Noueveau Monde
Aku sedih, dengan kenangan bersama Ayah yang terhenti lebih cepat. Tak banyak kenangan yang dapat kuingat tentangnya, tapi tak lupa sedikit pun perasaan cinta akan ayah.
Hari ini aku dan Mamah akan pindah ke rumah Nenek di kampung untuk sementara, semenjak kepergian Ayah tak banyak kata yang aku keluarkan. Begitupun dengan Mamah, walaupun Mamah selalu berusaha untuk tetap tersenyum di hadapanku, kutahu itu sulit.
Sekarang aku mengerti secara mendalam tentang perasaan sakit seperti ini, mereka bilang aku memang tumbuh dewasa lebih cepat dibandingkan anak-anak lainnya. Bagaimanapun juga aku hanya anak-anak, aku tak bisa menutupi luka yang masih tertinggal di hatiku.
Setiap malam aku selalu terbangun dengan keadaan bermandikan keringat dan napas yang berderu, selalu karena alasan yang sama.
Ayah.
Sepotong cokelat tak lagi membuatku membaik, hanya duka yang terus membanjiri ingatanku, seperti seekor kupu-kupu yang terbang membawa kenangan kami, membawa kebahagiaan kami, dengan singkat ia menghilang tak tersisa.
Sekotak cokelat yang aku buat hari itu, hadiah yang seharusnya aku berikan pada Ayah. Sekarang tak ada sedikit pun kesempatan bagiku untuk menyampaikannya.
Dengan keraguan aku menaiki sebuah bus berwarna kuning, bus yang akan membawaku ke rumah Nenek.
Satu-satunya kendaraan umum yang ada menuju tempat tersebut, terlihat corak kuning yang pudar dihiasi karat di berbagai sisi. Jendela bus yang tak terhalangi apapun menambah kesan rapuh pada bus tersebut.
Masih ingat dengan jelas malam itu, suara pria terdengar berbicara dengan Mamah. Menceritakan runtutan kejadian bagaimana Ayah meninggal dilalap api sendirian, tak ada satu pun yang menolongnya.
Sendirian.
Kenyataan pada malam itu menambah sesak pada dadaku, aku menangis semalaman tak sedikit pun kantuk menghampiriku, hanya bayang-bayang kobaran api yang menjebak Ayah di dalam mobilnya, dengan ledakan yang tak sanggup kubayangkan.
Wajah Ayah terus terbayang, kecupan terakhir yang kurasakan senin lalu tak kusangka itu yang terakhir darinya. Masih teringat dengan jelas aku berlari meninggalkan Ayah di dalam sana dengan ekspresi gembira aku melambai kepadanya.
Seandainya aku bersikap egois hari itu, seandainya aku memaksa Ayah untuk menemaniku seharian di sekolah. Aku sangat takut untuk kembali menaiki sebuah mobil, karena bayangan itu membuatku teringat dengan rasa sakit yang mendalam akan Ayah.
Bus yang tersingkir di antara kendaraan umum lainnya di sebuah terminal, pagi sekali kami memutuskan untuk pergi dan meninggalkan kota. Dengan paksaan Nenek, akhirnya Mamah mengiyakan perintahnya.
Aku tak ingat seperti apa diriku sebelumnya, terpukul. Jelas aku sangat terpukul yang ada sekarang diriku yang tak banyak bicara. Sebetulnya aku cukup khawatir dengan keadaan Mamah, mungkin sikapku sekarang bisa saja membuat ia semakin sedih tapi aku tak bisa berdamai dengan keadaanku.
Mesin bus tersebut akhirnya menyala, aku yang duduk pada bangku paling belakang melihat kearah luar, sinar matahari mulai naik dan menutupi bagian gelap yang masih tersisa. Beberapa bangku terlihat kosong, tak banyak penumpang yang menaiki bus tersebut.
Beberapa kursi dengan cat yang terkelupas tak ada yang segan untuk mendudukinya, kiranya hanya ada aku, Mamah, sang supir, dan tiga orang tua lainnya dengan kantung yang sangat besar. Mungkin mereka pergi berbelanja di kota, pikirku. Sang supir mulai melaju dengan enggan, meningat tak banyak penumpang hari ini.
Aku melihat keluar jendela, melamun kesepian yang berujung dengan tangisan tanpa kusadari. Suasana seperti ini, suasana yang sama ketika pertemuan terakhir kami berlangsung. Mamah merangkul tubuhku dengan payah, kami berdua sama-sama terluka mungkin sebuah pelukan dapat mendamaikan diri kami.
Tatapan mataku kosong memandang padang rumput yang mengering di sisi jalan, semilir angin tak sekalipun membuatku terganggu. Hati dan pikiranku masih kosong.
Sesekali bus yang kami tumpangi berhenti dengan paksa karena beberapa masalah pada bus tua tersebut, sang supir yang terlihat kelelahan terlihat dari peluh yang membanjiri wajahnya menyuruh kami untuk turun sesaat sampai mesin bus tersebut kembali menyala.
Aku menggerutu dalam hati ‘Seharusnya bus tua seperti ini dimuseumkan saja, sudah tidak layak pakai begini.’
Dengan kesal aku menendang kerikil di hadapanku, entah kenapa aku menjadi sangat sensitif sekarang. Pikirku itu adalah hal yang wajar, pasti semuanya akan marah dalam kondisi seperti ini.
Mamahku terlihat duduk menunggu di sebuah batu dengan harap bus tersebut akan kembali menyala, sesekali aku meliriknya dan di balas dengan senyuman darinya.
Tiga orang tua yang tadi sibuk dengan kantung besar yang sudah aku ketahui berisi sekantung sayuran dan daging mentah datang menghampiriku, mereka menyapa kami. Basa-basi terdengar jelas antara orang tua tersebut dengan Mamah, aku sendiri masih menyibukkan diriku menendang batu kebosanan.
Salah satu orang tua tersebut berjalan kearahku, “Nak, kamu suka cokelat?”
Aku terkejut mendengar suara perempuan tua yang tiba-tiba muncul di sampingku, tatapanku masih kosong dan dingin melihatnya tak menjawab pertanyaan tersebut. Nenek tersebut tersenyum lebar dan menggapai lenganku memberikan sebungkus permen cokelat padaku.
Aku menatap lama permen cokelat tersebut, perasaan gemuruh muncul dalam diriku, marah sedih semuanya bercampur. Dengan kesal aku melempar cokelat tersebut dan berlari kedalam bus.
“Alexa!!”
…
“Nak, apa Mamah pernah mengajarkan kamu untuk bersikap tidak sopan seperti tadi?”
Aku terdiam tak menggubris ucapan mamahku.
“Lihat, tadi Mamah harus meminta maaf pada mereka, untungnya mereka orang-orang yang baik.”
Mamah mengeluarkan sebungkus cokelat tadi, dan menaruhnya pada pangkuanku.
“Ayah pasti akan marah sekali melihat kamu seperti tadi.”
Hatiku kembali berdesir, dan merasakan gejolak yang sama seperti tadi.
“Mamah!! berhenti mengucapkan Ayah!! Ayah sudah meninggal!! dia sudah tidak ada di sini!!” Tanpa sadar aku membentak Mamah, wajah yang tadi terlihat sabar kini berubah marah dan mengeluarkan setetes air matanya.
PLAK!
Tamparan panas hinggap pada pipi kananku, aku menyentuh pipiku yang memerah. Pertama kalinya dalam hidupku. Mamah marah. Awan mendung pada pelupuk mataku kian mengumpul, air mata mulai keluar berderu. Mamah terlihat sama terkejutnya denganku.
Setelah itu tak ada satupun dari kami yang mengeluarkan suara, sampai bus kuning tersebut kembali berjalan dan membawa kami jauh dari kenangan di masa lalu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top