❄ :: Satu - Lelah
Seorang pemuda berambut crimson duduk termenung di ruang ganti gym basket. Saat teman-temannya yang lain berangsur pergi, pemuda bermata heterokrom ini masih bergeming seraya menundukkan kepala.
Rasa gelisah yang awalnya biasa saja, kini kian mengusik diri. Akashi Seijuro, pemuda yang digadang-gadang sebagai siswa terpintar nan jenius di SMA Rakuzan ini menyerah. Dia benar-benar tidak tahu bagaimana solusi untuk hubungan asmaranya.
Akashi mengambil gawai yang terkapar di sebelahnya, lantas menatap potret diri bersama si gadis berkucir dua. Nakano Nisha namanya, gadis berbando telinga kucing ini telah menjadi kekasihnya sejak satu tahun silam.
Namun, Akashi akhir-akhir ini berspekulasi afeksi Nisha padanya hanya keterpaksaan, omong kosong dan kepura-puraan semata.
Semua ini bermula saat ia tak sengaja menguping pembicaraan adik kelasnya di kafetaria tadi siang.
"Ah, iya. Yuu-chan baru kembali lagi ke Jepang. Pantas saja Yuu-chan tidak tahu. Akashi-senpai berubah jadi lebih menyeramkan itu karena ini kepribadiannya yang lain."
"Lho? Pantas saja! Cih, kepribadiannya yang ini merusak Akashi-senpai yang asli. Sifatnya sangat angkuh, sok paling benar, jutek. Terus apa-apaan itu? Matanya beda warna, poninya digunting! Benar-benar perusak."
"Fangirlnya pun jadi berkurang gara-gara perubahannya ini. Cuma cewek gila dan masokis saja yang masih kagum dengannya, apalagi Nakano-senpai."
Prasangka buruk seketika muncul. Akashi yang selama ini percaya penuh pada kekasihnya menjadi sangsi. Tanda tanya besar berada di dalam benak: Kalau dirinya adalah kepribadian yang merusak, Nakano Nisha selama ini benar-benar tulus atau tidak?
Secara Nisha adalah perempuan yang tak bosan-bosan memuji keindahan netra tak selaras miliknya. Nisha juga kentara sangat menghargai hubungan ini, terbukti dari kesetiaan yang selalu ia jaga kendati sifat Akashi padanya seringkali dingin, kaku dan cenderung posesif. Akan tetapi, siapa yang tahu dalamnya hati manusia? Itulah yang membuatnya gelisah.
Kalau dipikir-pikir lebih dalam lagi, ia merasa hubungannya dengan gadis bermarga Nakano itu terasa sangat hambar. Boro-boro tertawa bersama, mereka bahkan jarang menghabiskan waktu berdua. Bukan karena tak ingin, tetapi Akashi yang notabene pewaris tunggal perusahaan milik keluarganya sudah mengemban banyak tanggung jawab. Begitu pun dengan Nisha yang sibuk dengan kejuaraan lari sprint.
Sekalinya berinteraksi pun mereka sama-sama canggung dan hanya berkonversasi singkat. Sebenarnya, Nisha sudah berusaha keras mencairkan suasana, tapi lama-lama ia menyerah karena kekasihnya ini terlalu beku. Oleh karena itulah hubungan mereka terasa hambar. Komunikasi antara keduanya sangat minim hingga timbul kesalah pahaman.
Akashi mengembus napas lelah. Pemuda itu memejamkan mata dan sukmanya terasa berpindah pada 'ruang' yang lain.
"Aku lelah." Akashi mengadu pada refleksi dirinya, bedanya hanya terletak pada warna mata yang sepenuhnya merah. Atau sebut saja dia Oreshi. Sementara yang bermanik heterokrom ini disebut Bokushi.
"Ada apa?" Yang terlontar bukan pertanyaan basa-basi semata. Namun, Oreshi benar-benar tidak tahu apa yang terjadi selama tubuh ini dikendalikan oleh dirinya yang lain.
"Mari kita bertukar."
Permintaan itu sontak membuat kedua iris ruby milik Oreshi melebar. Ini benar-benar aneh. Bokushi adalah orang yang paling enggan berjarak dengan kekasihnya, bahkan ia gelisah jika tak bertemu gadis itu barang setengah hari saja. "Hee. Bagaimana dengan kekasih kesayanganmu itu?"
Bokushi membisu cukup lama. Rasanya memang berat jika harus berpisah dengan perempuan itu. Namun, terus-terusan dilanda keraguan seperti ini membuatnya sangat lelah. Setelah lama menimbang-nimbang, pada akhirnya ia membuat keputusan terakhir.
"Aku ingin menjauhinya untuk sementara."
Oreshi kini menyadari ada hal yang sangat tidak beres dan harus segera diperbaiki. Namun, Bokushi tak mau mengakui itu karena merusak citra 'selalu benar'-nya. Ia pun segera beranjak dari tempat duduknya, menepuk pundak sang refleksi seraya berujar, "Baiklah, istirahatlah. Lagi pula, sudah lama sekali aku tak berjumpa dengan Nisha-tan. Dia kekasihku juga, 'kan?"
Amarah sontak tersulut, terbukti dari sorot heterokrom yang kian menajam layaknya pedang. Walaupun mereka sama saja, Bokushi merasa hanya dirinyalah yang paling berhak. Sebab, dialah yang pertama kali jatuh cinta pada gadis itu, juga yang pertama kali menyatakannya.
"Aku tidak pernah bilang padamu untuk membagi dua."
Oreshi menyunggingkan senyuman tipis sebelum dirinya pergi menuju cahaya.
✨⭐✨
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top