3 | Maaf
"Mulai sekarang enggak usah tahan air mata lo. Biarkan dia jatuh sepuasnya, karena ada gua yang akan berusaha menghapusnya."
***
Matahari sudah mulai redup dan warna jingga tampak terlukis indah di cakrawala. Hal itu seakan menjadi pemanis yang sempurna bagi orang-orang yang tampak bahagia dan tertawa.
Di sana, masih di halaman Panti Sarang Cinta, Geara nampak asyik tertawa dan bercerita bersama anak-anak itu. Ia sibuk menggerakan gestur tubuhnya dan mengukir ekspresi wajahnya agar lebih mendukung suasana saat ia sedang bercerita. Anak-anak itu termasuk Rizam dan Bu Ode menyimak dan memperhatikan Geara dengan antusias. Bagi mereka hal tersebut bukanlah sesuatu yang baru. Setiap datang ke panti ini, pasti Geara akan selalu membawa cerita dongeng yang berbeda-beda. Dan itu membuat mereka senang.
"Wah ... Kak Gea jago banget dongengnya. Pasti selalu seru dan buat kita pengen dengerin terus! Kak Gea keren!" Dia Syham, anak lelaki berusia delapan tahun dan berambut keriting yang selalu antusias dengan cerita-cerita Geara.
"Iya, Kak Gea juga cantik dan pintar, 'kan?" ucap Bu Ode menambahkan.
Geara yang mendengar pujian-pujian itu hanya bisa tersipu malu dan salah tingkah dibuatnya. Ia lalu berdeham kecil untuk menutupi kegugupannya. "Ah, kalian berlebihan. Kakak cuma mau menghibur dan berbagi cerita sama kalian, kok."
"Sama gua juga, 'kan? Gua nyimak, lho, dari tadi. Lo udah cocok jadi calon ibu yang baik kayaknya." Geara menoleh ke arah orang yang baru saja bersuara.
"Ngaco kamu, apaan coba. Enggak nyambung banget bahasannya, Zam. Stop, deh, ngawurnya! Atau aku---"
"Atau apa? Lo mau gua jadi suami lo? Enggak, ah! Gua belum siap buat jadi calon imam---"
"Nih, ngomong aja sama sapu lidi! Sampe puas!" cibir Geara memotong pembicaraan Rizam sembari melempar sapu lidi ke arahnya. Namun, sialnya refleks Rizam cukup baik sehingga ia mampu menangkap sapu lidi itu.
"Ngerjain lo bikin mood gua bagus tahu, Gea. Jadi gua usilin lo tiap hari aja, ya. Pasti seru!" Rizam malah tertawa keras tidak memedulikan Geara yang nampak sudah tidak tahan ingin mencabik-cabik wajahnya.
"Rizam!"
"Apa Gea? Gua ganteng iya gua tahu."
"Kamu bener-bener minta aku tabok, Zam!"
Bukannya meminta maaf dan menyudahi keusilannya, Rizam justru makin membuat Geara kesal hingga akhirnya Geara mengejar lelaki itu dan berniat untuk mencubitnya atau setidaknya melampiaskan rasa kesalnya. Namun, Rizam tidak akan menyerah semudah itu. Ia berlari kencang memutari halaman membiarkan Geara terus mengejarnya.
Sementara itu, Bu Ode dan anak-anak lainnya hanya tertawa melihat tingkah keduanya. Begitulah Rizam dan Geara. Mereka bisa bersikap sangat akrab dan peduli satu sama lain, tetapi tak jarang mereka berdebat. Entah apa yang membuat keduanya bisa bersahabat dalam waktu yang cukup lama. Sikap dan kebiasaan yang berbeda seringkali menjadi buah bibir orang-orang tentang mereka. Namun, hal itu tidak menjadi penghalang Geara dan Rizam untuk tetap berteman. Atau bahkan berharap untuk menjalin sesuatu yang lebih dari teman? Hem ... yang namanya hati tidak ada yang tahu, bukan? Apa yang tidak kamu inginkan bisa jadi waktu membuatnya perlahan bermetamorfosa menjadi sesuatu yang paling kamu harapkan dan diam-diam menjadikannya sebuah tujuan. Meski tidak tahu apakah akan berakhir sampai dan menemukan atau justru buntu hingga akhirnya harus kandas di tengah jalan.
"Zam, aku nyerah! Udahan, ah. Pulang, yuk! Udah mau malem," ucap Geara sembari sedikit menunduk dan memegangi lututnya. Napasnya terengah-engah dan keringat mulai bercucuran dari mulai dahi hingga seluruh wajahnya.
"Iya kasian itu Gea-nya capek. Udah lari-lariannya, kalian ini kayak anak kecil aja." Bu Ode hanya bisa terkekeh pelan sembari menggeleng melihat tingkah Rizam dan Geara.
Rizam tersenyum lalu menghampiri Geara yang sedang kelelahan. "Kasian capek. Lo, sih, sok-sokan ngejar gua. Ya udah ayo kita pulang!"
Setelah itu mereka berpamitan pada Bu Ode dan anak-anak panti lainnya. Berkunjung ke panti ini memang sangat mengasyikan bagi Geara maupun Rizam.
"Tante, Rizam sama Gea pulang dulu, ya."
"Iya, Zam. Salam sama Papa dan Mama kamu, makasih udah main ke sini." Rizam mengangguk dan tersenyum sebagai jawaban dari perkataan Bu Ode.
"Adik-adik, Kak Gea sama Kak Izam pulang dulu, ya. Nanti kita main ke sini lagi bawa kue balok yang banyak!" pamit Geara sembari melambai dan langsung dibalas dengan kehebohan dan sorakkan gembira dari mereka. Bagi Geara setiap kali ia pergi dari sini, setiap itu juga ia berharap kembali.
***
Rizam menghentikan motornya tepat di halaman rumah Geara. Seperti biasanya rumah itu selalu tampak sepi setiap Geara pulang. Tidak akan ada sapaan hangat ataupun sosok yang menunggunya di depan pintu dengan raut wajah khawatir karena menunggu kepulangan anak perempuannya. Semua itu tidak akan pernah ada. Kalaupun ada bukan sapaan hangat ataupun pelukan yang selalu ia dambakan. Melainkan sesuatu yang sama sekali tidak ia inginkan.
"Nyokap lo belum pulang?" tanya Rizam setelah Geara turun dari motornya.
Geara hanya menggeleng. "Kayaknya Ibu belum pulang. Ya udah kamu pulang sana, udah malem. Jangan lupa istirahat dan kerjain tugas sekolah," ucap Geara dengan tatapan teduh yang mampu membuat Rizam merasa tenang dan selalu ingin menatapnya.
"Lo juga istirahat. Eh, lo belum makan, ya? Mau kita beli makanan dulu? Atau gua yang beliin, ya, lo tunggu di sini---" Baru saja Rizam berniat untuk menaiki motornya kembali, dengan cepat Geara menahannya.
"Enggak usah. Aku enggak mau ngerepotin kamu. Lagian aku enggak laper, udah sana kamu pulang, Zam."
"Lo keras kepala. Udah gua beliin!"
"Enggak usah, Zam! Kamu ngeyel, kebiasaan---"
"Geara!" Suara itu membuat Geara tersentak dan tidak sempat melanjutkan ucapannya. Pintu rumah Geara tiba-tiba terbuka menampilkan sosok wanita paruh baya yang baru saja membuang puntung rokok dengan kasar tepat di hadapannya.
"I--Ibu? Ibu udah pulang? Gea kira---"
Belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba rasa nyeri menjalar di pipinya. Semua itu terasa cepat. Perih yang begitu terasa karena tamparan yang dilayangkan begitu saja membuat Geara membeku di tempat tanpa bisa mengatakan apa pun. Rizam yang melihat semua itu sangat terkejut hingga ia membelakkan matanya dan menahan napas sejenak. Ia hanya bisa melihat Geara yang masih menunduk sembari memegangi pipinya, Rizam bisa melihat air mata Geara yang jatuh diam-diam dari pelupuk matanya.
"Kenapa lo enggak ada di rumah? Ke mana aja lo? Lo mau buat gua kelaparan? Gua capek abis nyari duit dan enggak ada makanan sama sekali?" tanya wanita itu sembari mencengkram tangan Geara seolah tidak ada kata ampun atas kesalahan yang ia lakukan.
"Maaf, Tante ini kesalahan saya. Jangan---"
"Gua enggak ada urusan sama lo! Jawab Gea! Lo enggak punya mulut, ya, sekarang? Gua muak sama lo! Mending lo pergi aja, deh! Biar gua bebas dan enggak ngurusin lo!" Geara tersentak mendengar ucapan ibunya. Hatinya benar-benar sakit mendengar apa yang baru saja diucapkan wanita itu. Geara buru-buru menggeleng dan memegang tangan ibunya.
"Jangan, Bu, Gea masih mau tinggal sama Ibu. Gea sayang sama Ibu, jangan usir---"
"Harusnya lo tahu diri, masih mending gua sudi ngurus dan ngizinin lo tinggal di sini! Mau lo gua tendang dari sini dan jadi gelandangan? Dasar enggak guna!" bentaknya memotong pembicaraan Geara sembari mendorong Geara hingga jatuh tersungkur ke tanah. Kemudian, wanita itu masuk dan menutup pintu rumahnya.
Rizam dengan cepat membantu Geara berdiri. Geara yang sudah menangis tersedu-sedu masih sempat menyembunyikan tangisannya dan menghapus tangisan itu. Namun, semua itu sia-sia Rizam sudah melihat semuanya. Selama ini Rizam tahu hubungan kurang baik Geara dan ibunya karena gadis itu yang menceritakannya. Namun, Rizam tidak menyangka Geara sering mendapat sikap sekasar itu.
"Gea lo nginep aja di rumah gua, ya."
"Enggak, Zam. Aku enggak papa, Ibu tadi enggak serius, kok. Mungkin Ibu lagi capek sama kerjaannya. Kamu pulang aja enggak papa," ucap Geara dengan suara yang masih terdengar serak dan bergetar.
"Tapi---"
"Zam, aku enggak papa. Kamu kalau masih mau jadi sahabat aku, ayo sana pulang. Aku janji enggak akan apa-apa." Geara berusaha terseyum, tetapi senyuman itu justru terlihat menyakitkan bagi Rizam.
Tanpa ragu lelaki itu memeluk Geara dengan erat. Ia tidak peduli Geara berusaha menepisnya dan meminta Rizam untuk tidak melakukannya. Hingga akhirnya Geara menyerah dan membiarkan Rizam memeluknya sembari berkata, "Gua benci sikap lo yang kayak gini, Gea! Maaf ini gara-gara gua. Mulai sekarang enggak usah tahan air mata lo, biarkan dia jatuh sepuasnya. Karena ada gua yang akan berusaha menghapusnya."
***
Sukabumi, 10 Juni 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top