Freund

“Hei, jangan bengong. Sudah sore tau.”

Aku mengalihkan pandanganku kearah lelaki yang terlihat sepantaran denganku, rambutnya agak kecoklatan ditambah senja yang menerpanya. Ia mengenakan balutan  kemeja woll dengan motif kotak-kotak dan celana pendek selutut.

“Hai, namaku Kim Taehyung,” ucapnya dengan dibubuhi senyum lebar sambil menjulurkan lengannya.

Aku masih terdiam menatapnya, bingung harus mengenalkan namaku dulu atau menjabat tangannya terlebih dahulu? Tunggu, memangnya itu penting. Ngomong-ngomong sejak kapan dia muncul? Jika tak salah ingat sepertinya aku berjalan kesini sendirian.

Anak lelaki di hadapanku masih menjulurkan tangannya, ditambah sekarang ia tersenyum dengan lebar menuntut balasan dariku.

“Hei, tanganku pegal tau,” ucapnya sambil menggoyang-goyangkan lengannya.

“Ah iya, aku Alexa,” balasku singkat.

“Aku baru pertama kali melihatmu.”

Iya memang, aku juga baru pertama kali melihatmu, pikirku dalam hati.

“Biasanya, jarang sekali ada yang datang kesini, aku agak terkejut melihat orang asing datang kesini.”

Aku tak menggubris sedikit pun ocehannya, tatapanku masih fokus memperhatikan sinar jingga yang kian dimakan ujung sungai tersebut.

“Aku jadi tidak kesepian hehehe, sekarang aku sudah punya teman untuk melihat danau bersama,” ucapnya antusias sambil tetap melihat kearahku, kepalaku sedikit menjengit karena ucapannya. Hei, bukankah kita baru bertemu bahkan kita tidak saling mengenal, aku saja sudah lupa namamu, siapa tadi? Kim Tayo, Kim Teyung siapalah itu.

“Mulai sekarang kita berteman ya, lebih baik kau pulang sekarang karena jalanan di sini tidak ada lampu kalau malam.” Ia berjalan menjauh meninggalkanku.

“Cih, benar-benar ganggu, siapa sih dia.”

                                 …

“Aaahh, kalau tau begini harusnya tadi aku pulang bareng dia saja.”
Aku menggerutu di sepanjang jalan pulang, dengan ragu-ragu aku melangkahkan kakiku. Perkataanya terbukti, ternyata jalanan desa jauh lebih gelap dari yang aku bayangkan.

Ternyata dia tidak bohong soal jalanan tanpa lampu, gelap sekali hanya ada sedikit cahaya dari langit yang menyinari jalanan dengan kemerlip bintang, itu pun terhalang oleh pepohonan tinggi di kiri dan kanan jalan.

Menyesal aku tak menggubris perkataanya, dan malah bertahan di sana sampai senja benar-benar menghilang.

Kupegang sebilah tongkat yang kubawa dari danau tadi, berharap dapat membantu berjalan di tengah kegelapan dan sekalian jaga-jaga saja. Jujur aku takut sekali sekarang, sudah cukup dengan gelap, ditambah lagi aku berada ditengah jalan yang dikelilingi oleh rimbunan pohon.

Rasanya aku ingin menangis, kalau saja tak ada kemungkinan makhluk buas dapat muncul kapan saja mungkin aku sudah menangis sejak tadi.

“Ayah, tolong Alexa.”

Aku mencoba meraba-raba tanah dengan bilah tongkat di sepanjang jalan.

“Apa masih jauh? kurasa sudah sekitar lima belas menit aku berjalan, ah,” gerutuku.

Aku terus berjalan kedepan mengikuti arah sebaliknya saat aku datang kesini, samar-samar terdengar bunyi yang memecah keheningan di sepanjang jalan. Tak begitu jelas tapi kuyakin itu suara teriakan.

“Itu, itu artinya ada seseorang.”

“TOLONG!! TOLONG!! MAMAH!! PAMAN!!”

Suara teriakan tadi terdengar semakin kencang dan jelas, sekarang dengan jelas terdengar teriakan namaku yang dipanggil.

“Alexa!! Alexa!! di mana, nak.”
Itu suara Paman ternyata, aku terharu sambil menahan tangis. Berusaha untuk berlari kedepan agar semakin cepat bertemu dengan Paman.

Semakin jauh aku berlari, aku melihat setitik sinar semakin mendekat dan membesar. “Paman!!”

Aku berlari semakin cepat dan memeluk pria dewasa yang membawa senter tadi, tubuhku penuh dengan peluh dan berkeringat dingin. Takut juga kelelahan.

“Alexa, kamu kemana saja, nak.”

“Paman!” Aku hanya menjawabnya dengan panggilan sambil tetap menangis.

                                …

Sesampainya di depan rumah, aku yang sudah merasa lebih baik dan aman, bahkan tak segan untuk bercanda dengan Paman di gendongannya, menangkap dua sosok yang tengah menunggu di halaman rumah dengan ekspresi yang tak lepas dari khawatir.

Mamah terlihat mondar-mandir bergerak gusar sambil menggigiti kukunya dengan cemas.

“Lihat, Alexa sudah pulang,” ucap nenekku.

Mamah langsung mengarahkan pandangannya kearahku, tatapannya yang tadi terlihat khawatir langsung berubah sangat dingin. Mamah menghampiriku yang masih berada di depan rumah dengan tergesa, bahkan Mamah sampai lupa mengenakan alas kakinya.

Aku tak berani menatap mata Mamah, dan menunduk menyembunyikan wajahku dibalik punggung Paman. Mamah pasti akan sangat marah.

“Turun.” Aku mengeratkan peganganku di leher Paman, namun sepertinya Paman juga terlihat takut dan lebih memilih mengikuti perkataan Mamah

“Cepat masuk kamar, ganti baju dan bersihkan badan.”

Aku berlari memasuki rumah tanpa menengok sedikit pun kearah Mamah.

                                  …

Esoknya aku bangun agak siang, semalam setelah aku membersihkan tubuhku Mamah masuk ke dalam kamar dan menasihatiku panjang lebar. Aku sangat menyesal karena tidak mengikuti arahan dari Paman dan si Kim Tayo itu.

Akhirnya, semalam aku tidur berdua di pelukan Mamah. Sekitar pukul sebelas siang aku baru menyelesaikan sarapanku karena bangun kesiangan, aku bergegas ingin main lagi. Aku ingin melihat danau di pagi hari. Yaa, walaupun aku juga sadar matahari sudah cukup terik sekarang.

“Mamah, Nenek, Alexa pergi main dulu, ya,” ucapku dari depan pintu sambil berteriak meminta persetujuan.

“Alexa, tunggu,” ucap Mamah.

“Alexa jangan pergi jauh-jauh, jangan pulang terlalu sore ingat pesan Mamah semalam,” ucap Mamah membombardir aku yang tengah mengikat tali sepatu.

“Iya Mah, lagi pula Alexa kan mainnya masih pagi.”

“Pokoknya hati-hati, ya.”

“Iya, dadah Mah.” Aku melambaikan tanganku sambil berlari keluar pagar.

“Jangan lari-lari!!” Terdengar suara teriakan Mamah menjauh, aku melompat dan tersenyum kearah Mamah dari depan.

Aku jadi ingat, semalam Mamah bilang supaya aku tidak merepotkan Paman dan Nenek selama di sini. Katanya Nenek sudah tua dan tidak boleh banyak pikiran. Aku jadi merasa menyesal kemarin membuat Nenek menunggu di depan rumah sampai malam, padahal udara di luar sangat dingin.

Tapi, untungnya Mamah masih mengizinkan aku untuk main. Aku tersenyum sepanjang jalan. Sekarang aku sudah kembali berada di jalan menuju danau kemarin. Sambil bersenandung pelan ditemani dengan kupu-kupu yang terbang mengelilingiku, ternyata pemandangan pagi hari di sini jauh lebih indah. Sungguh, aku akan mengajak Yooa dan Mimi nanti.

“DOR!!”

Aku berjingkat kaget mendengar kejutan dari arah belakang, aku memutar balik tubuhku dan menemukan anak laki-laki yang kemarin.

“Ya!! benar-benar kau, bagaimana kalau aku jantungan.” Aku bersungut kearahnya karena terlalu kesal, padahal aku sedang tenang-tenangnya memerhatikan kupu-kupu tadi.

Ia terlihat cengengesan mengejek kearahku, rasanya aku ingin menjitak kepalanya jika aku mengenalnya, sayangnya aku masih menyimpan sedikit rasa sopan untuk tidak memukul orang asing sembarangan.

“Hehehe, habis kamu hobinya bengong terus, sih.”

Aku melengos dan memilih untuk berjalan meninggalkannya, aku malas berurusan dengan anak berisik ini.

“Hei, tunggu aku dong.”

“Nama kamu siapa? kamu tinggal di mana? aku tinggal di rumah dekat taman bermain yang kemarin kamu lihat.”

Kenapa sih, dia masih mengikutiku juga, tak kusangka ternya kemarin juga ia membuntutiku, pikirku dalam hati. Sepanjang jalan aku jadi bersungut-sungut ria dan lupa untuk melihat pemandangan sekitar, rasanya tak ada minat lagi semenjak anak ini muncul.

“Kamu kenapa diam saja?  kamu tau enggak? sebetulnya jalan yang kita lewati menuju danau ini tidak terlihat seperti ini kenyataannya.”

Apa sih maksudnya, Alexa ayo abaikan saja dia.

“Aku serius tau, kata Paman aku, di sini tidak ada apa-apa selain pepohonan yang tak terawat.”

“Tapi aku bingung, kurasa Pamanku kurang liburan mangkanya omongannya jadi membosankan, hehehe.”

Kurasa yang kurang liburan itu kamu, pikirku.

“Kamu baru ya di sini? sebelumnya aku tidak pernah lihat kamu, kamu mau keliling desa sama aku?” ucap anak laki-laki tersebut antusias.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top