[vol. 1] 39. Tatapan Mata
"Sakura, mari kita berhubungan lebih jauh?"
***
"Kan gue bilang apa, jangan ngampus dulu. Bandel banget, sih, kalau dibilanginnya! Sekarang rasain, pingsan kan lo di sana?" omel Pita, usai Sakura menceritakan apa yang terjadi secara ringkas. "Mana gue lagi banyak tugas, lagi."
"Lo kalau mau balik, balik aja." Seraya merebahkan tubuh di atas ranjang kamarnya, Sakura membalas enteng.
Sedangkan Pita tetap saja merisau, "Gue balik, ibu lo siapa yang jagain nanti? Kondisi lo lagi sakit begini."
"Nggak sakit, cuma kecapean aja. Tidur lima menit juga sembuh," sangkal Sakura masih dengan alasan yang sama. "Asalkan nanti kalau udah jam 4an, lo ke sini lagi, ya?"
"Tapi kan tetep aja, Sa. Gue khawatir sama lo," kukuh Pita.
"Saya yang bakal tungguin Sakura di sini," sela Angkasa, yang seketika langsung membuat Sakura dan Pita menoleh tidak percaya, ke arahnya. "Kalau perlu saya buat menginap, juga nggak masalah."
"Eh, jangan!" tahan Sakura. "Jam empat Pita juga pasti balik lagi."
"Iya, Kak. Nanti jam 4 Pita balik lagi buat jagain Tante Yuli," ujar Pita, sebelum menyambar tasnya yang tergeletak di lantai. "Gue balik dulu sebentar, ya, Sa. Titip Sakura sama Tante Yuli, ya, Kak." Usai beralih dari Sakura ke Angkasa untuk menitip pesan, barulah Pita pamit pada keduanya dengan lambaian singkat, "Bye-bye!"
Angkasa kembali memutar bahunya menghadap Sakura yang berbaring. Angkasa duduk di kursi meja belajar Sakura, yang ia tarik lebih dekat dengan sisi ranjang Sakura.
"Kamu istirahat, ya. Saya jagain kamu di sini," ucap Angkasa, sambil mengulurkan selimut Sakura lebih tinggi.
Sakura mengangguk, lalu memejamkan matanya. Sakura yang tampaknya memang sedang kelelahan, sepertinya tidak memerlukan waktu lama untuk terlelap. Karena hanya selang beberapa menit sejak Angkasa mengusap kepalanya, gadis itu sudah langsung tertidur dengan pulas.
Memandangi wajah tidur Sakura lamat-lamat dengan jarak sedekat sekarang, seketika Angkasa tersenyum. Rasanya lucu ketika Angkasa mengingat segalak apa gadis itu saat pertama kali ditemuinya di depan kedai. Sakura memang gadis pengganggu dan menyebalkan. Tetapi sepertinya Angkasa justru akan merasa bosan dan kesepian, apabila satu hari saja dalam hidupnya, tanpa gangguan dari Sakura.
Perlahan tapi pasti, tangan Angkasa terjulur meraih salah satu tangan Sakura, yang kemudian menggenggamnya erat. Dengan begitu lembut, bibir Angkasa menyentuh kening Sakura, yang terhalang oleh poni gadis itu. "Sakura, saya suka sama kamu." Lalu bergumam lagi. "Sakura, gimana kalau kita kencan?" Setelah diam sesaat, Angkasa bergumam lagi untuk yang ketiga kalinya. "Sakura, mari kita berhubungan lebih jauh?"
Angkasa tidak tahu sejak kapan ia mulai memiliki perasaan ini. Meski tidak tahu apakah perasaannya pada Sakura ini bisa disebut cinta atau tida, yang jelas Angkasa menyayangi gadis itu. Dengan kejelasan yang Angkasa sendiri tidak ketahui, sampai kapan ia akan memendamnya, dan berani untuk mengungkapkannya.
💕
Tidak memutuskan untuk pulang, selepas Sakura pulang yang diantar oleh Angkasa, Galen kembali ke ruang senat membiarkan dirinya untuk menyendiri. Dengan ingatan yang menerawang jauh, Galen terdiam dalam posisi duduknya yang bersandar, juga dengan kedua siku yang bertumpu pada gagang kursi.
Galen tidak tahu apa alasan Sakura yang sebenarnya, sehingga lebih memilih Angkasa dibanding dirinya. Padahal kalau secara logika, seharusnya yang Sakura pilih adalah dirinya. Karena selain Sakura memiliki janji yang belum ditepati pada Galen, sudah jelas pula bahwa saat dia pingsan, yang membawanya ke klinik kampus adalah Galen. Bukan Angkasa.
Huft!
Sesaat Galen mengembuskan napasnya. Galen pernah mencintai Viola begitu dalam. Menjatuhkan diri sampai lupa bagaimana caranya untuk bangkit. Lalu kemudian Sakura hadir dengan uluran tangan yang membantunya kembali berdiri. Berjalan, walau tertatih, untuk terus mengambil langkah jauh agar bisa melupakan Viola.
Sampai tanpa Galen sadari, Sakura juga melakukan hal yang sama padanya. Dengan perbedaan, Sakura membuatnya jatuh karena mengajaknya berlari terlalu kencang untuk menjauh dari masalalu yang menyakitkan dengan Viola saat itu. Namun Galen harap, Sakura tidak pernah pergi meninggalkannya seperti apa yang telah Viola lakukan padanya.
Tapi yang Galen herankan, jika benar praduganya yang mengatakan Raya adalah seseorang yang disukai Angkasa, untuk apa pula sahabat kecilnya itu mendekati Sakura? Bahkan sampai melempar perhatian yang menurut Galen tidak sewajarnya untuk dua orang yang berstatus hanya sebatas 'teman'.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu seketika membuat pikiran Galen membuyar. "Masuk," sahutnya seraya membenarkan posisi duduknya.
Tak lama Putra masuk, dan mengangsurkan sebuah kamera pada Galen.
"Apa?"
"Ini. Katanya lo mau minta foto-foto buat ditaruh di laporan?" tanya Putra, yang berbalik bingung.
"Oh, iya. Sini." Galen mengambil kamera itu.
Mengeluarkan memori di dalamnya, yang kemudian ia masukkan ke dalam laptopnya yang sebelumnya sudah sempat ia nyalakan.
Putra menarik kursi lain, lebih dekat dengan Galen. "Itu ada banyak banget. Mau lo copy semuanya?"
Tidak ada jawaban. Yang Putra lihat salah satu karibnya itu malah tercenung memerhatikan layar laptop yang menyala, yang masih menampilkan beberapa deret foto-foto saat bakti sosial kemarin. Yang Putra tidak sadari, satu di antaranya membidik kedekatan Sakura dengan Angkasa di sana.
"Heh, bagol! Bengong mulu lo akhir-akhir ini. Kenapa, sih?" selidik Putra.
"Put," panggil Galen, yang langsung ditanggapi oleh Putra.
"Hm?
Tanpa menoleh, Galen menutur, "Setelah seseorang matahin hati lo, apa mungkin hati lo akan langsung hancur ketika lo jatuh cinta pada seseorang lainnya?"
"Jatuh cinta sama patah hati itu sepaket, Man! Karena segala sesuatu yang jatuh, kalau nggak patah, retak, ya, hancur. Lo nggak bisa milih cuma mau jatuh cinta tanpa ngerasain patah hati. Nggak mungkin bisa juga lo patah hati, tanpa ngerasain jatuh cinta lebih dulu. Dunia ini harus seimbang. Nggak ada kebahagiaan ataupun kesedihan yang mutlak. Semua saling melengkapi. Sama halnya kayak lo nggak akan bisa ngerasa bahagia tanpa adanya sedih."
Dalam diam, kata-kata Putra seketika membuka kembali pemikiran Galen yang nyaris tertutup. Yang Putra katakan itu semuanya benar.
"Gimana? Sampai sini paham?" ujar Putra, yang terdengar layaknya dosen habis menggurui, namun tetap diberi anggukan oleh Galen.
"Oke, kelas cinta selanjutnya lo mesti bayar 100 juta persemester. Gue cabut dulu," akhir Putra, yang membuat kaki Galen langsung refleks menendang kursi yang didudukinya.
Setelah Putra keluar, Galen membuka salah satu laci mejanya. Mengeluarkan sebagian hasil cetak laporan kegiatan baksos yang belum terselesaikan, lalu meletakkannya tepat di samping laptop. Baru saja Galen ingin menutup laci itu kembali, tiba-tiba ia melihat sesuatu yang dicari-carinya beberapa hari terakhir. Komik milik Angkasa.
Galen mengambil komik itu. Membukanya, dan langsung menemukan selembar foto pada belahan pertama. Foto seorang gadis berambut panjang terikat rapi, yang mengenakan seragam putih abu-abu. Sedang mengulum senyum dengan memegang tag nama yang terkalung di lehernya yang bertuliskan;
Laraina Nessafa Raya.
💕
"Bang Erik, nanti kalau Bang Erik udah dewasa terus punya keluarga baru, apa kita bakal tetap dekat kayak gini?"
Erik yang saat itu masih berusia 14 tahun, mengusap kepala adiknya, Angga, penuh kasih sayang. "Pasti dong. Angga kan adik Abang satu-satunya. Emangnya kenapa nanya begitu?"
Saat itu Arina belum lahir. Sehingga Erik tidak memiliki saudara kandung lagi, selain Angga yang saat itu usianya masih berkisar 10 tahunan.
Angga menggeleng lesu. "Angga cuma takut aja nantinya Bang Erik bakalan lupa sama Angga. Angga takut, semakin kita dewasa persaudaraan kita bakal semakin renggang dan Angga kesepian. Sama, tuh, kayak Mama sama Tante Riza. Semenjak menikah dan punya anak, Tante Riza keliatan udah lupa sama kita. Nggak pernah ke sini lagi. Padahal Angga kangen main sama Tante Riza."
"Persaudaraan mama sama Tante Riza bukan renggang, Angga. Kedewasaan nggak akan merenggangkan apapun. Tante Riza cuma butuh waktu buat untuk itu. Karena semakin kita dewasa, kesibukan setiap orang akan semakin berbeda-beda. Tante Riza nggak lupain kita, Tante Riza cuma lagi sibuk ngurus bayinya. Nanti kalau udah nggak sibuk pasti ke sini. Kita main bareng sama bayinya juga." Erik menoleh. Tatapannya jatuh pada sepasang mata adiknya dengan senyuman. "Nggak ada yang perlu ditakuti dari waktu yang terus berjalan. Nggak ada pula yang perlu disesali. Semua bakal baik-baik aja selama masih Tuhan yang memegang pensil untuk menggaris takdir kita."
"Tapi Angga tetap mau Bang Erik janji satu hal sama Angga."
"Apa?"
"Jangan pernah tinggalin Angga, ya, Bang?"
"Iya, Abang janji! Angga juga, ya?" Erik mendekatkan jari kelingkingnya pada Angga.
"Hm!" Angga mengangguk, mengaitkan kelingkingnya dengan kelingking Erik. "Janji!" akhir Angga, yang sampai detik ini bahkan suaranya masih terus mengiang-ngiang di telinga Erik. Lalu setelahnya
Erik memandangi potret dirinya bersama Angga, yang terpajang dalam sebuah figura mini. Saat potret itu diambil, Erik sungguh tidak menyangka, bahwa kini justru malah adiknya yang meninggalkan dirinya sendirian seperti ini.
Angga adalah sosok adik yang baik, penurut, tidak pernah membantah apapun perkataan abangnya. Erik sayang sekali dengan Angga. Dulu, waktu mereka kecil, Erik sering sekali menghabiskan waktu dengan Angga. Memancing belut, bermain sepatu roda, layang-layang, kelereng, semua permainan Erik suka selama bermain bersama adiknya.
Tess
Tiba-tiba air mata Erik terjatuh dengan sendirinya. Mengingat kepergian Angga yang begitu tragis merupakan hal yang paling Erik benci, namun selalu muncul hampir setiap menit di kepalanya. Membuat kebencian demi kebencian terhadap Yuli, kakak iparnya sendiri, alias si pembunuh, terus muncul dan tumbuh dalam diri Erik.
"Kamu harus mendapat balasan yang setimpal, Yuli!"
💕
Sementara menunggu Sakura tidur, Angkasa menggunakan waktunya untuk melihat foto-foto Sakura yang terpajang di kamarnya. Selain dalam bentuk figura, Angkasa lihat ada pula foto-foto dalam bentuk palaroid, yang hanya dipaku pada gabus berwarna hitam menggunakan paku khusus berwarna-warni, yang tertempel di dinding kamar Sakura. Di atasnya terdapat tulisan; My Puberty.
Di sana ada foto Sakura sejak saat masih bayi, lalu tumbuh menjadi kanak-kanak, tumbuh lagi menjadi siswi sekolah dasar yang berseragam merah putih, kemudian melanjut ke seragam putih biru, lanjut lagi putih abu-abu, sampai kemudian tak berseragam, namun berdiri di depan sebuah gedung besar yang sangat Angkasa kenali. Universitas Nusa. Pertanda gadis itu sudah menjadi mahasiswa.
Dua sudut bibir Angkasa tertarik membentuk senyum melihat perubahan demi perubahan yang terjadi pada foto-foto Sakura. Walau terus tersenyum dalam setiap bidikan, ternyata gadis itu memang memiliki wajah yang galak sejak kecil.
Angkasa mengeluarkan ponselnya. Kemudian memotret ulang foto-foto itu secara satu persatu. Ini baik untuk diabadikan untuk dirinya sendiri, pikir Angkasa.
Usai berhasil memotret ulang, Angkasa melihat hasil dalam ponselnya. Namun semakin ibu jari Angkasa menggeser layar ponselnya ke foto-foto berikutnya, sesaat ia menyadari suatu hal yang berbeda pada senyum Sakura. Perbedaan yang terlihat jelas dalam foto-foto itu, yang menurut Angkasa semakin gadis itu tumbuh senyumnya semakin memudar.
"Jam berapa sekarang?!" Sakura membuka mata lebar-lebar. Tubuhnya terperanjat.
Angkasa berbalik sembari mengantungi ponselnya. "Kenapa emangnya?"
"Aku harus kerja! Pita udah ke sini?" tanya Sakura seperti orang panik, membuat Angkasa seketika menghampirinya.
Sakura sudah mengibaskan selimutnya, akan tetapi Angkasa kembali mengulur selimut itu. "Nanti nggak usah kerja dulu."
"Nggak bisa, Kak. Aku harus kerja."
"Kamu lagi sakit. Saya nggak mau tahu, hari ini kamu harus istirahat penuh."
"Pita ke mana, sih!" Sakura merampas ponselnya dari atas nakas.
2 unread messagges from Repita
Ibu jari Sakura bergerak cepat, membukanya.
Repita: Sa, sori gue nggak bisa balik lagi.
Repita: Nanti lo jangan kerja dulu aja, ya. Mending inget cara ketiga yang dari gue buat meluluhkan Angkasa. Oke!
Huft!
Sakura menjatuhkan ponsel yang masih berada dalam genggamannya.
Cara ketiga ini, lo harus tatap mata Angkasa minimal sampai 2 menit 59 detik. Abis itu lo cek dadanya, kalau dia deg-degan berarti dia ada rasa sama lo. Karena konon katanya, tatapan mata yang mendalam bisa bikin seseorang langsung jatuh cinta sama kita."
"Kenapa diem?"
Sakura meneguk salivanya. Membenarkan posisi duduknya yang di tengah ranjang, menjadi menghadap sempurna ke arah Angkasa yang duduk di kursi meja belajarnya tepat di samping ranjang. "Gini, deh, Kak. Kita main adu tatap. Kalau aku menang, Kak Angkasa harus bolehin aku masuk kerja hari ini. Tapi kalau aku kalah, aku bakal nurutin maunya Kak Angkasa. Gimana?"
"Dengan satu syarat."
"Apa?"
"Kamu nggak boleh senyum selama natap saya."
"Deal!"
Angkasa sudah bersiap dengan tatapannya. Namun baru sedetik berjalan, tiba-tiba Sakura menghalangi wajah Angkasa dengan telapak tangannya, dan menutup matanya sendiri dengan telapak tangan yang satunya lagi.
"Eh, ntar dulu. Sebentar. Aku belum siap." Sakura masih menunduk mempersiapkan diri. Sorot mata Angkasa yang sekilas tadi ia lihat begitu dingin, seketika membuat Sakura merasa kalau dirinya harus menyiapkan mental lebih kuat lagi.
Satu menit setelahnya, barulah Sakura berhasil memaksakan diri untuk membalas tatapan Angkasa. Perlombaan aneh itu pun dimulai. Detik ketemu detik saling beriringan. Angkasa masih kuat dengan tatapannya. Karena memang hal semacam ini sangatlah mudah bagi Angkasa. Berbanding terbalik, lawannya justru sudah ketar-ketir.
Sakura tidak mengerti kenapa dengan degup jantungnya, tiap kali tatapannya bertemu dengan sorot mata Angkasa. Semakin lama Angkasa menatapnya, semakin cepat pula debaran di dadanya.
Nggak, Sakura! Lo harus tahan, umpat Sakura dalam hati.
Sakura menekan dadanya kuat-kuat, terus mengusahakan sepasang matanya masih tahan untuk tidak berkedip. Meskipun, tanpa sadar wajahnya mulai bergerak mundur, ketika wajah Angkasa perlahan bergerak maju semakin mendekat.
Angkasa terus mempersempit jarak wajahnya dengan Sakura. Sehingga tubuh Sakura pun ikut bergeser mundur dengan sendirinya. Sekian menit mereka masih sama-sama bertahan. Namun ketika Angkasa terus mendekat sampai-sampai napas Sakura mendadak tertahan, gadis itu berkedip, menyerah dan langsung menghela napasnya panjang-panjang.
Jika titik lemah Angkasa adalah senyum Sakura, titik lemah Sakura adalah tatapan Angkasa.
"Ahahaha!" Seketika Angkasa melepas tawanya begitu saja. Melihat pipi Sakura yang semerah tomat benar-benar hal yang lucu bagi Angkasa.
Sakura memerhatikan Angkasa aneh. "Kakak bisa ketawa?"
"Ya bisalah. Kamu pikir saya ini manusia apa yang nggak bisa ketawa?" sewot Angkasa.
"Manusia es. Dingin, ehehe." Kini Sakura yang terkekeh.
"Ada juga kamu. Bisa malu juga?"
"Eh, bentar deh, Kak." Alih-alih menjawab, dengan polosnya Sakura malah menempelkan telinga kanannya pada dada Angkasa.
Tawa Angkasa hilang. Rautnya berubah serius. "Kamu ngapain?"
"Ssssttt!" Sakura berdesis. Fokus mendengarkan detak jantung Angkasa. "Kakak deg-degan, ya?" tanyanya ge-er.
Angkasa menjauhkan kepala Sakura dari dadanya. "Bukan saya, tapi kamu."
"Hah?" Sakura mengernyit. Sampai saat ia memegang dadanya sendiri, barulah semua terungkap. Asem! Ini kenapa malah jadi gue yang deg-degan gini?!!!
Lagi-lagi tingkah Sakura membuat Angkasa tidak bisa menahan tarikan dua sudut bibirnya untuk tidak melengkung.
Prang!
Suara pecahan beling dalam sekejap mengubah suasana.
===
To be continue...
a/n: siap2, nantinya akan ada banyak kejutan dalam cerita ini:)
follow instagram: itscindyvir dan amateurflies
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top