6. Rahasia Mama Mila

-

-

Ruang makan itu mendadak sunyi senyap. Hanya terdengar deru napas Djuan dan tatapan menututnya ke arah Mila yang masih betah diam.

"Benar orang itu udah meninggal?" tanya Djuan tiba-tiba.

"Kamu kenapa tiba-tiba tanya soal ini, Dju?" tanya Mila sembari memotong-motong kue untuk mengalihkan obrolan mereka. "Mama kan udah bilang kalau Papa kamu udah meninggal waktu kamu baru lahir."

"Terus kenapa semua foto orang itu enggak ada di sini? Mama juga enggak pernah sekalipun ngebahas soal dia. Apalagi ngajak aku ke makamnya. Tetangga bilang kalau sebenernya dia sengaja buang kita, bukan meninggal kayak yang Mama bilang," tuntut Djuan kepada Mila. Berbanding terbalik dengan ekspresi Mila yang tampak acuh tak acuh. "Ma, jawab. Jadi, mana yang benar? Berhenti bohong ke aku."

"Dju, Mama kan pernah bilang, enggak usah denger omongan orang lain," nasehat Mila meletakan pisau ke meja dengan kasar. Sementara mukanya terlihat kesal.

"Tapi mau sampai kapan aku enggak boleh tahu soal dia, Ma? Mama bilang, Mama bakal ceritain soal orang itu kalau aku udah cukup dewasa. Senggaknya biarin aku tahu siapa orang yang harus aku benci," jawab Djuan mulai terpancing emosi. Djuan menurunkan tatapannya dan mengamati tangan Mila yang bergetar. "Selama ini aku bingung harus salahin siapa soal kondisi kita sekarang."

"Dendam itu enggak baik, Dju. Dan jangan pernah salahin orang buat kondisi kita saat ini."

"Pengecualian buat dia, Ma."

"Djuan!" bentak Mila spontan. "Udah berapa kali Mama bilang orang itu udah MATI! Stop buat tanya-tanya lagi soal dia. Ngerti kamu."

Mulut Djuan terkatup. Bayangan olok-olokan dari teman masa kecil, cercaan para ibu-ibu kepada Mila, kerja keras Djuan untuk selalu menjadi juara, kisah cintanya dengan Putri, dan semua kejadian selama belasan tahun dia hidup memenuhi kepala Djuan. Saking penuhnya, Djuan merasa kepalanya akan meledak.

"Djuan," panggil Mila lagi ketika anak lelakinya itu tiba-tiba berdiri dan masuk ke dalam kamar. "Denger Mama dulu, Dju."

Djuan tetap tak acuh. Dengan cepat, dia mengganti celana, mengambil kemeja, dan menyabet tasnya. Dia bahkan menghindari tubuh Mila yang hendak menghalangi dia keluar dari kamar.

"Kamu mau ke mana?" panggil Mila menahan tangan Djuan.

"Ke tempat Wayan."

"Dju, ini udah malam. Apa kata orang tua Wayan kalau kamu ke sana malam-malam kayak gini," kata Mila setengah memohon kepada Djuan untuk tetap di tempat. "Balik ke kamar sekarang!"

Namun, tangan Mila ditepis Djuan hingga tas dan kemeja yang tersampir di lengan pemuda itu ikut terjatuh. Barang-barang di dalam tas pun berhamburan ke lantai. Sebuah amplop putih menyita fokus Mila. Segera, dia mengambil amplop itu. Bola matanya membulat kala melihat logo sebuah universitas di badan amplop.

"Ini apa, Dju?"

"Bukan apa-apa," jawab Djuan melirik cuek amplop putih itu.

"Ini... Kamu diterima di PTN, Dju? Kamu kenapa enggak bilang ke Mama?" tanya Mila usai membaca tulisan di sana.

"Buat apa. Aku enggak akan ambil."

"Maksud kamu?" tanya Mila kaget.

"Ini Bandung, Ma. Bandung. Meski deket, aku tetap harus ninggalin Mama. Aku enggak bisa tinggalin Mama sendirian di rumah ini," terang Djuan dengan penuh emosi di depan Mila. "Aku enggak bisa ngebayangin kalau aku harus ninggalin Mama sendirian, bersih-bersih rumah sendiri, belanja sendiri, dan ngerjain semua kerjaan sendiri. Kalau Mama sakit gimana? Aku enggak bisa, Ma."

Seulas senyum tersimpul di bibir Mila. Dengan mata berkaca-kaca, Mila meraup wajah anak lelakinya haru. "Kamu ngomong apa sih, Dju? Mama masih bisa kok tinggal sendiri. Kamu enggak usah mikirin Mama. Ini PTN, Dju, Ekonomi. Impian kamu."

"Stop, Ma! Stop!" teriak Djuan dengan muka merah padam. Dia lantas melepaskan tangan Mila dan berdiri di depan pintu kamar. "Soal sekolah aku, kerja, makan, sampai soal orang itu, Mama selalu bawa beban itu sendiri. Bisa enggak sih, Ma, kasih sedikit aja beban itu ke aku? Seenggaknya biarin aku bantu Mama. Aku—capek Ma diremehin orang aku capek. Biarin aku sedikit berguna buat kita."

Mila terpaku. Tatapannya memburam ketika luka yang sudah lama dia kubur seketika terbuka lebar. Apalagi melihat wajah sang anak kesayangannya terpukul karena dia. Mila mundur beberapa langkah. Susah payah, dia menarik kursi di kamar Djuan dan duduk di sana sambil memandangi putranya dengan tatapan kosong.

Dari ambang pintu, dada Djuan naik-turun menahan emosi. Ekspresi Djuan terlihat tak acuh kala tatapannya tanpa sengaja bertemu dengan Mila.

"Maafin Mama Dju, Mama enggak bisa jadi Ibu yang baik buat kamu selama ini. Maafin Mama," gumam Mila dengan air mata mulai membasahi pipi. "Dari awal seharusnya Mama enggak pernah ketemu orang itu. Dari awal Mama yang salah."

Pertahanan Djuan runtuh seketika. Rasa bersalah menghantamnya begitu keras melihat sang ibu menyusut air mata di hadapannya.

"Jadi, bener apa yang tetangga bilang selama ini?" lirih Djuan menunduk ketika matanya mulai basah. 

Alih-alih menjawab, Mila malah mematung sembari menahan luka di dadanya mati-matian. "Dia rekan kerja Mama. Dia hilang tanpa kabar setelah kasih harapan ke Mama. Mama emang bodoh saat itu. Beruntung Kakek masih mau nerima kita."

"Jadi benar apa yang orang-orang bilang soal aku?" gumam Djuan lagi terlihat syok. Tenaganya tiba-tiba hilang sampai dia harus bertumpu pada pintu kamar ketika julukan itu terngiang-ngiang di kepalanya.

"Dasar anak kagak punya Bapak!"

"Sono lu pergi! Kita enggak mau deket-deket sama lu."

"Dibilang pergi malah masih di sini. Jember banget sih lu."

Mila tersentak. Dadanya mencelos ketika melihat putranya terpuruk di lantai. Tanpa kata, dia bangkit dan merengkuh Djuan ke dalam pelukannya.

"Djuan udah. Seburuk apapun masa lalu Mama, semua enggak ada sangkut pautnya sama kamu. Kamu tetap anak kesayangan Mama. Mama tetap bangga sama kamu," tutur Mila menguatkan Djuan. "Kamu bilang, kamu mau bantu Mama? Kalau kamu mau bantu Mama, pergi ke Bandung dan buktiin ke orang-orang itu kalau kamu bisa lebih baik. Kalau kamu enggak seperti mereka kira. Itu udah cukup buat Mama."

Di pelukan Mila, Djuan terdiam dengan mata memerah. "Tapi—"

"Dju, kamu denger kata Mama, kan? Djuan, enggak ada yang salah sama kamu. Maafin Mama udah bohongin kamu selama ini," gumam Mila. "Kamu tahu, satu hal yang enggak Mama sesalin dari keputusan hari itu. Itu kamu. Mama bersyukur punya kamu."

Djuan mengeratkan pelukannya di tubuh Mila. Nyaman dan tenang. Seberapa berat beban yang Djuan terima, semua terasa lebih ringan saat pulang ke pelukan ibunya.

Di sisi lain, Mila menghapus jejak air mata di pipi, lalu mengusap lembut punggung Djuan. Lengkungan tipis perlahan muncul. Rasanya baru kemarin dia membawa sang anak kesayangan ke pelukannya ketika dia menangis sambil mengadu tentang kelakuan teman-temannya. Sekarang, anak itu sudah besar dan dia berharap tidak ada lagi tangis di antara mereka.

***

Suara pantulan bola basket terdengar sore itu di lapangan. Lima orang pemuda berlarian saling mengejar. Keringat menetes satu per satu dari pelipis salah seorang pemuda di sana.

"Dju. Ada yang nyari tuh," panggil Wayan dari pinggir lapangan kepada Djuan yang hendak mengoper bola basket.

"Ciyeee udah ditungguin balik bareng," ledek teman Djuan yang lain. Namun, alih-alih tersenyum ataupun salah tingkah, Djuan malah melangkah ke arah Putri di pinggir lapangan. Ekspresi Putri tampak ceria menyambut Djuan dengan kotak bekal di tangannya.

"Kak Djuan, ini aku bawa kue buat Kakak. Hari ini kita jadi kan mau jalan dulu pulang sekolah?"

Djuan menoleh ke belakang. "Aku mau ngobrol sebentar sama kamu. Jangan di sini."

Alis Putri menyatu rapat ketika Djuan melewati dirinya dan melangkah ke arah koridor sekolah. Setengah hati, Putri mengekori Djuan sampai kemudian berhenti di sudut sekolah.

"Kita mau ngapain ke sini, Kak?"

Djuan membalikan badannya dan menghadap Putri. Sesaat dia tertegun melihat bola mata Putri yang menatap penuh harap kepadanya. "Aku mau kita putus."

Air muka Putri seketika berubah sedih. "Maksud Kak Djuan? Kak Djuan bercanda, kan?"

"Aku bakal ambil kuliah di Bandung dan aku enggak bisa kalau harus LDR sama kamu."

Bibir Putri bergetar, sementara matanya mulai berkaca-kaca. "Tapi kenapa? Kemarin Kak Djuan bilang bakal terus di sini sama aku."

Djuan diam seribu bahasa. Seakan kehabisan kata-kata. Apalagi raut muka Putri mendadak mendung berbanding terbalik saat dia menjemput Djuan di lapangan.

"Apa karena omongan Mami?" tebak Putri dengan tangan menggenggam kotak makannya erat sampai ruas jarinya memutih.

"Bukan. Bukan karena Mami kamu. Ini udah keputusan aku, Put," bohong Djuan.

"Tapi Kak Djuan kan janji bakal nemenin Putri terus," tuntut Putri merengek kesal.

"Aku enggak sebaik dan sesempurna yang kamu kira Put, stop buat berharap sama aku. Aku enggak bisa lanjutin ini sama kamu. Aku terlalu jauh beda dengan kamu."

"Tapi aku cinta sama Kak Djuan," ujar Putri terdengar lirih.

Djuan mendengkus. Sebuah kedok untuk menutupi nyeri yang diam-diam menekan dadanya. "Sayangnya aku enggak cinta sama kamu."

"Kak Djuan bohong, kan?!" teriak Putri.

"Aku-enggak-cinta-sama-kamu," tekan Djuan menatap langsung ke mata Putri. "Berhenti jadi cewek manja, Put. Enggak semua yang kamu mau bisa kamu milikin."

Putri mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Emosi memenuhi benak Putri.

"Cewek manja?" ulang Putri terkesan sinis. "Jadi, selama ini Kak Djuan anggap aku kayak gitu?"

Djuan menarik napas dalam-dalam. Segera, dia mengalihkan tatapannya dari Putri. Benak Djuan dibuat makin tidak tenang melihat perempuan itu patah hati karena dia.

"Aku pergi. Maaf buat semua yang udah aku lakuin sama kamu," ucap Djuan menyembunyikan patah hatinya dari Putri. Dia lantas melangkah pergi meninggalkan Putri.

"Kak Djuan!" panggil Putri, tetapi tidak digubris oleh Djuan."Kak Djuan! Jangan pergi. Kak Djuan."

Putri mengumpat dan menendang kesal ke segala arah saat sosok Djuan semakin menjauh. Air mata pun jatuh satu per satu. Putri menatap nanar kotak makanan di sebelah kakinya. Putri merasa patah hati.

Setelah hari itu, Djuan sebisa mungkin menghindar bertemu muka dengan Putri. Ucapan ibu Putri dan bayang-bayang wajah sedih Putri membuat Djuan takut bertemu dengannya. Beruntung, masa-masa SMA Djuan akan berakhir beberapa minggu lagi. Sehingga, dia tidak perlu khawatir akan membuat Putri kembali menangis.

Paper bag cokelat berisi buku-buku mata pelajaran, alat tulis, dan barang-barang kecil yang tersisa di laci meja, Djuan bawa hari itu. Bola matanya lantas bergerak mengamati lapangan basket kosong di depan kelas. Rasanya baru kemarin dia berada di sana. Namun, nyatanya itu sudah tiga tahun yang lalu. Djuan mengulas senyum simpul.

Djuan tersentak kala teringat sesuatu. Dia kemudian merogoh paper bag. Sebuah MP3 Player biru muda tampak di antara tumpukan buku. Sambil melengkungkan bibirnya, Djuan mengeluarkan benda itu. Dia lantas membawa langkahnya ke arah ruang Art Club.

Sesampainya Djuan di depan pintu ruangan Art Club, dia mengintip dari luar jendela. Ruangan itu masih sama, ekspresif dan penuh warna seperti Putri. Djuan sepertinya akan rindu warna-warna itu di Bandung. Akan tetapi, fokus Djuan terpecah ketika dia menemukan Putri tergelak di dekat rak penyimpanan. Senyum di bibir Djuan meredup saat tahu ada lelaki lain yang membuat Putri tertawa seperti itu.

Djuan menyentuh dadanya. Ternyata seperti ini rasanya patah hati. Harusnya dia tahu bila akan selalu ada luka usai jatuh cinta. Djuan menarik napas dalam-dalam. Setidaknya, Putri tidak lagi menangis karena dia. Setelah puas menatap Putri dari jauh, Djuan pun memutuskan pergi dari sana.

Di dalam ruangan, Putri tersentak kala sadar ada yang mengamati dia dari luar. Putri cepat-cepat berjalan keluar dari ruangan. Langkahnya terpaku. Sebuah MP3 Player biru muda dengan sticky note tertempel menyambut Putri di bawah pintu. Haru menyeruak ketika membaca tulisan tangan di sana.

Maaf.

***

"Udah semua, Dju?"

"Udah," jawab Djuan usai mengepak pakaiannya ke dalam koper. Dia tersenyum masam saat melihat Mila repot-repot memasukan makanan instan ke dalam kardus. "Ma, itu apa lagi?"

"Buat bekal kamu di kostan," jawab Mila masih asyik mengepak barang.

"Di sana juga ada kali, Ma."

Mila berdecak. "Kalau di sana kan kamu harus beli. Udah jangan banyak komentar."

Djuan tertawa kecil sambil menghampiri Mila. Tanpa permisi, dia membantu Mila memasukan mie instan ke dalam kardus. "Ma, terima kasih udah mau jawab jujur soal Papa. Aku baru sadar kalau itu pasti berat buat Mama."

Sambil mengusap pipi Djuan, Mila mengangguk. "Maafin Mama juga ya enggak pernah jujur sama kamu. Mulai sekarang Mama enggak akan nutupin apa-apa lagi dari kamu. Jadi, kamu berhenti mikirin orang itu lagi. Jangan pernah lihat ke belakang. Janji."

Djuan mengangguk. "Djuan janji."

"Mama pasti kangen sama kamu," cebik Mila sambil memeluk Djuan erat.

"Aku pasti pulang kalau liburan. Mama enggak usah khawatir," ucap Djuan di pelukan Mila. "Mama jaga kesehatan."

"Iya. Kamu juga di sana jangan aneh-aneh. Kabarin Mama kalau butuh sesuatu."

"Pasti," ucap Djuan.

Malam itu, Djuan termenung mengamati jalanan padat kota Bekasi dari jendela kendaraan travel menuju Bandung. Suara klakson mobil mengagetkan Djuan. Gerbang Tol Cipularang menyita konsentrasi Djuan. Seakan ingin memberi tanda bila kehidupan Djuan akan berubah setelah melewati gerbang tol itu. Kehidupan yang akan selalu berjalan lurus ke depan, seperti kata Mila.

***

TBC

Acuy's Note:

Duduk manis di atas kursi

Buka tudung saji ketemu nasi

Abis muter-muter sekitaran Bekasi

Enaknya ke mana lagi nih?

Wkwkkwkwk.... Oke. Udah siap galau-galauan lagi sambil nikmatin fase jatuh cintanya Djuan?? Sampai ketemu di part depan.

Luph u all~💜

https://youtu.be/tr9hm4zGXPI

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top