Cokelat Pertama
Lepas libur panjang musim panas, akhirnya aku kembali ke sekolah. Aku mencium pipi Ayah sebelum pergi meninggalkan mobil yang kunaiki.
“Nanti Ayah jemput, ya,” ucap Ayah menahanku sebelum berlari memasuki gerbang.
“Siap kapten.” Aku memberi hormat serentak dengan tubuhku yang menegak, kulihat Ayah tersenyum melihat tingkahku sambil melambaikan tangannya pergi meninggalkan parkiran sekolah.
“Alexa!!”
Aku medengar suara teriakan yang tak asing, kulihat ia berlari kerepotan sambil membawa sekantong besar merah jambu khas warna kesukaannya.
“Yooa, aku sangat merindukanmu.” Aku langsung memeluknya dan mengambil bungkusan besar yang ia bawa.
“Kenapa sih kamu perginya lama banget, selama liburan aku cuman main berdua sama Mimi tau.”
“Kamu merindukan aku, atau merindukan oleh-oleh dariku,” jawab Yooa sambil menggoda aku yang masih sibuk menatap tas merah jambu tersebut.
“Hehehe, tentu saja aku merindukanmu dan juga menginginkan oleh-oleh menggoda ini, oh iya, kamu bawa pesananku kan?”
“Gak usah khawatir.”
Yooa baru saja pulang dari Swiss, sebelumnya aku sempat memohon orang tuaku agar aku diizinkan untuk ikut liburan bersama dengan Yooa. Sayangnya, Ayah sedang mengerjakan projek besar di kantornya. Siapa yang tak ingin berlibur ke negara di barat benua Eropa ini, apalagi buatku si penggemar cokelat. Membayangkan cokelat terlezat di dunia yang dibuat secara tradisional di Swiss, sukses membuatku ngiler.
“Itu dia Mimi,” ucap Yooa sambil menunjuk sahabat kami yang baru saja turun dari motor Ayahnya.
Kami berlari menghampirinya dan langsung memeluk erat Mimi yang tengah sibuk melepaskan helmnya. Walaupun aku bermain dengan Mimi sepanjang liburan, tak membuatku unrung untuk ikut merindukan kebersamaan kami di sekolah.
…
Kami berjalan beriringan menuju ruangan kelas empat yang begitu asing, ruangan baru, suasana baru. Kami bergegas menuju pojok kelas memonopoli sisi ruangan kelas dengan jendela yang menghadap langsung lapangan, tempat favorit kami.
Duduk sambil melihat pepohonan hijau di sisi lapangan, tentu saja dilengkap dengan potongan cokelat yang lezat. Aku membuka bungkus emas yang melapisi potongan cokelat yang dibawa oleh Yooa, kubuka perlahan sambil menghirup aromanya yang menggoda. Setelah dibuka, aku mengecap sesaat cokelat tadi, membiarkan rasa segar dari buah kokoa itu memasuki tenggorokan ku.
“Ini adalah cokelat terlezat yang pernah kucoba.”
Potongan cokelat tadi membuatku teringat dengan permen cokelat pertamaku. Aku berlari ke taman menangis karena Yupi, kucing peliharaanku yang pergi setelah ditabrak oleh mobil. Aku memeluk lutut sambil meremat celanaku sedih, tak lepas air mataku terus mengalir. Hingga seseorang menghampiriku, mengulurkan sebungkus permen cokelat.
Aku menatap wajahnya, dan menerima cokelat tersebut. Ia duduk disampingku dan membuka bungkus cokelatnya, dengan tak selera aku melahap cokelat tersebut, rasanya kismis dengan balutan karamel, entah bagaimana caranya perasaan sedihku membaik seiring aku mengunyah permen cokelat tersebut.
Aku mengusap air mataku dan berterimakasih dengan anak perempuan yang menjadi sahabatku sampai sekarang, dia adalah Yooa.
…
Jam pulang sekolah sudah berlalu sepuluh menit yang lalu, aku duduk di depan kelas sambil menunggu Ayah menjemput. Yooa dan Mimi sudah pulang lebih dahulu tadi, bosan menunggu aku membuka permen cokelat yang kubawa dari rumah.
“Alexa kamu belum pulang?”
“Belum Jisoo, Ayahku belum sampai.”
“Mau pulang denganku?”
“Terima kasih, aku mau tunggu Ayah saja Jisoo.”
Jisoo adalah ketua kelas kami, ia selalu memastikan seluruh teman kelas sudah pulang.
Tidak biasanya Ayah telat menjemput, sudah hampir tiga puluh menit berlalu aku menunggu kebosanan sampai membuatku lelah sendiri dan tanpa sadar aku mulai mengantuk dan tertidur di bangku depan kelas.
...
“Adek, adek bangun.”
“Ayah kenapa si, lama sekali.” Aku terbangun merasakan seseorang mengguncang tubuhku, awalnya kukira Ayah tapi saat mataku telah berhasil terbuka sempurna yang terlihat di depanku malah Pak Guru Lee.
“Alexa belum pulang?”
“Belum Pak, Ayah belum jemput.”
Pak Lee mengangkat lengannya dan melihat jam tangannya, “Sekarang sudah jam enam, Alexa, sebaiknya kamu pulang dengan Bapak saja.”
Melihat langit yang sudah menggelap, aku mengangguk lesu mengiyakan ajakan Pak Lee. Mungkin Ayah ada rapat mendadak dan lupa mengabari Mamah agar menjemputku. Tak menunggu lama akhirnya aku dan Pak Lee sampai di depan rumahku, saat aku turun dari mobil aku melihat mamah yang terlihat tengah mondar-mandir di depan rumah dengan ekspresi cemas.
“Mamah.” Aku berlari dan langsung memeluk Mamah.
“Alexa, kenapa lama sekali? kamu pulang sama siapa?”
“Aku pulang sama Pak Lee, Ayah lupa menjemputku.”
“Yaampun Mamah sangat khawatir.”
Aku dan Mamah mengucapkan terima kasih pada Pak Lee karena telah mengantarku pulang. Mamah menyuruhku untuk segera membersihkan diri melihat sudah masuk waktu makan malam.
…
‘Ayah kenapa belum pulang ya?’ Aku melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam, setelah berhasil membujuk Alexa untuk tidur lebih dahulu, awalanya Alexa bersihkukuh untuk ikut menunggu Ayah pulang, namun sampai jam sebelas belum ada kabar yang datang.
Ponselku dalam mode siaga, kutekan berkali-kali berharap mendapat pesan dari suamiku. Sebetulnya bukan kali pertama Ayah pulang larut malam, tapi ini kali pertama ia lupa untuk mengabari kami bahkan sampai lupa tak menjemput Alexa.
Nomornya tak aktif, begitupun dengan nomor kantornya yang dialihkan berkali-kali.
Kutatap jendela menuju jalanan yang gelap, tak ada tanda-tanda bunyi kendaraan di pekarangan rumah kami. Sampai bunyi dering yang begitu nyaring dari telepon rumah kami berbunyi, aku bergegas untuk mengangkatnya.
“Halo??”
Terdengar suara pria asing di telepon, keringat mulai muncul di pelipis dan seketika membuatku tubuhku membiru pucat pasi. Genggamanku melemah sekaligus menjatuhkan tubuhku dibarengin seruan dari seberang sana.
“Alexa.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top