25. Rumah Ayah dan Ibu

Cold Heart

Story © zhaErza

Naruto © Masashi Kishimoto

.

.

.

Chapter 25

Rumah Ayah dan Ibu

.

.

.

Rokudaime tengah berbicara kepada Hyuuga Neji, lelaki berusia teramat matang itu menganggukan kepala setelah mendengar penjelasan dari sang Ketua tim kelompok ini. Setelahnya, ia pun berdiri dan mendatangi si pemilik berkekkei genkai byakugan. Awalnya, Neji tidak tahu apa yang akan dilakukan Hatake Kakashi, lelaki itu sekarang berdiri di hadapannya dan tengah menepuk pundaknya.

Menghela napas, Kakashi menatap serius Neji.

"Aku turut berduka atas apa yang menimpamu dan Sakura, Neji."

Laki-laki yang disebut namanya itu melebarkan pupil, sebelum menganggukkan kepala dan mengucap terimakasih atas perhatian yang telah dilakukan guru dari istrinya itu.

"Ini semua adalah musibah yang tidak bisa dihindari, Rokudaime-sama."

"Aku mengerti, jangan menyalahkan diri, Neji. Dan mengenai Sakura, mungkin sekarang dia tengah dalam keadaan yang tidak terlalu baik, jadi aku ingin sekali lagi kau menyabarkan diri." Sekali lagi, telapak tangan Kakashi menepuk pundak lelaki itu. "Sakura hanya membutuhkan waktu, dan yakinlah semua ini pasti bisa kalian jalani, Neji."

Rasanya Neji benar-benar terharu dengan apa yang disampaikan guru dari Sakura, tidak menyangka bahwa lelaki bujang itu akan memberinya nasihat seperti ini. Tersenyum, Neji menganggukkan kepalanya dan berucap terimakasih sekali lagi.

"Oh, ya. Untuk beberapa saat sebaiknya tidak usah mengambil misi, begitu pula dengan Sakura. Sekarang, pergilah."

Membunggkukkan punggun, Neji pun memohon diri.

Selepasnya, ia langsung bertolak ke kediaman Hyuuga. Namun, di sana ia tidak mendapati sang istri berada. Kemungkinan sekarang Sakura berada di kediaman ayah dan ibunya, bagaimanapun suasana hati Sakura memang sedang tidak baik untuk saat ini. Seperti perkataan Kakashi ia pun mencoba lebih bersabar menjadi seorang suami, memang yang diperlukan istrinya itu adalah waktu dan juga kedua orang tua mereka.

Kediaman Haruno terlihat masih dihiasi duka, orang tua Sakura memang telah mendapatkan kabar dari Kakashi bahwa anak perempuan mereka mendapatkan cobaan terberat sebagai seorang calon ibu. Untuk itu, sekarang Mebuki masih memeluk buah hatinya. Membiarkan Sakura menangis di pundaknya, di samping tubuh istrinya, Kizashi menggunakan telapak tangan untuk mengelus kepala merah muda itu. Memberikan kekuatan dan menasihati bahwa semua ini pasti bisa mereka lewati.

"Kau baru saja pulang 'kan, jadi beristirahatlah terlebih dahulu, Sakura." Mebuki membawa anak perempuannya ke kamar Sakura, yang sekarang ranjangnya sudah ditukar ukuran cukup besar dan bisa menampung dua orang.

Setelah menutup pintu kamar, kedua orang tua itu saling menatap, menghela napas dan kembali ke sofa untuk berbicara.

"Apa Nak Neji sudah mengetahui Saki yang berada di sini?" Kizashi bertanya, bagaimanapun sekarang anaknya telah menjadi seorang istri, yang patutlah baginya memberi tahu suami jika ingin mengunjungi mereka.

Menggelengkan kepala, Mebuki mengatakan bahwa sepertinya Neji tidak tahu. Pasti Sakura sekarang tengah merasakan kemarahan kepada menantu mereka, mengingat isi surat itu menjelaskan bahwa Neji lah yang memutuskan untuk menggugurkan kandungan Sakura karena tiada harapan lagi bagi calon cucu mereka itu, dan untuk mencegah risiko lebih buruk yang bisa saja terjadi.

"Sebaiknya nanti kita beritahukan hal ini kepada Nak Neji, Ibu. Kalau perlu Ayah yang akan pergi ke kediaman mereka nantinya."

"Nak Neji pasti telah mengetahui hal ini, ke mana lagi Sakura akan pergi jika tidak ke rumah ini. Namun, apa itu tidak masalah?"

"Itulah yang ayah khawatirkan, sebaiknya Ayah pergi ke rumah mereka untuk memberitahukan hal ini dulu. Ayah hanya tidak ingin terjadi sesuatu yang tidak diinginkan lagi." Mengangguk mengerti, Mebuki pun membiarkan suaminya mengunjungi rumah menantunya.

Laki-laki paruh baya itu hanya ingin memberitahu mengenai keberadaan Sakura saja, hanya itu. Namun, ternyata dirinya malah sekalian mengunjungi paman dan juga kakeknya Neji.

.

.

.

Lelaki Hyuuga itu mengantarkan ayahnya sampai ke depan gerbang dari distrik Hyuuga, ia menganggukkan kepala dan tersenyum. Belum lepas sunggingan di bibir, ia malah dihadiahi pelukan oleh mertuanya itu.

"Kau harus bersabar, ya, Nak Neji. Mengenai Saki, nanti akan Ayah tanyakan lagi apa ia tetap berkeras ingin tinggal di rumah."

"Terimakasih, Ayah. Tidak apa, jangan ditanyakan, biarlah Sakura menenangkan dirinya bersama kalian. Untuk saat ini, Sakura hanya memerlukan perhatian Ayah dan Ibu." Laki-laki itu tersenyum. "Aku memohon bantuan Ayah dan Ibu." Kepalanya menunduk, menunjukkan keinginan yang mendalam untuk dikabulkan orang tua dari istrinya.

Kepalanya sekarang dipengan lengan lelaki Haruno itu, wajah hangat dan ceria dari Kizashi membuat perasaan Neji menjadi lebih baik.

"Tidak perlu mengatakan hal sedemikian, Saki dan Nak Neji akan selalu menjadi anak kesayangan kami. Nah, kalau begitu Ayah permisi dulu, berkunjunglah jika kau merindukan Saki, Nak Neji. Dia pasti juga menunggumu."

Dengan ucapan itu, maka Kizashi melangkah menuju kediamannya. Ia tahu Sakura adalah pribadi yang keras kepala, dan Neji adalah sosok yang begitu tegas. Namun, bisa ia rasakan ikatan anak perempuannya dan lelaki Hyuuga ini begitu kuat. Dalam batin, Kizashi menghela lega, menyaksikan dua orang muda-mudi yang sekarang terpisah jarak, tetapi saling merindukan. Semua persepsi yang terpikir olehnya karena ia yakin Sakura telah jatuh hati dengan Hyuuga Neji.

.

.

.

Satu minggu berlalu, setelah memberikan Sakura waktu, Neji memutuskan untuk datang ke kediaman mertuanya itu. Menghela napas, sebelum mengetuk pintu ia meyakinkan diri terlebih dahulu, lebih tepatnya menyiapkan mental karena ingin mengetahui apakah Sakura sudah bisa menerima kehadirannya atau malah sebaliknya.

Menghilangkan stigma negatif, Neji kemudian membulatkan tekat dan mengetuk pintu di hadapannya. Menunggu beberapa saat, hingga dirinya mendengar sahutan dari sang Mertua.

Tebukanya pintu, membuat Neji menyunggingkan senyuman dengan agak sungkan, tetapi ketika melihat wajah cerah Mebuki, segala keraguannya pun hilang. Tangan Neji terangkat, menyerahkan bungkusan yang dibawanya.

"Masuklah, Nak Neji."

Mereka melangkah bersama, di sana telah duduk sang Ayah yang menghitung sesuatu dengan sebuah kalkulator, lelaki berambut bak kelopak Sakura itu menatapnya dan tersenyum ceria.

"Ah, kau datang, Nak Neji, kemarilah. Dan Ibu, cepat buatkan minuman."

"Jangan merepotkan diri, Ayah, Ibu."

"Sudah-sudah, cepat kemari."

Mereka berdua duduk, Neji dan Kizashi saling menanyai kabar masing-masing. Walau terlihat agak kaku, tetapi sang Hyuuga menikmati interaksinya dengan keluarga dari istrinya ini. Mata yang bak purnama pun tengah mencari-cari keberadaan Sakura, tetapi dari tadi ia tidak menemukannya.

Duduk di samping Neji, Kizashi yang mendapati menantunya tidak menyahuti pertanyaannya, pun menatap lelaki berambut panjang itu. Bibirnya tersenyum tulus dan kemudian ia mengatakan bahwa Sakura berada di kamarnya.

"Dia sedang tidak enak badan, Nak."

Beberapa saat kemudian, datanglah Mebuki yang membawakan teh dan camilan. Menyesap minuman hangat itu, Neji merasa dirinya lebih rileks.

Langit yang menyebarkan sinar kemerahan bercampur dengan oranye, membuat Mebuki berpamit kembali untuk menyiapkan makan malam. Setelah melihat ibu mertuanya memisahkan diri, Neji pun menghirup dan mengeluarkan napas dengan perlahan. Ia menatap ayah mertuanya dan mengatakan bahwa dirinya ingin menemui Sakura.

"Pergilah, Nak. Sakura membutuhkan dirimu."

Menganggukkan kepala dan menyunggingkan senyum karena telah mendapatkan restu dari orang tuanya itu, Neji pun merasa lebih percaya diri. Ia berjalan dan mendapati pintu kamar istrinya yang tertutup rapat, menarik napas sejenak, telapaknya menggenggam kenop pintu.

Tentu saja ruangan itu tidak terkunci, ia membukanya secara perlahan dan menemukan celah yang memperlihatkan ruangan. Membuakanya semakin lebar, Neji pun melangkah masuk.

Tidak seperti sebelumnya, yang pertama kali ditemukan Neji adalah tempat tidur yang lebih lebar dan keberadaan sang Istri yang sedang tertidur miring membelakangi dirinya. Mendekat, ia pun menatap sejenak wanita berambut merah muda itu. Kerinduan benar-benar memuncak di dadanya, ingin sekali ia merengkuhnya dan menghujani wajah itu dengan ciuman. Namun, yang bisa ia lakukan hanyalah duduk di pinggir ranjang.

Terlihat di nakas semangkuk bubur yang hanya habis setengahnya dan juga piring kecil yang berisikan obat dan sebuah tulisan 'jangan lupa diminum, Saki', dan segelas air yang masih cukup penuh. Melihat hal ini, telapak tangannya menyentuh kepala Sakura, memeriksa suhu tubuh wanita itu yang memang lebih panas daripada normalnya.

Membelai pipi kemerahan itu, Neji membangunkan Sakura dan tentu saja tidak semudah yang ia kira. Sakura seperti setengah sadar, dan hanya menggumamkan sesuatu yang kurang jelas apa.

"Kau harus meminum obatmu," bisik Neji. Dirinya mengangkat ceruk leher Sakura, mendudukkan wanita itu dan menjadikan dirinya sebagai sandaran.

"Nanti saja, Saki sangat mengantuk."

Namun, Neji tetap mengambil obat tersebut, dan memasukkannya dengan perlahan ke mulut Sakura, setelah itu ia memberikan gelas ke dekat bibir yang cenderung pucat, maka jadilah Sakura menelan obatnya.

"Dihabiskan airnya, agar kau berkeringat." Mematuhi perintah tersebut, Sakura menenggak air hingga tandas.

Setelahnya ia menjatuhkan kepala ke dada sosok yang tengah memeluk dan menyingkirkan anak poni di dahinya. Mata Sakura masih terpejam, ketika menyadari sesuatu yang familier, Sakura menggumamkan sesuatu.

"Ayah, wangimu," bisik Sakura, menekankan hidungnya ke dada lelaki yang ia kira adalah ayahnya. "Wangimu," gumamnya lagi, sekarang Neji memberikan ciuman pada pelipis yang agak berkeringat itu, menekan bibirnya untuk beberapa saat di sana.

Sebelah tangan Sakura bergerak, mengelus wajah sang Lelaki dan tidak mendapati jambang dan bakal janggut ayahnya yang seharusnya menghiasi wajah. Malahan, kulit teramat lembutlah yang ia rasakan. Kelopak mata Sakura terbuka, menatap leher dan surai gelap yang ia kenali. Untuk meyakinkan diri, ia menggunakan tangannya sekali lagi dan membelai kepala Neji.

Walau masih lemas, Sakura berusaha menegakkan diri, mendapati mata seindah mutiara yang menatapnya dengan begitu intens. Berkedip beberapa kali, pandangannya yang kabur sekarang menjadi terang. Sebelah telapaknya membelai rahang tegas lelaki yang adalah suaminya ini.

Menjatuhkan kepala, dahi Sakura tepat menyentuh bibir Neji, ia menangis sambil menggumakan nama lelaki itu.

"Neji, Neji," bisiknya, merengkuh tubuh lelaki itu erat.

"Ya, ini aku, Sakura."

"Neji... aku rindu." Setelah terucapnya kata itu, Neji menggerakkan bibirnya untuk menghujani wajah Sakura dengan ciumannya. Memberikan gestur bahwa ia pun merasakan hal yang sama terhadap sang Bunga.

Memeluknya erat, Neji berbisik bahwa dirinya benar-benar bahagia bisa bersama Sakura kembali dan memberikan ciuman sekali lagi pada pundak wanita itu.

"Aku minta maaf, Neji." Sekarang Sakura mengkat wajahnya. "Aku kira aku begitu membencimu, tetapi aku salah."

"Wajar bagimu berpikir sedemikian, ini bukan kesalahanmu, Sakura."

Wanita itu menggelengkan kepala.

"Aku hanya diperdaya kekecewaan, seharusnya aku bisa lebih menyikapinya."

Wajah Sakura dibelai, Neji menghapus air mata yang terus mengalir dari emerald. Menggelengkan kepala, ia mengatakan agar Sakura jangan menyalahkan diri lagi. Ini semua adalah pembelajaran bagi mereka semua, dan karena hal ini mereka mendapatkan hikmah untuk bisa saling mempercayai dan memafkan.

Mengendalikan dirinya, Sakura pun menganggukkan kepala.

Kedua tangan Sakura kini bergerak membuka kancing atas dari pakaian Neji, lelaki itu mengerutkan alis atas apa yang dilakukan istrinya. Setelah terbuka beberapa kancing, Sakura mendekatkan wajahnya, mencium tepat di tengah dada lelaki itu.

"Terimakasih karena telah memberikan hatimu, Neji." Kembali ciuman diberikan di sana. "Aku bahagia karena telah membalas cintamu." Pupil sejernih mutiara itu membesar karena mendengar bisikan Sakura yang sekarang masih meletakkan bibirnya di tengah dada Neji.

Laki-laki itu mengenggam bahu Sakura, menatap wajah istrinya yang sekarang tersenyum bahagia. Diberikan wanita itu ciuman, mereka memejamkan mata, di dalam suka dan rasa cinta yang saling terbalaskan. Telapak tangan Neji berkaitan dengan tangan Sakura, membimbing wanita itu untuk memperdalam rasa yang sedang mereka bagi. Tiada rasa tak mengenakkan di hati, hanya ada keinginan untuk saling memiliki.

Sekarang Sakura memahami, bahwa hatinya yang dingin karena ditinggal orang terkasih akhirnya bisa terobati. Tidak mudah untuk mendapatkan segala yang mereka cap sebagai kebahagiaan, nyatanya ikatan pernikahan antara dirinya dan Neji mengalami halangan untuk mencapai kesempurnaan.

Memberikan cintanya kepada lelaki itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, cinta masa lalu yang bersarang begitu lama membuatnya skeptis dengan hubungan ini. Namun, Neji akhirnya membuktikan, bahwa yang mereka perlukan untuk saling membahagiakan adalah sebuah kerelaan, untuk dicintai dan mencintai.

.

.

.

Makan malam keluarga kecil Hyuuga dan orang tua mereka begitu diiringi dengan suka cita, Neji dan Sakura yang saling tersenyum bahagia, lelucon ayahnya yang terkadang membuat ibunya mendesah pasrah dan hidangan yang menggugah selera. Hari ini, adalah hari terspesial bagi Neji dan Sakura, diiringi dengan kebersamaan keluarga adalah hal terindah yang patut mereka syukuri.

"Saki, ayo tambah nasihnya, Sayang. Seminggu ini kau benar-benar seperti orang yang tidak punya napsu makan." Mebuki menghela napasnya dengan senyum di bibir, apalagi ia mendapati mata anaknya itu yang melotot ketika Neji tersenyum usil.

"Sudah, sudah. Ayo makan dulu, ayah juga benar-benar berselera karena akhirnya Saki bisa ceria lagi."

"Ayah!" teguran Sakura membuat Mebuki terkiki dan dihadiahi raut cemberut oleh anaknya.

Di samping istrinya, Neji hanya menggelengkan kepala dan tersenyum pasrah. Padahal sebenarnya ia tidak masalah dengan semua ini, toh yang terpenting Sakura telah kembali ceria. Namun, rasanya cukup menyenangkan ketika melihat wajah panik istrinya yang digodai oleh ayah dan ibu mertuanya ini.

"Nak Neji, hari ini menginap 'kan?"

"Iya, Ibu. Saya sudah memberitahu kepada Paman, bahwa akan menginap di rumah."

"Syukurlah, jadi Saki tidak perlu merengek minta ditemani sebelum tidur."

BRUSSSSS.

"OHOK! OHOK!"

Panik seketika terjadi, ketika mendapati anak perempuan dari keluarga Haruno yang telah menjadi istri Hyuuga Neji menyemburkan air yang tengah diminumnya, alhasil wanita itu terbatuk parah sampai harus ditenangkan oleh suaminya.

"Ibu, sudahlah. Ohok!"

"Kau ini, bagaimana bisa tersedak. Untung kita telah selesai makan." Mebuki malah menceramahi putrinya itu, tidak sadar diri bahwa biang keladi dari penyebab anaknya yang tersedak adalah dirinya sendiri, sebab telah membeberkan masa-masa galau dari keseharian Sakura selama di rumah ibu dan ayahnya.

Menengahi, Neji hanya menghela napas sambil menyunggingkan senyum. Lelaki itu berkata sebaiknya setelah ini Sakura beristirahat mengingat suhu tubuhnya baru saja menjadi normal sekitar sejam yang lalu.

"Sebaiknya kau juga temani Saki, dia terlihat begitu rindu."

Tidak mau mendengarkan omongan orang tuanya yang membuat telinga Sakura semakin panas, maka ia pun memutuskan untuk langsung masuk ke kamarnya saja.

Menatap kepergian istrinya, Neji pun membantu ibu mertuanya untuk mengangkat piring kotor, sebelum mendapatkan pengusiran ayahnya yang sekarang mengambil peran Neji untuk membantu Mebuki.

"Temani Saki saja, Nak Neji."

Tidak tahu harus menjawab apa, Neji hanya mengangguk dan memohon diri.

Membuka pintu, ia mendapati sang Istri yang sekarang menyelimuti seluruh tubuhnya di atas kasur dan tengah meringkuk, tersenyum, kemudian Neji melangkah dan duduk di samping wanita itu. Mengangkat kedua kaki dan menyandarkan punggung di kepala ranjang.

"Bagian kepala sebaiknya dikeluarkan, pernapasanmu bisa-bisa tidak lancar, Sakura."

Tidak ada sautan, Neji menolehkan wajahnya. Ia telah melepaska ikat pinggang dan membuka pakaian sehingga sekarang hanya memakai celana hitam di bawah lutut. Mengerutkan alis, ia pun menggerakkan tangan untuk membuka selimut istrinya, mendengus lucu karena melihat wajah Sakura yang dipaksa terpejam seperti itu.

"Ada yang bilang, bahwa wanita ini tengah sangat merindu," bersenandung, Neji mendekati wajah istrinya dan meniup bagian telinga, sehingga Sakura terkejut bukan main dan membelalakkan mata.

"Neji!" barulah wanita itu menyahuti dirinya. Tatapan kesal diarahkan kepadanya.

"Kemarilah," ucapnya dan menarik tubuh Sakura untuk mendekat dan direngkuh olehnya dalam keadaan berbaring. Walau Sakura tengah membelakanginya, bagi Neji itu semua sudah cukup.

Mereka terdiam untuk beberapa saat, jari tangan Neji yang berada di depan wajah Sakura kini dimainkan oleh jari tangan yang lebih kecil. Mengembuskan napas, Sakura membalikkan tubuhnya, menatap wajah Neji yang sekarang juga tengah memandangi emeraldnya.

Mendekatkan wajah, untuk beberapa saat Sakura mengecup bibir tipis suaminya itu, kemudian menggumakan terimakasih dan setelahnya menguburkan wajah ke dalam pelukan Neji.

Tersenyum tipis, mereka berdua mempererat rengkuhan, sekali lagi berucap terimakasih di dalam benak dan memejamkan mata.

Hangat, rasa itulah yang mereka dapati di hati, memberikan cinta kepada orang terkasih adalah suatu berkah terindah yang pernah mereka rasakan. Kini dari pernikahan ini, tidak ada lagi sepasang hati yang saling menyakiti, masing-masing telah terisi dengan kebahagian dan cinta suci.

.

.

.

Tamat

.

.

.

Terima kasih untuk semuanya yang telah mengikuti cerita NejiSaku yang telah Erza buat ini, silakan berikan kesan dan pesan juga apa pun itu terhadap cerita yang telah tamat ini.

Doakan Frozen Flower lagi proses untuk dibuat ke versi SasuSaku hehehe kangen sama SasuSaku juga soalnya.

Sekali lagi terima kasih.

Salam sayang dari Erza istrinya Itachi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top