[vol. 2] 7. Mengenalmu
Bacanya sambil play lagu di mulmed ya
Jatuh cinta itu reaksi alamiah. Tulus, dan nggak bisa direncanakan atau diatur-atur. Dia akan berjalan ke mana pun yang dia mau. Berlaku apapun yang hanya menuruti sesuai kehendaknya.
***
💕
"Argh," Sakura terbangun dengan erangan, ketika tiba-tiba ia merasakan sakit yang menyerang kepalanya. Mengerjap-ngerjapkan matanya, saat pertama kali terlihat cahaya lampu yang menusuk korneanya.
Namun tiba-tiba saja Sakura dibuat kaget akan keberadaan Angkasa yang entah sejak kapan sudah duduk tepat di lantai samping ranjangnya, memerhatikannya dengan raut khawatir yang tersirat jelas tak tersembunyikan.
"Saya benar-benar baru tahu kalau kamu ada trauma dikelilingi wartawan. Maaf..." ucap Angkasa, pelan. "Seharusnya kita tunggu sampai mereka sepi. Sekali lagi saya minta maaf...."
Sejenak Sakura mengubah posisinya menjadi duduk, dibantu Angkasa.
Gadis itu tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, kok, Kak. Lagi pula sebenarnya aku itu bukan trauma dikelilingi wartawan. Cuma aja kejadian enam tahun yang lalu kadang buat aku jadi takut akan hal-hal tertentu, yang aku sendiri nggak bisa tangani. Contohnya desakan para wartawan itu dan sorot cahaya lampu kamera mereka yang besar-besar, yang terlalu menusuk bikin mataku sakit. Dua hal itu benar-benar mengingatkan aku sama kejadian pahit enam tahun lalu."
Di sudut rumah, melihat tiga hal di depan matanya benar-benar membuat tubuh Sakura bergetar hebat.
Takut. Satu kata yang mampu mendeskripsikan segala hal yang berkecamuk dalam benak Sakura saat itu. Dengan kaki tertekuk sempurna, meringkuk di sudut ruangan, ia benar-benar ketakutan. Wajahnya nampak pucat pasi. Melihat tangan ibunya yang tangan penuh darah, melihat ayahnya yang terbaring tanpa nyawa dengan luka tusuk di beberapa bagian jasadnya, dan melihat sebilah pisau yang tergeletak di lantai yang juga berlumuran darah segar... Tiga hal tersebut sungguh mengguncang mentalnya dalam sesaat.
Sakura takut. Benar-benar takut. Saking takutnya, gadis itu sampai tidak bisa merasakan tangisannya sendiri. Tidak menyadari air matanya sendiri yang entah sejak kapan sudah berjatuhan sampai menyentuh lantai. Bahkan saking takutnya ia, suaranya sampai hilang seakan tertelan oleh isakannya sendiri yang tak mampu terdengar oleh siapapun.
Sampai tak lama kemudian, hanya sirine mobil polisi disusul dengan sirine ambulance terdengar begitu nyaring, memecah suasana.
Lalu tiba-tiba ada banyak orang yang bertugas dari kepolisian yang ramai-ramai mendatangi rumahnya.
"Bawa anak itu. Dia bisa dijadikan saksi mata," titah salah satu di antaranya, yang memerintah pada salah satu yang lainnya.
"Siap, Dan!" Sarjani Widiantoro. Itulah nama lengkap yang Sakura baca, walau samar-samar dalam ingatannya, saat orang itu mengambil posisi jongkok di hadapannya. "Mari Adik ikut saya."
Seperti semut yang mengerumuni gula, saat polisi itu mengajaknya keluar, Sakura melihat ada puluhan orang mengerumuni rumahnya. Dan tidak tahu kenapa, kala itu semua orang benar-benar terlihat menakutkan di mata Sakura. Terlalu menakutkan sampai-sampai ia menggenggam tangan polisi itu dengan sangat erat.
"Enam tahun lalu, waktu kejadian itu terjadi, aku benar-benar merasa sendirian. Nggak tahu kenapa waktu itu aku merasa bumi ini benar-benar menakutkan. Karena nggak ada satu orang pun yang bisa aku percayai."
"Pak Polisi, orang-orang, para wartawan, nggak terkecuali ibuku sendiri. Mereka semua begitu mengerikan di mataku. Sampai-sampai aku merasa, aku benar-benar sendiri dan nggak memiliki seorang pun di dunia ini, meski nyatanya ada begitu banyak orang di sekelilingku. Ramai, sampai membuat rumahku terasa sesak."
Breking news! Telah terjadi pembunuhan yang dilakukan oleh seorang istri, terhadap suaminya sendiri.
Dengan berlandaskan motif yang belum diketahui, sang istri bahkan tega melakukan hal tersebut di depan anak perempuannya sendiri. Sehingga sekarang, polisi telah berhasil membekuk tersangka, dan mengamankan anak perempuan tersebut.
"Hampir satu isi dunia bilang ibuku pembunuh. Ibuku yang membunuh ayahku. Aku nggak ingin percaya apa kata dunia, tapi nyatanya di depan mataku, aku lihat ibuku menjatuhkan pisau yang penuh dengan darah ayahku. Hal itu yang buat aku juga nggak bisa mempercayai semua orang, termasuk ibuku."
Sakura bercerita, sampai ia tak sadar kalau selama ia bercerita, Angkasa mendengarkan sambil terus menatapnya dengan sorot mata yang mendalam. "Jadi kamu percaya kalau ibumu yang udah membunuh ayahmu?"
"Awalnya iya, aku sempat percaya. Malah aku juga sempat nggak mau lihat wajah ibuku walau cuma di TV..." Setelah sekian detik memberi jeda, gadis itu menambahkan lagi, "Tapi sampai suatu ketika ayahku datang ke dalam mimpiku dan mengatakan kalau bukan ibuku yang melakukan hal keji itu, aku mulai nggak percaya apapun yang media beritakan tentang ibuku, karena aku lebih percaya ayahku. Semakin yakin setelah aku lihat nggak ada kebohongan di mata ibuku waktu waktu dia bilang bukan dia pelakunya."
"Bukan Ibu pelakunya, Sakura. Bukan Ibu yang membunuh ayahmu, Nak."
"Itu kata-kata ibuku yang terakhir kali aku dengar, sebelum dia benar-benar kehilangan akal sehatnya." Sakura tersenyum miris. Air matanya mengembang pesat.
Gadis itu menundukkan kepalanya, bersamaan dengan air matanya yang jatuh tepat di pangkuannya.
"Andai saya mengenal kamu sejak dulu sebelum kejadian itu terjadi, semuanya nggak akan seperti ini. Kamu nggak akan sendirian, karena saya nggak akan membiarkan hal itu terjadi."
"Saya nggak akan membiarkan kamu menghadapi itu semua sendirian. Saya akan melindungi kamu sejak saat itu," sesal Angkasa, yang seketika membuat pandangan Sakura kembali terangkat, dan langsung jatuh tepat di matanya.
Gadis itu tersenyum walau air mata di pipinya jelas masih terlihat basah oleh Angkasa. "Dulu atau pun sekarang, sekarang atau pun nanti, atau kapan pun itu, mengenal Kak Angkasa bakal tetap jadi salah satu hal yang paling aku syukuri."
Sejenak Sakura meraih tangan Angkasa, dan menggenggamnya dengan yakin. "Aku bersyukur karena akhirnya Tuhan menghadirkan seseorang, dan seseorang itu Kak Angkasa."
Saat itu juga tidak tahunya senyum Sakura menular. Tidak tahu bagaimana bisa mendengar kalimat yang barusan Sakura katakan, mampu membuat Angkasa merasa sedikit lega. Angkasa lega, karena mungkin akhirnya gadis itu mau mengutarakan sesuatu yang ia harapkan, walau dirinya masih belum tahu apa yang membuat gadis itu menjauh sebelumnya.
Drt drtt
Mendapati ponselnya yang tergeletak di atas nakas bergetar, Sakura segera meraihnya. Tertera sebuah nomor yang tidak tersimpan di kontaknya, memanggil.
"Halo?"
"Dengan Saudari Sakura, wali dari Ibu Yuli?"
"Iya, benar."
"Kami dari kepolisian ingin mengabarkan..."
Sakura diam cukup lama. Mendengarkan apa yang orang kepolisian itu sampaikan padanya. Sementara Angkasa yang tidak tahu-menahu mengenai apa yang seseorang di seberang sana katakan pada Sakura, hanya bisa terheran-heran ketika yang ia dapati pandangan gadis itu tiba-tiba kosong dengan pelupuk mata yang dalam sekejap membendung linangan air mata.
"Ada apa?" tanya Angkasa.
Brak!
Alih-alih menjawab, Sakura malah menjatuhkan ponsel dalam genggamannya, di saat yang bersamaan air matanya juga ikut jatuh. Sakura hanya menoleh menatap Angkasa dengan matanya yang tidak bisa berhenti meneteskan air mata.
"Ibu, Kak...."
===
To be continue...
a/n: 100++ komen, aku up!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top