[vol. 2] 2. Tentang Sakura
Kamu tau nggak, Sa? Kalau di dunia ini, tuh, sebenernya semua udah ditakdirkan untuk saling berdampingan.
***
"Tadi itu filmnya seru banget, ya?" ucap Galen antusias, tepat ketika ia dan Sakura keluar dari studio.
"Iya, banget!" Tanpa sadar Sakura pun ikut terbawa antusias. "Apalagi pas bagian klimaks. Aku nggak nyangka aja kalau dua tokoh yang keliatannya saling bermusuhan, nggak tahunya di balik itu mereka malah bekerja sama buat ngehancurin tokoh utama. Seru gila!"
Masih terlihat antusias, Galen mengangguk. "Terus aku juga suka semua tokohnya bener-bener all out. Yang para petarung perempuannya juga nggak ada yang takut jelek."
Sakura mengangguk sambil tersenyum. Dan menyadari senyum itu, nyatanya benar-benar berhasil membuat sedikit beban dalam diri Galen seperti runtuh dalam sekejap. Walau senyum itu belum mampu menghilangkan mata sembab Sakura, setidaknya senyum itu mampu mengubah binar matanya.
"Kamu laper nggak? Kita makan, yuk?"
"Eh, tunggu."
Baru saja Galen hendak menarik tangan Sakura, mengajaknya ke tempat makan, tiba-tiba ucapan Sakura membuatnya kontan berhenti. "Kenapa?"
"Janji aku kan cuma nemenin Kakak nonton? Nggak ada janji makan, kan?"
"Etika dalam ngajak main anak orang, memulangkannya harus dalam keadaan kenyang. Kan nggak lucu kalau habis jalan sama aku, pulang-pulang kamu kena penyakit maag cuma karena nahan lapar."
Penjelasan Galen itu seketika membuat Sakura tidak kuasa menahan tawanya. Lantas Galen pun ikut tertawa. Kemudian setelahnya mereka berdua memilih tempat makan yang sesuai dengan kesepakatan.
Bukan restoran seafood yang mampu membuat Sakura alergi. Bukan pula restoran fastfood yang tidak Galen sukai. Melainkan rumah makan pecel ayam biasa, yang adanya pun di pinggir jalan, namun tetap memiliki rasa yang tak tertandingi dibanding restoran-restoran berkelas di dalam mal sana.
"Kamu tau nggak, Sa? Kalau di dunia ini, tuh, sebenernya semua udah ditakdirkan untuk saling berdampingan," ucap Galen, usai menelan kunyahannya.
Namun masih di sela-sela kunyahannya, Sakura tak sabar langsung menyahut, "Berdampingan gimana, Kak?"
"Berdampingan. Kesenangan dengan kesedihan, luka dengan rasa, tawa dengan tangis, kenangan dengan harapan, dan masih banyak lagi." Galen diam sejenak, sementara Sakura menunggu sampai ia menyudahi kalimat-kalimatnya. "Walau semua hal itu bertolak belakang bahkan jauh berbanding terbalik, mereka semua tetap saling berteman. Berdampingan untuk saling melengkapi perasaan manusia, tanpa ingin saling meninggalkan satu sama lain. Memberi warna dalam kehidupan manusia, lika-liku yang nantinya nggak akan pernah terlupakan―meski sebagian menyakitkan untuk diingat, tetapi tetap aja semua itu melukiskan memori yang ujungnya pasti indah dan membahagiakan bagi manusia."
Sakura membisu selama beberapa saat. Mencerna kembali apa yang Galen maksudkan dalam-dalam. Tidak ada yang salah. Kalau dipikirkan lagi segalanya yang ia rasakan memang benar-benar berdampingan. Seperti belakangan ini, di satu sisi ia memang merasa bersalah pada Angkasa ketika cowok itu menyatakan perasaannya. Akan tetapi di sisi lain seharusnya juga ia menyadari, kalau pernyataan itu menandakan bahwa perasaannya pada Angkasa terbalaskan dan tidak bertepuk sebelah tangan.
Sakit memang. Karena pada akhirnya, Sakura tahu, hal terbaik yang harus dirinya lakukan hanyalah menjauh dari Angkasa dan tidak menyakiti cowok itu lagi. Namun tetapi setidaknya tetap ada sedikit yang membahagiakan, yang terselip di antaranya, bukan?
💕
Suara decitan printer yang sedang mencetak foto terdengar begitu nyaring meramaikan kamar Angkasa, ketika tidak ada satu pun suara lainnya yang mengisi.
Foto-foto Sakura yang waktu itu Angkasa bidik ulang ke dalam kamera ponselnya saat dirinya sedang menemani Sakura dan ibunya, Angkasa mencetak semuanya sekarang. Sudah dua yang berhasil, kini tinggal sisanya.
Angkasa meraih salah satu foto itu, seraya mengambil posisi duduk di kursi meja belajarnya. Memandangi potret Sakura yang terabadikan dalam sebuah lembaran, tengah tersenyum dan berdiri di depan bangunan Universitas Nusa.
Melihat itu tak lama Angkasa pun ikut tersenyum dengan sedikit tertawa sumbang. Di satu sisi ia menertawai dirinya sendiri. Tertawa, karena tidak tahu kenapa ia merasa lucu saja. Sebab kemungkinan besar kalau ia memandang gadis itu tersenyum secara langsung, sepertinya mustahil jika dirinya bisa tersenyum juga seperti saat ini. Justru yang ada malah ia menjadi kaku, lalu seketika isi kepalanya kosong sampai-sampai mendadak buta, tidak tahu harus berlaku apa saking salah tingkahnya.
Namun yang menjadikan tawa itu sumbang adalah, ketika mau tidak mau Angkasa juga tidak bisa melupakan kejadian kemarin, saat gadis itu menolak pernyataan perasaannya.
"Harus berapa kali, sih, aku bilang? Kalau aku nggak suka sama Kakak!"
Tiap kali sederet kata itu terngiang di kepalanya, tiap kali itu pula Angkasa merasa dunianya seakan telah dijungkirbalikkan oleh Sakura. Sehingga untuk pertama kalinya, kini senyum gadis itu juga berhasil membuatnya merasa sesak di saat yang bersamaan.
Sesak yang menyebabkan matanya memburam hanya dalam hitungan detik. Tidak ingin menangis, tetapi air mata itu mendesak keluar dengan sendirinya, sampai Angkasa merasa seperti ada lilitan kuat yang mengikat dadanya.
Ada begitu banyak hal yang Angkasa benci saat ini. Angkasa benci merasakan sesak di dadanya saat ini. Angkasa benci dengan air matanya yang tidak bisa berhenti menetes saat ini. Angkasa benci tersakiti lagi. Angkasa benci akan dirinya, yang selalu saja gagal untuk memahami Tentang Sakura.
Tentang gadis dalam potret yang digenggamnya itu.
Tentang Sakura dengan segala kehidupannya yang pelik. Tentang Sakura dengan segala pemikirannya yang rumit dan sulit diterka. Tentang Sakura yang selalu saja enggan untuk menyuarakan hatinya dan pikirannya pada siapapun.
Pun Tentang Sakura yang paling handal dalam menyembunyikan kesedihannya di balik ribuan ekspresi.
Air mata gadis itu sering samar karena senyumnya. Sering samar karena diamnya. Sering samar karena sikap galaknya. Sehingga mau sekeras apapun Angkasa berupaya untuk memahami, rasanya semua akan menjadi sia-sia bahkan mustahil, selama gadis itu masih mahir memainkan ekspresinya.
"Apa sebegitu sulitnya bagi kamu untuk mengatakan itu semua?" tanya Angkasa pada sebuah foto itu, meski ia tahu tidak mungkin ada jawabnya.
💕
"Rumah Kak Galen sepi. Pada ke mana?" tanya Sakura yang mungkin akan menjadi pertanyaan siapapun yang baru pertama kali memijaki kakinya di rumah Galen.
"Rumah ini emang sering sepi kalau jam segini. Biasanya malah nggak ada orang sama sekali. Kak Lista kerja, aku kuliah. Jadi, ya, gitu. Karena udah biasa, jadi nggak merasa sepi lagi. Baru rame paling kalau Angkasa nginap."
"Oooh," Sakura membulatkan mulutnya. Namun sesaat ia merasa ada yang kurang dari penjelasan Galen. "Oh, iya, Ayah-Ibu Kakak ke mana?" tanyanya lagi.
"Cerai," singkat Galen yang nampak biasa saja.
Tetapi seketika Sakura menjadi tidak enak hati dibuatnya. "Maaf, ya, Kak. Aku nggak bermaksud untuk―"
"That's okay. You don't have to feel guilty," potong Galen seraya mengarahkan senyumnya pada Sakura. Untuk mengalihkan topik, Galen bertanya, "Kamu mau minum apa, Sa?"
"Apa aja, Kak, yang penting halal," canda Sakura.
Galen tertawa. "Kayak logo MUI aja kamu, tuh." Sambil menggeleng-gelengkan kepala, ia berlalu ke dapur.
Sementara Sakura tanpa sadar justru asyik melihat-lihat jajaran bingkai foto yang terpajang di ruang tamu rumah Galen, yang sebagian besar dari foto-foto itu tidak lain adalah foto Galen bersama Angkasa. Walaupun ada juga foto Galen saat bersama seorang perempuan, yang Sakura dapat pastikan perempuan itu adalah Kakaknya. Terlihat dari tinggi mereka yang berbeda lumayan jauh, juga wajah mereka yang mirip secara sekilas.
Sampai tiba-tiba, sebuah foto mampu memicu perhatiannya. Yaitu foto Angkasa dan Galen yang saling merangkul juga tersenyum menampakkan deretan gigi masing-masing, dengan masih mengenakan seragam merah putih mereka.
Sakura tersenyum mengamati foto itu. Namun tiba-tiba perkataan Angkasa kembali terngiang di telinganya.
Angkasa menyerah untuk berpaling dan memilih untuk membalas tatapan gadis itu. "Saya nggak suka liat kamu dekat sama Galen."
"Tapi, Kak." Kening Sakura berkerut, tak mengerti. "Bukannya Kak Galen sahabat Kakak dari kecil?"
"Sekarang udah nggak," tutur Angkasa, tegas.
Sementara Sakura masih menatapnya, tak percaya. "Kenapa? Semudah itu Kakak memutus persahabatan sama Kak Galen?"
"Karena dia suka sama perempuan yang saya suka."
Sakura tertegun. Untuk pertama kalinya ia mampu bertahan menatap mata dingin Angkasa cukup lama. "Siapa?
"Kamu," singkat Angkasa.
"Ada tamu ternyata."
===
To be continue...
follow instagram
itscindyvir // amateurflies🙏
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top