[vol. 1] 49. Regret

Saya tunggu kamu.

***

Tepat lima menit sebelum jam tangan hitam di pergelangannya menunjukkan pukul 16.00, Angkasa tiba di taman yang hanya berjarak dua meter dari kampusnya.

Angkasa duduk di sebuah kursi besi panjang sisi taman, menunggu waktu. Detik demi detik berlalu. Menit demi menit terlewati. Sampai satu jam tak terasa olehnya. Terlihat orang-orang di sekitarnya mulai membubarkan diri. Saat kepalanya menengadah ke atas, ternyata langit nampak lebih gelap dari biasanya. Dengan adanya awan hitam di sana, seakan memberi tanda bahwa sebentar lagi akan turun hujan.

Tetapi tidak seperti yang orang-orang itu, Angkasa tidak bisa meninggalkan taman saat ini sebelum ia menemui Sakura―sese
orang yang ditunggunya. Atau... seseorang yang membuatnya menunggu?

💕

Angkasa Dirgantara: Temui saya di taman dekat kampus jam 4.

Sejenak Sakura melirik jam digital yang terdapat pada menubar layar ponselnya yang sudah menunjukkan pukul 17.12.

Sakura mengantungi ponselnya bersamaan dengan helaan napas panjang. Lalu mulai mengayuh sepedanya yang sudah siap ditunggangi. Melihat cuaca yang mendung membuat Sakura berpikir akan merasa lebih baik jika dirinya dapat tiba di rumah secepat mungkin.

Akan tetapi saat melewati taman yang dimaksud oleh Angkasa dalam pesan singkat cowok itu, membuat Sakura seketika menarik rem sepedanya. Sudah lewat satu jam lebih dari waktu yang dijanjikan, bagaimana bisa cowok itu masih berada di sana? Menunggu, walau rintik hujan mulai terasa menyentuh kulit.

Sakura menepikan sepedanya. Turun, kemudian bersembunyi di balik sebuah pohon yang cukup besar sehingga bisa menyembunyikan dirinya. Dalam diam Sakura memerhatikan Angkasa tanpa ingin Angkasa ketahui.

Sudah gerimis. Sebentar lagi pasti hujan deras. Hal itu benar-benar membuat Sakura khawatir, lantaran yang terlihat Angkasa masih belum gentar untuk menunggunya.

Sakura segera mengambil ponselnya untuk sekedar membalas pesan Angkasa, memberi kepastian bahwa dirinya tidak akan datang. Jadi Angkasa tidak perlu menunggu seperti ini.

Sakura Evelyna: Aku nggak bisa.

Sedetik setelah pesan itu masuk, Sakura melihat Angkasa langsung mengeceknya dan mengetik balasan yang agaknya malah membuat ia semakin cemas.

Angkasa Dirgantara: Saya akan tunggu kamu di sini sampai kamu bisa hari ini juga.

Tanpa menunggu lama, Sakura membalasnya.

Sakura Evelyna: Sebentar lagi mau hujan deras

Angkasa Dirgantara: Saya akan tetap tunggu kamu

Sakura mengembuskan napas, sesak. Cemas kalau-kalau Angkasa tetap keras kepala, sedangkan gerimis sudah menjadi hujan.

Benar saja. Selang beberapa saat, kecemasan Sakura terbukti. Tidak butuh waktu lama, mendadak hujan deras. Dengan cepat Sakura mengeluarkan payung dari dalam tasnya yang memang selalu ia bawa ke mana pun setiap hari untuk berjaga-jaga.

Bukan, payung itu Sakura keluarkan bukan untuk melindungi dirinya sendiri dari guyuran hujan. Karena kemudian ia justru meminta tolong seseorang yang lewat untuk memberikannya pada Angkasa.

"Bisa tolong kasih ini ke orang itu?" Sakura menunjuk ke arah punggung Angkasa yang dilihatnya dari belakang.

Orang itu mengangguk, bersedia membantunya. Sementara Sakura hanya bisa memerhatikan dari kejauhan.

Di sisi lain, Angkasa yang sama sekali tidak mengetahui keberadaan Sakura, terus memerhatikan ruang obrolannya yang menampilkan kontak Sakura. Alih-alih mencari tempat untuk berteduh, walau air hujan sedikit demi sedikit membasahi dirinya, Angkasa tetap bertahan pada tempatnya.

"Permisi, Mas, ini payungnya."

Uluran tangan seseorang yang tiba-tiba menyodorkan sebuah payung lipat berwarna hijau seketika berhasil membuat Angkasa terbengong melihatnya.

"Maaf, Mas, ini bukan punya saya," tolak Angkasa, karena memang merasa benda itu bukanlah miliknya.

Orang itu nampak bingung. "Tapi tadi Mbak yang itu nyuruh saya kasih payung ini ke Mas."

Sakura terkejut bukan main ketika tiba-tiba seseorang yang dimintai tolong olehnya menunjukkan jari tepat tertuju ke arahnya. Sehingga membuat Angkasa menoleh, dan kini menyadari keberadaannya. Sial sekali. Sakura lupa berpesan pada orang itu untuk tidak mengatakan pada Angkasa bahwa payung itu miliknya. Ah, seharusnya ia tidak sebodoh itu!

Orang itu berlari, meninggalkan Angkasa yang menatap Sakura dalam diam. Sementara Sakura nampak terpaku di tempatnya, lantaran mau bersembunyi pun sudah terlambat.

Tanpa melebarkan payung itu sesuai fungsinya, Angkasa malah menghampiri si pemiliknya. Menarik lengan Sakura, sebelum gadis itu sempat beranjak pergi menghindar lagi darinya.

"Buat apa menghindar, kalau kamu juga memiliki perasaan yang sama ke saya?" tanya Angkasa tanpa melepaskan pegangan tangannya.

Raut wajah Sakura mendadak berubah drastis. "Perasaan kita nggak sama. Aku nggak ada perasaan apa-apa ke Kakak."

Dalam hitungan menit, sekian dari ratusan anak-anak kampus berkumpul sedikit demi sedikit―lama-lama menjadi banyak―berkumpul di sekitaran taman itu. Awalnya mungkin sebagian dari mereka ada yang cuma sekedar lewat. Atau sebagiannya lagi sedang meneduh. Namun melihat sesuatu yang menyenangkan untuk dipergunjingkan membuat mereka menjadi tertarik untuk menonton Angkasa dan Sakura.

Bahkan beberapa orang sampai rela menerobos hujan tanpa membawa payung, saking menuruti rasa penasarannya. Karena sejak dulu, segala sesuatu yang berkaitan dengan Angkasa memang selalu berhasil menarik perhatian mereka.

"Kalau kamu nggak memiliki perasaan apa-apa ke saya, kenapa kamu beri saya payung ini, sedangkan kamu sendiri kehujanan, Sakura?"

Sakura yang enggan memberi sepatah kata pun atas pertanyaannya, seketika membuat Angkasa yakin kalau apa yang ia katakan barusan memang benar adanya. Sakura juga memiliki perasaan yang sama dengannya.

Salah satu ujung bibir Angkasa terangkat. Kalau benar begitu kenyataannya, untuk apalagi gadis itu menjauh? Apa karena pernyataannya kurang jelas? Sampai-sampai menyebabkan gadis itu menjadi ragu? Perlukah Angkasa mengulangi kembali pernyataannya kemarin? Baik, kalau memang hal itu bisa menjadi jalan keluar.

"Sakura Evelyna, saya suka sama kamu. Dan saya mau kamu jujur, kamu juga menyukai saya, kan?" Tanpa diduga-duga Angkasa berseru kencang, dengan suara yang melawan derasnya rintik hujan.

Sakura mendecak, bersamaan dengan pandangannya yang berpaling sesaat. "Harus berapa kali, sih, aku bilang? Kalau aku nggak suka sama Kakak!"

"Kamu bisa bilang begitu. Tapi apa kamu pikir mata kamu bisa membohongi saya?" Angkasa tersenyum getir, meski matanya sudah mulai berair dan memerah, berusaha keras memungkiri segala yang terjadi saat itu.

Tatapan Sakura semakin tajam. Sebelum akhirnya ia menjawab, "Terserah." Lalu menghempaskan tangan Angkasa begitu kasar. Pergi kembali menaiki sepedanya, membiarkan Angkasa terguyur hujan sendirian.

Hanya bisa memerhatikan gadis itu tanpa mampu bergerak dari pijakannya, Angkasa berteriak, "Mau sampai kapan kamu terus berlaku sebaliknya, Sakura?!"

Untuk yang ke sekian kalinya Sakura mengabaikan Angkasa begitu saja. Sedangkan Angkasa benar-benar diam di tempat dengan terus memandangi punggung gadis itu yang kian menjauh darinya. Sangat menaruh harap gadis itu dapat kembali dan menghampiri dirinya saat ini.

"Apa ini?! Angkasa ditolak Sakura?!"

"Bisa-bisanya Sakura mencampakkan Angkasa!"

"Dunia terbalik!"

"Mau kiamat ini, mah!"

Saat mengamati keadaan sekitarnya, saat itu pula Angkasa baru menyadari, kalau dirinya dan Sakura―entah sejak kapan―sedang dijadikan pusat perhatian oleh banyak orang. Malahan beberapa ada yang lancang merekam dirinya. Membuat ia tidak segan-segan langsung membuang salah satu ponsel di antara sekian ponsel yang dipergunakan untuk merekam dirinya saat itu. Kemudian berlalu menuju mobilnya, tanpa iba.

💕

Dengan sisa daya yang dimilikinya, Sakura berjalan gontai menyambangi Pita yang tengah duduk di ruang tamu sambil membaca sebuah novel.

"Sakura, lo kenapa?" tanya Pita panik, yang seketika langsung meletakkan novelnya. Memutar bahunya menghadap Sakura yang sudah terduduk tepat di sebelahnya.

Tidak ada satu kata pun yang sanggup Sakura ucap. Gadis itu kuyup terkena air hujan di sepanjang jalan. Matanya yang memerah terus-terusan mengembangkan air mata, yang terjatuh lagi-terjatuh lagi lolos di pipinya.

Sakura berani bersumpah, tidak ada yang lebih menyakiti dirinya dibanding melihat Angkasa terluka karenanya tadi.

"Pita..." Sakura melirih. Suaranya bergetar. Membuat Pita langsung menarik bahunya, memeluk gadis itu dengan mengusap punggungnya.

"Gue udah nyakitin Angkasa, Pit..." Di sela-sela isakannya, Sakura melirih lagi. "Gue jahat, Pit. Gue udah jahat sama Angkasa."

Tidak mampu lagi menahan segala yang dirasakannya, seketika gadis itu menangis sampai Pita merasakan guncangan kecil pada bahunya.

Sesak akan penyesalan, rasa bersalah, semua itu membuat Sakura benar-benar mengutuk dirinya sendiri, dan mungkin tidak akan pernah memaafkannya sampai kapan pun.

Sakura tidak tahu kalau jadinya akan seperti ini. Sakura tidak tahu kalau ia akan terjebak dalam lingkaran setan yang dibuatnya sendiri, sehingga hal tersebut juga membuat Sakura tidak tahu, kalau rasanya akan semenyakitkan ini ketika misinya itu berhasil dan berjalan sesuai rencananya bersama Lola.

Kalau saja Sakura tahu, mungkin sejak awal ia tidak akan pernah memulainya.

Sakura menyesal telah terjebak dalam situasi ini. Situasi yang tidak pernah disangka-sangka olehnya, yang mampu melibatkan perasaannya sendiri sampai tega melukai Angkasa.

Sakura menyesal.

"Gue udah menyakiti Angkasa, Pit. Gue nyesel..." Isak tangis Sakura terdengar lebih keras. Pun dengan jari-jemarinya yang meremas baju Pita kian erat. Seakan ada kekesalan yang tak bisa terutarakan olehnya.

===

To be continue...

follow instagram
itscindyvir // amateurflies

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top