[vol. 2] 23. Kehilangan yang Kedua Kalinya

Galen tidak ingin kehilangan Sakura sama seperti ketika dirinya kehilangan Viola. Pergi, meninggalkannya. Menghilang, tanpa tahu pasti kapan mereka akan bertemu lagi.

***

Ferdinan tertawa. "Beri gue 500 juta. Maka akan gue serahkan cewek lo hidup-hidup."

"Gimana kalau gue nggak mau?" tolak Angkasa dalam bentuk pertanyaan sarkastik.

"Gimana kalau cewek lo mati di tangan gue?" balas Ferdinan yang juga kembali bertanya.

Gigi Angkasa bergemeletuk. Kedua tangannya langsung menarik bagian leher baju Ferdinan dengan cengkraman kuat. "Lo yang mati duluan di tangan gue."

"Like father, like son. Ternyata lo punya sisi pembunuh juga, ya, sama kayak bokap lo." Ferdinan menukas sembari cengengesan. Seakan ancaman Angkasa itu tidak ada apa-apanya untuknya. "Sampai kapan pun lo nggak akan bisa bunuh gue. Tapi perlu lo camkan baik-baik, nasib cewek lo sekarang bergantung di lo, karena nyawanya ada di tangan gue."

Napas Angkasa bergemuruh. Kepalan tangannya sudah semakin kuat, mencengkram baju Ferdinan sampai tubuh pria itu sedikit terangkat.

"Bajingan!"

BUGH!

Angkasa meninjunya sekeras mungkin, sampai tubuh Ferdinan terpelanting ke aspal.

Ferdinan berdiri. Pria itu tampak santai menanggapi. Namun bukan berarti ia akan memaafkan Angkasa begitu saja. Balas dendam adalah tabiatnya.

Diam-diam Ferdinan mengeluarkan sebuah pisau lipat andalannya. Bisa menyobek beberapa lapisan kulit hanya dalam satu besetan. Ferdinan sudah bersiap menyerang Angkasa. Akan tetapi tanpa ia tahu, bahwa Angkasa sudah menyadari senjatanya. Maka sebelum itu terjadi, Angkasa langsung memelintir tangannya, dan mengambil alih pisau itu, lalu dibuangnya sejauh mungkin.

BUGH!

Tiba-tiba Angkasa merasakan sebuah pukulan keras tepat pada bagian perut bekas lukanya. Angkasa yang terlalu sibuk menjauhkan pisau itu, membuat Ferdinan memanfaatkan kesempatan itu untuk memiting balik tangan Angkasa, kemudian menyerang lukanya yang ia tahu betul akan menjadi bagian ampuh untuk melumpuhkannya.

BUGH! BUGH! BUGH! BUGH!

Bertubi-tubi Ferdinan meninju rahang Angkasa sampai ujung bibir Angkasa lagi-lagi robek karenanya. Melempar tubuh Angkasa, sampai pelipisnya mengucurkan darah akibat terbentur tembok berbatu. Kemudian mengangkatnya lagi dengan penuh dendam.

BUGH! BUGH!

Menyerang bagian luka Angkasa dengan lututnya berkali-kali, sampai Angkasa membungkuk dan tersungkur.

BUGH! BUGH! BUGH!

Ferdinan juga menendangi bagian perut Angkasa sampai dirinya benar-benar merasa puas melihat Angkasa terkapar tanpa daya.

Ferdinan mengambil posisi jongkok. "Menemui lo, gue pikir bakal menjadi sumber uang bagi gue. Tapi kayaknya nggak," tandasnya. Usai itu ia kembali bangkit, dan hendak bergegas, meski seketika pergerakannya tertahan saat Angkasa keburu menangkap pergelangan kakinya dengan cengkraman kuat.

"Di-ma-na Sakura?" Dengan suara lemah dan terbata-bata, Angkasa bertanya.

"Cewek lo melarikan diri sebelum gue sempat membunuhnya," tegas Ferdinan berterus terang, karena sebetulnya tadi, ia hanya menggertak Angkasa saja. Yang kemudian menghempaskan tangan Angkasa dari kakinya, dengan begitu kasar. Meninggalkan Angkasa acuh tak acuh.

💕

Selepas memberhentikan motornya tepat di area parkir sebuah pemakaman, Galen langsung berlari menuju makam Yuli, dengan mengharap penuh Sakura berada di sana. Akan tetapi saat tiba di sana, apa yang terlihat benar-benar tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan. Sakura tidak ada di sana.

Galen memandang jauh area pemakaman yang begitu luas. Tetap menaruh harap, Sakura masih berada di sekitar sana. Galen berjalan setengah berlari tanpa arah, namun dengan satu tujuan yang ia miliki. Yaitu menemukan Sakura. Dengan rasa cemas yang menyiksa dadanya dibanding apapun, Galen terus mengambil langkah.

Tidak peduli meski keringat terus bercucuran di dahinya. Tidak peduli meski napasnya terengah, bahkan rasanya hampir mau putus. Matanya tetap memandang jauh ke segala penjuru area pemakaman, karena bagaimana pun juga Sakura harus ia temukan. Tidak masalah kalau memang Sakura tidak bisa membalas perasaannya. Tidak menyukainya, dan lebih memilih Angkasa.

"Aku suka sama Kak Angkasa. Tapi aku bukan siapa-siapanya dia. Apa aku berhak cemburu?" Sakura bertanya seraya menatap Galen, yang detik itu juga Galen melempar tatap padanya. Lalu tak lama gadis itu memaksakan diri untuk tersenyum. "Nggak. Aku nggak berhak cemburu."

Sakura tidak tahu kalau ada hati yang ikut patah bersama hatinya saat ini, tepat ketika ia mengungkapkan perasaannya secara gamblang. "Boleh aku gantian bertanya?"

"Tanya apa, Kak?"

"Apa semua perempuan emang begitu? Selalu sulit untuk ditebak perasaannya?"

"Perempuan bukannya sulit ditebak perasaannya, Kak. Mereka cuma nggak tahu gimana caranya jujur dengan perasaan mereka sendiri, karena mereka benar-benar berusaha memahami kenyataan, yang seringkali nggak sejalan dengan apa yang mereka harapkan. Sampai akhirnya mereka lebih memilih melakukan segala hal yang bertolak belakang dengan keinginan hati mereka."

Galen memanggutkan kepalanya, mengerti yang dikatakan Sakura. Lalu kemudian ia bertanya lagi, "Tapi, kenapa?"

"Maksudnya?" Sakura berbalik bertanya.

Seketika Galen memalingkan pandangannya ke depan. "Kenapa harus Angkasa yang kamu suka?"

"Aku juga nggak tahu, Kak. Padahal dulu yang aku suka itu Kak Galen," tutur Sakura, yang sesaat dibuat bingung oleh perasaannya sendiri. Mulutnya berkata jujur dengan sendirinya.

Sehingga Galen, yang mendengar itu, menoleh cepat. "Gimana?"

"Sebelum suka sama Kak Angkasa, dari semester satu aku suka sama Kak Galen." Gadis itu bercerita dengan kepala menunduk. "Aku udah berusaha buat deket sama Kakak. Tapi aku nggak bisa. Makin menutup jalanku ketika aku tahu kalau Kakak punya pacar, Viola."

"Waktu Viola ninggalin Kak Galen, aku berusaha buat mengembalikan senyum Kakak dan ngajak Kakak ke panti, soalnya aku suka sama senyum Kakak."

"Terus sekarang gimana perasaan kamu ke aku?"

Sakura menggeleng pelan. "Aku nggak tahu sejak kapan perasaan aku berubah, Kak."

Galen tidak masalah, jika memang dirinya tidak ditakdirkan untuk bisa memiliki Sakura seutuhnya. Namun hanya saja...

"Vio?" Andin nampak menautkan kedua ujung alisnya. "Kan Vio udah berangkat ke Ausie, Kak. Emangnya Kakak nggak tau? Aku ke sini mau ambil sepatu aku yang ketinggalan. Kata Vio udah ditaruh rak depan."

"Berangkat? Bukannya seharusnya dia berangkat tiga hari lagi?"

Andin nampak berpikir sejenak. "Enggak kok, Kak. Dari awal dia bilang sama aku kalau dia berangkatnya tanggal kemarin. Naik penerbangan yang jam 11 malam kalau nggak salah."

Hanya saja ia tidak ingin kehilangan Sakura sama seperti ketika dirinya kehilangan Viola. Pergi, meninggalkannya. Menghilang, tanpa tahu pasti kapan mereka akan bertemu lagi.

💕

Dengan mengesampingkan pening di kepalanya juga rasa sakit pada bagian ujung bibir, pelipis mata, dan luka di perutnya, bersusah payah Angkasa tetap memaksakan diri untuk bangkit berdiri. Berjalan dengan tertatih-tatih menuju mobilnya yang terparkir di luar gang, sambil sesekali menyentuh pelipis dan ujung bibirnya yang mengeluarkan darah, sementara memegangi luka pada bagian perutnya dengan tangan yang lain.

"Argh!" Angkasa mengerang, sembari terus menahan rasa sakit bercampur perih pada perutnya saat mengambil posisi duduk.

Dengan sebelah tangan ia juga memasang sabuk pengaman dan mengemudi dengan kecepatan yang ia bisa semampunya.

"Argh!" Lagi-lagi Angkasa mengerang.

Jujur saja, rasa sakit di sekujur tubuhnya saat ini memang sangat tidak tertahankan. Akan tetapi ketimbang luka-luka itu, rasa cemasnya pada Sakura saat ini sungguh jauh lebih menyakitkan dirinya. Meresahkannya ketimbang apapun.

Di sepanjang perjalanan, selama mengemudi Angkasa terus berupaya keras untuk memikir kemungkinan-kemungkinan di mana Sakura berada.

"Kamu bilang merasa sepi dan sendiri di saat ada banyak orang yang meramaikan suasana, adalah hal yang menakutkan, bukan?"

Sakura tiba-tiba berbalik. Lantas tiba-tiba pula Angkasa harus menghentikan langkahnya. Keduanya berdiri berhadapan, lalu tak lama Sakura memberi anggukan. Benar, Sakura ingat sekali kalau dirinya pernah mengatakan hal tersebut pada Angkasa.

Sebelah tangan Angkasa terangkat meraih tangan Sakura. Seraya menyelipkan rambut di telinga Sakura dengan sebelah tangannya yang lain, ia pun menjawab, "Saya ajak kamu ke sini, karena ini yang kamu butuhkan. Semestinya kita nggak butuh keramaian untuk merasa tenang. Cuma butuh sepi dan semesta yang berkawan, kita bakal bahagia dengan sendirinya."

Mengingat itu, seketika Angkasa memutar kemudinya secara sempurna berbalik arah.

===

To be continue...

FOLLOW IG
ITSCINDYVIR // AMATEURFLIES

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top