9. Riana

-

-

Matahari sedang terik-teriknya hari itu. Namun, tidak menyurutkan semangat sembilan orang mahasiswa di depan climbing wall. Dua di antaranya bahkan dengan santai memasangkan alat pengaman ke dinding panjat. Sementara yang lain duduk-duduk di bawah pohon untuk berlindung dari sengatan matahari.

"Serius lu sekarang part time?! Pantes maneh susah pisan diajak nongkrong," teriak Arya spontan kala tubuhnya meluncur turun dari ketinggian 10 meter usai memasang runner pada anchor di dinding panjat. "Sibuk yeuh."

Djuan yang menjadi belayer hari ini, mengangguk dan mengamati sosok Arya dari jauh. Sementara kedua tangan Djuan sibuk memastikan alat belay yang terkait di tubuhnya sudah terpasang aman dan tersambung dengan harness di tubuh Arya.

"Tapi kan semester depan kita geus repot skripsian, Dju," ujar Arya segera mendekat begitu kakinya sukses menyentuh tanah. "Lagi butuh duit buat pengobatan ibu lu?"

Djuan mengedik sambil mengulas senyum lebar. "Santai. Semester depan kan kita udah enggak sesibuk sekarang. Gua masih bisa bagi waktu."

"Kumaha maneh weh, Dju. Tapi info ke gua lamun butuh duit," balas Arya menyerahkan tali pengaman kepada Djuan. Tatapannya kemudian bergerak ke arah mahasiswa lain yang duduk-duduk di bawah pohon, sampai matanya berhenti kepada sosok Wina dan Dwi yang mengobrol asyik tepat di belakang mereka. "Hmm... kumat batur maneh. Padahal kan yang ngajak kita ke sini si Wina. Dia malah pedekate. Siapa yang anggota tetap, siapa yang kerja ini mah."

"Kalau nolongin orang yang ikhlas. Lu cemburu?" ledek Djuan. Arya menoyor bahu Djuan dengan wajah keki. Tawa Djuan lantas terdengar.

Kekehan Djuan baru berhenti ketika tiga orang mahasiswa mendekati Dwi. Kemeja dan celana bahan rapi tampak necis di tubuh mereka. Akan tetapi, Djuan malah terpaku ke arah lain. Pandangannya seakan tersedot kepada satu perempuan di sebelah Dwi. Perempuan dengan rambut sebahu dan ekspresi wajah menyebalkan. 

Perempuan yang membuat Djuan harus ganti rugi sekaligus kena semprot Baskara tempo hari. Djuan bahkan lupa nama perempuan itu. Hanya bibir mungil dan sorot mata galaknya yang dia ingat.

"Lihatin mulu, awas kelilipan," goda Wina yang entah sejak kapan sudah berdiri di sebelah Arya.

"Mereka siapa? Gua enggak pernah lihat," tanya Arya.

"Temen deketnya Dwi, anak hukum." 

"Pantesan Dwi enggak ngelirik lu. Temen ceweknya model begitu semua," goda Arya spontan.

Sebuah tepakan kencang terdengar kala telapak tangan Wina mendarat di punggung Arya. Dwi dan teman-temannya itu sampai menoleh penasaran ke arah mereka. 

Termasuk si perempuan galak. Sepasang mata kecil itu bahkan sudah saling tatap dengan Djuan. Kesan kaget jelas tergambar pada pandangannya, sesaat sebelum dia alihkan ke arah lain. 

Djuan menyengir sinis sembari membuang muka kesal.

"Udah beres snapping-nya? Thanks ya, kalau enggak ada kalian, gue pasti repot sendirian. Mereka semua masih baru enggak mungkin juga kan gua mintain tolong, anak Palawa lain juga masih ada kelas," sapa Dwi berjalan mendekat diikuti teman-teman jurusannya yang lain. "Oh iya, kenalin ini teman-teman gua. Mereka bilang mau ikut nonton latihan kita hari ini, enggak apa-apa, kan? Soalnya jam 5 gua mau nugas di luar sama mereka."

"Tenang weh. Paling sebelah gua agak jealous dikit. Au!" Ucapan Arya menggantung kala tepukan keras lagi-lagi mendarat di punggungnya. Apalagi kali ini ditambah pelototan milik Wina. Sontak, membungkam mulut Arya. "Iya bercanda."

Dwi mengulum senyum kemudian menoleh ke belakang. "Oke. Kita kumpul sebentar. Yang di koridor bisa kumpul di sini semua! Enggak setia kawan banget kalian ngadem di sana, sementara temen kalian tiga orang di sini setting tempat dan enggak ada yang bantu."

Enam orang mahasiswa yang sepertinya masih tingkat satu itu takut-takut mendekat. Setelah semua orang berkumpul, Dwi melanjutkan diskusi mereka terkait proker dua bulan kedepan, kompetisi rafting, rencana pendakian dan telusur gua.

Di antara panjangnya arahan Dwi siang itu, Djuan merasakan ada sepasang mata yang mengamatinya diam-diam. Sepasang mata kecil di balik punggung Dwi. Seakan tidak ingin Djuan sampai tahu. Djuan mendengkus dan menyibukan diri di depan Dwi. Selang setengah jam, obrolan hari itu pun selesai.

Kegiatan dilanjutkan dengan latihan panjat tebing yang memang selalu dilakukan satu kali seminggu. Selain, mereka membicarakan kegiatan bulanan Palawa. 

"Dwi, gua boleh coba?"

Djuan yang sedang melepaskan carabiner  dari harness salah seorang anggota terdiam. Sambil pura-pura fokus dengan kegiatannya, dia sekilas melirik ke kiri ketika suara perempuan itu terdengar berbisik kepada Dwi. 

"Riana, jangan aneh-aneh. Habis ini kita masih harus ngerjain tuga loh," seru mahasiswi yang sepertinya teman dekat Riana.  

"Lu yakin mau nyoba? Jangan karena patah hati lu jadi aneh-aneh. Emang lu udah pernah sebelumnya?" tanya Dwi kontan menolak. Wajahnya terlihat khawatir.

"Gua patah hati? Sori. Lagian cuma manjat ke atas doang, kan? Enggak apa-apa kok. Gua udah pernah, yah... sekali... dua kali. Gua juga kan udah pernah ikut lu telusur gua semester kemarin. Please..."

"Terserah lu, tapi kalau udah enggak kuat, turun aja," perintah Dwi kemudian melirik Djuan. "Dju, temen gue boleh nyoba, kan? Enggak akan tinggi. Paling baru semeter juga udah nyerah. Biar dia enggak kepo aja."

"Oke," jawab Djuan singkat.

Dari jauh, Djuan dapat melihat bibir Riana menggumamkan namanya. Dia mendekat dengan wajah malu bercampur rasa bersalah. Sepertinya mulai mengingat insiden kopi kemarin. 

"Nih," kata Djuan tanpa basa-basi melemparkan chalk bag ke tangan Riana.

Riana mengamati kantung di tangannya dan Djuan bergantian. Seakan paham maksud tatapan Riana, Djuan menarik napas lelah sambil mendekat dan memasangkan herness ke tubuh Riana.

"Itu bedak biar tangan lu enggak licin manjat ke atas. Udah pernah coba manjat kan sebelumnya?" ujar Djuan dengan ekspresi malas bukan main.

"Hm... iya. Sori gua lupa dikit," gumam Riana dengan tatapan mengamati pendaki lain seakan ingin mencari referensi. Sementara wajahnya jelas kentara tengah kebingungan.

"Udah," cetus Djuan kemudian menjauh.

Sebelum Riana memanjat dinding, Dwi mendekat. Sayup-sayup Djuan mendengar Dwi memberikan pengarahan kepada Riana. Terutama aba-aba untuk berkomunikasi dengan belayer di bawah.

"On belay!" teriak Dwi.

"Belay on," jawab Djuan sekali lagi mengecek tali dan alat belay di tangannya.

"Climbing."

Dwi menjauh. Riana melepaskan flatshoes nya dan mulai memanjat. 

Sekilas, Djuan menemukan kesan tegang menghiasi wajah perempuan itu. Namun, di luar dugaan, dengan lincah Riana menanjak dari satu batu ke batu pijakan lain. Kemeja dan celana bahan rapi di tubuhnya bahkan tidak mengganggu perempuan itu untuk terus naik. 

Padahal Dwi mulai tegang menonton dari bawah. Pasalnya, jarak Riana dengan tanah sudah cukup jauh. Bahkan sangat jauh bagi seorang pendaki pemula.

"Ri, udah Ri. Jangan kejauhan. Lu entar enggak bisa turun lagi," ledek Dwi pura-pura tenang. Namun, seakan angin lalu Riana terus bergerak ke atas. 

Djuan mengamati Riana dengan tatapan takjub. Seakan termakan ekspektasinya sendiri yang menganggap remeh Riana. Akan tetapi, belum ada satu menit berlalu tiba-tiba tangan kanan Riana yang hendak meraih jug, tergelincir. Kemudian, tanpa bisa ditahan tubuh Riana pun lepas kendali. 

Di luar dugaan, Djuan belum siap dengan kondisi itu. Djuan panik, apalagi ketika Riana melayang jatuh dan sikunya membentur dinding.

DUG!

"Tension! Dju, falling!" teriak Dwi berlari ke arah dinding panjat. Sementara orang-orang di sana memandang tegang kejadian yang terjadi sangat cepat itu.

Beruntung, Djuan segera sadar dan dengan cepat mengendalikan alat belay, meskipun sempat keos ditambah dengan teriakan orang-orang di sana. 

Perlahan tubuh Riana turun ke bawah. Dwi dan dua temannya menjaga tubuh Riana agar tidak membentur dinding lagi.

"Lu enggak apa-apa?!" seru Dwi panik sambil mengamati Riana lekat. Takut-takut ada luka serius di sana. 

Riana menggeleng. Wajahnya pucat pasi. Keringat dingin membasahi kening saat bokongnya menyentuh tanah.

"Arya! Ambil kotak P3K!"

Teriakan Wina menyadarkan orang-orang di sana. Semua mata sontak menatap ke ujung tali tempat belayer bertugas. Kaget tampak nyata dari wajah-wajah mereka saat noda kemerahan menempel di tali karmantel. 

Dwi mendesis. Dia dengan cepat bangkit dan berlari ke arah Djuan.

"Gua enggak apa-apa. Tenang aja," kekeh Djuan santai meskipun tangannya bergetar dan darah jelas tampak dari luka di telapak tangannya. 

"Ngomong naon maneh?! Berdarah  gini masing bisa ngomong enggak apa-apa?" bentak Wina kemudian mengambil botol air minum untuk membersihkan luka di tangan Djuan. "Lagian kenapa enggak pakai sarung tangan sih. Ar, cepat!"

"Udah-udah. Mana obatnya sini gua bantuin," decak Dwi menengahi sambil merampas kotak P3K di tangan Arya yang masih syok di tempat.

"Lagian udah tahu pemula ngapain gaya-gayaan manjat sampai atas sih."

"Lu nyalahin temen gua?"

"Kenapa? Emang bener, kan?"

Djuan hanya bisa pasrah ketika Dwi dan Wina saling berebut mengobati lukanya. Dia bahkan tidak yakin dengan debat sengit mereka akan membuat lukanya segera tertangani. 

Djuan memutar bola matanya dengan wajah nelangsa. Namun, tatapannya lagi-lagi malah kembali kepada Riana. Dari jauh, Djuan menemukan wajah Riana terlihat masih syok dan penuh rasa berdosa kepadanya. Detik itu, Djuan sadar mulai sekarang pikirannya tidak akan pernah bisa lepas dari sosok Riana.

***

Malam sudah semakin larut hari itu. Suasana kedai kopi bahkan sudah mulai sepi hanya ada satu-dua pengunjung yang masih mengobrol di depan. Djuan merenung sambil mengamati tangannya yang dibebat kain kasa. Sementara, Dayat terus mengomel panjang lebar, lantaran  kecelakaan kemarin membuat Djuan tidak dapat membantu banyak. Termasuk mencuci piring, pekerjaan rutinnya. 

Wina sebenarnya sempat memaksa Djuan untuk dibawa ke klinik juga hari itu. Namun, Djuan pikir hanya luka lecet biasa, sehingga dia menolak. Nyatanya, luka di kedua tangan Djuan malah menghambat pekerjaannya hari ini.

"Ngarti teu?"

"Kenapa?" sahut Djuan kaget.

Dayat mendecak. "Makanya kalau aing lagi ngomong didengerin. Udah maneh di luar aja. Beres-beres dan sapu kedai, bentar lagi kan jam tutup."

Djuan mengangguk pasrah. Langkahnya gontai saat mengambil sapu dan membersihkan kedai kopi. Di luar, kedai kopi ternyata sudah sepi, semua pengunjung sudah pergi dari sana. Tersisa dua buah piring dan gelas kosong di atas meja. Djuan mendekat dan melanjutkan bersih-bersih. 

"Ssshhh." 

Djuan mendesis ketika lukanya tertekan saat menyapu kafe malam itu. Sudah sehari berlalu sejak kecelakaan itu, tetapi lukanya masih terasa nyeri. Djuan menarik napas dalam, pertemuan keduanya dengan perempuan itu lagi-lagi membawa sial. 

Tatapan khawatir Riana juga terus mengganggu kepalanya. Bahkan setelah perempuan itu lebih dulu diantar ke klinik oleh dua orang temannya dan Dwi kemarin. Riana sepertinya tidak rela melihat Djuan hidup tenang.

"Tangan kamu kenapa?"

Djuan tersentak. Dia menghentikan kegiatannya dan menoleh ke sumber suara, Ali. "Lecet."

"Saya juga tahu itu lecet. Maksudnya kenapa bisa sampai dua-duanya luka kayak gitu," decak Ali sambil membawa segelas kopi dan lintingan tembakau. Dia lantas duduk pada salah satu kursi di tengah. Asap tipis keluar dari mulut Ali diiringi wangi tembakau yang menyebar ke seluruh ruangan. 

"Kecelakaan waktu manjat tebing, Uak."

"Nganter kopi ke pelanggan, tumpah. Sekarang tangan lecet sampai enggak bisa bantu cuci piring kata Dayat. Masih muda kok ceroboh pisan, Jang," celoteh Ali sambil menyesap kopinya. "Gimana mau bantu saya jaga kedai ini."

Senyum masam muncul di bibir Djuan. "Maaf. Saya pasti lebih hati-hati lagi."

"Ya udah duduk. Udah mau tutup kan? Semua udah bersih?" 

Djuan mengangguk serba salah. "Tinggal nunggu Kang Dayat nyuci piring terakhir."

"Duduk. Temani saya sampai Baskara jemput ke sini," perintah Ali.

Lagi-lagi Djuan mengangguk dan meletakan bokongnya pada kursi di hadapan Ali. Sambil mengamati perban di telapak tangannya, Djuan melamun dalam diam.

"Ibu kamu gimana? Udah sehat?"

Kepala Djuan spontan mendongak. "Udah lebih baik. Cuma memang masih butuh kontrol ke dokter setiap bulan."

"Syukurlah," celetuk Ali menyesap kopi hitamnya. 

Suara Ali saat menikmati kopi memunculkan tanya di benak Djuan. Dia bahkan sudah mengamati Ali penuh tanya.

"Uak, saya kan udah hampir tiga bulan di sini. Dan selama ini saya cuma bantu bersih-bersih dan cuci piring. Boleh saya coba ikut ngeracik kopi," tutur Djuan tiba-tiba.

"Udah mulai tertarik sama kopi kamu, Jang?" kekeh Ali menggoda Djuan

Malu-malu, Djuan mengangguk. "Hampir tiap hari ngobrol sama Kang Bas dan kru lain di sini. Saya jadi makin suka sama kopi. Baunya, rasanya, dan saya ngerasa nyaman di sini."

"Nyaman sama kopinya atau kafenya?"

Djuan mengernyit bingung, sebelum kemudian mengedik.

"Menurut kamu apa yang penting dari tempat ini? Suasana, kopi, makanan, atau krunya?" tanya Ali sambil menandaskan sisa kopi pekat di cangkirnya. "Mana yang membuat kamu nyaman kerja di sini?"

Air muka Djuan tampak melongo, makin bingung. Seakan pertanyaan Ali merupakan teka-teki yang jawabannya sangat menjebak.

"Halah... Jang... Jang... jawab begini aja enggak bisa tapi gaya-gayaan mau jadi barista. Jawab dulu pertanyaan saya, baru nanti saya minta Baskara ajarin kamu," kekeh Ali dengan mimik pura-pura marah. Dia lalu bangkit sambil membawa cangkir kosong dari permukaan meja. "Tutup kedai, Jang, udah malam. Kostan kamu dekat sini, kan? Pulang bareng aja, Baskara bentar lagi sampai. Jangan lupa pikirin pertanyaan saya tadi, saya masih tunggu jawaban kamu."

Sambil tersenyum masam, Djuan mengangguk patuh. Ucapan Ali sepertinya sukses membuat dia dilanda murung. Bahkan Djuan menyeret langkahnya saat beranjak ke pintu depan. Akan tetapi, tubuhnya tersentak kaget kala bayangan seorang perempuan tampak di depan pintu kaca. 

Air muka Djuan seketika datar, ketika cahaya lampu teras memperjelas wajah perempuan itu. Dia kemudian membuka pintu depan dan berdiri saling berhadapan dengan sosok itu. 

"Kedainya udah mau tutup." 

"Boleh ngobrol... sebentar?" pinta Riana takut-takut.

"Kenapa, Dju? Ada pengunjung lagi?" teriak Ali dari depan pintu dapur.

"Enggak, Uak. Enggak ada apa-apa," balas Djuan. Dia meminta Riana mengikuti dia ke teras depan. "Kita ngobrol di sana aja."

Riana mengangguk dan mengekori Djuan. Sementara, bola matanya mengamati kedua telapak tangan Djuan yang masih diperban.

Selang lima menit, Djuan menghentikan langkahnya. Dia berbalik, lantas mengamati Riana seakan meminta jawaban akan maksud kedatangannya. 

Di sisi lain, Riana tampak gelisah. Sudah lebih dari satu menit Riana tetap menutup mulut seakan bingung untuk mengutarakan maksud kedatangannya malam ini. 

"Ya udah kalau enggak ada yang mau disampaikan," cetus Djuan hendak pergi.

"Ini."

Pandangan Djuan menatap kantung karton di depannya dengan keheranan. "Ini apa?"

"Saya mau minta maaf soal insiden kopi tempo hari dan soal tangan kamu," ucap Riana terlihat amat bersalah saat menunjuk tangan Djuan. "Saya enggak bermaksud buat bikin kamu susah."

"Soal itu. Saya udah maafin. Jadi, enggak usah repot-repot," jawab Djuan menolak kantung karton dari tangan Riana, lantas berjalan pergi.

"Anggap aja ini uang ganti rugi kopi kemarin. Kamu--pasti kena omel bos kamu kan gara-gara saya pergi begitu aja, kan?" potong Riana sambil menahan langkah Djuan. "Di sini juga ada obat buat luka kamu. Saya benar-benar minta maaf... dan... kalau luka kamu masih belum sembuh juga, kabari saya. Saya enggak mau ngerasa bersalah sama kamu."

Djuan membisu dan mengamati kantung karton itu lekat. Sekilas, dia melihat luka memar di siku Riana saat menyerahkan benda itu di hadapannya. Tak lama, Djuan mengangguk. "Oke."

"Kalau gitu. Saya balik duluan ya. Sekali lagi terima kasih dan sampaikan juga maaf saya ke bos kamu," ucap Riana terlihat gugup sambil tersenyum ke pintu kaca di belakang Djuan.

Djuan mendesis malu ketika menemukan Ali mengintip dari balik pintu. Ekspresi kakek tua itu terlihat penuh tanya. Sangat jelas terpampang nyata dari balik pintu transparan.

"Permisi," pamit Riana.

"Ria--na."

"Ya?"

Djuan melipat bibirnya agar tidak tergelak. "Sori. Pintu gerbangnya ke kanan. Kalau ke kiri, kamu malah ke halaman samping."

"Oh, sori," ucap Riana lagi, terburu-buru kabur.

Bibir Djuan diam-diam mengulas senyum kala melihat langkah kikuk Riana. Dia kemudian mengintip isi kantung karton itu dan memandangi punggung Riana yang menghilang dari pandangan.

***

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top