[vol. 2] 25. Detik dan Menit
KASIH KOMENTAR SEBANYAK2NYA YAA, UNTUK SAMBUNG KE EPILOG. 500+++++
***
Mulai sekarang kita bukan lagi jarum jam dan menitnya.
Karena mulai sekarang, kita akan berjalan ke arah yang berlawanan tanpa saling melihat.
Selamat tinggal Sakura.
Saya janji akan menghindar jika suatu hari kita dipertemukan kembali.
Maaf kalau kehadiran saya di hidup kamu hanya terus menyakiti perasaan kamu.
***
Angkasa bersandar pada bagian samping badan mobilnya yang terparkir. Lalu tak lama rasa sakit yang semakin menjalar melemahkan tubuhnya membuatnya merosot, dan terkulai duduk di permukaan aspal, dengan punggung bersandar. Angkasa terdiam. Berupaya untuk berpikir keras, mengira-ngira di mana keberadaan Sakura, bahkan sampai kepalanya terasa sakit berdenyut di bagian belakang.
Drt drt drt
Susah payah Angkasa meraih ponselnya yang bergetar di dalam kantung celananya. Tertera nama kontak Galen yang memanggil.
Galen is coming call...
Angkasa mengangkatnya tanpa bersuara. Sehingga terdengar suara Galen yang lebih dulu menyambarnya.
"Gue udah nemuin Sakura."
💕
Sepulangnya dari minimarket, tiba-tiba Sakura kembali melangkah mundur. Salah satu tangannya yang semula menenteng kresek minimarket, tiba-tiba jatuh begitu saja. Tubuhnya gemetar seketika. Keringat mengucur deras dalam sekejap mata. Sepasang matanya yang memerah, berkedip sering, menandakan ketakutannya dengan jelas.
Seseorang itu. Seseorang yang ingin membunuhnya dan pernah menusuk Angkasa. Bagaimana bisa orang asing itu berada di depan rumahnya dan sedang berupaya untuk membobol kunci pintu rumahnya?
Tidak perlu melihat wajahnya, cukup melihat dari belakang pun Sakura kenal betul perawakan dan cara berpakaian orang asing itu yang selalu mengenakan topi, jaket kulit, dan jeans yang serba hitam.
Crack!
Sakura panik saat tidak sengaja kakinya menginjak plastic minimarket yang ia jatuhkan sendiri, dan memancing orang asing itu untuk menoleh ke arahnya tanpa disengaja. Lantas saat orang asing itu menatapnya, ia segera berlari menjauh sejauh mungkin, meski saat itu ia tidak tahu ke mana ia harus berlari. Bahkan saking paniknya, ia tidak menyadari kalau baru saja dirinya menjatuhkan ponselnya di tengah jalan ramai dan terinjak-injak.
Orang asing itu mengejarnya. Sakura berusaha untuk mempercepat langkahnya, lalu bersembunyi di dalam pasar yang ia yakini mampu mengecoh orang itu.
Dengan posisi berjongkok di samping sebuah meja besar yang berdagang buah-buahan dan kebetulan saat itu sedang ramai pembeli dan tubuh yang gemetar hebat, Sakura menggigiti ujung kukunya, berupaya memikirkan ke mana ia harus melarikan diri dari orang jahat itu.
Sampai tiba-tiba, entah bagaimana bisa Panti Kasih Ibu melesat di pikirannya.
"Sakura?"
"Eh? Iya, Bun?" Lamunan Sakura terkecoh, ketika suara Bunda memanggilnya.
"Jangan melamun, Nak," tutur Bunda sambil membelai lembut rambut panjang Sakura.
Mengenal Sakura sejak masih kecil, membuat Bunda tahu betul tabiat gadis itu yang selalu kentara sekali kalau sedang ada masalah. Hobinya yang tersenyum bisa tiba-tiba berubah jadi melamun. Meskipun ketika mengingat bagaimana ia tiba-tiba mendatangi panti kala itu, dapat dipahami oleh Bunda bahwa masalah yang sedang Sakura hadapi pasti sangat berat bagi gadis itu sendiri.
Tubuh yang gemetar hebat di balik pintu yang diketuk. Yang langsung memeluknya dengan begitu erat. Menangis dengan isakan yang tidak ia mengerti. "Ada apa, Nak? Apa yang terjadi, Sayang?"
Pelukan Sakura mengerat. Sambil terus menangis, ia pun melirih pilu, "Sakura takut, Bun. Ada orang yang mau bunuh Sakura. Sakura takutt...."
Sakura mengangguk. Lalu setelah itu fokusnya mulai teralih pada televisi yang menyala, yang sebelumnya sedang menayangkan sebuah film, namun kini sedang dijeda iklan.
"Kita tidur, yuk?" ajak Bunda kemudian.
"Bunda kalau mau ngantuk, tidur duluan aja nggak apa-apa," timpal Sakura.
"Kamu nggak apa-apa Bunda tinggal sendirian di sini?"
Sakura tersenyum, meyakinkan. "Nggak apa-apa, Bunn."
"Yaudah, kalau gitu Bunda tidur duluan, ya. Soalnya besok anak-anak sekolah. Bunda takut kesiangan bangunin mereka."
Selepas mengusap punggung Sakura, Bunda bergegas ke kamarnya yang kini ia tiduri bersama dengan Sakura. Menyisakan Sakura seorang diri di ruang tengah, dengan televisi yang menyalah dengan volume kecil.
Sekilas Info malam. Diduga karena terlalu terobsesi dengan seorang wanita yang sudah bersuami, baru terkuak seorang pria tega membunuh sang suami enam tahun silam dan juga membuat istri korban depresi, sehingga akhirnya melakukan tindak bunuh diri tepat satu hari sebelum sidang keputusan di pengadilan. Dikenal sebagai pengacara kawakan, pria berinisial AD ini mengaku membunuh korban bernama Yulianita dengan alasan sudah sejak lama ia menyukai istri korban yang merupakan sahabat SMA dari istrinya sendiri.
Seketika Sakura bergeming. Benar-benar bergeming, dengan mata yang memerah dan menggenangkan air dengan cepat. Sehingga beberapa detik berikutnya, setetes demi setetes air tiba-tiba ia dapati sudah mengalir begitu saja tanpa terasa. Ada hal yang patut ia percaya, namun tidak bisa ia percaya setelah menyaksikan berita tersebut.
Dalam sesaat kepala dan dada Sakura terasa sakit, ketika logika dan perasaannya tidak lagi mampu mencerna semua ini. Tidak lagi mampu memahami, bagaimana mungkin Andre menjadi dalang di balik semua ini?
"Ini, Pak, pesanannya. Jangan lupa untuk pesan lagi, ya." Seraya memberikan kantung plastik yang di dalamnya terdapat pesanan Andre, Sakura mengujar lagi, "Aku baru tahu, kalau ternyata Kak Angkasa ini anaknya Pak Andre."
"Tentu, dong! Kedai ini memang kedai langganan mendiang istri saya karena dulu sahabatnya kerja di sana sebagai pelayan juga."
Sakura yang tidak pernah berkesempatan untuk bertemu dengan sahabat SMA ibunya sampai detik ini, memang membuatnya tidak bisa menduga apa-apa. Membuatnya tidak tahu sama sekali kalau sahabat ibunya yang sering diceritakan padanya dulu tidak bukan adalah mamanya Angkasa. Sakura hanya mengenal Rena dari ibunya sebagai orang baik. Sebagai satu-satunya orang yang selalu sedia membantunya kapanpun dan di mana pun.
Sesak. Sakura merasa dadanya seperti dihimpit oleh dua batu besar yang menahan tiap tarikan napasnya. Bukan hanya karena kecewa, melainkan karena seberapa keras pun ia mencoba, akal sehatnya terus saja menolak untuk percaya semua kenyataan yang ada. Menolak untuk percaya, bahwa ternyata seseorang di balik penderitaannya selama ini tidak lain adalah Andreas Dirgantara.
Tanpa isak, Sakura menangis. Matanya yang tertutup rapat terus saja mengalirkan air mata tanpa bisa ia cegah. Dengan alis berkerut guna menahan rasa sakit yang tiba-tiba menyerang kepalanya, gadis itu benar-benar bimbang. Di satu sisi dirinya merasa senang karena akhirnya terbukti, bukan ibunyalah yang membunuh ayahnya. Nama ibunya bersih dari tuduhan, meski ia tahu semua ini sudah terlambat.
Akan tetapi tetap saja di sisi lain, gadis itu tidak mampu menyingkirkan rasa sakit dalam benaknya, ketika ia tahu bahwa pelaku sebetulnya tidak lain adalah papanya Angkasa, Andre. Seseorang yang selama ini telah membuat keluarganya menderita dan hancur tanpa sisa. Membunuh ayahnya, kemudian memanipulasi bukti seolah-olah pelaku pembunuhan itu adalah ibunya. Membuat ibunya depresi sampai akhirnya memilih untuk menghentikan hidupnya dengan bunuh diri.
Membuat Sakura sungguh tidak habis pikir, manusia macam apa yang tega melakukan hal sekeji itu pada manusia lainnya?
Tok tok tok
Mendengar ketukan pintu, Sakura segera bangkit dan membukakannya sambil secepat mungkin menghapus air matanya.
Namun saat pintu terbuka, sosok Angkasa yang tampak berdiri di baliknya dalam sekejap mampu membuat air mata itu kembali mengembang dan turun di ujung mata Sakura. Keberadaannya saat ini seketika mampu membuat Sakura merasa sakit dan cemas di saat yang bersamaan.
Sekian menit keduanya tertegun dengan saling bertukar pandang yang sarat akan makna tak tersampaikan. Bibir abu Angkasa tersenyum lega, ketika akhirnya ia mendapati seseorang yang sejak tadi ia cari-cari. Seseorang yang sebenarnya sangat ia rindukan senyumannya. Senyum yang selalu mampu membuatnya seperti orang linglung dalam satu jentikan jari.
Matanya berkedip lemah, menatap sepasang mata Sakura dengan sorot mata sendu namun tampak menenangkan. Meski detik demi detik tanpa ia sadari pandangannya mulai meremang, membuat wajah Sakura semakin terlihat berkabut dan berkabut di matanya, hingga kali berikutnya hanya gelap yang tersisa.
Bruk!
Tubuh Angkasa terjatuh dalam tangkupan Sakura.
💕
Angkasa membuka matanya dan mendapati dirinya di sebuah ruangan yang ia sendiri tidak mengenali di mana ia sedang berada. Yang ia dapati hanya seorang dokter wanita yang berdiri membelakanginya, tengah berbicara dengan seorang wanita paruh baya berkerudung, yang ia sendiri tidak tahu siapa wanita itu.
Sakura. Di mana Sakura?
Tidak mendapati Sakura di sekitarnya, Angkasa bangkit dari posisi rebahnya, sambil memegangi luka di perutnya yang ternyata sudah kembali dibersihkan dan dilapisi dengan perban yang baru. Pantas saja sudah tidak terasa begitu sakit. Tidak hanya luka di perutnya, luka di pelipis matanya pun sudah lebih baik dengan plaster yang tertempel di sana.
"Dokter bilang, untuk saat ini kamu jangan banyak gerak dulu. Luka di perutmu memang nggak terlalu dalam. Tapi akan sulit mengering kalau kamu banyak gerak dan terus berdarah lagi. Lebih baik kamu istirahat saja dulu di sini, nanti Bunda ambilkan minum sebentar untuk kamu minum obat, ya."
Baru saja Bunda hendak berlalu, Angkasa yang menahan lengannya seketika membuatnya kembali berbalik.
"Saya boleh ketemu Sakura?" tanyanya.
💕
Di teras Panti, Sakura duduk tercenung dengan perasaan terombang-ambing entah ke mana arah tujuannya. Sakura tidak tahu apakah yang dirasakannya ini dapat dikatakan sebuah kecemasan atau tidak. Yang hanya Sakura tahu jelas saat ini ada banyak pertanyaan yang tak terjawab di kepalanya.
Mengenai kondisi Angkasa. Bagaimana dia bisa mendapat luka di sekujur tubuhnya. Bagaimana keadaannya sekarang. Apakah dia baik-baik saja. Sakura tidak mengerti kenapa dirinya tidak bisa berhenti memikirkan Angkasa, yang terakhir kali ia lihat kondisinya ada banyak luka di sekujur tubuhnya.
Dan kalau memang yang dirasakannya itu memanglah sebuah kecemasan, tidak mungkin ia mencemaskan seseorang tanpa ingin melihat wajahnya, bukan?
Sakura bingung. Sangat bingung, sampai-sampai dirinya tidak tahu harus bagaimana. Harus berbuat apa selain menyiksa diri sendiri dengan perasaan yang seperti ini. Dengan sesak yang tak henti-hentinya membeban di dada. Dengan kornea mata yang terus memanas dan tak henti-hentinya membasah di pelupuknya. Dengan kekalutan yang tiada habisnya. Sakura bingung.
Sejenak gadis itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, tidak ingin air matanya jatuh lagi, meski ia tahu yang dilakukannya ini hanya akan membebani pikirannya tanpa mampu menyelesaikan masalah. Lalu sampai ketika ia mendengar derap langkah seseorang yang mendekat, tangannya turun secara perlahan bersamaan dengan kepalanya yang terangkat.
Terlihat Angkasa berdiri tepat di hadapannya. Gadis itu bangkit. Beranjak ingin menjauh. Namun tiba-tiba saja Angkasa keburu menarik tangannya hingga tubuhnya kembali berbalik, dan terjebak di dalam pelukan si mata dingin itu.
"Saya tahu kamu belum bisa memaafkan saya dan papa saya. Saya tahu papa saya yang udah menghancurkan keluarga dan hidup kamu," tutur Angkasa tanpa melepaskan rengkuhannya.
Sakura mencoba memberontak, meminta dilepaskan. Akan tetapi Angkasa menahannya kuat. "Saya tahu melihat wajah saya hanya akan buat kamu terluka. Membuat kamu merasa sakit karena teringat kepergian ayah dan ibu kamu. Mengingatkan kamu akan penderitaan yang sekian tahun kamu rasakan."
"Sakura... saya minta maaf atas semua yang udah terjadi sama kamu. Kamu berhak membenci saya. Meninggalkan saya. Nggak mau ketemu saya lagi. Tapi satu hal yang saya ingin kamu tahu... Apapun yang terjadi saya akan tetap sayang sama kamu. Saya jatuh cinta sama kamu tanpa tapi. Tanpa perlu kamu membalas perasaan saya."
Cukup lama Angkasa terdiam. Merasakan desir perih yang menyatu dengan aliran darahnya. Berderap seirama dengan degup jantungnya yang tidak pernah merasa sesakit ini sebelumnya. Meski air matanya menetes tanpa terasa. "Sekarang kamu boleh tutup mata kamu. Saya akan bantu kamu berbalik, tanpa perlu melihat wajah saya. Menjauhlah dari saya kalau memang itu yang kamu inginkan."
Di sisi lain, Sakura juga terdiam. Menutup matanya yang entah sejak kapan sudah dibanjiri oleh air mata. Angkasa memutar tubuh gadis itu sampai benar-benar berbalik dan membelakanginya. Setelah itu, barulah Angkasa ikut berbalik, namun ke arah yang berlawanan.
Dengan dada yang begitu sesak, lebih sesak daripada apapun yang pernah ia rasakan sebelumnya, Angkasa menutur pelan. Datar, tanpa intonasi. Berupaya sekeras mungkin untuk tidak menunjukkan rasa sakitnya yang tak kasat mata dan hanya tertahan di setiap tarikan juga embusan napasnya. "Mulai sekarang kita bukan lagi jarum jam dan menitnya. Karena mulai sekarang, kita akan berjalan ke arah yang berlawanan tanpa saling melihat. Selamat tinggal Sakura. Saya janji akan menghindar jika suatu hari kita dipertemukan kembali. Maaf kalau kehadiran saya di hidup kamu hanya terus menyakiti perasaan kamu."
Pelan, tapi pasti. Angkasa melangkah walau terasa memberatkan kakinya. Namun di balik sana, Sakura masih terpaku di pijakannya dengan isak tangis yang sudah tidak mampu lagi ia tahan. Kedua kakinya tidak bisa digerakkan, lantaran ia sendiri pun tidak tahu ke mana ia harus melangkah dan melabuhkan langkahnya, sedangkan semakin Angkasa menjauh, justru semakin jauh lebih sakit yang dirasakannya.
Selangkah demi selangkah sudah Angkasa ambil, menjauh dari gadis di belakangnya. Memang, perasaannya sakit. Akan tetapi ia telah berjanji untuk melakukan apapun yang terbaik bagi Sakura dan tidak menyakiti gadis itu. Dan bukanlah perkara besar jika kenyataannya memang harus menyakiti dirinya sendiri. Membunuh perasaannya sendiri, di saat yang sejujurnya ia sama sekali tidak ingin meninggalkan gadis itu.
Air matanya menderas. Hingga tiba-tiba terasa seseorang memeluk pinggangnya dari belakang. Dan saat ia menunduk, rasanya seperti sebuah mimpi melihat tangan Sakura yang melingkar di sana.
"Aku nggak mau kita pisah." Terdengar gadis itu menangis sejadi-jadinya, yang membuat Angkasa memutuskan untuk memegang tangan itu dan melepaskan dari pinggangnya.
Tidak. Angkasa tidak bermaksud untuk kembali menjauh. Tetapi ia justru bermaksud untuk kembali berbalik menghadap Sakura dan menghapus air mata gadis itu dengan kedua ibu jarinya. Mata mereka beradu. Sakura menatapnya begitu dalam. Sampai tiba-tiba gadis itu melingkarkan tangannya lagi di pinggang Angkasa begitu erat, hingga rasanya kali ini siapapun tidak akan bisa membuatnya lepas.
Isakan Sakura terlalu jelas. Dengan senggukan yang mampu mengguncangkan bahunya, gadis itu melirih, "Aku juga suka sama Kakak. Aku sayang, juga jatuh cinta sama Kak Angkasa. Aku nggak peduli siapapun papanya Kak Angkasa. Aku mau kita tetap menjadi jarum jam dan menitnya, yang terus berjalan ke arah yang sama sampai selamanya, Kak. Aku mohon Kak Angkasa jangan pergi tinggalin aku...."
Siapapun boleh mengatainya gila sekarang. Menyukai seseorang yang merupakan anak dari pembunuh ayahnya. Anak dari seseorang yang telah membuat ibunya depresi dan bunuh diri. Anak dari seseorang yang telah membuat keluarganya hancur dan menderita selama bertahun-tahun lamanya. Sakura tidak masalah. Yang terpenting seseorang yang ia sayangi akan terus berada di sisinya. Tidak apa-apa kalau pun waktu terus berlalu. Selama bersama Angkasa, ia yakin dirinya akan selalu baik-baik saja.
Angkasa membalas pelukan itu. Mengecup dan mengusap puncak kepala Sakura, membelai rambutnya yang tergerai panjang. Merengkuhnya erat tanpa tahu kapan ia bisa lepaskan rengkuhan ini. Bahkan jika segala sesuatu yang ada di dunia ini berubah, ia pastikan perasaannya pada Sakura akan tetap sama sampai selamanya.
Angkasa akan meminjamkan pundaknya, bahkan apapun yang bisa ia berikan pada gadis itu untuk menguatkannya. Tidak akan pernah meninggalkannya lagi. Dan terus mencari alasan untuk tetap berada di sisinya. "Mulai sekarang biar saya yang akan menyelaraskan langkah saya dengan langkah kamu. Sehingga kita bisa terus berjalan bersama, seperti jarum jam dan menitnya. Juga menit, dan detiknya."
===
SAMPAI BERTEMU DI EPILOG!
JANGAN LUPA FOLLOW IG AKU YAA
ITSCINDYVIR:)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top