4. Aku Enggak Mau Jauh Dari Kamu
-
-
Bel pulang sekolah baru saja berbunyi beberapa menit lalu. Lorong-lorong yang semula senyap seketika ramai dan dipenuhi oleh para siswa. Ada yang berjalan bergerombol, duduk-duduk di depan kelas, atau bahkan berteriak bak orang kesurupan sambil kejar-kejaran menganggu yang lain. Namun, suasana riuh itu sangat bertolak belakang dengan kondisi di salah satu sudut sekolah. Dua orang siswa tampak berjalan lunglai hendak menghampiri geng mereka yang sudah lebih dulu menghuni lapangan basket.
"Gila! Gila! Ujian enggak abis-abis amat ya. Baru beres UN sekarang kudu mikir lagi mau masuk kampus mana. Pusing gue," gerutu Wayan sembari mengamati pesan di ponsel dan mengacak rambutnya kesal. "Lo gimana Dju? Udah tahu mau masuk mana? Mana Bokap gue nanya mulu hasil PMDK kemarin. Enggak nyadar apa ya, otak anaknya pas-pasan."
"Enggak tahu," gumam Djuan sama malasnya dengan Wayan untuk membicarakan masa depan saat ini.
"Halah... lo mah gampang. Tinggal ikut ujian masuk mana aja udah pasti lolos."
Djuan tersenyum kecil mendengar celotehan itu. "Lolos kalau enggak ada duit juga percuma. Serius gue belum kepikiran."
"Masih kesel gara-gara gagal jadi mahasiswa Depok?" sindir Wayan makin menjadi.
"Seneng banget lo ngetawain gue," geram Djuan pura-pura kesal.
"Udah coba universitas lain?"
Djuan mengedik sembari melarikan matanya ke arah ruangan di sebelah kiri mereka. Ruangan berwarna paling cerah dengan tulisan Art Club itu terlihat sepi, meskipun pintu dan jendelanya terbuka. "Tapi gue enggak tahu bakalan ambil atau enggak kalau diterima. Cuma coba-coba hasil rekomendasi Guru BK, kolektif sama siswa yang lain."
"Kalau enggak diterima?"
Djuan menggeleng seakan masih belum tahu akan dibawa ke mana takdirnya kelak. Yang pasti, konsentrasinya sekarang sudah tidak lagi kepada pertanyaan Wayan. Lengkungan tipis di bibir Djuan menandakan bila ada sosok lain yang menjadi fokus lelaki itu. "Gue mau mampir dulu. Lo duluan aja."
Wayan berdecak ketika mengikuti arah pandang Djuan. Putri. Sudah hampir satu tahun sahabatnya ini mendadak berubah aneh setelah mengenal perempuan itu. Jatuh cinta memang membuat orang berubah menggelikan. Bahkan, untuk lelaki sekelas Djuan.
"Hmm... paham gue. Sana gih."
"Jangan sirik gitu kali," kekeh Djuan sembari mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan melemparkan tas itu ke tubuh Wayan. "Titip."
Tawa Djuan hampir tergelak menemukan gerutuan kesal bercampur jengkel milik Wayan. Walaupun, ujung-ujungnya Wayan tetap pergi mendahului sambil membawa tas Djuan.
Setelah Wayan menghilang, Djuan melangkah perlahan memasuki ruang Art Club. Sebuah lemari besar berdiri di sudut ruangan, lusinan lukisan setengah jadi dan kanvas beredar di tengah ruangan, sementara sebuah kanvas besar tergeletak pada lantai dengan kaleng-kaleng cat bertebaran di sekitarnya.
Putri berjongkok sambil asyik mengoleskan warna merah ke atas kanvas. Mata bulat Putri terlihat cantik saat tengah serius menatap calon karyanya itu. Dia bahkan tidak memedulikan sisa cat kemerahan menempel di pipi kiri. Begitupun, keberadaan Djuan yang sudah berdiri mengamati dia dalam diam sedari tadi.
Tanpa kata, Djuan ikut berjongkok lantas memasangkan headset ke telinga Putri. Putri tersentak kaget. Akan tetapi, tegang di muka Putri perlahan sirna menemukan kerlingan iseng Djuan di sebelahnya.
"Lagu baru?" tebak Putri melepaskan headset dan merapikan letaknya di telinga.
Djuan mengangguk. "Enggak apa-apa kan kalau aku isi beberapa lagu yang aku suka?"
"Enggak apa-apa. Aku selalu suka apapun yang Kak Djuan suka," jawab Putri membuat Djuan mendengkus salah tingkah.
"Art club mau ngadain pameran lagi?" tanya Djuan mengalihkan obrolan mereka.
Putri menggeleng sembari memandangi hasil karyanya. "Enggak. Cuma bantu anak teater bikin backdrop."
"Cantik," kata Djuan melirik Putri sekilas kemudian ke arah kanvas.
Putri membeku. Sekarang, giliran Putri yang merasakan tubuhnya meleleh seketika.
Djuan mengulurkan tangannya. "Boleh aku bantuin?"
Segera saja, Putri mengangguk dan memberikan kuas kepada Djuan. Tak lama, mereka pun tenggelam dalam dunia masing-masing. Sampai area kanvas putih yang semula kosong mulai terisi sempurna.
"Gimana hasil ujian kemarin?" tanya Putri menghilangkan senyap.
"Aman. Seenggaknya tinggal satu step lagi biar aku bisa tenang seratus persen," cerita Djuan.
"Aku dengar... dokumen Kakak yang diajuin di beberapa universitas ditolak ya? Kalau ternyata hasil PMDK ini Kak Djuan enggak lolos gimana? Kak Djuan tetap mau coba ujian masuk, kan?"
Gerakan kuas di tangan Djuan berhenti. Dia mendongak. Bola mata Djuan tanpa sengaja bertabrakan dengan tatapan Putri. Kesan khawatir tampak jelas dari tatapan Putri kepadanya.
"Aku enggak mau Kak Djuan jauh-jauh dari aku. Ngebayangin Kakak lulus aja aku sedih banget. Aku enggak mau kesepian di sini. Siapa yang mau nemenin aku jalan-jalan buat cari alat lukis."
"Kan masih ada teman-teman kamu yang lain," jawab Djuan berusaha tidak terkekeh melihat Putri memanyunkan bibirnya.
"Beda dong. Cuma Kak Djuan yang mau nemenin aku panas-panasan, dan cuma Kak Djuan yang mau dengerin cerita aku," gumam Putri seraya menundukan kepalanya.
Djuan menggaruk tengkuknya salah tingkah. Dia lantas mendekat, meletakan kuas ke dalam kaleng cat, dan ikut duduk di samping Putri.
"Kamu beneran sedih?"
"Kak Djuan pikir dari tadi aku bercanda," cebik Putri makin sebal, sementar Djuan malah tertawa melihat kelakuan Putri.
"Aku enggak ada rencana buat kuliah jauh sekarang. Yah... kalau pun memang enggak bisa keterima lewat jalur ini di manapun, mungkin aku bakal pilih gap year dulu dan cari duit buat nambahin tabungan. Jadi, tahun depan aku bisa coba kuliah," kata Djuan memandang salah satu lukisan di ruangan dengan wajah pasrah.
"Kenapa enggak coba ujian mandiri sih, Kak? Atau coba SNMPTN?" usul Putri sambil mendekatkan wajahnya kepada Djuan. "Aku ada rekomendasi bimbel dari teman-teman aku. Kakak kelas kita juga banyak kok yang keterima lewat bimbel ini. Kakak mau coba?"
Djuan menggeleng seakan tidak ingin Putri tahu mengenai kondisinya. "Kamu khawatir sama aku?"
Kepala Putri mengangguk pelan. Perlahan dia menyenderkan kepalanya ke bahu Djuan. Suasana sepi Art Club ditambah posisi mereka yang berada di sudut menciptakan rasa nyaman dan hangat bagi keduanya. Putri tersentak ketika Djuan sudah menggenggam tangannya. Detak jantungnya pun makin tidak keruan ketika Djuan malah menatapnya lekat-lekat dengan wajah semakin mendekat.
"Dju, Dju, Dju, Djuan!"
"Dju, kita ada berita buat lo!"
"Lo pasti kaget."
Panggilan, teriakan, dan suara berisik sepatu beberapa orang siswa mengagetkan Djuan. Mereka tanpa permisi sudah menerobos masuk ke dalam. Tidak berbeda jauh dengan Djuan, Putri spontan mengambil kuas dan menyapukannya asal ke atas kanvas dengan panik. Namun, wajah kemerahan di wajah Putri jelas tidak dapat berbohong.
"Kampret lo, Dju! Kok lo enggak bilang sih kalau lo daftar... Waduh... Yan. Ganggu kayaknya kita di sini," celetuk salah satu siswa yang sudah berdiri di belakang Djuan. Momen kikuk Djuan dan Putri tertangkap jelas dilihat dari dekat.
"Enggak kok. Enggak ganggu. Kenapa?" kata Djuan segera berdiri menghadap mereka. Sontak, gerakan itu memunculkan gelak tawa dan cibiran riuh dari teman-temannya. "Diem lo pada. Malah ketawa. Kenapa sih?"
Wayan menatap Djuan dan Putri bergantian. "Itu... Nama lo... Nama lo masuk. Lo keterima di Bandung."
"Bandung?" ulang Djuan bingung.
"Lo ingat kan rekomendasi dari guru BK. Sekarang lo ditunggu di ruangan buat ngobrolin soal ini. Cepet!"
"Sebentar," potong Djuan langsung mengalihkan pandangan kepada Putri. Di belakangnya, Putri kembali duduk dan pura-pura sibuk menyelesaikan coretan di kanvas.
"Put, kita pinjam Djuannya sebentar enggak apa-apa, kan?"
"Iya, sebentaaarrr aja," sahut Wayan menarik lengan Djuan.
Putri mendongak sembari memasang mimik marah ke arah Djuan. "Lama juga enggak apa-apa."
"Ayo, Dju!" ajak Wayan lagi.
"Sebentar. Put, aku..."
Belum sempat Djuan melanjutkan kalimatnya, tarikan Wayan pada lengan dan dorongan teman-temannya terpaksa membuat dia keluar dari ruangan. Rasa kecewa kentara jelas saat Djuan memandangi Putri dari arah jendela. Djuan merasa bersalah.
***
Firasat Djuan menjadi kenyataan. Akibat pengumuman itu, Putri mendiamkan dia hampir satu minggu ini. Sudah beberapa kali Djuan coba menghubungi Putri, tetapi selalu gagal. Begitupun, usahanya mencari Putri ke sekeliling sekolah. Putri seakan sengaja ingin menghindari Djuan.
Seperti hari ini, Djuan dibuat kelimpungan karena merasa kehilangan Putri. Apalagi surat penerimaan mahasiswa baru sudah berada di tangannya sekarang. Jurusan Ekonomi tertera pada kop surat itu. Jurusan impian ibunya, juga dia.
Namun, Bandung cukup jauh dari bayangan Djuan. Dia pasti membutuhkan banyak biaya di sana, seperti menyewa kamar, makan sehari-hari, dan belum lagi perintilan lain. Sudah cukup beban ibunya untuk mencari nafkah selama ini. Djuan meletakan kepalanya ke meja untuk melepas penat.
Suara bel pulang sekolah menyadarkan Djuan. Setelah terdiam beberapa menit lantas menimbang-nimbang segala kemungkinan yang ada, Djuan menyabet tasnya sembari berlari keluar ruang kelas. Panggilan Wayan pun tidak digubris. Tujuannya sekarang adalah kelas sebelas di lantai dua.
XIA3. Ruang kelas Putri.
Setengah kehabisan napas, Djuan memasuki ruang kelas itu setelah guru mata pelajaran keluar. Ekspresinya langsung lega menemukan Putri masih di dalam kelas.
"Put, aku mau ngomong sama kamu."
"Ciyeee Putri! Ada yang nyariin tuh." Suara riuh teman-teman kelas Putri yang belum semuanya keluar ruangan menciutkan nyali Djuan. Telinganya sampai memerah.
Alih-alih disambut dengan senyum lebar seperti biasanya, Putri malah memasukan buku dan menarik tasnya sambil bersungut-sungut. Kemudian, dia menarik tangan Djuan untuk keluar ruangan.
"Kak Djuan ngapain di sini?" todong Putri tanpa tedeng aling-aling begitu mereka sudah berada di lantai bawah.
"Kamu ngambek? Aku cuma mau minta maaf kalau pengumuman itu buat kamu kesal."
"Ngapain? Aku enggak kesal. Lagian kan itu keputusan Kak Djuan, buat apa juga aku ikut campur," celoteh Putri dengan nada tajam selagi kedua tangannya terlipat di dada.
"Guru BK yang maksa aku buat daftar. Tapi itupun cuma sebagai cadangan. Aku enggak nyangka kalau bakal diterima," terang Djuan berusaha menyurutkan kesal di wajah Putri. "Tapi kalau emang kamu enggak mau aku pergi. Aku bisa batalin ini."
Air muka Putri seketika berubah. "Kakak serius? Nanti kalau orang tua Kakak tahu gimana? Emang mereka setuju kalau Kakak batalin ini?"
Djuan mengangguk sembari mengeluarkan surat dari dalam tas. "Ibu aku belum tahu. Surat penerimaannya aja baru aku dapat hari ini. Aku juga enggak mungkin ninggalin ibu sendiri, juga kamu. Aku enggak mau jauh dari kamu."
Sejurus setelahnya, raut Putri berubah cerah. Terlebih, saat dia menemukan kesungguhan di muka Djuan.
"Oke. Aku maafin Kakak. Tapi sebagai gantinya Kak Djuan mau kan anterin aku pulang hari ini?" kata Putri sambil memasang senyum manis untuk Djuan.
"Kamu beneran udah enggak marah sama aku?"
Putri mengangguk mantap. "Jadi... mending kita jalan. Aku enggak mau sedih-sedih lagi sekarang, karena aku masih punya Kak Djuan."
"Aku juga senang bisa punya kamu."
Buru-buru Putri melarikan matanya ke arah lain ketika tatapan Djuan semakin intens kepadanya. "Udah dong jalan dilihatin melulu. Pulang sekarang yuk!"
Djuan terkekeh seraya mengacak-acak rambut Putri. Mereka lantas berjalan melewati koridor sekolah menuju gerbang depan. Sesaat, Djuan memandangi surat penerimaan mahasiswa baru dan merangsekannya kasar ke dalam tas.
"Mami," gumam Putri tiba-tiba sebelum dia dan Djuan keluar pintu gerbang sekolah.
Seorang wanita berkacamata hitam dengan kemeja merah dan blazer hitam mendekat. Wangi cendana lembut bersanding dengan vanilla semakin terendus kuat saat wanita itu berdiri di depan Putri.
"Mami udah nungguin kamu. Makan siang sama Mami, yuk!"
Putri melirik Djuan ragu. Lebih-lebih ada kesan canggung dari mata Djuan ketika tanpa sengaja bersirobok dengannya.
"Aku ajak teman aku, boleh?"
Cepat-cepat, Djuan mengulas senyum tipis tanda menyapa wanita yang disebut Mami oleh Putri.
Ibu Putri membuka kacamata dan mengamati Djuan lekat-lekat. "Oke. Mami tunggu di mobil ya. Mobil Mami di depan."
"Ayo, Kak."
"Aku enggak apa-apa ikut?" tanya Djuan memastikan sambil menahan tangan Putri.
"Enggak apa-apa. Mami aku baik kok, teman-teman aku aja sering main ke rumah dan ngobrol sama Mami. Please...," pinta Putri seraya menggandeng lengan Djuan. Setengah hati, Djuan mengiyakan.
***
TBC
Acuy's Note:
Btw kalo... seandainya di universe lain Djuan keterima di Depok, ketemu Lea dong. Mana Lea belum ketemu Mamas. EEHhhh.... Otak penulisnya agak-agak nih. Efek udah malem. Abaikan.
Oiyaaa, buat kalian yang udah baca Midnight Tea pasti paham dong sama kota Bandung. Ada yang bisa jelasin? Hehehehe
Sampai ketemu part depan. Lup u all~
Siapin tisu ya part depan wkwkkwkwk
https://youtu.be/1k1tEtPK5Bo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top