9. Lihatlah Wajahnya

Cold Heart

Story © zhaErza

Naruto © Masashi Kishimoto

.

.

.

Chapter IX

Lihatlah Wajahnya

.

.

.

Sore hari di kediaman Haruno, Mebuki terlihat sedang menyeduhkan ocha untuk dinikmati bersama suaminya. Kizashi sedang duduk di kursi pada meja makan dan membaca buku yang sesekali dibalik, tersenyum ketika melihat Mebuki memberinya segelas teh dan langsung meletakkan buku, kemudian mengambil gelas tembikar itu dan menghirup wangi teh yang menenangkan. Menyesab dengan hikmat, tetapi kemudian wajah tenang itu digntikan dengan kerutan di alis karena mendengar ketukan pintu.

Padahal baru saja Mebuki mendudukkan diri di kursi, tangannya pun meletakkan kembali gelas berisi teh yang belum ia minum, berdiri beberapa saat dan kemudian berpandangan dengan Kizashi yang terlihat mengendikkan bahu. Mebuki berjalan ke depan dan membuka pintu, alisnya berkerut karena melihat anaknya yang berkunjung tanpa memberitahu terlebih dahulu.

"Ah, Saki. Sendirian?" Bola mata hijau itu menatap ke belakang punggung anaknya, mencari keberadaan menantu yang tak terlihat.

Sakura tersenyum.

"Apa kabar, Bu? Iya, aku hanya sendiri karena Neji sedang mengambil misi."

"Masuklah, Saki. Kami baik-baik saja, dan Ayah ada di meja makan." Mebuki tersenyum dan menarik tangan anaknya, ia pun berjalan beriringan bersama Sakura. "Eh, apa Neji-kun sudah tahu kau datang ke sini? Bukannya lebih baik bersamanya ketika datang dan kunjungan pertama ke rumah mertua. Dan juga kunjungan 'kan baru akan dilakukan ketika sepuluh hari pernikahan?" Mebuki mengingat, di upacara pernikahan hal ini dijelaskan, bahwa Neji dan Sakura akan melakukan kunjungan ke rumahnya ketika sepuluh hari setelah pernikahan.

"Iya, sudah kok, Bu. Lagi pula, aku juga sangat rindu pada Ibu dan juga Ayah." Emerald itu melihat wajah bahagia Kizashi yang langsung mendatanginya dan memeluk putrinya itu.

"Hah, tak terasa anak Ibu sudah menikah." Ia sekarang datang dan memeluk putrinya juga.

"Ke mana Nak Neji? Duduklah, Saki."

Kemudian Mebuki menjelaskan apa yang dikatakan Sakura tadi kepadanya, wanita paruh baya itu juga membuatkan teh dan memberikan kue yang baru saja matang dari oven tadi. Mereka bertiga kini membicarakan banyak hal, untuk sesaat Sakura bisa tersenyum teramat tulus karena kembali bersama orang tuanya. Senyuman yang sejak seminggu ini tak terlihat dan tersembunyi di balik ekspresi kepalsuan.

"Saki, apa kau akan menginap?" ayahnya menatap Sakura dengan pandangan yang sangat berharap dan gadis itu menganggukkan kepala sambil tersenyum lebar.

"Syukurlah, Ibu bisa masak banyak nanti. Ibu harap Neji-kun juga di sini bersama kita 'kan, Ayah?"

"Ya, pasti lebih lengkap rasanya. Ayah tidak akan menjadi orang paling tampan lagi hahahah, eh tapi tentu saja bagi Ibu dan Saki tetap Ayah yang paling tampan." Kizashi tertawa sebelum dihentikan oleh Mebuki.

"Jangan asal berbicara, tentu saja Neji-kun ke mana-mana jauh lebih tampan dari Ayah, dasar."

"Tenang saja, Ayah selalu jadi yang tertampan bagiku." Mebuki memutar bola mata emeraldnya ketika mendengar ucapan sang Anak.

"Bagi istri, suami lah yang harus diutamakan." Mebuki memakan kue yang dibuatnya itu.

"Bagi seorang putri, ayahnya lah yang harus diutamakan." Dan perang argument pun terus berlangsung sehingga membuat Kizashi kebungungan, tetapi ia teramat merasa bahagia karena merindukan cekcok antara anak perempuan dan istrinya.

.

.

.

Pukul tujuh malam, Neji baru saja kembali dari misinya, ia telah melapor kepada Rokudaime Hokage dan sedang berjalan menuju distrik Hyuuga. Ia menatap kediaman Bunke yang memang begitu luas, mengangguk kepada para penjaga, ia pun memasuki area rumah. Beberapa pelayan terlihat, sepertinya sedang mengurus makan malam, memasuki kamar, pupil bak mutiara itu menatap ruangan yang gelap. Ketika menghidupkan lampu, tentu ia tidak mendapati sang Istri berada di sana.

Apa Sakura berada di ruang makan? Pikirnya dalam benak.

Ia pun lantas bergegas untuk membersihkan diri, berdiri di bawah shower, Neji membasahi rambut dan kepalanya, alisnya mengerut karena mengingat pembicaraan tadi pagi dengan Sakura. Wanita itu masih belum juga meredakan kekecewaannya, apakah ia harus meminta maaf lagi? Namun, bagaimana kalau Sakura tidak mau memaafkannya dan malah menambah kemarahan istrinya itu karena yang bisa ia lakukan hanyalah meminta maaf?

Napasnya ia lepaskan, rahangnya mengeras dan ia pun memejamkan mata. Setelah membersihkan diri, Neji duduk di ranjang untuk mengeringan rambutnya yang panjang. Ia telah memakai celana hitam panjang dan tanpa atasan, biasanya jika Sakura melihatnya sedang mengeringkan rambut, wanita itu akan datang dan membantunya dengan senyuman yang palsu tentu saja.

Ketukan pintu terdengar, ia pun mengatakan untuk menunggu sebentar dan mengambil kaus hitam berlengan panjang untuk menutupi tubuhnya. Membuka pintu geser itu, ia melihat salah satu pelayan berusia dua puluhan sepertinya mengatakan makan malam sudah siap.

Pukul sembilan malam, ternyata Sakura masih belum juga kembali dari rumah mertuanya, mungkin istrinya itu berpikir untuk menginap di sana. Ia pun keluar kamar untuk menjemput, sekalian memberikan buah tangan yang dibeli sepulang dari misi.

Berjalan kaki, Neji bersapa dengan Lee dan Kiba yang terlihat baru pulang dari misi dan ingin ke pemandian air panas. Laki-laki beralis tebal itu sempat mengajaknya, sebelum dihentikan Kiba dengan mengatakan jangan mengatakan hal sia-sia.

"Apa maksudmu, Kiba?" Rock Lee berkedip tidak mengerti.

"Bodoh, dia itu sudah menikah, tidak berguna mandi di air panas dengan sesama lelaki jika kau telah memiliki istri." Kiba tertawa lebar, dan membuat Neji mendenguskan senyum.

"Apa yang kau bawa itu, Neji?" Lee menatap kantung hijau di tangan Neji, kemudian laki-laki Hyuuga itu mengangkatnya.

"Oleh-oleh untuk orang tua Sakura."

"Loh, Sakura-san tidak ikut?"

"Sakura sudah berada di rumah orang tuanya sekarang."

Mereka berpisah dan Neji pun melanjutkan langkahnya menuju ke kediaman mertuanya itu, ketika sampai di bagunan tersebut, ia pun menaiki tangga dan mengetuk pintu.

Mendengar ketukan dari pintu, Mebuki yang masih duduk sambil membaca buku di ruangan keluarga pun mengerutkan alis, kemudian ia menatap suaminya yang terlihat tengah tiduran di sofa dan menutup wajahnya dengan koran. Lantas, langsung saja Mebuki berdiri dan melihat jam yang sudah menunjukkan pukul sembilan lewat tiga puluh. Mengira-ngira, kemudian istri dari Kizashi itu tersadar, kemungkinan yang mengetuk pintu adalah Neji. Namun, menantunya itu bukankah sedang menjalankan misi?

Membuka pintu, senyuman lebar Mebuki langsung diperlihatkan karena menatap sang Menantu kesayangan.

"Neji-kun, masuklah. Astaga, Ibu tidak mengira kalau ini benaran kau, tadi Ibu sudah berandai-andai. Apa kau mau menjemput Sakura? Dia ada di kamarnya, Nak." Neji menganggukkan kepala, kemudian tersenyum ketika disambut teramat ramah oleh merutnya ini.

Laki-laki itu lalu memberikan bungkusan yang ia bawa, dan melangkah masuk mengikuti sang Ibu yang menuju dapur.

"Duduklah dulu di sofa, Ayah sepertinya sudah tidur, nanti Ibu bagunkan. Kau sudah makan, Nak? Terimakasih juga oleh-olehnya, mau dipanggilkan Saki sekalian?"

"Terimakasih, saya sudah makan, Bu. Ah, Sakura tidak usah dibagunkan kalau sudah tertidur, tidak apa jika Sakura ingin menginap di rumah Ibu."

Mebuki membalikkan badan dan menatap anak muda yang telah menjadi istri anaknya itu dengan senyuman yang tulus.

"Rumah kita, jangan terlalu sungkan, Neji-kun. Kau sekarang juga telah menjadi anak Ibu." Wanita paruh baya itu melangkah dan menuju dapur untuk meletakkan oleh-oleh dari Neji, ia membukanya dan menemukan camilan berupa kue kering beraroma teh hijau.

Sang Hyuuga masih tersediam, mendengar hal seperti ini membuat dadanya membuncah, ada sesuatu yang begitu hangat mengalir sekarang. Ia menundukkan pandangan dan kini tersenyum sambil menggerakkan tangan untuk menyentuh tengah dadanya.

Membawakan secangkir teh, beserta kue dengan nampan, Neji dibuat terkejut dengan semua kerepotan ibu meretuanya. Ia pun berdiri, dan mencoba mengambil alih nampan yang dibawa Mebuki, sebelum dihentikan wanita paruh baya tersebut.

"Kau itu baru pulang dari misi 'kan? Pasti masih lelah, nah sekarang nikmati tehmu, Neji-kun. Ibu bangunkan ayahmu dulu, kalau tidur di sofa terlalu lama pungungnya bisa sakit lagi."

Laki-laki itu mengangguk dan mengucapkan terimakasih karena sudah membuatnya repot. Sang Wanita Haruno terlihat menggoyangkan pundak suaminya beberapa kali, Neji menyaksikan dari sudut matanya sambil menyesab teh, kemudian sesekali bibirnya tersenyum karena melihat ayah mertuanya yang memang sulit dibagungkan.

"Ayah, Nak Neji berada di sini, apa kau tidak malu seperti ini terus?" laki-laki Haruno itu langsung terduduk begitu mendengar penjelasan istrinya, ia pun menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri guna untuk mencari keberadaan Neji. Setelah melihat menantunya berada di samping dan duduk di sofa tunggal, wajah Kizashi pun terlihat lebih segar dan tidak seperti seseorang yang baru saja bangun dari tidur.

"Wah, Nak Neji, kapan datangnya? Kenapa tidak mengabari Ayah dulu, kalau tahu begitu Ayah tidak akan tidur." Mendengar hal itu, Mebuki tertawa.

"Nak Neji sebenarnya mau menjemput Saki, tapi Ibu suruh menginap saja. Ayah, kenapa kau jadi segar? Kau harus istirahat, dan Neji-kun juga baru pulang dari misi dan harus bersegera tidur. Sudahlah ayo istirahat di kamar, nanti punggungmu sakit lagi baru tahu."

Neji pun mengabiskan teh dan kue yang disajikan setelah melihat Mebuki dan Kizashi ke kamar mereka, ia lalu membawa piring dan gelas tembikar itu ke bak cuci. Ia mengambil sarung tangan plastik dan memakai apron, kemudian mulai mencuci piring yang tadi digunakannya.

Melihat Neji sudah tidak berada di tempatnya duduk, Mebuki pun menuju dapur karena mendengar keran air yang menyala, betapa terkejutnya ia karena melihat menantunya itu tengah melakukan pekerjaan yang tidak semestinya. Melangkah, Mebuki pun bertanya kenapa Neji mencuci piring, sebab ini adalah tugasnya.

"Tidak apa, Bu. Ini juga sudah malam, sebaiknya Ibu beristirahat."

Menghela napas, Mebuki menatap lamat Neji.

"Kau ini, kalau begitu kau juga istirahatlah. Saki berada di kamarnya, di sana hanya ada ranjang untuk satu orang. Kalau tahu kau akan datang juga, tadi pasti Ibu suruh Saki tidur di kamar tamu, di sana ranjangnya lebih besar dan bisa dipakai untuk dua orang."

Menganggukkan kepala, Neji pun tersenyum dan mengatakan tidak masalah. Kemudian Mebuki pun berlalu untuk mengistirahatkan diri, Neji melepas sarung tangan dan apron dan meletakkannya di tempat semestinya ketika telah selesai. Menghela napas, ia pun naik ke lantai atas menuju kamar istrinya.

Pintu terlihat, ia menatap sejenak sebelum membukanya. Sorot mata mengarah ke ranjang yang kosong, di sana pernah terjadi kenangan Sakura yang menjambaknya ketika sedang mabuk beberapa minggu lalu. Bibirnya tersenyum kecil, saat itu Sakura bersifat teramat tulus sesuai suasana hatinya, mereka menjadi cukup dekat karena beberapa kali bertemu dan berjalan bersama walau hanya sebatas ucapan terimakasih. Sekarang, ikatannya dengan Sakura sudah menjadi satu, tetapi wanita merah muda itu terasa begitu jauh baginya. Tiba-tiba saja rasa tidak mengenakan kembali bersarang di dada, padahal tadi ketika bersama keluarga Sakura, ia merasa begitu hangat.

Lamunannya terhenti ketika mendengar pintu kamar mandi yang terbuka, di sana Sakura baru saja keluar dengan handuk berada di leher, sepertinya baru saja mencuci muka. Mereka pun saling berpandangan, beberapa saat Sakura terlihat terkejut karena menemukan keberadaan dirinya.

"Ah, kukira kau tidak ke sini." Sakura berdiri di depan kaca seukuran tubuhnya, dan menatap Neji dari lirikan mata. Laki-laki itu melangkah dan menutup pintu.

Sekarang, wanita Hyuuga itu menaruh handuk di paku dan duduk di ranjang, menarik selimut dan menyandar di kepala ranjang.

Mendekatkan diri, Neji pun berdiri di samping ranjang dan menatap Sakura.

"Iya, awalnya hanya ingin menjemputmu, kemudian Ibu—"

"Ibu," beo Sakura sambil mendenguskan napas, menatap mengejek Neji yang tiba-tiba langsung terdiam, terkaku dan merasa hatinya langsung berdesir menyakitkan.

Mata Neji bergerak, menghindari tatapan Sakura.

"Ia menyuruhku untuk menginap di sini," ucapnya dengan sorot mata merasa bersalah. "Kalau begitu, sebaiknya kau beristirahat. Aku akan tidur di kamar tamu."

Neji langsung membalik tubuhnya dan melangkah menjauh, sebelum mendengar kaki Sakura yang menapaki lantai dan tiba-tiba sudah menyergap pungungnya dengan pelukan.

"Hei, hei. Kenapa cepat sekali pergi? Kau tidak merindukanku, Suamiku?" Neji menatap kepala Sakura dari balik bahunya, tidak mengatakan apa-apa dan ingin tahu Sakura akan melakukan hal apa sampai mengehentikan langkahnya. "Rasanya kesal ketika kau mejadi lebih kuat dariku, Neji-san."

Melepaskan pelukan, Sakura menarik sebelah tangan Neji agar laki-laki itu berhadapan dengannya. Mereka sekarang saling menatap, Sakura harus mendongakkan wajah karena perbedaan tinggi yang nyaris satu kepala dengan Neji.

"Jahat sekali tidak ingin bersamaku, Neji-kun? Ah, terdengar aneh, bagaimana kalau Neji saja?" sekarang Sakura kembali memeluk Neji, walau begitu sang Lelaki tidak membalasnya dan hanya terdiam kaku.

Mereka kembali bertatapan, sekarang kedua tangan Sakura berada di atas bahu Neji dan memeluknya, menarik lelaki itu untuk lebih dekat dengannya. Ketika ingin menempelkan bibir mereka, Neji memalingkan wajah, sehingga ciuman Sakura hanya mengenai tulang rahangnya. Kedua telapak tangan Neji memegangi lengan atas Sakura, menatap wanita itu dengan pandangan datar dan sedikit tak suka.

"Hentikan, Sakura. Jangan seperti ini."

"Kenapa? Kenapa aku tak boleh?"

Neji menggelengkan kepala dan mengembuskan napas, laki-laki itu menarik tangan Sakura dan mendudukkannya di atas ranjang, begitu pula dengan dirinya.

"Aku tahu aku salah, dan aku benar-benar meminta maaf atas segalanya. Jadi, kuharap kau jangan bersikap seperti ini, Sakura."

Sang Wanita mendengus, kemudian tertawa kecil dengan sebelah tangan menutup mulu, lama kelamaan bahunya bergetar dengan suara tawa yang coba ia tahan. Melihat hal itu, Neji mengerutkan alis, rahangnya mengeras dan bibirnya menipis. Mengehela napas, sekerang Sakura menatap Neji, ia memperbaiki duduk dan menghadap wajah Neji. Sebelah tangan digerakkan untuk mengelus wajah laki-laki itu.

"Aku hanya berperan sebagaimana seorang istri, inilah yang kalian inginkan, bukan?" sorot mata Sakura menatap tubuh Neji yang berbalut kaus hitam berlengan panjang, jari-jarinya dan telapaknya turun dari wajah, leher hingga ke dada. Mengusapnya pelan, hingga ke perut, kemudian ia menyelinapkan tangannya di balik baju hingga kulit telapaknya mengelus kulit perut Neji. "Aku tahu kau juga menyukainya, kau bisa mengambil kesempa—"

Telapak tangan Sakura yang kembali berada di wajah Neji sekarang tergenggam tangan kuat itu, dirinya sontak terkejut karena mendengar suara Neji yang menyuruhnya berhenti dengan bisikan dan juga nada tegas. Namun, Sakura tidak mengindahkan, wanita itu tersenyum dan mendekatkan wajahnya, berusaha untuk mencium Neji hingga akhirnya sebelah bahunya ditahan.

Neji jadi mengingat peristiwa di malam upacara berbagi sake, di saat Sakura mabuk dan berusaha terus mendekatinya, tetapi sekarang Sakura tidak mabuk dan wanita itu hanya ingin menghancurkan dirinya sendiri.

Ia begitu tahu bahwa Sakura adalah pribadi yang keras kepala, dan ia mendapatinya sekarang karena meski ditahan, wanita itu tetap bersikukuh ingin menyatukan bibirnya. Sakura memang lebih mudah ia kendalikan dengan tenaga yang tidak seberapa, tetapi Neji akhirnya kehabisan kesabaran juga dan menjatuhkan tubuh wanita musim semi itu ke ranjang dan menahannya dengan kedua tangannya.

Kedua bola mata Sakura terbelalak, menatap Neji yang berada di atas tubunya dan menahan kedua pegelangan tangannya.

Mencoba melepaskan kekangan, tetapi ternyata ia tidak bisa hingga alis matanya berkerut. Sakura menatap mata Neji dengan pandangan tidak terima.

"Aku benar-benar tidak bisa menolelir lagi ciuman paksa dan segala sensualitas yang sengaja kau berikan kepadaku, Sakura." dengan sorot datar dan intonasi yang sama, Neji mengatakan hal itu, setelahnya ia menyatukan kedua pergelangan tangan Sakura di gegenggaman tangannya dan menggunakan tangan yang satu lagi untuk membelai wajah Sakura.

Wanita merah muda itu menatap Neji geram, tidak bisa berkata-kata setelah mendengar ucapan Neji, apalagi dengan ketidakberdayaan tubuhnya yang dikunci, baik dengan segel maupun dengan tubuh Neji. Namun, laki-laki itu malah tersenyum.

"Bagimana kalau sekali-kali kita berganti posisi," suara sang Hyuuga teramat lirih, wajah laki-laki itu mendekat dan sekarang bibirnya berada di telinga Sakura. "Tenang saja, aku akan memperlakukanmu dengan lembut."

Setelah kalimat itu terucap, seperti yang dikatakan, Neji mengecup pelan bibir Sakura, sekarang mata emerald itu tengah terbelalak, menatap bola mutiara yang juga menyorotinya. Sang Lelaki Hyuuga lalu memejamkan kelopak dan menggodanya dengan ciuman seringan bulu pada sudut bibir. Sebelah tangan yang tidak mencengkeram tengah membelai sekitar pipi, tulang rahang, juga menggunakan ibu jari untuk mengusap-usap telinga Sakura. Sontak saja karena perlakukan itu membuat tubuhnya mejadi merinding.

Berhati-hati, dan penuh kelembutan, bibir itu terus memberinya kecupan yang perlahan menjadi dalam. Sebelah tangannya mencengkeram dan agak mengangkat belakang leher Sakura, membuat wajah wanita itu menjadi sedikit mendongak, alih-alih langsung membuat celah bibir Sakura tercipta dan hal itu pun langsung saja dimanfaatkan Neji untuk mengeskplorasi bagian dalam mulut sang Istri.

Mata Sakura perlahan terpejam, erangan tercipta ketika ia merasakan dengan jelas lidah laki-laki Hyuuga sialan itu menggodai langit-langit mulutnya. Ia belum pernah berciuman sebelumnya, walau mereka melakukan dimalam pengantin, tetapi tetap saja ia tidak bisa mengingat. Dan sekarang, ia merasakan ciuman teramat lembut dari laki-laki yang sudah berstatus sebagai suaminya.

Keringat mengalir di dahi Sakura, napasnya terasa berat. Ketika sorot matanya terbuka sayu, ia melihat Neji yang menatapnya begitu dalam. Paham dengan keadaan sang Wanita, Neji melepaskan ciumannya hingga benang saliva tercipta. Kedua tangan Sakura yang dicengkeram pun dilepas, sehingga sekarang tubuh itu terlihat lebih leluasa menarik napas yang sejak tadi sulit dilakukan. Neji menyangga tubuhnya dengan siku, masih menatap Sakura dengan sebelah tangan yang membersihkan bibir wanita itu.

Tadi, sorot mata Sakura menunjukkan perasaan sesungguhnya, tetapi kini kembali berekspresi palsu ketika tangan Sakura membelai wajah Neji. Apakah akan selalu seperti ini? Pada akhirnya mereka saling menyakiti? Ia sungguh tak pernah menganggap pernikahan ini sebagai perintah semata, karena ketika mereka sudah terikat janji suci maka ia pun tulus akan menjadikan Sakura sebagai istrinya. Namun, Sakura sudah teramat kecewa. Apakah ia bisa memperbaikinya dengan ikut masuk ke dalam sandiwara sang Merah Muda, sehingga wanita itu menyadari perasaannya?

Apakah bodoh berharap sedemikian dalam percintaan yang akan mereka lakukan?

Melepaskan pakaiannya, Neji memeluk erat tubuh Sakura, membenamkan wajah di leher sang Istri. Membiarkan keringat mengalir bersama embusan napas dan erangan yang konstan. Keringat mereka menyatu, pun dengan diri mereka, tetapi apakah sekarang perasaannya bisa tersampaikan kepada Sakura? Tidak, karena walau tubuh wanita itu memperlakukannya dengan jujur, tetapi tidak dengan sorot mata yang menyampaikan kebencian semakin menumpuk. Neji menyatukan dahi mereka, napasnya terengah, matanya menatap kelopak mata Sakura yang memejam dan ketika ia menutup mata, setetes air pun metes dari sana.

Menggerakkan tangan, Sakura memeluk leher dan punggung Neji yang membenamkan wajah di leher. Napasnya masih terengah-engah pun dengan suaminya. Beberapa saat berlalu, laki-laki itu mengangkat wajah, mereka saling bertatapan lagi dengan dirinya yang memberikan senyuman.

"Sudah puas?"

Dengan perkataan itu, sorot mata harap Neji berubah menjadi sayu, benar apa yang ia pikirkan bahwa Sakura tidak bisa menangkap perasaannya dalam percintaan ini. Apa ia harus mengatakannya secara langsung? Namun, apa Sakura akan mempercayainya, setelah semua yang ia lakukan?

Neji menarik diri, dan sekarang duduk di pinggir ranjang membelakangi Sakura. Kedua tangannya saling mencengkeram, kemudian ia menarik dan mengembuskan napas dengan perlahan. Rambutnya yang panjang terasa lengket ke punggung karena keringat yang belum reda.

"Kukira kau akan mengerti, setelah kita melakukan percintaan ini, Sakura," ucapnya lirih.

"Percintaan?" Sakura menatap langit-langit kamarnya. "Kau hanya menjalankan perintah Hyuuga, Neji. Jangan memaksakan diri, aku juga mengerti." Kontan saja Neji menolehkan wajah menatap Sakura, wanita itu tersenyum sendu dan kemudian menarik selimut setinggi dada, untuk tidur. Sementara Neji menahan diri agar tidak meneriaki Sakura sekarang juga, ia memilih untuk mengigit bibir dan menjambak rambutnya. Memakai pakaian, ia pun memutuskan untuk meninggalkan kamar Sakura dan pergi menuju kamar tamu yang tadi disediakan ibu mertuanya.

.

.

.

Dua minggu setelah menikah, akhirnya Sakura diizinkan untuk kembali ke rumah sakit. Ia tidak mengira pengaruh Hyuuga membuatnya mendapatkan cuti selama ini. Tempat dan suasana yang ia rindukan, kini telah kembali seperti biasa. Perawat yang berhilir-mudik, bau obat-obatan dan sapaan para juniornya yang ternyata teramat merindukannya.

Sakura tersenyum cerah ketika melihat Ino yang berwajah kusut, sepertinya merajuk karena ditinggal lama seorang diri untuk menggantikan tugas Sakura yang mengawasi para junior di Unit Kesehatan Konoha. Mendatangi gadis beramata aquapearl itu, sang Musim semi pun tersenyum.

"Terlalu asik berbulan madu sampai melupakan kami semua, Jidat?"

"Jangan memulai, Ino. Yang penting aku sudah ada di sini."

Memutar bola mata, sekarang Ino memeluk sahabatnya itu.

"Jadi, pangeranmu sudah menjalankan misi sekarang?"

Julukan Ino terhadap Neji membuat alis Sakura naik satu, tetapi ia tidak ingin memedulikan hal itu dan menganggukkan kepalanya.

"Misinya sekitar tiga hari. Oh ya, bagaimana dengan laporan medis? Kuharap Senpai tidak kerepotan, dan di mana dia sekarang?"

"Shizune-san berada di ruang oprasi, sebaiknya kau lekas ke ruanganmu, di sana sudah bertumpuk laporan yang harus kau periksa."

Mendengar hal itu, Sakura pun mendesah lelah, dengan sigap kemudian ia langsung menuju ruangannya dan benar saja bahwa laporan sudah menumpuk. Ia harus membaca semuanya sebelum kembali menjalankan tugas sebagai seorang iryounin.

Tiga hari setelahnya, ia yang sedang memeriksa salah satu pasien cedera patah kaki pun dikejutkan dengan seorang junior yang menghadapnya. Setelah memberskan pekerjaan, Sakura mengikuti sang Junior dan sekarang menemukan Lee dan Tenten yang berada di depan pintu kamar oprasi.

Alisnya berkerut, dan ia pun menatap teman setim dari Neji. Ah, apa laki-laki itu terluka sekarang? Tidak biasanya seperti ini, apakah karena misi yang sulit?

Shizune keluar dari ruangan oprasi dan menatap Sakura juga teman-teman dari Neji. Dari arah belakang, terlihat Kakashi datang mendekat dan membuat Sakura menjadi lebih bingung lagi.

"Neji-san mendapat tiga tulang rusuk yang patah. Racun yang menyerang dadanya sudah berhasil dikeluarkan dan sekarang kondisinya sudah stabil, mungkin membutuhkan satu minggu untuk kembali pulih. Sakura, kau yang akan menangani perkembangan kesehatan suamimu sekarang. Rokudaime-sama, saya permisi."

"Baik, Senpai. Terimakasi atas bantuannya."

Setelah Neji dipindahkan ke ruangan rawat inap, Sakura dan yang lainnya pun diizinkan masuk. Sakura mendekat dan menggunakan ninjutsu medisnya untuk melihat separah apa cedera yang didapat Neji dan memang hasilnya seperti yang dijelaskan seniornya itu.

Emerald itu kemudian menatap Kakashi yang bersandar di pintu.

"Sakura, ke ruanganku setelah selesai memeriksa Neji. Aku harus kembali, setidaknya dia sudah lebih baik sekarang. Jadi, kita bisa tenang, mengerti."

Menganggukkan kepala, Sakura pun kembali berkonsentrasi untuk memulihkan suaminya itu.

Beberapa jam kemudian, setelah Sakura mencari tahu racun apa yang menyerang Neji dan segala antidotnya, ia pun melangkah ke ruangan Hokage. Di sana terlihat sang Rokudaime sedang menyandarkan kepala di badan kursi dan sedang membaca novel kesukaan pria bujang itu. Mendapati Sakura yang telah masuk, Kakashi pun menegakkan pungung.

"Ah, bagaimana keadaannya sekarang?"

"Mungkin sebentar lagi Neji sadarkan diri, kurang dari lima hari mungkin sudah pulih, Sensei."

Mendesahkan napas, Kakashi mengucapkan syukur.

Kakashi berdiri, dan sekarang melangkah agar lebih dekat dengan Sakura, berhadapan dengan muridnya itu dan menatap dalam permata emerald.

"Sakura, hari ini untuk pertama kalinya setelah Jounin, Hyuuga Neji mendapatkan luka fatal karena misi yang diembannya. Padahal, Lee dan Tenten juga bersamanya, seharunsnya mereka menjadi tim tanpa celah, Sakura."

Wanita merah muda itu hanya terdiam, menunggu gurunya untuk menjelaskan segala maksud dan tujuan dari dipanggilnya dirinya ke ruangan Hokage.

"Sakura, aku tahu ini adalah masalah pribadimu, tapi izinkan aku untuk bertanya," ucapan Kakashi berhenti dan menatap Sakura yang sekarang menganggukkan kepala. "Apa kau sedang ada masalah dengan Neji?" bola mata emerald itu terbelalak, sebelum sang Wanita mengalihkan tatapan untuk menghindari sorot mata menyelidik Kakashi.

"Sakura, aku tahu kadang-kadang di dalam pernikahan pasti ada saja yang terjadi, termasuk perselisihan. Walau, seharusnya memang bagimu mungkin sangat tidak masuk di akal ketika mendapatkan nasihat dari seorang bujang sepertiku. Namun, Sakura, Neji beberapa kali terlihat kehilangan fokus dan melamun di saat menjalankan misi. Hal itulah yang membuatnya terluka, bahkan beberapa kali pula Lee dan Tenten menegur Neji."

Kembali bola mata emerald itu terbelalak, menatap sang Guru tidak percaya.

"Sensei, maafkan aku. Kami memang ...."

Menghela napas, sekarang sebelah tangan Kakashi membelai kepala Sakura. Memberi muridnya itu semangat dan kekuatan.

"Tidak apa, tetapi cobalah untuk menyelesaikannya. Dibicarakan baik-baik dan mencari jalan keluarnya bersama. Aku tahu, berat bagimu untuk menikah dengan Neji, kau pasti sangat menderita Sakura, tapi kau memiliki kami yang selalu akan bersamamu."

"Tapi, Sensei, ini sangat sulit. Neji benar-benar tidak bisa ditebak, hingga akhirnya hanya akan ...." Suara Sakura tersendat, ia tidak melanjutkan karena air matanya nyaris mengalir.

Melihat hal itu, kembali telapak tangan Kakashi membelai rambut merah muda pada kepala Sakura.

"Sakura, aku tidak tahu masalah seperti apa yang sekarang kau hadapi dengan Neji. Tapi, seperti yang kukatakan, kau memiliki kami. Sekarang coba kau pikirkan, kenapa Neji bisa sampai cedera parah karena kalian memiliki masalah?" Sakura terdiam, bola matanya berkedip, dan air mata pun mengalir. "Neji dan kau tidak sama, Sakura. Kau adalah gadis ceria yang mudah membagi isi hatimu kepada orang yang kaupercaya, kau memiliki ayah dan ibumu, aku, sahabat dan orang-orang terkasih, tetapi tidak dengan Neji. Sejak kecil kedua orang tua Neji telah tiada, ia menjadi pribadi yang membenci Souke-nya karena takdir Bunke, ia tertutup dan jika bukan karena Naruto, sudah pasti ia masih membenci Souke."

Bisa kau bayangkan bagaimana Neji terjebak di dalam masalahnya seorang diri, mencari jalan keluar yang mungkin sulit ia gapai. Ia menjadi frustrasi, hingga akhirnya mempengaruhi misi yang dijalankannya, Sakura. Dan kau adalah istrinya sekarang, bukan cuma kau yang mungkin merasa tertekan dengan pernikahan ini karena kuyakin Neji pun mengalami hal yang sama."

Anggukan kepala terlihat, Sakura sekarang benar-benar ingin menangis, memang semua ini kesalahannya karena mendiamkan masalah hingga berlarut dan akhirnya Neji mengalami cedera ketika menjalankan misi.

"Coba perlahan buka hatimu, kini dia adalah suamimu, Sakura. Kalian sudah menikah, dan janji suci itu sakral. Neji sekarang berada di rumah sakit dan sedang tidak sadarkan diri, coba kau pandangi wajahnya ketika ia terlelap, pandangi ia ketika membuka matanya, pandangi ia ketika berbicara dan tersenyum. Lihat isi hatinya dan terimalah perasaannya yang sudah bersedia untuk menjadi suamimu. Tidak perlu membicarakan cinta, Sakura. Terimalah Neji, terimalah dirimu sebagai istrinya dan terimalah pernikahan kalian ini. Perlahan-lahan, hatimu yang kosong dan dingin itu akan terisi kembali dengan kehangatan."

Tidak tahu harus menjawab apa, sekarang Sakura menghamburkan tubuh ke pelukan gurunya itu dan menangis terisak-isak karena rasa bersalah.

.

.

.

Besambung

Erza Note:

Scenenya udah banyak Erza potong, tetapi tetap udah panjang banget sampe 4k gini huhuhuu.

Ya sudahlah tidak apa-apa, yang walau tidak sesuai target, karena Erza pinginnya chap ini sampai Neji sadar, ternyata scene itu nanti di chapter depan huhuhu.

Duhhh, sialan Lu Yukkk KireiApple19 gue jadi buet lime.  Awas lu ya di ff NejiSaku lu gak buat lime juga.

Aihhh, ini sedihhhh huhuhu, tapi gak papa bentar lagi mulai baikan heheheheh.

Ok, Erza gambar Neji Sakura saling tiduran itu semoga suka, bener-bener ngasal sampai sejelek itu ya huhuhuu. Nanti kalau udah beli tab bisa gambar digital lagi. :")

Jangan lupa komen dan vote nyeheheh.

Salam sayang dari istri Itachi,

zhaErza.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top