8. Upacara Terakhir dan Kegagalan

Cold Heart
Story © zhaErza
Naruto © Masashi Kishimoto
.
.
.
Chapter VIII
Upacara Terakhir dan Kegagalan
.
.
.

Upacara berbagi sake adalah pengantar sebelum melakukan percintaan di malam pengantin, masing-masing dari mereka akan diberikan tiga cawan yang memiliki filosofis tersendiri. Untuk istri, dari ketiga cawan memiliki makna cinta, kesetiaan dan kerelaan, sedangkan untuk suami bermakna, cinta, melindungi dan membahagiakan.

Tentu saja, masing-masing dari mereka sudah dibimbing dahulu mengenai cara melakukan upacara ini. Tidak terlalu sulit, sebab mereka akan berbagi setiap tegukan dari sake satu sama lain, dari mulut ke mulut. Tujuannya, untuk menegaskan bahwa sekarang mereka telah memiliki ikatan dan akan berbagi dalam rasa suka maupun duka.

Sakura menundukkan kepala, ketika Neji mulai lebih mendekatkan diri kepadanya, gadis yang baru saja dipersunting itu mengembuskan napas. Mereka sekarang duduk saling berhadapan.

"Tiga cawan pertama, aku yang akan membaginya untukmu, Sakura."

"Ah, i-iya."

Menggerakkan tangannya, Neji mengambil secawan sake, kemudian membawanya mendekati bibir. Matanya yang perak menatap Sakura, pandangan mereka saling menumbuk dan istrinya itu pun menganggukkan kepala. Neji menyesab minuman beralkohol itu, menahannya dengan tidak meneguk dan menipiskan bibir.

Menghela napas, kembali ia menatap Sakura untuk mencari tahu apakah gadis itu sudah bersedia? Dan kembali anggukan terlihat. Neji mendekatkan diri, menggunakan sebelah tangannya untuk menyentuh pundak Sakura dan menahannya, ia menggunakan lutut untuk menyangga agar lebih tinggi dari si musim semi. Satu tangannya lagi kini memegangi wajah Sakura, membimbing istrinya itu untuk agak mendongakkan kepala.

Kelopak mata Sakura berkedip, emeraldnya memantulkan wajah Neji yang menatapnya bergeming, kemudian ketika laki-laki itu mulai menghapuskan jarak, Sakura pun memejamkan matanya.

Napas sang Bunga tertahan, ketika ia merasakan hidung Neji bersentuhan dengan hidungnya. Ditambah lagi, sekarang jantungnya berdetak teramat kencang. Bibir tipis laki-laki itu mulai berada di bibirnya yang memang sudah membentuk celah untuk mempermudah upacara terakhir ini, dan ketika bibir mereka saling bersentuhan, Neji dengan perlahan membuka mulutnya. Pria Hyuuga itu memindahkan cairan beralkohol ke dalam rongga terbuka itu.

Menyecapnya, Sakura mengerutkan alis karena mendapatkan rasa panas terbakar yang mengalir ke kerongkongan ketika ia teguk. Sengatan bau sake pun tercium jelas olehnya.

Masih memejamkan mata, sekarang perlahan wajah Sakura tertunduk, tidak ingin menatap laki-laki di hadapannya. Napasnya ia hela dengan teratur, sengatan di tubuh yang membuatnya merinding pun perlahan mengabur dan ia merasakan tangan Neji meremas pelan bahunya.

"Kau baik-baik saja, Sakura?" laki-laki itu masih ada di hadapannya, menelisik reaksi Sakura terhadap kegiatan upacara terakhir ini.

Menggelengkan kepala, sekarang permata hijau itu menatap Neji.

"Hanya ... belum terbiasa, Neji-san," lirih suara Sakura, gadis itu terlihat berkeringat karena pengaruh dari alkohol yang memasuki tubuh.

"Sake ini sepertinya keras, dan kau tidak tahan dengan alkohol." Neji mendesah, memandang lima cawan lagi yang tersisa.

Mengerutkan alis, tiba-tiba Sakura tersentak. Ia pun mengerucutkan bibir karena mengingat bahwa dirinya merepotkan Neji ketika mabuk di acara perkumpulan rookie sembilan.

"Aku mungkin memang akan mabuk, tapi kalian 'kan sudah menyegelku, Hyuuga." Sakura menunjukkan gelang yang ada ditangannya, dan ia sekarang menjadi kesal kembali. Menghela napas untuk menenangkan diri, ia pun menatap Neji dengan tampang merajuk.

"Aku benar-benar minta maaf prihal gelang segel, Sakura."

"Ck, sudahlah. Lebih baik kita teruskan saja agar bisa bersegera tidur." Tiba-tiba Sakura tersentak, menatap Neji yang berwajah datar-datar saja. "Jangan memikirkan yang tidak-tidak, maksudku adalah tidur mengistirahatkan diri dan lagi pula aku ... tidak siap untuk melakukannya. Aku ... aku hanya ingin melakukannya bersama dengan orang yang kucintai." Tiba-tiba suara Sakura mengecil, akhirnya ia mengatakan isi hatinya, tidak ingin dan belum siap untuk langkah terakhir setelah upacara berbagi sake.

Neji tersenyum maklum dan menganggukkan kepala mengerti.

"Aku mengerti, kalau kau belum siap maka aku pun tidak akan memaksa."

Mata Sakura membesar, sekarang ia benar-benar merasa lega.

"T-terimakasih, Neji-san." Padahal sebelumnya ia kira Neji akan tetap melakukan hubungan suami-istri karena memang seharusnya seperti itu, walau dia tidak menginginkan apalagi dirinya telah disegel dan kekuatannya bukanlah apa-apa dibandingkan Hyuuga Neji.

"Hm, sekarang masih ada lima cawan lagi. Ayo, lanjutkan."

Mereka sekarang sama-sama melempar senyum dan sepertinya Neji benar-benar mau merubah diri dengan berbagi pikiran dengannya, entah kenapa Sakura sekarang merasa teramat lega dan bisa kembali ceria.

Cawan kedua diteguk dan kembali dibagi kepada Sakura, begitu pula dengan cawan ketiga, dan saat ini Sakura sudah mulai merasakan kepalanya berputar. Ia mengurut pelipis dan menjatuhkan wajah ke dada Neji. Beberapa keluhan tidak mengenakkan terdengar, mengerti dengan keadaan Sakura, Neji pun membantu istrinya itu dengan memijat pelan kepala merah muda tersebut.

Merasakan seluruh tubuhnya panas dan bergejolak, tetapi ia masih bisa menjaga pikirannya agar tidak hilang kendali, Neji bertanya kembali dan Sakura hanya membalas dengan anggukkan kepala. Sekali lagi meyakinkan, Sakura pun mengambil cawan sake dan menyesapnya, seperti yang Neji lakukan kepada tiga cawan sake sebelumnya. Sekarang giliran Neji yang duduk dan Sakura yang berlutut, mata gadis itu terlihat sayu, wajahnya memerah dan dahinya agak berkeringat.

Kedua tangan Sakura merangkul pundak dan leher Neji, mata dengan pupil emerald itu terpejam dan bibirnya mulai mencari celah dari bibir.

Alis Neji berkerut, meraskan dan melihat bagaimana gadis yang sekarang berganti marga dengan Hyuuga itu membagi sake pada upacara ini. Gadis itu menyesep bibirnya, sambil menuangkan cairan beralkohol, sesekali memangut bagian bibir atas dan bawah. Tentu, kelopak matanya berkedip, dan ia menyadari bahwa Sakura sudah benar-benar mabuk. Sake menetes dari sela hingga ke dagu, dan Sakura sekarang memeluk erat tubuh Neji dan naik kepangkuannya.

Mencoba menghentikan, ia pun memengang kedua pundak Sakura dan mendorongnya dengan perlahan.

"Sakura? Sebaiknya kau istirahat." Laki-laki itu menghela napas, ia menahan kepala Sakura yang terus saja mencoba mendekatinya, menyentuhnya dengan bibir gadis itu. Menatap dua cawan yang tersisa, bagaimanapun Neji harus meminumnya terlebih dahulu, maka ia pun menggerakkan tangan dan menenggaknya.

Akibat hanya menahan tubuh Sakura dengan satu tangan, ia mendapatkan ciuman gadis itu pada leher dan rahang. Sepertinya itu akan meninggalkan jejak.

Mengangkat tubuh Sakura, Neji terbelalak ketika pandangannya berputar secar tiba-tiba dan ia terjatuh dengan lutuh menahan tubuh. Memejamkan mata, ia pun menggunakan sebelah tangannya untuk memijat pangkal hidung, sekarang tiba-tiba kepalanya terasa berat karena pusing yang mendera.

"Gh, apa yang ...." Sebisa mungkin, ia harus sampai ke ranjang. Jangan sampai mereka tidur di atas lantai dengan keadaan mabuk seperti ini. Gadis digendongannya itu masih memeluk erat, menatap wajahnya yang merah padam dengan mata sayu.

"Aku ... rindu," bisik Sakura, mereka ada di atas ranjang sambil saling bertatapan. Sebelah tangan Sakura mengelus wajah Neji, bibir dan rahang laki-laki itu. "Sasuke-kun," lanjutnya parau.

Tangan Neji menyentuh belakang leher Sakura, menatap gadi itu marah, pengaruh alkohol menghilangkan kewarasannya. Ia mendekatkan wajah dan mencium istrinya itu dengan sesapan yang dalam. Tentu saja, gadis itu membalasnya, tanpa tahu apa yang tengah terjadi di antara mereka. Lidah gadis itu menggoda, dan Neji meraup semuanya. Mabuk kepanyang atas janji yang telah dilanggar, mereka berada di atas awang, sama-sama telah kehilangan kewarasan.

Tubuh itu dibelai, menatap penuh damba terhadap sosok yang dikira paling dicinta. Tersenyum, Sakura memeluknya erat ketika merasakan leher dan pundaknya diberikan jejak-jejak dari aktivitas mereka. Satu persatu pakaiannya dilepas, gadis itu sudah memejamkan mata, napas-napasnya teratur walau desahan di bibir masih terdengar juga. Malam itu, sepasang suami istri memadu kasih tanpa menyadari aktivitas yang tengah mereka lakukan.
.
.
.

Pagi menjelang setelah hari pernikahan, suasana kediaman inti Hyuuga terlihat sudah menjalankan aktivitas seperti biasa. Pelayan-pelayan berhilir-mudik untuk mengurus keperluan sarapan dan juga membereskan sisa-sisa dari acara kemarin. Hinata turun dari ranjang untuk menyiapkan peralatan mandi, hari ini keluarga inti dan para tetua akan makan bersama mereka dan pengantin baru, maka haruslah ia membagunkan suaminya lebih pagi agar mereka tidak terlambat.

Setelah memastikan suhu air sudah pas, ia pun terlebih dahulu membersihkan diri. Memakai kimono yang telah disediakan, sekarang giliran Naruto untuk dibagunkan, walau tidak mudah ia akan tetap bersabar.

Mengoyangkan bahu lelaki berambut kuning itu pelan, sama sekali tidak berpengaruh karena Naruto masih berada di dalam kondisi mabuk setelah semalaman merayakan pesta sahabat dan kakak sepupunya. Beberapa kali berusaha, barulah Naruto terlihat membuka mata.

Mengeluh pelan, Naruto memejamkan matanya lagi, dan Hinata pun memaksa agar suaminya itu duduk agar tidak mengantuk.

"Naruto-kun, hari ini kita harus sarapan bersama keluarga inti dan pengantin, kita tidak boleh terlambat." Kedua tangannya menepuk-nepuk pelan pipi Naruto, hingga ia mengguncangkan tubuh lelak itu, barulah Naruto benar-benar membuka mata.

Menghela napas, Hinata tersenyum, dan membantu suaminya untuk melangkah ke kamar mandi.

"Masih pusing?"

Menggelengkan kepala, Naruto hanya menggumam kalau ia masih teramat mengantuk sambil menguap lebar.

Sama halnya seperti Hinata, Mebuki juga tengah kesusahan membangunkan ayah dari Sakura yang masih tergeletak tak berdaya di atas futon. Laki-laki Haruno itu mendengkur keras walau berulang kali dibagunkan istrinya. Memijat kepala pusing, Mebuki pun memutuskan untuk mandi terlebih dahulu barulah mengurusi suaminya.

Ibu dari satu anak itu, kemudian menatap wajahnya di depan cermin. Menghela napas membayangkan apakah pernikahan ini adalah hal yang tepat yang sudah mereka putuskan. Mengingat, anaknya begitu keras kepala untuk terus mencintai laki-laki yang telah tiada. Ia sendiri sudah mendengar bahwa Hyuuga Neji tidak memiliki hubungan dengan gadis manapun, yang berarti kemungkinan ada kesempatan untuk anaknya dicintai lelaki itu, tetapi bagaimana dengan perasaan Neji? Apakah laki-laki itu memiliki kesempatan untuk mendapatkan cinta istrinya kelak?

Kemarin adalah malam pengantin anaknya, ia bertanya-tanya dengan perjodohan seperti ini, apakah pasangan itu telah melakukan hal semestinya atau malah Neji mengalah karena kemungkinan lelaki itu juga menyadari bagaimana perasaan anak perempuannya. Apalagi, ketika pernikahan Neji hanya mencium dahi Sakura. Sebagai rekan sesama ninja dan cukup sering berkumpul bersama, pasti Neji juga mengetahui kisah cinta putrinya itu.

"Apakah Sakura sudah menjalankan tugas pertamanya sebagai seorang istri?" Mebuki menggumam, sorot matanya sedih memikirkan sepasang pengantin baru. Ia hanya ingin kedua orang anaknya itu berbahagia, semoga saja pernikahan ini akan berjalan dengan semestinya dan dibalut cinta.

.
.
.
Sepasang pengantin tertidur sambil saling memeluk masing-masing dari tubuh. Napas mereka teratur, beberapa saat setelahnya sang Lelaki menggeliat pelan, menyamankan diri dan mempererat pelukan kepada sosok di dekapan.
Merasakan gerakan yang melingkupi tubuh, sang Wanita pun terbagun, dan mengerjabkan mata. Ketika pandangannya sudah fokus, yang dilihat adalah dada bidang seorang lelaki, ia pun berkedip beberapa kali dan sontak membelakkan pupil emerald.

Napas Sakura tertahan, tubuhnya tiba-tiba menjadi kaku. Apa yang terjadi? Kenapa sosok yang memeluknya tidak memakai pakaian? Kemudian, ia kembali merasakan tangan sang Pria yang bergerak menggeratkan pelukan di punggungnya, menyadari hal itu jantungnya berdekat kencang bukan main. Mencoba menenangkan diri, Sakura melepaskan tangan Neji dengan perlahan, ia mendengar keluhan tidak jelas dari laki-laki itu, sebelum melihat tubuh Neji yang kemudian membalikkan posisi dan tertidur telungkup.

Punggung telanjang itu tertangkap oleh penglihatannya, tubuhnya bergetar ketika ia mendudukkan diri.

Kepalanya mendadak pusing, efek dari alkohol sekarang menguasainya, ia memijat pelan pelipis dan batang hidung. Napasnya seperti sesak, menyadari apa yang telah terjadi di antara mereka hingga air matanya mengalir begitu saja.

Makin lama, suara isakannya terdengar. Sakura merasa kecewa, apa Neji mengambil kesempatan dengan keadaannya yang mabuk? Mengingat lelaki itu tidak mudah untuk mabuk, kenapa dia kejam sekali? Bukankah dia telah berjanji, bukankah mereka telah membagi pikiran bersama dan saling mengutarakan isi hati? Lalu, kenapa akhirnya ia menelan kekecewaan seperti ini?
Ia masih belum siap dengan keadaan ini, apalagi dalam kondisi mabuk dan dimanfaatkan. Daripada seperti ini, jika laki-laki itu menginginkannya, lebih baik laki-laki itu memaksanya dan mengasarinya sekalian. Tidak dengan seperti ini atau bisa mengatakan bahwa ini adalah tugasnya sebagai istri, mungkin saja ia akan memberikannya walau hatinya remuk seketika. Namun, saat ini rasanya lebih buruk daripada apa pun. Neji membohonginya, dia hanya bisa membuat dirinya kecewa.

Mendengar suara isakan terus menerus, alis mata Neji berkerut, ia membalikkan tubuh dan tertidur telentang sekarang. Sinar matahari masuk dan mengenggu lelapnya, belum lagi isakan yang didengar.

Kelopaknya berkedip, matanya terbuka sedikit dan ia mengernyit menyadari sinar mentari pagi. Merasakan pusing, ia mengeluh pelan dengan geraman. Menjambak pelan rambut di pangkal kepalanya dan menarik napas.

Menggerakkan tubuh, Neji mendudukkan diri, menggunakan  sebelah tangan sebagai tumpuan sementara yang satunya memijat belakang leher. Sekali lagi, telinganya menangkap suara isakan dan ia pun menolehkan wajahnya, menghadap sosok yang duduk menundukkan kepala ke lipatan lutut dan masih juga menangis dengan lirih. Bola mata perak itu membesar seketika, terkejut bukan main atas apa yang disaksikannya terhadap diri Sakura.

Menyadari ketelanjangannya, Neji pun menahan napas. Ia tidak ingat apa yang terjadi, setelah menyadari Sakura tertidur kemarin malam, ia pun meminum dua cawan sake terakhir dan ia merasa pandangannya berputar, kemudian ia tidak ingat. Benar-benar tidak bisa mengingat.

Bagaimana ini? Pasti ia sangat melukai Sakura, ia berjanji kemarin malam untuk mengindahkan keinginan yang masih belum siap untuk dijamah. Dan sekarang, ia menyaksikan hasil dari perbuatannya, walau ia dalam keadaan mabuk saat menyentuh Sakura.

"Sakura," ucapnya kaku, jakunnya naik turun karena menelan saliva. Tubuh Sakura menegang karena mendengar suaranya, membuat mental Neji semakin anjlok saja.

Tidak tahu harus mengatakan apa, ia pun menjelaskan yang terjadi.

"Aku ... aku tak tahu melakukan ini, aku—"

"Hentikan ... tidak ada gunanya," bisik gadis itu, sesegukan dan mengangat wajahnya. Neji semakin merasa bersalah, ia menundukkan pandangan karena tidak kuasa melihat kesedihan Sakura, lagi-lagi ia membuat kesalahan dan kekecewaan. Namun, benarkah ini kesalahannya? Sakura harus mengetahui yang sebenarnya, ia tidak ingin Sakura kecewa karena ia memang memegang janji.

"Aku tidak ingat, Sakura. Aku juga mabuk, sakenya terlalu keras. Aku benar-benar minta maaf atas semua ini," lirihnya, sebelah tangan mencoba menyentuh kepala merah muda itu, tetapi dihentikan oleh Sakura.

"Aku ingin sendirian," ucap wanita itu lirih. Dan Sakura pun mengambil kimono yang berceceran di lantai dan memakainya, ia merasa lelah dan bebannya kembali bertambah. Ia menggerakkan kaki dan berdiri, sekarang sengatan rasa sakit dirasakannya pada dirinya yang paling pribadi.

Melangkah, ia menghapus air mata dan kemudian berhenti untuk menatap Neji.

"Aku bodoh, mengharapkan yang tidak sepantasnya. Tidak usah dibicarakan lagi, kita sudah menikah 'kan?" Sakura berkata dengan intonasi dingin, air matanya mengalir lagi, menatap Neji teramat kecewa. "Setalah ini kau bebas melakukannya sebagai suami, itu tujuan mereka bukan? Menikahkan kita." 

Bantingan pintu terdengar, dan sepeninggalan wanita itu Neji terdiam dan mencengkeram belakang lehernya hingga berdarah. Selalu seperti ini, selalu akhirnya akan terulang dengan kekecewaan Sakura terhadap dirinya. Napas Neji terasa memberat, kepalanya menunduk dan ia pum menatap buku-buku jari yang berhiaskan darah.

Apa yang harus ia lakukan? Segalanya telah menjadi lebih buruk daripada yang ia harapkan. Ia memang lebih baik membusuk bersama hukuman di penjara. Bersama Sakura,  yang ia lakukan hanyalah kegagalan. 

"Sebaiknya kau mandi, kita akan sarapan bersama tetua hari ini, jika kau lupa." Sakura menatap Neji, kedua tangannya bergerak menggosokkan handuk ke rambut. Tatapan mata Sakura dingin, kemudian ia menyunggingkan senyum. "Jangan lupa untuk tersenyum nantinya, agap saja kita sedang teramat bahagia, sesuai keinginan Hyuuga."

Neji tidak membalas perkataan Sakura, ia hanya bergerak memakai celana pendek hitamnya dan berjalan ke arah kamar mandi, melewati tubuh Sakura yang berdiri. Wanita itu membalikkan tubuh, menatap punggung Neji sebelum laki-laki itu membuka pintu.

"Apa kau ingin aku menggosok punggungmu, Suamiku?"

Kepalan tangan Neji mengerat, ulu hatinya berdenyut sakit, menolehkan wajah dan menatap Sakura dengan sorot teramat merasa bersalah dan sedih.

"Tidak, terimakasih ... Sakura." ia berjalan sambil menundukkan kepala, membuka pintu dengan pelan dan menutupnya, kemudian menyandarkan tubuh di pintu. Memejamkan mata, dan mendongakkan kepala ke atas, tiba-tiba ia merasa rindu kepada ayahnya.

Sebelah tangannya terangkat, menyentuh segel Bunke yang ada di dahinya.

Hari-hari seperti ini terus saja berlanjut, Sakura benar-benar menjadi istri yang baik dan patuh, membantunya melakukan banyak hal, dan tersenyum kepadanya. Namun, semua itu adalah kepalsuan, membuat dada Neji semakin nyeri dalam kubangan rasa bersalah. Ia semakin canggung, tidak berani hanya sekadar menggunakan ujung jarinya untuk menyentuh Sakura, apalagi mengetahui fakta jika setiap malam wanita itu menangis hingga kelopak mata dengan manik emerald membengkak.

Ingin sekali Neji menghapus air matanya, membelai pipi dan memberikan kekuatan, tetapi ia tidak berani melakukannya.

Perkataan meminta maaf pun tak kunjung terucapkan juga setelah Sakura menjadi teramat dingin, ia bahkan bisa tergagap ketika hanya ingin menyebutkan nama gadis itu. Berpikir sendiri, ia semakin tidak bisa menemukan jawaban, ia semakin dalam tenggelam di dalam rasa bersalahnya.

Pagi ini ia akan mengambil misi karena sudah satu minggu berlibur, ia tidak tahu apakah harus mengatakan hal ini kepada Sakura atau tidak, tetapi gadis itu ternyata bertanya lebih dahulu karena melihatnya memakai seragam misi yang biasa ia kenakan dan ikat kepala Konoha. Neji hanya menganggukkan kepala.
"Berapa lama?" Sakura tersenyum, tentu saja palsu dan berjalan mendekatinya. Sengatan menyakitkan itu kembali ia dapatkan di dada, apalagi menatap bola mata Sakura yang terlihat kosong dan lelah.
"Satu hari ... hanya mengawal ... Daimyo," ucapnya ragu, Neji mengalihkan pandangan ketika menyadari Sakura semakin dekat kepadanya.
Ia menahan napas, ketika merasakan Sakura memeluknya erat. Jantungnya berdetak teramat kencang, mendapati Sakura mengecup tulang selangka dan dadanya.
"Aku pasti merindukanmu, Suamiku," bisik Sakura, mendongakkan kepala hingga menatap wajah Neji yang menoleh ke samping untuk menghindari tatapannya.
"Aku harus pergi, Sakura." Intonasi suara Neji teramat kaku.
Sebelum Neji mengatakan sesuatu, Sakura sudah menempelkan bibirnya, memberikan ciuman pengantar kepada laki-laki itu. Setelahnya, Neji hanya bisa terdiam, kemudian berpamit untuk menjalankan misi.
Sakura mengantar sampai ke luar kamar, dan menatap kepergian laki-laki itu. Senyuman yang menghiasi bibirnya menghilang saat sosok Neji sudah tidak terlihat lagi, tergantian dengan wajah dingin tanpa ekspresi. Ia melangkah masuk, dan kembali mengerjakan pekerjaan sebagai seorang istri, menyetrika pakaian Neji yang memang sudah teramat rapi.
.
.
.
Bersambung

Erza Note:

Guys,  maklumnya kalau chap ini banyak typo dan kata gak efektif,  update satu hari setelah ngetik hueee hahahah. 

Mulmed itu gambaran Erza entah berapa tahun lalu, jelek banget astagaaa ngakak.  Kaku gitu wahahah. 

Huaaa kok nyesek banget astaga, nyesek hatinya nulisnya. Ekspresi kacau Neji kebayang banget pas ngetik udah nahan diri untuk gak nangis Bombay huhu, karena gak kuat Erza buat sampai di sini aja dulu. Ini udah nyaris 3k kok.

Aihhh, mereka saling menyakiti nih kalau gini terus, Neji juga udah canggung banget, takut salah langkah lagi jadi dia Cuma bisa diam karena gak tau harus ngapain.
Ok, jangan lupa komen dan vote. Hiks.
Salam sayang dari istri Itachi,
zhaErza.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top