[vol. 2] 12. Mengalah
Aku minta spam komennya sampe tembus 500 bisa ya untuk next part^^,
***
Kadang kala, mengalah adalah satu-satunya pilihan yang terbaik yang kita punya.
***
Galen meneguk sebuah minuman soda yang dikemas dalam kaleng, sembari memerhatikan apapun yang terlihat dari jembatan Kota Intan tempatnya berdiri. Dengan ditemani angin malam yang berembus, apa yang dilihatnya seketika saja memudar, ketika bayang-bayang Angkasa dan Sakura terus saja menghantui isi kepalanya.
"Ada apa, nih, kampus kita bisa sampai rame wartawan begini?" Dengan ekspresi bingung yang tak bisa terhindarkan dari wajahnya, Galen bertanya pada Doni saat hendak menuju parkiran.
Doni menggedikkan bahu acuh tak acuh. "Katanya, sih, di kampus kita ada yang anaknya pembunuh gitu."
"Siapa?" tanggap Galen, cepat.
"Nggak tau gue. Tadi baru denger-denger aja. Katanya dari Fakultas Sastra?"
Sesaat Galen terdiam. Langkahnya berhenti bersamaan dengan suara para wartawan yang masuk di telinganya.
"Gimana tanggapan kamu Sakura, mengenai kasus kematian ayah kamu yang akhirnya dibuka kembali?"
"Setelah enam tahun berlalu, apa ada bukti yang bisa menyelamatkan ibumu?"
"Apakah kamu senang, karena ingin pelaku pembunuh ayahmu ditangkap? Atau kamu justru merasa sebaliknya, karena pelakunya adalah ibu kamu sendiri?"
Apa ada orang lain selain Sakura yang memiliki nama itu? Galen rasa tidak ada. Cukup lama dirinya menjabat sebagai Senat, hanya ada satu orang yang memiliki nama Sakura di Universitas Nusa.
Galen segera mengedarkan pandangannya. Memandang sejauh mungkin ke segala penjuru arah yang terjangkau oleh matanya. Sampai kemudian ia mendapati satu titik yang benar-benar menjadi pusat keramaian yang ada.
"Woi, Len, lo mau ke mana?" pekik Doni spontan saat tiba-tiba Galen meninggalkannya.
Dengan begitu gusar bercampur panik juga cemas, Galen berjalan cepat untuk mencapai titik itu. Terlihat secara bergantian para awak media itu menyerang Sakura dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak mampu lagi terdengar jelas satu-persatunya. Menyorot Sakura dengan cahaya-cahaya kilat kamera besar mereka, sehingga yang Galen dapati Sakura nampak ketakutan.
Galen segera berlari. Akan tetapi baru dua tiga langkah ia memijak, kedua kakinya seketika membeku, ketika di saat yang bersamaan ia juga mendapati Angkasa di sana. Melindungi Sakura dari sergapan pewarta berita dengan sangat amat baik.
Bukan berarti tidak peduli pada Sakura, sejujurnya Galen sangat peduli. Galen sungguh mencemaskan Sakura, ingin berada di sisi Sakura, melindungi gadis itu lebih daripada apa yang Angkasa lakukan. Akan tetapi tidak tahu kenapa niatnya mendadak bisa surut, ketika tiba-tiba saja dadanya terasa sesak melihat apa yang dilihatnya sekarang.
"Ah!" Sakura merintih, seperti kesakitan itu masih terasa nyata baginya, meskipun yang sesungguhnya mata itu masih terus tertutup rapat.
"Sakura?" Angkasa menepuk pelan pipi gadis itu, seraya berbisik. "Kamu udah bisa buka mata kamu sekarang."
Perlahan Sakura berupaya membuka matanya. Dilihatnya ke segala arah, tidak ada siapa-siapa di sana selain dirinya dan Angkasa. Tetapi tetap saja tubuhnya benar-benar seakan lumpuh seketika, bersamaan dengan penglihatannya yang menjadi gelap begitu saja.
"Kamu nggak apa-apa?"
Bruk!
Sementara Galen yang saat itu hanya mampu memerhatikan mereka dari jauh, dalam sesaat sama paniknya dengan Angkasa ketika tiba-tiba saja tubuh Sakura ambruk yang berhasil ditahan oleh tangan Angkasa.
Angkasa segera membawa tubuh Sakura ke dalam mobilnya. Lalu Galen tanpa berpikir panjang langsung menuju ke tempat di mana motornya terparkir, bergegas menyusul Angkasa
Sesampainya di rumah Sakura, Galen langsung masuk tanpa permisi, lantaran mendapati pintu rumah itu yang tidak terkunci.
Bukan maksud mengendap-ngendap, jujur saja Galen saat ini Galen datang hanya sekedar untuk memastikan kalau Sakura baik-baik saja. Maka dari itu ia tidak ingin siapapun mengetahui keberadaannya. Baik itu Angkasa maupun Sakura sendiri, Galen yang sudah mampu menyadari ke mana arah hati Sakura berlabuh tentu tahu diri, tidak ingin menjadi seseorang yang tak diinginkan di antara dua orang yang hatinya saling memiliki.
"Jangan bermimpi, hari ini kamu udah melakukan yang terbaik. Tapi sekarang kamu harus tidur yang nyenyak, supaya besok dan seterusnya kamu bisa menghadapi segalanya dengan lebih baik lagi," pesan Angkasa, yang kemudian menaikkan selimut yang menutupi Sakura lebih tinggi. "Percaya sama saya, kamu pasti bisa melewati semua ini, Sakura."
Samar-samar Galen mampu mendengar apa yang Angkasa katakan pada Sakura yang ia lihat dari ambang pintu kamar, gadis itu masih belum sadarkan diri. Perlahan tapi pasti, Galen juga melihat Angkasa yang kemudian meraih salah satu tangan Sakura. Menggenggam erat jari-jemari gadis itu, sambil dalam gumaman pelan Angkasa juga kembali berucap, "Ketika kamu merasa nggak ada yang mengerti bagaimana perasaan kamu, percayalah, saya sedang berusaha semampu saya untuk mengerti itu."
Mendengar apa yang barusan ia dengar, sungguh membuat Galen bimbang. Benar-benar menyakitkan bagi Galen, ketika dirinya saat itu juga merasa bersalah pada Angkasa. Merasa selama ini telah gagal menjadi sosok sahabat kecil yang baik layaknya isi perjanjian kelingking mereka berdua di masa kecil.
Sekian tahun berteman dengan Angkasa, bagaimana bisa dirinya tidak mengetahui apa-apa tentang sahabat kecilnya itu? Bagaimana bisa ia tidak menyadari perasaan Angkasa pada Sakura yang sedalam itu? Dan bagaimana bisa pula ia bersikap egois ingin memiliki Sakura, di saat nyatanya perasaan Angkasa jauh lebih dalam, tak sebanding dengan perasaannya?
Maka dari itu sepintas Galen berpikir, dengan rasa bersalah ini, apa sepatutnya ia yang menyerah akan perasaannya sendiri terhadap Sakura? Melepas Sakura untuk Angkasa walau ia tahu hal tersebut tidaklah mudah untuk dilakukan olehnya, apa ia mampu?
Detik demi detik bergulat dengan isi hatinya sendiri, tiba-tiba saja membuat Galen merasa persendian kakinya melemas.
Brak!
Sampai tidak sengaja tangannya menjatuhkan sebuah pajangan, yang bagusnya tidak mudah pecah. Sehingga setelah meletakkan kembali pajangan itu, sesegera mungkin Galen pergi bersama motornya, sebelum Angkasa keluar dan mendapatinya.
Lalu saat di tengah jalan Galen mendapat panggilan dari Angkasa, yang memintanya untuk ke rumah seseorang yang barusan ia kunjungi, tanpa bisa menolak, mau tidak mau ia memutar balik dan kembali ke rumah tersebut.
Terus terang saja ada kecewa yang Galen rasa, ketika mendengarkan rentetan kalimat pilihan yang terucap oleh Angkasa saat itu, yang sungguh benar-benar lain daripada yang biasanya dari sosok Angkasa yang ia kenali sejak kecil.
Namun demikian, entah mengapa tiba-tiba bibirnya malah menarik senyum, meskipun pandangannya mulai memudar akibat terhalang oleh genangan air matanya sendiri.
Galen memang kecewa, sesak yang dirasa seakan membuat pasokan oksigennya lenyap begitu saja. Tetapi tetap saja di sisi lain, sebagai sahabat, ia harus merasa senang ketika akhirnya Angkasa memiliki tempat untuk menaruh hatinya setelah sekian lama hanya membeku di masalalunya dengan seorang gadis bernama Raya itu.
Terlebih karena Galen tahu, jatuh cinta bukanlah perkara yang mudah bagi Angkasa, ia pikir sesakit apapun dirinya nanti, kini tidak ada pilihan lain yang dimilikinya selain mengalah. Apalagi setelah kepergian Raya yang bersifat selamanya itu, dan mengingat obrolan mereka bertahun-tahun lalu.
"Apa jadinya, ya, kalau kita udah besar nanti, kita menyukai satu perempuan yang sama?" tanya Galen yang saat itu belum mengganti seragam putih birunya, namun sudah bermain, sampai menyambangi rumah Angkasa.
"Salah satu dari kita harus ada yang mengalah. Atau meminta perempuan itu untuk memilih." Angkasa menutur dengan mudahnya.
Iya, dirinya harus bisa melepaskan Sakura dan mengalah demi persahabatannya yang sudah terjalin sangat lama.
Tess
Tidak tahu apa sebabnya, tiba-tiba saja air mata Galen menetes tanpa dirasa, tepat di saat ia mencoba untuk memantapkan hatinya.
💕
Jarak dari pantai ke rumah Sakura yang lumayan jauh, membuat mereka baru tiba tepat pukul 10 malam lewat sekian menit. Hingga setelahnya, tidak ada hal lain yang dapat Sakura lakukan selain bersiap-siap untuk tidur untuk menghadapi hari esok.
"Jangan khawatir. Jangan takut dengan hari esok. Apapun yang terjadi, saya akan berusaha untuk tetap ada di sisi kamu. Buat kamu. Saya nggak akan melepaskan tangan kamu dan membiarkan kamu sendiri."
Semenjak mendengar kalimat itu dari Angkasa, semenjak itu pula tidak ada lagi kecemasan dalam diri Sakura yang biasa dialaminya tiap malam sebelum tidur, atau lebih tepatnya sebelum ia menghadapi hari esok.
"Kak Angkasa jangan pulang dulu, ya, sebelum aku tidur pulas," pinta Sakura saat Angkasa masih duduk di pinggir ranjangnya, membantunya untuk mengulurkan selimut.
Angkasa mengangguk, seraya menarik bibirnya membentuk senyum tipis. "Kamu yakin mau tidur di sini? Kamar ibumu?"
"Aku kangen banget sama ibu. Jadi cuma ini cara satu-satunya buat melepas rasa kangen itu," balas Sakura terdengar tenang.
Sehingga Angkasa pun menjadi tidak khawatir membiarkan gadis itu yang memutuskan malam ini untuk tidur di kamar dan ranjang mendiang ibunya.
Tidak lama saat Angkasa mengusap-ngusap kepalanya, Sakura mulai memejamkan matanya. Menumpahkan segala rasa lelahnya hari ini ke dalam tidurnya, sampai mimpi membawanya lebih lelap.
Awalnya Angkasa hendak bergegas. Akan tetapi sesuatu yang tak asing di matanya, membuat Angkasa harus menunda niatannya sejenak. Sesuatu berbentuk gulungan kertas usang, yang diikat pita berwarna merah. Yang di waktu pertama kali ia lihat, benda itu memang nampak menarik perhatian Angkasa ketimbang benda apapun di sekelilingnya.
Angkasa mengambilnya. Membuka ikatan pita merah tersebut, sehingga kemudian gulungan kertas itu melebar dengan sendirinya.
===
To be continue...
AYO TEMBUSIN 500+ KOMENTAR, KARENA PART SELANJUTNYA AKAN TERKUAK
KETERKAITAN MASALALU MEREKA:')
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top