[vol. 2] 1. Cibiran
bacanya sambil play lagu di atas yaa^
***
"Gimana rasanya ditolak mentah-mentah di depan umum? Enak?"
***
Sepanjang Sakura melewati area kampus dari dirinya mulai memasuki gerbang sampai berjalan di selasar menuju blok tempat di mana kelasnya berada, hampir seluruh pasang mata di sana melihat ke arahnya. Rata-rata dari mereka melemparinya tatapan sinis sampai lupa untuk berkedip.
Beberapa yang awalnya biasa saja karena memang tidak tahu apa-apa, tiba-tiba ikut menyudutkannya dengan tatapan yang sama, sesaat setelah mereka menyaksikan sesuatu di layar ponsel yang ditunjukkan kepada mereka.
"Itu dia mendadak pakai kacamata kenapa?"
"Langsung rabun kali gara-gara habis nolak Angkasa."
"Nggak tau diri!"
Sakura mendengar bisikan-bisikan itu yang ditujukan padanya. Tetapi ia ingat apa yang dikatakan ayahnya; Kita ditakdirkan hanya memiliki dua tangan. Bila kita tidak bisa menutup mulut-mulut mereka yang jahat, baiknya kita tutup saja telinga kita dengan dua tangan yang kita punya dari Tuhan. Atau jauh lebih baik, jika kita mengabaikannya.
Sesaat langkah Sakura berhenti berderap. Menarik napasnya begitu dalam, kemudian mengembuskannya secara perlahan. Tidak menyelesaikan masalah memang. Tetapi setidaknya bisa sedikit melegakan.
Setelah menyentuh batang hidungnya, membenarkan posisi kacamatanya, Sakura kembali berjalan dengan rasa percaya diri yang lebih menebal.
Hari ini Sakura memang menggunakan kacamata. Sengaja. Paska menangis semalaman kemarin, pagi-pagi ia dapati kedua matanya sudah membengkak lantaran terlalu sembab. Oleh karena itu sekarang kacamatanya ia pergunakan untuk menutupi... tidak, mungkin akan lebih tepat untuk menyamarkan mata sembabnya. Kacamata tak berlensa dengan bingkai berwarna hitam.
"Sakura!" Rossa, teman sejurusannya yang juga satu angkatan dengannya, seketika membuat Sakura berhenti lagi dan menoleh. "Ini buku catatan grammar lo. Thanks, ya!" katanya seraya mengangsurkan buku milik Sakura.
Sakura mengambilnya. Mengangguk, kemudian tersenyum. Namun tiba-tiba senyumannya justru dibalas dengan kerutan di dahi oleh Rossa.
"Tumben amat lo pakai kacamata? Mata lo juga sembab? Habis nangis apa gimana?" tanya Rosa, spontan. Lalu seketika ia teringat akan sesuatu yang sangat menghebohkan pendengarannya, yang membuatnya menyambung lagi, "Oh, jangan bilang lo habis nangis semalaman gara-gara nyesel udah mencampakkan Kak Angkasa kemarin?"
Walau terlalu menohok, tetapi tidak ada yang terelakan dari semua perkataan Rossa. Mata Sakura sembab sehari setelah menolak pernyataan perasaan Angkasa di depan umum. Bagaimana mungkin tidak dicibir, iya kan?
"Lagian lo, sih. Udah tau Kak Angkasa itu selera sejuta umat di kampus ini. Selain ganteng, baik, pinter pula." Tanpa memberi kesempatan Sakura untuk menimpali, Rossa terus saja berceloteh menyuarakan isi pikirannya sendiri. "Lo tau nggak, Sa? Banyak hati yang tercampakkan sama dia. Jadi seharusnya lo nggak perlu sok jual mahal―"
Belum sampai selesai Sakura mendengar Rossa berbicara, tiba-tiba saja ia merasakan seseorang menarik pergelangan tangannya, lalu membawanya pergi entah ingin ke mana. Sementara kaki Sakura hanya bergerak mengikuti.
Sakura masih menunduk. Hingga kali berikutnya ia tiba di parkiran, barulah kepalanya terangkat bersama dengan pandangannya yang saat itu juga langsung menangkap sosok Galen berdiri di sebelahnya, yang tengah memasang pelindung kepala.
Kemudian dengan cueknya cowok itu memberikan sebuah pelindung kepala juga untuk Sakura. "Nggak ikut kelas satu hari nggak akan mengubah masa depan, kan?"
"Kita mau ke mana?" Sakura bertanya seraya memasang pelindung kepala untuknya sendiri.
"Ke suatu tempat. Bantu kamu nepatin janji ke aku," sahut Galen enteng.
Ah, iya, Sakura lupa. Ia memang memiliki sebuah janji pada Galen, yang sudah dua kali berturut-turut tertunda untuk menepatinya.
💕
"Nomor yang anda tuju, tidak menjawab. Silakan hubungi beberapa saat lagi."
Angkasa mematikan teleponnya yang tidak bisa tersambung pada nomor Sakura. Langkahnya cepat menuju gedung Fakultas Sastra. Berjalan tanpa arah yang pasti, sedangkan tujuannya hanya menelusuri setiap kelas yang ada di sana, mencari Sakura.
Sampai dahinya benar-benar berkeringat lantaran hampir satu jam mengelilingi seisi gedung Fakultas Sastra, nyatanya Angkasa tidak juga menemukan Sakura yang dicarinya.
Sehingga akhirnya, Angkasa putuskan untuk kembali keluar dari gedung itu, namun tiba-tiba seseorang yang sungguh sangat tidak ia harapkan keberadaannya muncul di hadapan wajahnya. Seseorang yang dulunya pernah menjalin hubungan dengan Angkasa, namun tidak begitu lama. Hanya terhitung tidak sampai dua bulan.
Membuat Angkasa dengan amat-amat terpaksa harus menghentikan langkahnya.
Dengan senyum yang Angkasa mengerti secara tidak langsung apa maksudnya, Lola berjalan mendekat dengan melipat tangan di dada. Kemudian tiba-tiba ia tertawa seraya menatap Angkasa dari ujung kaki sampai ujung kepala. "Gimana rasanya ditolak mentah-mentah di depan umum? Enak?"
Angkasa diam tanpa ekspresi.
Lola membengis puas. "Sekarang lo tau kan seperti apa rasanya dipermalukan di depan banyak orang? Gimana rasanya harga diri lo dijatuhkan di depan banyak orang?"
💕
Turn off...
Sakura mematikan ponselnya. Terlalu fokus pada ponselnya sejak tadi, membuat Sakura entah sudah berapa kali tidak menggubris pertanyaan-pertanyaan Galen tanpa ia sadari.
"Mau nonton apa? Kamu suka romance?"
"Eh?" Setelah ponselnya benar-benar mati, barulah Sakura merespon, sambil diam-diam mengantungi benda pipih itu. "Sebenernya aku nggak begitu suka romance. Tapi kalau Kakak suka nggak apa-apa."
"Aku sukanya action, thriller, atau mystery," sahut Galen.
"Sama kalau gitu. Kita nonton film action aja, gimana?" timpal Sakura.
Galen mengangguk. "Boleh."
💕
Hari ini Erik kedatangan tamu spesial. Seorang kepala polisi sekaligus teman dekatnya, yang bersedia membantunya untuk mengusut tuntas kasus pembunuhan adiknya enam tahun lalu. Lantas saat jam makan siang, alih-alih menyantap makan siang yang dibawakan istrinya belum lama tadi, Erik lebih memilih untuk berbicara menyelesaikan urusannya dengan Dhani, sang Kepala Polisi tersebut lebih dulu.
Kepala Polisi itu datang tidak sendiri. Dengan ditemani tim penyidik yang memang sejak awal menangani kasus pembunuhan tersebut, beliau juga membawa sebuah tas khusus yang di dalamnya terdapat sesuatu yang harus mereka tunjukkan pada Erik.
"Bagaimana? Bukti-buktinya sudah kuat?" tanya Erik membuka pembicaraan.
Kepala Polisi itu mengangguk, mengukir ulas senyum di wajah tuanya. Tak lama seorang tim penyidik yang bersamanya mengeluarkan sebilah pisau bersimbah darah kering di bagian tajamnya, yang terbungkus dalam pelastik khusus dari dalam tas khusus pula. Yang kemudian ia letakkan di atas meja tengah-tengah mereka.
"Dari sekian banyak bukti yang kita miliki, bukti inilah yang paling kuat dan bisa menjebloskan Tersangka ke tempat seharusnya ia berada. Pisau yang digunakan tersangka untuk melakukan aksinya," tutur Kepala Polisi. Namun seketika ia teringat sesuatu. "Ah, iya. Saya juga ingin menunjukkan dokumen dari rumah sakit yang bisa dijadikan bukti atas kewarasan Tersangka."
Erik menunjukkan raut tidak percayanya. "Bagaimana bisa?"
"Mudah. Kebetulan saya memiliki teman di salah satu rumah sakit besar, dan itu sangat membantu."
Sambil mengecek dokumen-dokumen itu, Erik tersenyum puas dengan memanggut-manggutkan kepalanya. Akan tetapi senyum itu tak berlangsung lama. "Tapi, apa kita bisa hanya mengandalkan pisau itu sebagai bukti kejahatannya?" risau Erik kemudian.
Berbeda dari Erik, Kepala Polisi justru nampak tetap tenang.
"Pak Erik tidak perlu khawatir. Karena tim kami sudah menemukan hasil rekaman yang tertangkap CCTV di daerah sekitar, yang membuktikan bahwa terakhir kali Korban keluar memang bersama Tersangka." Kali ini Tim Penyidik itu yang angkat suara.
Lantas kini Erik benar-benar bisa bernapas lega. "Kalau gitu tunggu apa lagi?"
===
To be continue...
ayo dong vote sama komentarnya aku tunggu yaaa^^,
gomawoo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top