[vol. 1] 27. Penyembuh Luka

Ketika dia pergi dan hanya meninggalkan luka, entah kenapa seolah kamu memang dihadirkan untuk menjadi penyembuh luka.

***

Dengan perlahan Galen mendekatkan bibirnya. Membuat sesenti demi sesenti, jarak antara bibirnya dengan bibir Sakura semakin menipis....

Galen mulai mencoba untuk menipiskan jarak yang tercipta. Namun ketika Galen mulai mendekatkan bibirnya, Sakura malah bangkit tidak pakai kompromi. Membuat Galen tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Dan saat gadis itu membuka penutup matanya, ia seperti agak terkejut sendiri mendapati Galen duduk di hadapannya. Sejenak ia mencoba menalar apa yang terjadi sebelumnya, selama matanya ditutup.

"Jad―jadi, tadi aku jatuhnya nubruk Kak Galen?"

Galen mengangguk.

Sakura mendelik kaget. "Berarti yang tadi aku pegang wajahnya itu, Kak Galen?!"

Sayang sekali gadis itu tidak tahu apa yang sebenar-benarnya terjadi. Kalau tahu, bisa meledak-ledak jantung dan perasaannya sekarang juga.

💕

Tanpa melihat lagi, Angkasa segera menutup kembali laci meja tersebut, lalu menunda niatannya untuk melihat apa yang sebetulnya ingin ia lihat saat itu juga.

"Angkasa cuma mau naruh dokumen ini," tunjuk Angkasa pada amplop cokelat yang masih ada di tangannya.

Andre melangkah masuk dan langsung mengambil dokumennya dari Angkasa. "Taruh saja di atas meja. Papa tidak suka kalau ada yang masuk ruang kerja Papa tanpa izin."

"Hm," Angkasa tersenyum miring. "Kenapa? Apa karena ada yang Papa sembunyiin dari Angkasa?" tanyanya dengan intonasi seperti menantang.

"Jangan ngarang kamu! Memangnya Papa sembunyikan apa? Apa yang perlu Papa sembunyikan dari kamu?"

"Tentang kepergian Mama mungkin?"

Setelah satu hari kedua orangtuanya resmi bercerai, Angkasa tidak pernah lagi melihat mamanya. Mamanya langsung menghilang begitu saja, pergi tanpa ada mengucap perpisahan apapun padanya. Jangankan untuk pamit, menemuinya saja tidak. Sehingga sampai detik ini, Angkasa memang tidak pernah tahu di mana mamanya berada. Bahkan Angkasa juga tidak tahu apa alasan kedua orangtuanya bercerai. Karena baik itu mamanya maupun papanya, mereka sama saja. Selalu menutup rapat-rapat permasalahan mereka dari dirinya.

Suasana hening beberapa saat. Angkasa sudah bisa menebak, mau sampai kapan pun juga papanya pasti tidak akan pernah bersedia untuk memberikan kejelasan padanya mengenai itu semua. Enggan bertengkar dengan papanya, Angkasa memutuskan untuk pergi berlalu. Menjauh, keluar dari ruang tersebut. Menyisakan Andre seorang diri, yang nampak masih terpaku lantaran perkataan putranya sendiri.

💕

Sudah pukul sembilan malam. Sedikit demi sedikit para pengunjung mulai meninggalkan kedai. Tinggal dua meja saja yang masih ada orang, karena sisa yang lainnya sudah kosong dan tinggallah tugas para pelayan kedai yang harus membersihkannya.

"Sakura, sebelum pulang nanti, tolong kamu antarkan pesanan di atas meja itu, ya." Karena kebetulan yang berposisi paling dekat dengannya saat itu Sakura, jadilah Bu Mega berujar pada Sakura, sambil tetap fokus menghitung omset hariannya per hari ini.

Sakura yang sedang mengelap meja bekas pelanggan, sama seperti pelayan yang lain, seketika menghentikan aktivitasnya sejenak. "Antar ke mana, Bu?"

"Itu alamatnya udah ada di dalamnya," tutur Bu Mega lagi. "Setelah itu kamu boleh langsung pulang. Nanti kedai biar Anggi aja yang nutup."

"Oh, oke, Bu."

Usai menyelesaikan pekerjaannya, Sakura melepas segala atribut pelayannya semacam celemek, topi, dan tag nama, lalu menyimpannya di dalam loker. Sakura langsung bersiap-siap membenahi diri, karena Bu Mega pun mengizinkannya, dengan maksud supaya pulangnya nanti Sakura juga tidak terlalu larut.

Tanpa lupa membawa pesanan yang akan ia antar, Sakura bergegas menyambangi sepedanya. Namun sebelum mengayuh Sakura menyempatkan waktu beberapa saat, untuk melihat terlebih dahulu alamat pelanggan yang ingin ia tuju, yang dituliskan oleh Bu Mega pada lembaran kertas kecil.

"Oh, perumahan itu," gumamnya sendiri.

Setelah menyimpan kembali lembaran kecil itu ke dalam kantung jeans-nya, Sakura berlalu bersama dengan roda sepedanya yang melaju membelah jalan.

💕

Di sisi ranjang, Galen duduk termenung dengan kepala menunduk. Entah apa yang salah pada Galen, sejak tadi kejadian saat di panti. ketika ia nyaris saja tergoda untuk menempelkan bibirnya dengan bibir Sakura, terus saja terputar berulang-ulang dalam ingatan Galen dan bahkan hal itu sampai mampu membuat Galen jadi resah sendiri hingga saat ini.

Galen tahu dirinya salah. Karena mengingat statusnya yang masih resmi menjadi kekasih Viola, benar-benar menyadarkan Galen bahwa tidak seharusnya ia memiliki niatan seperti itu terhadap Sakura yang notabenenya adalah gadis lain. Tidak peduli meskipun kejadian tadi terjadi di luar kehendaknya.

Galen tidak tahu kalau berdekatan dengan Sakura sedekat itu ternyata tidak hanya mampu mengacaukan detak jantungnya, tetapi juga mampu mengacaukan pikirannya sampai berlarut-larut seperti ini. Galen juga tidak tahu perasaan macam apa yang bergejolak dalam dirinya semenjak kejadian tadi sampai saat ini, sampai ia tidak bisa fokus melakukan apapun.

Namun yang jelas Galen tahu, perasaan itu tidak pernah ia rasakan sebelumnya pada Sakura.

Tiba-tiba teringat akan sesuatu, Galen segera menyambar ponselnya yang tergeletak di tengah ranjang. Membuka menu galeri, yang langsung menampilkan banyak foto-foto yang sempat ia ambil saat di panti. Galen hampir lupa kalau ia juga sempat mengambil foto Sakura tanpa Sakura sadari.

Sambil memerhatikan anak-anak yang sedang asyik menikmati kue cokelat Bunda, Sakura duduk di kursi panjang yang ada di teras.

"Kak Galen tau, nggak? Mereka itu anak-anak kuat," ucap Sakura pada Galen yang sedang mengambil gambar menggunakan kamera ponselnya.

Galen menoleh. Tubuhnya berbalik, seraya menyempatkan diri untuk mengambil foto Sakura. Setelah itu barulah Galen duduk tepat di sebelah Sakura. "Hm?"

"Sejak kecil mereka nggak pernah tumbuh dengan dampingan orangtua yang lengkap, bahkan beberapa dari mereka ada yang nggak mengenal orangtua kandung mereka sama sekali, tapi mereka tetap bisa saling berbagi kebahagiaan dengan cara mereka sendiri. Mereka beranggapan mau sepahit apapun masa lalu mereka, selama mereka yakin kalau semua yang terjadi masih bagian dari takdir Tuhan, pasti akan baik adanya. Mereka selalu punya cara untuk menilai segala sesuatu dari sisi yang berbeda. Makanya tiap kali aku merasa sedang berada di titik lemah, cukup dengan mengingat mereka aja kadang bisa menguatkan aku secara nggak langsung."

Galen diam masih mendengarkan. Memandangi Sakura, sampai lama-kelamaan matanya malah terasa seperti tidak bisa berpaling dari gadis itu.

"Dulu tiap akhir pekan, di saat keluarga-keluarga lain memilih bertamasya ke tempat wisata untuk menghabiskan waktu mereka, Ayah dan Ibu selalu rutin ngajak aku ke sini. Ayah dan ibu aku pernah bilang, karena dari panti ini kita bisa belajar kalau untuk menjadi seseorang yang kuat, kita tidak harus memiliki kehidupan yang sempurna. Cukuplah berdamai dengan rasa sakit yang kita rasakan di masalalu, kita sudah lebih kuat dari orang-orang kuat di luar sana. Dan untuk hidup bahagia kita tidak perlu memiliki uang banyak. Cukup dengan mensyukuri apa yang kita miliki, bahagia akan mendatangi kita dengan sendirinya. Walau pendapatan ayah nggak seberapa, tapi ayah nggak pernah lupa untuk memberikan sebagiannya ke panti ini."

Tanpa sadar, senyum Galen mengembang ketika foto Sakura pada layar ponselnya kembali terlihat jelas di matanya. "Bukan cuma anak-anak, kamu juga hebat Sakura. Bahkan kamu jauh lebih hebat dari yang aku kira sebelumnya."

Entah kenapa Galen merasa, di saat Viola pergi dan hanya meninggalkan luka, seolah Sakura memang dihadirkan untuk menjadi plaster penyembuh luka. Lalu, apa yang salah dengan dirinya jika kenyataan ia tidak bisa mengatur kemauan perasaannya sendiri?

💕

Tidak ada kata takut, Sakura memasuki area perumahan yang nampak begitu sepi. Lalu berhenti tepat di depan sebuah rumah dengan gerbang yang menjulang tinggi.

"Nomor 24." Sejenak Sakura mencocokan nomor rumah yang tertera di dinding rumah mewah tersebut, dengan lembaran kertas di tangannya.

Setelah memasang standar dan mengambil kantung pesanan yang tergantung di salah satu stang sepedanya, Sakura menekan tombol bel hitam yang terdapat di dinding samping pagar.

Ting nong!

Satu dua detik tidak ada sahutan dari dalam. Baru saja Sakura hendak menekannya sekali lagi, tiba-tiba terdengar suara antukan besi, yang menandakan ada seseorang di balik sana sedang membukakan pagar untuknya. Sampai tak lama saat pagar kokoh di hadapannya itu bergeser menampakkan seseorang yang berdiri di balik sana, seketika kedua bola mata Sakura melebar melihatnya.

===

To be continue...

a/n: siap sama part selanjutnya?

bonus foto

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top