❄ :: Empat - Pergilah
"Tentang dia yang mengusirmu, aku benar-benar tidak tahu. Kau tahu 'kan kalau aku tak pernah tahu apa yang dikerjakannya selama tubuh ini diambil alih? Mungkin, aku nanti akan mencoba bicara dengannya lagi."
Nisha mengangguk mengerti.
Akashi kembali bercerita, "Lalu, gadis itu namanya Nikita Taylor. Dia sepupuku yang besar di London. Peluk memeluk sudah jadi budaya dari sana. Kau tahu? Salah satu alasan mengapa dia datang ke sini karena penasaran dengan sosokmu. Dia penggemarmu."
Netra hitam Nisha melebar.
"Penggemarku?" tanyanya, tak percaya.
"Iya. Dia sangat menyukai caramu berlari. Sebenarnya dari lama Niki ingin ke sini, tapi selalu tidak kesampaian."
Wajah Nisha memerah, senang sekaligus malu. Dia senang karena telah membuat salah satu bagian keluarga Akashi terkesan. Malu karena cemburu ke orang yang salah.
✨⭐✨
"Kenapa kau ikut campur urusanku?" tanya Bokushi dari tempat duduknya.
"Karena kau terlihat tak bisa menyelesaikan masalahmu sendiri."
Bokushi bungkam. Memang benar, ia tak bisa mengatasi ini. Namun, ia tak mau mengakui kalau payah perihal asmara.
"Sebenarnya ada apa?" selidik Oreshi. Dia ingin masalah yang entah benang merahnya berbelit ini bisa segera terselesaikan.
"Aku ... hanya merasa ragu dengan perasannya."
Oreshi menautkan alisnya, bingung. "Kenapa kau ragu? Bukankah sudah jelas kalau dia sangat mencintaimu?"
"Memangnya aku pantas dicintai?"
"Hei ...," desis Oreshi yang sangat tercengang. Jawaban itu tak seharusnya terucap dari bibir seorang yang melabeli dirinya absolut.
"Kalau aku hanya kepribadian yang merusak, apakah dia selama ini benar-benar mencintaiku?"
✨⭐✨
FLASHBACK SIDE AKASHI - BOKUSHI.
Apa sepasang kekasih harus berkencan di tempat-tempat seperti cafe, mall atau taman kota saja?
Tentu saja tidak. Contohnya Akashi Seijuro dan Nakano Nisha. Selarap muda-mudi ini menghabiskan waktu Sabtu siang di ruang kerja mansion Akashi.
Ruangan yang didominasi cat hijau dan putih ini sangat luas. Semua barang tertata dengan rapi. Di tambah lagi jendela lebar yang menghadap langsung ke taman. Spot sempurna yang membuat Akashi sangat tenang kala suntuk berkutat dengan pekerjaan.
Sementara Akashi sibuk bekerja karena tugas dari ayahnya, Nisha hanya merebahkan diri di sofa sambil membaca buku dari perpustakaan pribadi kekasihnya. Tentu saja yang dibacanya bukan novel romansa—karena Akashi tak mengoleksi hal semacam itu. Buku yang dibaca Nisha adalah tentang kumpulan tips-tips berguna untuk atlet perempuan.
Karena Nisha sudah menamatkan buku tersebut, jadi ia menutupnya. Gadis itu pun mengambil irisan buah mangga terakhir yang tersedia di meja.
Nisha mengembuskan napasnya, bosan. Pacarnya sibuk, ponselnya sedang dicharge, pelayan yang akrab dengannya sedang berbelanja, membaca lagi pun tak akan bisa karena mata dan otaknya sudah lelah. Gadis berbando telinga kucing itu pun bergumam, "Fyuhh ... jadi aku harus melakukan apa?"
Nisha melirik ke Akashi. Jari-jemari pemuda itu tampak lincah menari di atas keyboard PC-nya. Tak lama, kegiatan pemuda itu berhenti. Akashi pun menopang tangannya di dagu, iris heterokromnya menatap fokus ke arah grafik yang ia buat.
Sadar jika sedari tadi ada sepasang mata hitam yang memandang disertai lengkungan kurva yang lebar. Akashi pun bertanya ke si pelaku, "Kenapa memperhatikanku sambil tersenyum-senyum?"
"Ayolah ... tentu saja karena objek yang kuperhatikan sangat tampan."
Sontak saja telinga Akashi memanas dan sedikit muncul rona kemerahan. Namun, ia segera mengalihkannya, "Berhenti bicara melantur. Kau mau apa?" Heterokromnya lekas memicing ke tempat duduk Nisha. Lantas didapatinya piring dan gelas yang berisi makanan serta minuman berbahan dasar mangga tadi telah tandas. "Oh, habis. Agaknya tak masuk akal kau lupa cara memanggil pelayan di sini, Nisha."
Akashi pun bersiap menekan tombol merah yang tersedia di dekat mejanya. Namun, gerakan tangannya terhenti di udara saat Nisha berseru, "Bukan itu!"
"Lalu?"
Nisha akhirnya mengaku, "Aku bosan, dan kau juga terlalu banyak bekerja. Sei, apa tidak mau refreshing dengan nonton film yang sedang ramai itu malam ini? Ayo, Sei, malam ini saja. Kita jarang menghabiskan waktu yang benar-benar intens."
Akashi mendengkus pelan. "Aku ingin, tapi malam ini tidak bisa, Nisha. Tunggu malam lain atau pergi saja sendirian. Lihat, berkasnya masih sebanyak ini."
Nakano Nisha pun mengangguk dan mengulas senyuman. "Umm, baiklah. Maaf kalau kesannya aku tidak pengertian. Semangat! Aku tidak bisa apa-apa, jadi hanya bisa mendukungmu."
Akashi membalasnya dan tersenyum tipis.
★★★
Kali ini dua sejoli itu berada di ruang ketua OSIS.
Mereka terduduk di sofa panjang sembari menunggu beberapa laporan progress ketua masing-masing divisi.
Terduduk bersama secara menempel, tetapi aktivitas keduanya sangat bertolak belakang. Akashi fokus membaca buku dengan satu tangannya, sementara tangan yang satu lagi dipergunakan untuk menepuk-nepuk kepala sang kekasih yang tersandar di bahunya. Sedangkan Nisha, gadis itu tengah berselancar di sosial media dengan gawainya.
Karena bosan dengan isi sosial media yang itu-itu saja, Nisha pun menjelajah aplikasi lain. Gadis itu pun teringat dengan aplikasi game online terbaru yang di dalamnya memuat puluhan permainan seru. Terbesitlah niat untuk mengunduh aplikasi itu untuk mengatasi rasa bosannya menunggu laporan.
Saat unduhan telah mencapai angka 100%, Nisha tersenyum semringah. Dia menarik diri dari bahu Akashi dan menunjukkan ponselnya dengan riang. "Sei! Sei! Ayo main ini denganku!"
"Kau tak lihat kalau aku sedang belajar?"
"Ayolah ... ujian kan tiga mingguan lagi. Lagi pula kau sudah kelewat pintar," rengek Nisha yang sangat ingin bermain bersama karena mereka jarang sekali melakukannya. Kecuali kalau konteksnya olahraga.
"Justru itu, Nisha. Aku harus selalu menjadi yang sempurna tanpa celah. Taruhlah ponsel itu dan lebih baik ikut belajar bersamaku."
"Umm ... baiklah! Aku selalu senang belajar dengan Sei-kun."
Lagi-lagi Nisha dengan mudahnya ditaklukkan. Akashi tersenyum tipis. Mereka pun belajar Sejarah Jepang bersama-sama sembari menunggu para ketua divisi menyelesaikan laporan.
★ ★ ★
Dua insan ini memang sukar dipisahkan. Bahkan jadwal piket kelas pun dimuat ke hari yang sama. Saat ini, Akashi dan Nisha sedang membersihkan kelas sebelum pulang. Sementara tiga yang lain pulang lebih dulu lantaran diusir oleh Akashi yang tak mau dunianya diusik.
Kelas sudah tersapu bersih. Nisha sekarang mengelapi papan tulis sembari bersenandung diiringi lagu dari ponselnya yang terkapar di meja guru. Sementara Akashi membantu mengelapi jendela.
Beberapa menit berlalu, Akashi mendengkus pelan dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Sebabnya karena lelah mendengar lagu secara repetitif. Sementara pelakunya—Nakano Nisha—malah bernysnyi dengan riang.
"Apa telingamu tak muak mendengar lagu yang sama berulang-ulang?"
Nisha menoleh ke Akashi dan berseru, "Ini lagu terbaru Yoasobi! Astaga, aransemen musiknya selalu keren! Aku jadi kecanduan."
Akashi menaruh lapnya di meja sekitar. Lantas berjalan ke meja guru dan menyambar ponsel gadisnya. Dihentikannya lagu yang berjudul Ano Yume wo Nazotte itu dan mengetikkan: 'Video Tutorial Dansa' di papan pencarian.
Kemudian, Akashi menghampiri Nisha dan menunjukkannya video itu. "Dari pada mendengar lagu yang berulang, lebih baik kau menonton ini nanti. Ini penting untukmu karena kau akan jadi bagian hidupku."
Perkataan Akashi membuat efek samping bagi Nakano Nisha. Seluruh wajah gadis itu memanas dan memunculkan rona kemerahan saat mengambil ponselnya. Beberapa sekon kemudian, matanya menjatuhkan bulir-buliran bening. Gadis itu terisak haru karena terlampau bahagia.
"S-Sei ...."
Namun, Akashi justru salah mengartikan. Pemuda itu mengira Nisha menangis karena kesenangannya diganggu.
Keping-keping memori mendadak menyerbu kepala Akashi. Tentang bagaimana ia sering menolak Nisha di berbagai situasi. Semuanya terputar ulang layaknya video rewind.
Kalap. Akashi benar-benar tak tahu harus melakukan apa. Meminta maaf bukan gayanya karena ia merasa tak pernah bersalah. Jadi, ia memutuskan untuk melarikan diri dengan elegan.
"Aku lupa kalau ada janji dengan ayahku. Kau bisa pulang sendiri, 'kan? Sudah, jangan menangis."
"U-umm ...." Nisha mengangguk, lantas Akashi undur diri dari ruang kelas.
Setelah melangkah jauh, Akashi menghentikan langkahnya. Diacaknya surai merah itu dengan gusar.
Baru kali ini Nakano Nisha menangis karenanya.
Baru kali ini Akashi merasakan gagal menjadi laki-laki.
Dia sangat menyesal karena terlalu diktator dengan kekasihnya.
"Apa aku terlalu keras sampai membuatnya menangis?"
★ ★ ★
Esoknya, Akashi yang tengah latihan basket tak sengaja melihat Nisha yang kentara sangat kelelahan. Maklum, pekerjaan dari OSIS dan ekskul larinya sudah sangat menguras tenaga, ditambah lagi gadis itu merangkap sebagai manajer basket.
Akashi pun berinisiatif untuk membelikannya minum dan camilan. Padahal bisa saja ia menyuruh orang lain karena sewajarnya ia selalu 'dilayani' bukan 'melayani'. Namun, terkhusus gadis ini ia rela melakukan apa pun. Hitung-hitung sebagai bentuk membayar kesalahannya kemarin.
Akashi pun berkata, "Aku mau ke kaf-"
"Biar aku saja! Sei mau apa? Teh, roti, sup tofu?" potong Nisha cepat.
Akashi mendengkus pelan. "Bukan aku, tapi dirimu. Apa saja yang kau inginkan selain jus mangga?"
"Sei ... yang pergi?"
"Apa salahnya?"
Balasan telak Akashi sontak membuat Nisha bergidik ngeri. "T-tidak kok, tidak salah. A-aku mau roti melon sama onogiri."
"Taruh buku itu dan istirahatlah. Yuzuki, gantikan dia." Lantas Akashi berlalu dari gymnasium, meninggalkan Nisha yang masih terperangah.
Belumlah kakinya menginjak lantai kafetaria, tetapi dari kejauhan sayup-sayup Akashi mendengar namanya jadi buah bibir. Sebenarnya ia tak mau peduli karena pesanan Nisha jauh lebih penting, dan ia sudah terbiasa dibicarakan orang dari belakang. Namun, gosipan kedua gadis ini berkonotasi negatif, membuat Akashi penasaran apa saja yang dilontarkan mulut mereka.
"Ah, iya. Yuu-chan baru kembali lagi ke Jepang. Pantas saja Yuu-chan tidak tahu. Akashi-senpai berubah jadi lebih menyeramkan itu karena ini kepribadiannya yang lain."
"Lho? Pantas saja! Cih, kepribadiannya yang ini merusak Akashi-senpai yang asli. Sifatnya sangat angkuh, sok paling benar, jutek. Terus apa-apaan itu? Matanya belang, poninya digunting! Benar-benar perusak."
Perusak.
Perusak.
Akashi mengepalkan tangannya dengan erat. Rasanya sakit sekali, tetapi ia juga tak kuasa untuk menyangkal. Sebab, kemarin ia melakukan tindakan yang memang buruk. Bahkan sampai detik ini ia masih dihantui rasa bersalah.
"Fangirlnya pun jadi berkurang gara-gara perubahannya ini. Cuma cewek gila dan masokis saja yang masih kagum dengannya, apalagi Nakano-senpai."
"Mereka tak salah ...." Akashi menggumam pelan. Dia juga tak habis pikir selama satu tahun ini ada satu perempuan yang sangat setia kepadanya, walau perempuan itu sering ia perlakukan tidak baik.
Akashi tercenung, memikirkan kapan saja ia membuat gadisnya bahagia. Selama ini Nisha lebih sering dituntut, dikekang, ditolak dan diperlakukan sangat tidak adil dalam hubungan ini.
Lantas, apa mungkin ada manusia yang tahan diperlakukan seperti itu selama kurun waktu hampir setahun? Akashi jadi berpikir Nisha tak benar-benar mencintainya dan semuanya hanya keterpaksaan yang terus-terusan ditutupi. Nisha pasti takut untuk pergi, dan memilih untuk menyiksa diri.
Sadar jika terlalu lama terdiam, Akashi mulai melangkah gontai ke area kafetaria. Yuu dan Ameru yang sedari tadi bergosip ria sontak menutup mulut. Sementara Akashi tak peduli, ia langsung undur diri setelah mendapat pesanannya.
Saat melihat wajah Nisha di gym, hati Akashi menjadi sakit. Bukan, bukan karena membenci gadis itu, tapi hanya meragukan perasaannya. Akashi benar-benar tak terima jika perasaan kekasihnya selama ini hanya keterpaksaan semata, tapi di sisi lain ia juga mewajarkan situasi ini.
Entahlah, ia sangat kacau.
Sampai-sampai ia mengusir dan membuat gadis itu menangis lagi.
Namun, senyuman Nisha sebelum pergi membuat Akashi lagi-lagi dibuat bimbang.
"Aku baru mengerti. Kau menyuruhku pulang karena ingin aku istirahat di rumah, 'kan? Terima kasih."
Begitu kata Nisha untuknya sebelum ia pergi.
Padahal tidak begitu.
Memangnya ada perempuan yang benar-benar setulus itu?
Sebenarnya perasaan Nisha ysng asli seperti apa?
Pada akhirnya, Akashi mendapat jawaban dari pertanyaannya dari postingan Nisha sendiri di twitter.
Tapi entah kenapa, aku masih tak terima.
✨⭐✨
"... Sejak wajahnya memerah dan menangis, aku jadi berpikir kalau apa yang kulakukan selama ini salah dan sudah kelewat batas. Dia mungkin lelah berpura-pura mencintaiku." Bokushi bercerita dengan nada yang lesu.
Oreshi mengangguk dan tersenyum mengejek. "Kau benar-benar polos perihal percintaan, ya?"
"Apa maksudmu polos?" Heterokrom milik Bokushi menajam seketika.
"Kau tidak tahu apa-apa. Bahkan kenapa dia memerah kau tidak tahu maksudnya apa." Oreshi memijat pelipisnya, tak habis pikir mengapa sisi lain dalam dirinya sepolos ini. Dia pikir Bokushi benar-benar absolut tanpa celah, ternyata urusan begini saja payah. Tapi ini wajar juga karena Bokushi selama ini tidak tahu apa-apa perihal perasaan. Yang ia tahu hanya kemenangan dan kekuasaan.
"Maksudnya tentu saja kesal padaku, 'kan?"
Oreshi menggeleng. "Wajah memerah bukan berarti kesal saja. Itu juga bisa berarti tersipu malu, atau katankanlah salah tingkah."
Sial, Bokushi jadi merasa bodoh di sini. Namun, ia merasa ada yang janggal.
"Oh ... begitu, ya. Lalu, kenapa bisa sampai menangis? Tak mungkin 'kan itu bentuk salah tingkah juga? Waktu itu aku langsung mencari alasan meninggalkannya karena merasa bersalah dengan diriku sendiri."
"Dia 'kan memang orang yang mudah menangis di berbagai situasi. Kalau salah tingkahnya sampai menangis, berarti apa yang kau katakan benar-benar membuatnya bahagia. Kalau tidak salah, kau tadi berkata, 'Daripada mendengar lagu yang berulang, lebih baik kau menonton ini nanti. Ini penting untukmu karena kau akan jadi bagian hidupku.' Benar?"
"Benar."
"Dan apa kau sadar bagian mana dari kalimatmu yang membuatnya sebahagia itu?"
Cukup sudah, Bokushi tak mau merasa lebih bodoh lagi di sini meski memang ia tak tahu apa-apa. Namun, untuk kali ini ia berusaha keras menjawab dengan benar.
"... Di bagian: 'Karena kau akan jadi bagian hidupku?'."
"Tepat sekali." Oreshi tersenyum. "Agaknya kau harus lebih belajar denganku biar tak tersesat lagi dalam keraguan."
"Meski begitu, tetap saja diriku yang lebih unggul darimu." Bokushi masih saja keras hati, ia tak mau merasa tertinggal di sini.
Oreshi menanggapi dengan mengembuskan napas panjang. "Ya, setidaknya aku tidak pernah mencari alasan untuk kabur saat melihat wajah kekasihku memerah."
"... Diam kau."
"Ah, iya. Tentang gosipan gadis-gadis di kafetaria itu, kau tidak perlu ambil pusing. Kalau Nisha-kun sangat antusias untuk jadi bagian hidupmu, bukankah perasaanya padamu tak perlu diragukan lagi? Dia menerimamu, menerina kita. Sisi apa pun yang menurut orang lain buruk, dia menerimanya dengan setulus hati karena dia sudah telanjur mencintai kita. Bahkan rasanya dominan denganmu, denganmu. Sama sepertimu yang lebih dulu mencintainya ketimbang aku, begitupun dia yang lebih dulu jatuh padamu, bukan padaku."
"Hee ... jelas. Sudah kukatakan kalau akulah yang unggul di sini."
Astaga. Kalau saja Bokushi bukan berupa sukma, tapi manusia yang raganya utuh. Tangan Oreshi ingin sekali bersilaturahmi di pipinya satu kali saja. Geram.
Oreshi pun jadi ikut mempertanyakan perasaan Nisha: mengapa bisa-bisanya gadis itu sangat mencintai Bokushi? Bahkan sampai segila itu karenanya.
"Tentang kau yang keras ... memang benar caramu padanya terlalu kaku dan keras. Kalian tidak tampak seperti sepasang kekasih, tapi seperti boss dan manager berkedok kekasih. Cobalah untuk masuk juga ke dunianya, bukan terus-terusan ditarik ke duniamu.
"Biar bagaimanapun, Nisha-kun adalah Nisha-kun. Dia orang yang sangat suka bersenang-senang, dan fungsi otaknya tidak dirancang sepertimu. Kalian sangat berbeda, tapi itu bukan berarti tak cocok. Justru karena perbedaan yang membuat hubungan itu tidak terasa hambar. Kau hanya harus lebih belajar menghargai perbedaan ini."
Nasihat Oreshi membuat Bokushi serasa ditampar bolak-balik. Benar, selama ini ia selalu menarik Nisha ke dunianya tanpa memikirkan apa gadis itu bahagia atau tidak. Bokushi sangat merasa bodoh dan bodoh, ini tak bisa terelakkan lagi.
"... Kau benar. Selama ini aku selalu menuntutnya dan aku cukup sering menolak permintaannya yang kurasa kurang berguna. Jadi, dia pasti kurang mendapat ruang untuk membuat hubungan ini tidak hambar."
"Nah, itu. Hubungan kalian jangan sampai terlalu berat sebelah. Aku salut dengan Nisha-kun yang setulus itu denganmu. Tolong ... jangan sia-siakan perasaannya."
Tolong ... jangan sia-siakan perasaannya.
Kalimat ini membuat nurani Bokushi benar-benar terbuka dengan lebarnya. Ya, cukup sampai di sini ia menyakiti perasaan Nisha. Dia tak mau gadis itu pergi dan semua ini usai. Bokushi ingin belajar menyingkirkan ego, dan beetekad menjadikan Nisha gadis paling bahagia.
"Aku mengerti. Terima kasih banyak."
Oreshi mengangguk, lantas ia tersenyum mengejek lagi. "Aku merasa gemas melihatmu yang sangat polos dalam mengatasi hubungan asmara."
"Aku akan mempelajarinya sendiri. Membeli buku, meninton video, menganalisis hubungan orang atau apa pun itu sampai melampauimu. Akan kubuat Nisha jauh lebih bahagia."
"Kalau begitu bangunlah." Oreshi mengulurkan tangannya "Lakukan apa yang kau ingin, dan kau harus perbaiki semua yang sudah retak. Nisha-kun sangat merindukanmu. Dia sangat khawatir hubungan ini akan kandas."
Bokushi menyambut uluran tangan itu dan bangkit dari tempat duduknya.
"Tentu saja itu tak akan terjadi."
✨⭐✨
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top