membuat jaring.

***

Hm ... sepertinya tidak ada yang mencurigaiku. Baguslah, dengan begini, aku akan dengan mudah menjalankan rencanaku. Batin Anslyn.

Setelah kurang lebih dua jam berlalu, Anslyn dan John membuat jaring dalam keheningan. Anslyn memutuskan untuk menegur John yang sedari tadi tekun dengan jaring di tangannya.

"Hei, namamu John, 'kan?"

John menoleh pada Anslyn dan menganggukan kepalanya singkat sembari tersenyum dan kembali fokus pada jaringnya. Huah, kenapa aku ini? Padahal barusan itu adalah kesempatan yang bagus untuk mengobrol dengannya, tapi sayangnya aku selalu gugup ketika melihat matanya, gumam John.

"Kau memang selalu begini, ya? Em ... Maksudku, kalau sedang fokus begini, kau memang hanya fokus pada satu hal?"

" Ah ... Oh ... Em ... Ah, tidak. Sebenarnya itu karena ... Em, karena ...."

"Karena?"

" Karena ... Ah, karena aku sedang sedikit tidak enak badan, Lyn," jawab John.

"Ah, kau sedang sakit? Ya sudah, biar aku saja yang melanjutkan membuat jaring, kau beristirahatlah sebentar. Tidak baik memaksakan kalau kondisimu sedang tidak maksimal begitu," ucap Aslyn dengan senyum manisnya.

Diberi perhatian seperti itu, John merasakan hatinya menghangat. Ah, kapan terakhir ada gadis yang memperhatikanku? Apakah Anslyn adalah seseorang yang akan membuatku mengenal cinta? tanya John pada dirinya sendiri.

"Baiklah kalau begitu, mungkin aku akan beristirahat. Kamu tak apa mengerjakannya sendiri? Mungkin aku hanya akan beristirahat sebentar."

"Tentu, serahkan saja padaku, sana beristirahatlah," jawab Anslyn.

John memutuskan beristirahat bukan karena ia sakit, tapi ia beristirahat untuk menenangkan jantungnya yang sedari tadi berdegup kencang karena Anslyn. John yang mengambil tempat di belakang Anslyn, asyik memerhatikan Anslyn yang masih tekun mengerjakan jaringnya.

***

Sementara itu diatas dek, Rickson mencoba untuk melihat lagi peta lautnya. Ia memikirkan dimana letak paus besar tersebut berada. Rickson tahu bukan hanya ia dan teman-temannya yang sedang mengincar paus tersebut. Diluar sana di lautan yang luas, masih ada puluhan pemburu paus yang jug amengincar paus tersebut. Rickson tidak ingin perjalanannya kali ini sia-sia. Ia merasa kalau rombongannya lah yang akan dan harus mendapatkan paus tersebut.

"Heh Rickson, kamu perhatikan tidak gadis tadi?" tanya Robert yang muncul secara tiba-tiba dari balik punggung Rickson.

"Ada apa memangnya dengannya? Aku tahu dia cantik, dan kurasa tidak ada yang aneh dengannya."

"Aku merasa ada yang aneh, Rick. Apa wajar seorang wanita tiba-tiba berada di tengah lautan luas begini? Padahal kita semua tahu, tidak ada satu kapal pun di sekitar kapal kita. Dari mana wanita itu muncul? Dari mana ia hanyut?"

"Hm, benar juga. Nantilah kita tanyakan bila ia sudah selesai mengerjakan jaringnya." jawab Rickson.

***

Huaaah pegal sekali membuat jaring seperti ini. Demi paus aku rela begini. Lagipula sepertinya John tertarik padaku, aku bisa memanfaatkan dia untuk rencanaku yang sudah kususun dengan rapi, batin Anslyn.

"Hei John, kurasa jaring ini sudah selesai. Apa ada hal lain yang bisa aku kerjakan?" tanya Anslyn pada John.

"Ah, selesai? Wah, cepat sekali, sepertinya kamu sudah terbiasa membuat jaring seperti ini".

"Ya, ayahku seorang pelaut John. Dari kecil, aku sudah diajari menjadi pelaut walau aku perempuan. Dia bilang, aku adalah calon pelaut wanita terhebat, hahaha."

"Dan sepertinya ayahmu tidak salah. Dimana ayahmu sekarang? Apa kamu terpisah dengannya?"

"Ayahku menghilang di laut lima tahun yang lalu. Ia menghilang saat sedang berburu paus besar. Dia bilang akan segera pulang, tapi hingga saat ini bahkan kabar darinya saja tak pernah kudengar. Karena itu aku mencari tahu mengenai paus itu, mungkin dengan itu aku bisa menemukan ayahku, John," jelas Anslyn sambil memasang muka sedih, tentu saja itu hanya kebohongan yang dibuatnya untuk menarik simpati John.

"Maaf Anslyn, aku tidak tahu. Aku turut berduka mendengar kabar itu. Jadi itu kenapa kamu bisa ada di laut sekarang? Mencari ayahmu?"

"Iya John, aku tak peduli dengan paus itu, aku hanya ingin mencari ayahku dan membawanya pulang. Ibuku sudah hampir gila karena kehilangan ayah, aku ingin keluargaku utuh kembali," terang Anslyn.

"Jangan menangis Anslyn, kita pasti akan menemukan ayahmu setelah kita menemukan paus itu. Aku berjanji akan mengantarmu dan ayahmu pulang kembali ke daratan," ujar John sembari memeluk Anslyn.

"Ayo, Lyn, kita berkumpul dengan awak yang lain," ajak John sambil menggandeng Anslyn menuju tempat istirahat semua awak kapal.

***

"Hei John, Anslyn! Kemarilah!" teriak Robert sambil meminum anggur miliknya.

"Hai Anslyn, kau hampir saja tenggelam di laut, lalu kau membantu kita memasak dan membuat jaring. Kau baik-baik saja?" tanya Robert yang begitu curiga pada Anslyn.

"Tentu saja dia baik, ayahnya saja pelaut. Dia sudah biasa di laut seperti ini" jawab John dengan nada sinis, cemburu karena Robert perhatian dengan Anslyn.

"Hei, ada apa denganmu John, Robert hanya mengajaknya berbincang," ujar Rickson sambil meminum anggurnya.

"Em, ya, aku baik-baik Mr. Robert," jawab Anslyn sambil menunduk.

"Hei, jangan terlalu formal denganku. Aku hanya curiga bagaimana kamu bisa tenggelam. Sedangkan di sini tidak ada kapal yang dekat dengan kapal kami. Ini memcurigakan," tanya Robert terus mengintrogasi.

"Em ... ya, ak—,"

Jawaban Anslyn dipotong seketika oleh Robert. "Mungkin Anslyn adalah seorang siluman laut," jawab Robert mulai mabuk.

"Hei, mana mungkin! Aku ke sini berlayar sendirian mencari ayahku. Tapi karena keadaan gelap, aku tertidur kapal, lalu kapalku menabrak karang," Jawab Anslyn sambil terus menunduk.

Huh, ada yang mulai curiga, aku harus bertindak dengan cepat, batin Anslyn.

"Huh, aku tidak melihat ada barang yang mengapung di sekelilingmu, Nona?"

"Em ... Itu—,"

"Hei, sudahlah berhenti mengintrogasi Anslyn. Aku yakin dia gadis yang baik." John memotong perkataan Anslyn.

"Jangan begitu John, kedatangan awak baru, apalagi seorang gadis, asing bagi kita," sela Rickson.

"Jangan bahas Anslyn lagi, oke? Lihat mukanya makin memerah, gara-gara takut dengan kalian," gurau John.

"Ish, kau ini." Anslyn memukul pelan dada John.

"Hei, ada apa dengan kalian? Jangan jangan ...." Robert menggantungkan kalimatnya.

"Ingat, John kau sudah beristri dan memiliki anak, Anslyn hanya untukku. Iya, 'kan, manis." Robert mencolek dagu Anslyn.

"Sudahlah, berhenti bermain-main! Mari kita bahas rencana kita mencari paus itu, mungkin Anslyn dapat membantu."

"Em ... Ya, ini setauku, paus itu hanya muncul malam hari, warna paus itu gelap dengan banyak bintik-bintik putih. Paus itu hanya ada beberapa di laut ini. Kemungkinan jumlahnya sudah semakin sedikit, sekitar lima ekor, dan setiap malam dia akan muncul ke permukaan karena gelap."

"Hei, bagaimana kau tahu populasi paus itu hanya tersisa lima ekor?" tanya Rickson.

"Pagi. Kalau pagi, air di sini menjadi bening. Aku dapat melihanya dari puncak bukit itu. Tapi kalau pagi, aku hitung-hitung lokasi paus itu dalam sekali, terhindar dari sinar matahari. Mungkin malam adalah saatnya dia keluar," jelas Anslyn panjang lebar.

"Hm, baik, kalau begitu. Robert, berapa jumlah keseluruhan awak kita?"

"Kurang lebih lima puluh orang John, kenapa?"

"Dari semua lima puluh orang, diharapkan dapat bekerja sama. Ketika menjelang petang, kita matikan seluruh lampu di kapal ini. Masing-masing awak akan dibagi ke dalam enam kelompok. Empat kelompok di antaranya bertugas menjaga tepi-tepi kapal, lalu satu kelompok lainnya berjaga di atas. Sementara satu kelompok sisanya menyusun strategi persiapan. Kalau memang paus itu datang, akan segera dibantu. Untuk masalah kelompok, kupercayakan pada kalian," jelas John menyusun strategi.

"Baik, John," kata Robert, lalu pergi dari tempatnya.

Oke, susana mulai canggung, batin John

"Em, kau terlihat gagah ketika tengah menyusun strategi seperti tadi," jelas Anslyn sambil tersenyum.

"Hm," jawab John singkat.

"John aku ke kamar mandi dulu, ya," jelas Anslyn pamit.

"Hm," jawab John. Entah kenapa jantungnya tidak dapat diajak bekerja sama.

***

"John, kau tau, 'kan, paus itu bisa menghasilkan banyak uang. Pasti banyak yang mengincar paus itu juga. Jadi, aku khawatir kalau tiba-tiba ada musuh yang mendekat," jelas Rickson.

"Untuk alasan itulah aku tadi menyarankan agar kita membagi awak kapal ke dalam beberapa kelompok," jawab John.

"Lalu, apakah kau tidak mencurigai Anslyn?" tanya Rickson.

"Kanapa harus?"

"Jadi begini, John. Bukankah pasti akan banyak sekali yang mengincar paus itu. Lalu, bagaimana jika dia termasum salah satunya? Apalagi dia merupakan anggota baru di kelompok kita ini. Bagaimana jika ternyata dia memiliki kelompoknya sendiri dan dia berniat untuk menguping rencana kita di sini?"

John terdiam dengan penuturan Rickson. Tak lama kemudian, Anslyn kembali.

"Hai John, aku baru saja mendapatkan informasi mengenai paus itu. Paus itu mudah di lihat di sekitar gua itu, John." Jari telunjuk Anslyn teracung, menunjuk ke arah gua yang tak jauh dari tempat mereka berlayar kini.

"Hm, baiklah. Malam nanti kita menuju tempat itu"

Bagus, rencanaku sukses, batin Anslyn.

***

"Selicik itukah diri Anslyn? Tidak mungkin bukan?" tanya John kepada Rickson.

"Sudahlah John, pikirkan tentang dirimu sendiri!"

Kerap kali sebuah pertanyaan mulai timbul di hati John, perasaan tidak enak itu mulai menyelimuti hatinya. Perjalanan masih panjang, pikirnya.

"Mungkin kau benar Rickson, apa kita harus menyusun rencana untuk itu?"

"Hm, terserahlah John. Aku hanya memikirkan tentang kebaikan kita semua."

Keduanya saling bercengkrama, hanya berdua yang terlihat, mereka tidak tahu jika Anslyn sedari tadi tengah mengawasi keduanya.

"Apa kalian pikir, itu semua mudah? Membunuh diriku hanya untuk jatah makan kalian perharinya?"

Bulan tengah menampakkan wujudnya, malam ini John dan lainnya sudah mengatur strategi untuk tidak mengikuti apa yang dikatakan Anslyn tadi. Menurut John sendiri keputusan ini sudah menjadi yang terbaik, walau ia tidak akan mengetahui dampak setelahnya.

John mulai bergerak menyusuri lautan luas tersebut, mencoba mencari tau asal paus itu berada. Lautan ini sungguh luas, bahkan tak sanggup juga dikira sedalam apakah lautan ini.

Dari dasar lautan mulai nampak bayangan, bayangan paus besar. Walau John tau paus itu bergerak lambat, tetapi dengan cepat ia berlari ke dalam kapal. Mencoba mencari alat-alat miliknya.

Dengan bantuan banyak awak kapal, jaring pun mulai dilepaskan, kala paus tersebut kian mendekati kapal milik John.

Rickson mulai mengemudikan kapal dengan sangat hati-hati. Namun, perlahan pandangannya mulai kabur, dari sudut manapun tengah terhalang oleh kabut asap yang tebal. Benar-benar tak ada jalan keluar untuk bisa dilihat.

Sementara John tengah berlari ke atas kapal miliknya, mulai mengambil ancang ancang untuk segera melempar tombak tersebut tepat sasaran. Namun belum sempat melempar tombak, paus tersebut berubah menjadi paus yang amat besar. Hingga kapal milik John dan teman-temannya ini, mulai terlihat kecil sekali.

Paus itu membuka mulutnya lebar-lebar bersiap memakan seluruh isi kapal tersebut, sebelum akhirnya John melihat bayangan Anslyn di dalam mulut sang paus.

"Anslyn!" teriak John.

Apakah Anslyn dimakan paus itu? Kenapa Anslyn ada di dalam mulutnya?

Tak butuh waktu lama untuk John mulai melompat dari atas kapal, sebelum paus itu mulai memakan seluruh isi kapan tersebut, dan ia tau seberapa tega kalanya meninggalkan teman-temannya menjerit dimakan sang paus.

Dasar laut ini sungguh dalam, ia bahkan tak mampu berbicara, berteriak memanggil bantuan.

Dia rasa memang inilah ajalnya, kalanya tak mampu berucap maaf, dirinya mulai terbaring lemas di dasar lautan.

***

"John," ujar Anslyn.

"Anslyn," lirih John.

Kabut tebal tadi menghilang, bukankah dia berada di dasar lautan tadi? Mengapa dia bisa berada di pesisir pantai seperti ini. Lalu Anslyn, bukankah dia dimakan paus?

Berbagai pertanyaan mulai timbul di benak John. Cukup pikirnya, ia tidak tahu harus bersikap seperti apa lagi, san bahkan ia tidak akan pernah bisa pulang ke rumahnya lagi, karna lautan ini sungguh luas, dan jauh sekali dari tempatnya berada.

"Tak apa John, kamu bisa tinggal di sini bersamaku."

"Sebenarnya apa maumu? Si-siapa kamu?"

"Bolehkan aku menjawab pertanyaanmu itu, John?" Anslyn memandang khawatir wajah John.

John mulai berdiri, menghadap Anslyn yang kini juga mulai berdiri. Mereka memandang satu sama lain.

"Apa kamu ingat waktu pertama kali menjadi nelayan, John?" Anslyn bertanya ke arah John. Namun, ia mulai berjalan seraya menunjukkan sesuatu kepada John. "Ikuti aku."

John mengikuti Anslyn tanpa mengeluarkan sedikit pun suara dari mulutnya, ia benar benar terdiam membisu kali ini, tak mampu berucap.

Sampailah mereka di salah satu tempat, gua yang dibicarakan Anslyn tadi. Untuk apa dia dibawa kesini?

"John, dulu kaulah yang menolongku saat pertama kali punggungku ini tertancap sebuah tombak, dulu kau adalah orang yang baik, John. Tapi mengapa sejak bertemu mereka, kau menjadi seorang pembunuh seperti ini?"

"Apa maksudmu?"

"Aku adalah paus, John. Aku adalah seekor paus yang menyamar. Aku hanya ingin menyadarkanmu, kalau semua perbuatanmu ini tidak benar. Mereka adalah temanku, John, sadarlah itu." John menatap tidak percaya ke arah Anslyn.

'Tidak mungkin, Anslyn adalah paus? Apa ini?' batin John berontak tidak percaya.

"Aku mengerti ini terlalu rumit untuk diterima oleh akal manusia. Tapi, percayalah, kenyataannya memang seperti itu, John." Anslyn menghela napas panjang. "John, kumohon, jangan pernah membunuhku atau teman-temanku lagi. Biarkan kami hidup dan berkembang biak." Setitik air mata terlihat lolos dari pelupuk mata Anslyn.

John membalikkan tubuh Anslyn yang tadi membelakanginya menjadi menghadapnya. "Baiklah, Anslyn. Aku akan berhenti. Aku akan berhenti memburu paus. Bahkan mulai detik ini, aku akan berbalik melingunginya, melindungimu. Tapi ...." John tiba-tiba menunduk.

"Tapi apa, John?" tanya Anslyn gelisah.

"Tapi ... bisakah kau membawaku pulang dari sini? Aku sadar, aku masih memiliki tanggung jawab lain. Keluargaku masih membutuhkanku. Bisakah?" John menatap dalam manik mata Anslyn.

Hening beberapa saat, sebelum akhirnya Anslyn kembali menjawab, "Maafkan aku, John. Aku sangat-sangat ingin membantumu. Tapi, aku tak berdaya. Aku tak dapat membantumu kembali."

Mata John melebar. "Tidak bisa?" lirihnya. "Lalu bagaimana? Apakah aku harus tinggal di pulau antah berantah ini selamanya?"

John terduduk lemas, seolah segala daya kehidupannya telah terenggut seketika. Pandangannya semakin mengabur seiring bulir-bulir air mata yang terus jatuh tak tertahankan.

"John, kita bisa tinggal berdua di sini. Aku dan kau. Kau tidak sendirian." Anslyn mencoba menghibur John yang terlihat amat rapuh dan kacau.

John melirik Anslyn lewat ekor matanya. Sebuah senyuman yang lebih mirip seringaian itu muncul di bibirnya yang pucat.

"Anslyn." John menyebut nama Anslyn dengan nada bicara yang terdengar menyeramkan.

"Y-ya?" jawab Anslyn gugup.

"Kau bilang ... kau adalah seekor paus, 'kan? Lalu, bisakah kau berubah sekarang juga di sini?" John berbicara masih dengan nada menyeramkan dan kepala yang terus ia tundukkan dalam.

Anslyn mengernyitkan dahi tidak mengerti. "Untuk apa?"

"Berubah saja. Aku ingin sesuatu."

"Ba-baiklah." Anslyn kemudian menekuk lututnya, memposisikan diri untuk berubah ke dalam wujud aslinya sebagai seekor ikan paus yang amat besar.

Seringaian John semakin terlihat jelas. Sepersekian detik kemudian, John mengangkat cepat tangannya yang ternyata telah menggenggam sebilah kayu. Lalu dengan liarnya, ia menusuk tubuh Anslyn.

"Aku lapar, Anslyn! Aku lapar! Kini aku akan memakanmu di sini! Jika kau tak dapat membawaku pulang ke rumahku, maka aku akan menjadikanmu cadangan makananku selama aku di sini. Hahaha."

Di tengah kegilaan John saat ini, Anslyn hanya dapat mengerang kesakitan dalam wujud pausnya. Ia tak dapat melawan atau melakukan apapun. Hanya satu hal yang ia harapkan.

'Semoga kau bahagia, John,' batin Anslyn sebelum ia benar-benar mati dibunuh oleh John.

***

"Tuan tak apa?" Gerald heran ketika tiba-tiba saja narasumbernya berhenti bercerita. Sudah selesaikah kisahnya?

John, pria yang dijadikan narasumber oleh Gerald itupun memandang lurus ke arah Gerald. "Apa kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan?" tanyanya datar.

Gerald tersenyum senang. "Tentu, Tuan. Terima kasih atas kesediaan Tuan."

John bangkit, berjalan meraih sebilah kayu di samping perapian, kemudian melemparnya ke dalam perapian yang semakin meredup. "Sekarang pergilah! Menjauhlah dari rumahku dan juga dari pulau ini."

"Memangnya ada apa, Tuan?" tanya Gerald tidak mengerti.

Di balik tubuh rentanya, seringaian John tercipta, yang tak dapat terlihat oleh Gerald karena posisi tubuh John yang membelakanginya. "Karena aku ...."

"Anda kenapa, Tuan?" Gerald sama sekali tak memikirkan firasat apapun akan sikap John yang mendadak aneh.

John berbalik cepat sembari tangannya menggenggam sebilah kayu bakar. "Aku baru saja kehabisan bahan makanan."

Gerald membelalak. Dengan tergesa ia segera menuju pintu keluar, menyelamatkan diri.

Ternyata Tuan John benar-benar sudah menjadi gila, hingga berniat untuk membunuh sesama manusia, batinnya ketika ia telah berhasil kembali ke kapal yang membawanya menuju pulau tempat kediaman John.

-Tamat-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top