[vol. 1] 45. Kehidupan Setelah Mati
Kalau ada kehidupan setelah mati, apa yang kamu harapkan?
***
"Kak Angkasa kenapa?" tanya Sakura, pelan.
"Jangan sakit lagi. Saya khawatir." Dalih Angkasa kali ini tidak sepenuhnya benar. Tidak pula sepenuhnya salah. Akhir-akhir ini memang ada banyak sekali hal yang Angkasa khawatirkan, namun tidak semua dapat ia utarakan pada Sakura secara gamblang. Bahkan sesuatu yang sebetulnya sudah berakhir, kepergian Raya, tetap saja membuatnya khawatir sampai saat ini.
Perlahan Sakura bergerak, membuat Angkasa otomatis melonggarkan rengkuhannya. Sakura menyentuh kedua pipi Angkasa dengan satu tangkupan dua telapak tangannya. Lalu gadis itu berucap hanya dengan menatap mata Angkasa sekilas, "Iya, aku janji nggak sakit-sakit lagi."
Sakura tersenyum, tetapi kali ini Angkasa sama sekali tidak bisa memalingkan wajahnya karena tertahan oleh tangkupan tangan Sakura. Sehingga tiba-tiba detak jantung yang berkali-kali lipat lebih cepat tidak dapat terhindarkan lagi oleh Angkasa. Ketika mau tak mau ia harus melihat gadis itu tersenyum tepat di depan matanya.
Namun senyum Sakura mendadak sirna, saat dirinya mulai merasa ada yang tidak beres dengan Angkasa, tiap kali cowok itu menarik napasnya. Hingga kemudian ia curiga akan sesuatu. Lagi-lagi dengan polosnya, Sakura menempelkan daun telinganya di dada Angkasa. Cukup lama, sampai sekian detik setelahnya ia berhasil menyadari sesuatu.
Kak Angkasa deg-degan! Batinnya berseru riang.
Lantas mengingat pernyataan Pita beberapa waktu lalu kepadanya, yang mengatakan; "Kalau dia deg-degan, berarti dia suka sama lo."
Bukan hanya detak jantungnya, perlakuan Sakura juga benar-benar membuat pipi Angkasa memerah, tersipu.
"Saya tunggu kamu di mobil." Tidak suka dibuat seperti itu, Angkasa langsung bergegas keluar, menuju mobilnya yang terparkir. Mengambil jarak aman untuk dirinya sendiri, jangan sampai hal tersebut membuat Sakura berpikir yang tidak-tidak mengenai dirinya.
💕
Drt drt drt
Ponsel Erik bergetar tepat saat dirinya baru saja tiba di rumah dan turun dari mobilnya. Sejenak Erik berhenti di tengah pijakannya.
Kepala Polisi is calling...
Erik segera mengangkatnya. Karena memang sebelum ini, ia sempat menghubungi duluan saat jam makan siang. Akan tetapi berhubung saat itu Pak Dhanu, sang Kepala Polisi tersebut, sedang sibuk dan tidak ada waktu untuk berbicara, jadilah Erik menitip pesan pada sekretaris beliau untuk segera berbalik menghubunginya ketika ada waktu.
"Selamat malam, Pak Erik. Sekretaris saya bilang, Bapak menghubungi saya tadi?"
"Ya. Ada hal yang ingin saya bicarakan mengenai penindaklanjutan kasus pembunuhan adik saya yang dilakukan istrinya."
💕
"Makasih, ya, Kak," ucap Sakura. Namun saat dirinya hendak turun, tiba-tiba Angkasa menahan pergelangan tangannya sampai tubuhnya kembali terduduk, dan bertanya, "Ada apa, Kak?"
"Saya boleh nginap di rumah kamu?"
"Eh?" Sakura terkejut. "Ta, tapi, Kak―"
"Hubungan saya sama bokap lagi nggak baik. Jadi saya muak kalau harus balik sekarang," potong Angkasa. "Dan di waktu yang semalam ini, saya nggak tau harus meminta tolong sama siapa lagi selain kamu yang saat ini sedang bersama saya."
Sakura terdiam cukup lama, bergulat dengan isi kepalanya. Di satu sisi, ia memiliki beberapa alasan yang tidak memungkinkan baginya untuk mengizinkan Angkasa bermalam di rumahnya. Selain karena kondisi ibunya yang sudah pasti akan mengganggu istirahat cowok itu di kala tengah malam, Sakura juga tidak terbiasa untuk berada satu rumah dengan seorang laki-laki, dan itu bukan ayahnya.
Namun Sakura bingung, karena di sisi lain ia juga merasa tidak mungkin membiarkan Angkasa untuk bermalam di luar. Dan kalau sampai hal itu terjadi, ia sudah benar-benar menjadi salah satu di antara sekian banyak orang jahat di muka bumi ini.
"Saya janji nggak akan merepotkan kamu. Tidur di lantai atau kursi ruang tamu lo juga nggak masalah. Saya―"
"Iya, boleh." Kini giliran Sakura yang memotong ucapan Angkasa.
💕
"Cuma karena kita sahabatan dari kecil, bukan berarti lo tau segala-galanya yang berkaitan dengan gue, Len. Apalagi soal Raya."
Sejak pembicaraannya dengan Angkasa terakhir kali saat itu, entah kenapa dari kalimat-kalimat yang Angkasa katakan padanya, hanya dua kalimat terakhir tersebutlah yang paling menohok dan terus berdengung di telinga Galen.
Galen merasa seperti sahabat paling bodoh untuk Angkasa. Galen pikir semua tentang Angkasa sudah diketahui semua olehnya. Tetapi nyatanya tidak. Galen akui Angkasa memang terlalu misterius untuk dijadikan sahabat. Bahkan, kedekatan mereka sejak kecil selama bertahun-tahun, rasanya sudah tidak ada artinya lagi bagi keduanya.
Belum lagi perkara perasaannya dan perasaan Angkasa pada Sakura. Benar-benar membuat frustrasi Galen bertambah, ketika mengingat gadis itu belum sempat memberikan jawaban apa-apa saat ia mengungkapkannya tadi.
"Argh!" Galen mengerang, kesal.
Kejadian-kejadian yang menimpanya belakangan ini seketika mengingatkannya akan percakapannya dengan Angkasa saat mereka masih sama-sama duduk di kursi SMP dulu.
"Apa jadinya, ya, kalau kita udah besar nanti, kita menyukai satu perempuan yang sama?" tanya Galen yang saat itu belum mengganti seragam putih birunya, namun sudah bermain, sampai menyambangi rumah Angkasa.
Dan kini, hal yang Galen cemaskan sudah sejak dulu itu terjadi.
💕
Di tengah tidurnya, Sakura terbangun. Diceknya jam yang sudah menunjukkan pukul 3 dini hari. Pantas saja terlihat dari celah jendela, langit masih gelap.
Sakura keluar semula untuk menengok ibunya. Akan tetapi saat tidak mendapati Angkasa di ruang tamu, Sakura terpikir untuk mencari Angkasa.
"Kak Angkasa?" Sakura mencari. Dari ruang tamu, ke kamarnya, ke toilet yang ia pastikan Angkasa tidak ada di sana karena pintunya nampak terbuka. Sampai akhirnya Sakura mencoba untuk mencari ke teras depan rumahnya, barulah ia menemukan seseorang yang dicarinya.
Di teras, Angkasa duduk di lantai sambil menatap langit malam. Sampai tiba-tiba ia menyadari keberadaan Sakura yang baru saja mengambil posisi duduk tepat di sebelahnya.
"Kenapa di luar? Kan dingin," tutur Sakura sembari mengusap-ngusap kedua telapak tangannya supaya hangat.
Sekilas, Angkasa menengok gadis itu. "Saya kira kamu udah tidur."
"Belum. Nggak tau kenapa, tahu-tahu ngantuknya hilang," adu Sakura.
Alih-alih menyahut, Angkasa sibuk memerhatikan bintang-bintang di angkasa sana.
Lalu Sakura pun ikut melakukan apa yang Angkasa lakukan. Menengadahkan kepalanya ke atas, menebar senyum pada bintang-bintang di sana. "Angkasa itu sifatnya ada dua. Kalau siang, menghangatkan. Tapi kalau malam, mendinginkan. Kalau di luar negeri, bahkan bisa sampai membekukan. Semua udah jadi singkronisasi alam."
"Ehm." Angkasa mengangguk, tanpa menoleh.
"Katanya, manusia itu nggak ada yang benar-benar mati. Karena jiwa-jiwa mereka yang udah pergi meninggalkan semesta, semuanya tetap hidup dan diangkat sama Tuhan ke angkasa sana. Sengaja, supaya mereka bisa tetap mengawasi orang-orang yang mereka sayang, walau cuma dari kejauhan," tutur Sakura, menambahkan.
"Kalau ada kehidupan setelah mati, apa yang kamu harapkan?" tanya Angkasa, datar. Matanya masih menatap langit.
Sakura bergeming. "Kalau ada kehidupan setelah mati, aku bakal berharap untuk segera mati."
Sesaat Angkasa menoleh. Tatapannya jatuh, memerhatikan gadis itu.
"Di samping karena aku mau bertemu ayahku, aku juga mau tahu seberapa banyak orang yang merasa kehilangan aku ketika aku pergi untuk selamanya. Aku mau tahu siapa aja yang menangis untukku. Siapa aja yang merasa diuntungkan, dari kepergianku." Sakura diam sejenak. "Karena hanya di saat itu aku bisa tahu mana orang yang benar-benar tulus sayang sama aku, dan mana yang enggak."
"Jangan mati. Saya mau kamu terus bersama saya."
Saat Sakura menoleh, didapatinya Angkasa menatap lurus manik matanya. Keduanya saling menatap lekat. Ada begitu banyak hal dalam hati dan pikiran mereka masing-masing, yang ingin sekali mereka ungkapkan, namun mereka tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Dalam sekejap mereka berdua seakan kehilangan ribuan kosa kata yang mereka miliki. Sehingga akhirnya, hanya itu yang mampu mereka lakukan satu sama lain.
Prang!!!
Lagi-lagi pecahan kaca terdengar, menginterupsi segalanya. Sakura segera berlari. Angkasa menyusulnya.
"PEMBUNUH!!!"
Terdengar lagi jeritan ibunya seperti waktu lalu.
Ketika Sakura membuka pintu kamar ibunya, langsung terlihat kaca meja rias di dalam sana yang retak, bahkan pecah sampai pecahannya berjatuhan di lantai. Sementara Yuli sendiri nampak terduduk di sudut ruangan dekat pintu, memeluki lututnya yang tertekuk.
"Biar saya yang bereskan kacanya. Kamu tenangkan ibu kamu," ujar Angkasa.
Sakura menurut. "Ibu kenapa lagi?" tanyanya, seraya mengambil posisi jongkok di hadapan ibunya. Merengkuh tubuh ibunya begitu erat. Mengusap punggung ibunya supaya tenang dan dapat menimbulkan rasa aman dalam rengkuhannya.
"PEMBUNUH ITU!!!" jerit Yuli, mengamuk. Tetapi Sakura berhasil menahan dia dalam rengkuhannya.
"Saya belikan sarapan buat kamu sama ibu kamu dulu."
Melihat langit sudah mulai terang, usai membersihkan pecahan kaca di kamar Yuli, Angkasa putuskan untuk keluar. Sebab mengingat apa yang dikatakan Pita, pasal Sakura yang tidak suka diberi perhatian di saat keadaan yang seperti ini, Angkasa pikir memberi waktu untuk Sakura dengan ibunya berdua saja merupakan satu-satunya hal yang paling tepat, yang bisa ia lakukan saat ini pada Sakura.
💕
Sampai Yuli benar-benar tenang, perlahan Sakura melepaskan rengkuhannya. Menyingkirkan air mata yang membentuk garis di pipi tua wanita itu. Lalu merapikan sedikit tatanan rambutnya dengan usapan, yang entah sudah sejak kapan tidak pernah disisir.
Sakura membantu ibunya untuk tidur kembali di atas ranjang. Sambil mengulurkan selimut tebal di atas tubuh ibunya, Sakura bergumam pelan sesaat setelah ia mengembus napasnya berat. "Ibu jangan begini terus. Karena kalau Ibu begini terus, Sakura jadi bingung harus apa, Bu," keluhnya.
"Sakura nggak mungkin menitipkan Ibu di rumah sakit jiwa. Ibu nggak sakit, Ibu cuma belum bisa menerima kenyataan aja. Iya kan, Bu?" Gadis itu menundukkan kepalanya. Tetes demi tetes air mulai berjatuhan sampai membasahi selimut ibunya. Sampai kemudian ia tak menyadari isak tangisnya sendiri, yang tidak tahunya terdengar hingga ke luar kamar.
Membuat seseorang di balik dinding sana mau tidak mau harus menghentikan langkahnya sejenak. Angkasa berdiam diri dengan membawa dua porsi bubur yang terbungkus dalam satu kantung plastik di tangannya. Apa sesakit itu? Sesakit itu yang Sakura rasakan selama 6 tahun terakhir semenjak kepergian ayahnya?
Kalau memang iya, Angkasa sungguh sangat menyesali kenapa ia baru mengenal Sakura sekarang? Kenapa tidak dari 6 tahun yang lalu Tuhan mempertemukannya dengan Sakura? Karena mungkin, kalau saja dirinya mengenal Sakura lebih awal, dan takdir mempertemukannya dengan Sakura lebih cepat, setidaknya Sakura tidak perlu menanggung rasa sesakit itu sendirian.
Dan saat ini... Angkasa hanya bisa menyesali semuanya, tanpa bisa berbuat apa-apa.
Angkasa menahan rasa sesaknya dalam-dalam. Sebelum akhirnya ia putuskan untuk masuk ke dalam kamar Yuli, dan langsung menaruh plastik itu di atas nakas. "Kamu sama ibumu sarapan dulu."
"Eh?" Mendapati suara Angkasa, Sakura segera membasuh kedua pipi dan matanya. "Kenapa cuma dua buburnya? Buat Kak Angkasa mana?"
"Saya nggak biasa sarapan," kilah Angkasa.
Namun saat dirinya ingin mengambilkan salah satu bubur itu untuk Sakura, sesuatu yang tergeletak tepat bersebelahan dengan lampu tidur, tiba-tiba saja berhasil menarik perhatian matanya.
===
To be continue...
a/n: aku mau cerita ini buru2 kelar:') biar bisa lanjut ke cerita lainnyaa. gak sabar akutuh wkwkwk.
aku hitung2 paling sekitar belasan parts lagi tamat ehehe😅
follow instagram itscindyvir // amateurflies untuk tau spoiler2 ceritaku yg belum dipublish di wp yaa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top