16. Mayat Hidup

-

-

Matahari di atas kepala Djuan terasa sangat terik. Seplastik nasi bungkus dia tenteng keluar warung nasi. Senyumnya terlihat miris mengamati angka-angka pada struk ATM. Uang tabungan yang selama ini dia sisihkan sudah terpakai setengah. Enam bulan lebih menganggur membuat kehidupannya berubah drastis.

Djuan menarik napas dalam-dalam. Hanya dalam waktu semalam semua berubah dan dalam waktu beberapa bulan, Djuan bukan lagi seorang Junior Analyst pada Perusahaan Kontraktor di Bandung. Kini dia pengangguran yang kehidupannya hanya tidur, makan, dan sesekali berkunjung ke rental PS milik Wayan, teman SMA nya.

Angin berembus memainkan anak-anak rambut Djuan yang mulai panjang tak beraturan. Matanya menyipit ketika menatap langit Bekasi yang panas siang itu. Alis Djuan menyatu saat bisik-bisik disusul gelak tawa terdengar dari celah sempit antara warung nasi dan rumah warga.

Lima orang bocah berseragam SMP bergerombol. Asap tipis membumbung ke atas. Djuan berdecak. Dia berjalan menghampiri.

"Lagi pada ngapain? Masih SMP udah pada nyebat. Bubar!"

Mereka pun berlari tak beraturan dari sana bak kecoak kecil. Kecuali satu anak yang malah balik menantang Djuan. Benda kecil putih masih terjepit di antara jarinya, belum terbakar.

"Abang siapa? Sok-sokan ngatur. Kita udah mau SMA kok, suka-suka kita lah kalau mau nyebat."

Djuan membaca nama pada papan nama di dada kanan bocah SMP itu. Dia pun terkekeh. Teringat akan bocah berumur lima tahun yang selalu kena bully di gang rumahnya. Waktu ternyata sudah berlalu begitu cepat. Bocah berumur lima tahun itu sudah berubah menjadi remaja tanggung.

"Enggak usah sok gertak. Nanti gue laporin ke Ibu lo," kekeh Djuan merebut korek gas dan rokok dari tangan Andi dan membakarnya.

"Itu punya gue. Balikin."

"Anak kecil enggak boleh ngerokok."

"Emang lo kenal sama emak gue?"

"Lo Andi, kan?" kata Djuan mengembuskan asap putih dari mulutnya. "Bahkan umur lo baru 5 hari, gue pernah gendong lo."

Air muka Andi yang semula kesal, seketika berubah. Bola matanya hampir mencuat kaget. "Bang Djuan? Bang Djuan kapan balik ke sini? Kok gue enggak tahu? Kata Ibu, Abang udah jadi orang gedongan di Bandung."

Djuan terkekeh miris. Dia menyenderkan punggungnya ke dinding warung nasi sambil memandangi tembok abu-abu kotor di hadapannya. Bayangan hampir setahun lalu itu mendadak memenuhi kepalanya.

Bayangan saat kehilangan sang Ibu... dan Riana. Dua wanita yang sangat Djuan cintai. Sempat hampir depresi, Djuan pun tidak lagi dapat produktif di kantor. Itu berimbas ke status pekerjaannya sekarang. Persoalan ini yang membuat Djuan kembali ke Bekasi.

"Udah lama. Gue emang jarang keluar, Bekasi panas," jawab Djuan merampas sekotak rokok yang menyembul dari kantung celana Andi. "Buat gue. Kalau sampai lo ketauan ngerokok lagi, gue laporin nanti. Mending lo belajar yang bener, jangan kebanyakan main dan pacaran, enggak baik. Mumpung ibu masih ada baik-baik lo sama dia."

Andi hampir protes. Namun, urung. Segan sepertinya. Dia memberengut, ketika Djuan pergi sambil membawa rokok miliknya.

"Inget. Jangan pacaran," ultimatum Djuan sebelum meninggalkan Andi seorang diri.

Djuan terus berjalan menyusuri gang kecil di Kampung Pasung dan memasuki rumah tua peninggalan ibunya. Rumah itu terlihat kosong ketika Djuan masuk ke sana. Bau pengap menyambut Djuan. Gorden jendela masih tertutup rapat. Suasana rumah itu lebih tampak seperti rumah hantu.

Rasa nyeri membuat dada Djuan terasa sesak. Tiap jengkal rumah tua itu mengingatkan dia dengan masa kecilnya. Kasih sayang Mila yang mati-matian membesarkan dia seorang diri, tangisannya ketika dikucilkan oleh anak-anak kampung, dan bully-an mereka. Djuan mengembuskan napas berat sambil mengambil piring dan membuka sarapan sekaligus makan siangnya hari itu.

Bola mata Djuan memandangi figura besar di salah satu dinding. Ada dirinya dan Mila di sana. Sementara, di sampingnya ada foto pernikahan Haryo dan Mila yang sederhana. Tanpa Djuan.

Ada rasa sesal di benak Djuan karena tidak mengabulkan keinginan Mila untuk pulang. Dia malah memilih terus bertahan di Bandung dan berkutat dengan pekerjaan. Pekerjaan yang sekarang malah hilang bersamaan dengan mimpi dan hatinya yang dibawa pergi oleh Riana.

Setelah pagi itu, Djuan benar-benar kehilangan kontak dengan Riana. Dia hanya tahu bila Riana sudah pindah ke kota lain dengan lelaki pilihan keluarganya. Bila tahu akan seperti ini, malam itu Djuan pasti sudah mengantar Riana pulang sekaligus menghamba restu keluarga gadis itu. Namun, nasi sudah menjadi bubur.

"Saya sangat menghormati kamu sebagai lelaki. Semua perjuangan kamu selama ini. Tapi Riana membutuhkan seseorang yang setara dengan dia. Om harap kamu bisa menerima keputusan Riana."

"Sekarang sebaiknya kamu lupakan Riana. Cari tempat untuk kamu berkembang. Saya yakin kamu bisa lebih besar daripada saat ini."

Djuan mendengkus ketika ucapan Ayah Riana kembali muncul di kepala. Ingatan saat dia mati-matian mencari keberadaan Riana. Apalagi bulan itu bertepatan dengan waktu kepergian Mila. Bisa terus bertahan hingga hari ini merupakan keajaiban bagi Djuan.

Masih tanpa minat, Djuan memasukan makanan ala kadarnya itu ke dalam mulut. Bahkan rasa tumis buncis itu terasa hambar di mulut Djuan. Suara pintu depan dibuka terdengar. Djuan mengintip dari pantulan kaca lemari. Haryo.

"Loh, kamu udah makan, Dju? Baru aja Om beli makanan buat kamu. Laundry-an udah kamu ambil? Tadi pagi Bang Eko jadi kan benerin saluran mampet di belakang? Uangnya kurang enggak?Kalau kurang nanti Om tambahin."

Djuan bergeming. Semangat hidupnya memang sudah hilang sejak beberapa bulan lalu. Hidup luntang-lantung hanya mengandalkan uang tabungan. Tabungan yang seharusnya sudah dia gunakan sebagai modal menikahi Riana.

"Lauk ini buat kamu makan malam saja. Om taruh di lemari," kata Haryo. Dengan cekatan, pria paruh baya itu merapikan barang-barang yang berserakan di ruang tengah, membuka gorden dan membiarkan cahaya masuk ke dalam rumah, serta mengecek saluran air di belakang.

Sejak Mila meninggal, Haryo kembali ke rumahnya di Harapan Jaya. Rumah yang sempat dikontrakan oleh Haryo saat memutuskan menikah dan menemani Mila di rumah ini. Namun, entah sejak kapan Haryo tiba-tiba pindah. Hanya beberapa hari dalam satu minggu, Haryo mengunjungi Djuan, membawakan makanan, dan bersih-bersih. Haryo seolah paham, meninggalkan lelaki bujang patah hati seorang diri hanya akan menghasilkan sampah menumpuk dan rumah berantakan.

"Om enggak perlu ke sini lagi. Terima kasih buat perhatiannya. Tapi aku bisa urus hidup aku sendiri," kata Djuan bangkit dan berjalan lunglai ke dalam kamar, saat Haryo baru saja masuk dari pintu belakang.

Pintu belakang ditutup kasar terdengar. Bunyinya berdebam. Djuan menoleh. Wajah Haryo merah padam.

"Om melakukan ini karena kamu sudah Om anggap seperti anak kandung. Anak lelaki saya sendiri. Om enggak keberatan kamu enggak mau anggap Om sebagai ayah kamu, tapi biarin Om jaga kamu. Biar bagaimanapun kamu anak Mila. Mila pasti enggak mau lihat kamu kayak gini."

"Terserah," jawab Djuan cuek. Dia meninggalkan Haryo seorang diri.

Djuan masuk ke kamar, merebahkan tubuhnya ke atas kasur. Ekspresinya terlihat datar ketika memandangi langit-langit kamar yang menguning di atas sana. Matanya berair melihat foto wisudanya yang dibingkai rapi di dinding kamar, sama besar dengan yang di ruang tamu. Hasil karya sang ibunda. Lama dia merenung, sampai akhirnya Djuan tertidur tanpa sadar.

Suara ponsel menyadarkan Djuan dari mimpi. Matanya terbuka. Dia mengerang malas ketika melihat nama Wina muncul di layar. Segera, dia matikan panggilan itu. Semenjak pindah ke Bekasi, Djuan seakan enggan berinteraksi dengan orang-orang di Bandung. Menurutnya seperti membuka luka lama. Selalu mengingatkan dia dengan Riana.

Sambil menguap lebar, Djuan berjalan keluar kamar. Haryo duduk di meja makan sedang membaca berkas-berkas dan merapikan dokumen itu ke dalam kotak. Sementara malam sudah tampak dari ventilasi jendela yang gelap.

"Djuan, bisa ke sini sebentar. Om mau tunjukin sesuatu sebelum pulang."

Djuan menoleh sekilas dan kembali membawa kakinya ke kamar mandi.

"Sebentar," ulang Haryo sabar. "Ada yang mau saya kasih ke kamu... dari Mila."

Djuan berjalan mendekati meja makan saat nama ibunya disebut. Setengah hati, dia menarik kursi dan duduk menghadap Haryo.

Haryo mengeluarkan buku tabungan dari tumpukan dokumen dan menyerahkan ke Djuan.

"Ini apa?" tanya Djuan bingung.

"Tabungan kamu."

Djuan semakin bingung. Dia pun membuka buku tabungan itu. Angka di sana membuat bola mata Djuan membulat.

"Itu uang yang selama ini kamu kirim ke Mila. Uang bulanan dan uang berobat. Mama kamu enggak pernah sepeser pun ambil uang kamu. Setiap kali kamu kirim, Mila selalu masukan ke rekening itu," terang Haryo. Pandangannya tampak iba, ketika tangan lelaki muda di hadapannya itu bergetar menggenggam erat buku tabungan. "Mila mau uang itu kamu pakai untuk hal lain. Entah itu untuk modal kamu menikah, atau kebutuhan lain. Semua biaya pengobatan Mila, sudah saya tanggung. Jadi, saya harap kamu bisa manfaatin itu. Uang itu bukan hak saya. Tapi saya harap bisa kamu pakai dengan baik."

Setetes demi setetes air jatuh membasahi meja. Bukan karena uang di tabungan yang mencapai tiga digit, tetapi Djuan mendadak kehilangan cara untuk bernapas. Dadanya terasa amat sesak. Air mata menetes satu per satu. Air itu bahkan terus-menerus turun membasahi pipi. Detik itu, Djuan dihantui rasa bersalah.

Haryo bangkit. Dia pun membawa Djuan ke pelukannya. Bak anak kecil yang kehilangan mainannya, Djuan terus tergugu di pelukan Haryo.

"Kamu harus bangkit, Djuan. Biarin yang berlalu jadikan pelajaran buat kamu. Kasihan Mila kalau kamu seperti ini."

***

Siang itu, Djuan sudah duduk bersila di Rental PS milik Wayan. Teman SMA nya itu sekarang berbisnis rental PS. Pengunjung di sana kebanyakan anak SD atau SMP. Hanya Djuan, pria setengah matang yang terlihat cuek bermain seorang diri didampingi segelas kopi hitam sachet.

"Lo mau sampai kapan, Dju, nongkrong di sini saban hari? Apa kata orang nanti," komentar Wayan sambil merapikan bantal duduk buluk yang bertebaran di ruangan berukuran 3x5 meter itu.

"Cuekin aja. Toh, emang kenyataannya gue pengangguran kan," jawab Djuan dengan mata masih fokus ke layar permainan.

"Mau coba kerja di tempat bini gue? Kayaknya lagi butuh orang pajak. Lo bisa kan ngurusin pajak?"

Djuan bergeming. Tawaran Wayan seakan angin lalu di telinga Djuan. Djuan mendesis saat Wayan bersidekap dan terus memelotot di sebelahnya.

"Iya-iya bulan depan gue bakal mulai cari kerjaan. Bawel banget."

"Lagian lo gimana sih, Dju. Bukannya balik ke Bekasi bawa calon, malah jadi begini," celoteh Wayan kembali duduk di meja depan, menunggu pelanggan. "Cewek yang kemarin emang kenapa? Lo putus sama dia?"

"Berisik."

"Dju."

"Apalagi? Mau komentarin hidup gue lagi?" decak Djuan membalikan badan.

"Ada yang nyari," jawan Wayan menunjuk sepasang manusia yang tersenyum lebar dari pintu depan.

Spontan, Djuan berdiri lalu menghampiri Wina dan Arya. "Kalian ngapain di sini?"

"Maneh kemana aja sih, Dju. Kita khawatir tahu," gerutu Wina berkacak pinggang. "Mana ditelepon enggak pernah diangkat."

Arya menjepit hidungnya sambil memandangi sosok Djuan yang terlihat kumuh. Celana denim pendek sobek-sobek, kaus polos dengan lubang di kerah, dan rambut berantakan. Belum lagi bau kurang sedap yang menelusup ke hidungnya.

"Maneh belum mandi? Bau banget!" seru Arya.

"Udah, sembarangan. Kita ngobrol di rumah gue aja, ayo!" ajak Djuan buru-buru kabur sambil dari tempat Wayan. "Yan, kopi yang tadi gue bayar nanti ya. Thanks."

Sesampainya di rumah Djuan, Wina dan Arya mengamati interior di dalam dengan takjub. Ini kali pertama mereka mengunjungi rumah Djuan.

"Berhubung enggak ada teh ataupun kopi, jadi gue kasih air putih aja ya," terang Djuan membawakan dua gelas air putih.

"Ini rumah atau sarang walet, Dju? Gelap pisan. Berdebu lagi. Maneh sehat? Belum gila kan?" celetuk Wina duduk pada sofa ruang tamu.

"Kalian kalau cuma mau ngeledek doang mending balik," sahut Djuan sebal.

"Dju, sori ya gua baru tahu kalau lu dipecat dari tempat yang kemarin. Gua juga minta maaf kalau gua enggak bisa bantu lu cari Riana," kata Arya membuka obrolan. "Wina juga udah coba tanya Dwi, tapi dia juga enggak tahu."

"Terus kenapa maneh enggak kabarin kita kalau udah enggak kerja di tempat yang lama? Udah lupa sama kita ya? Parah pisan," gerutu Wina sembari menghabiskan isi gelas. Sementara, keringat mengucur di keningnya. "Setidaknya kan gua bisa bantu lu cari kerjaan di Bandung."

"Gue emang berniat pulang, setelah ibu pergi."

"Bukan gara-gara Riana?"

Djuan membisu. Wina menyikut lengan Arya. Terlebih, suasana menjadi kaku setelah pertanyaan Arya.

"Karena itu juga," jawab Djuan jujur.

"Terus sekarang maneh kerja di mana? Masih jadi konsultan?" tanya Wina coba mencairkan suasana.

Djuan menggeleng. "Masih pengen liburan."

Bola mata Arya saling tatap dengan Wina. Ada kesan prihatin pada wajah keduanya. Sebab Djuan yang duduk di depan mereka seperti sosok lain. Berbeda jauh dengan Djuan yang selalu gigih dalam keadaan apapun.

"Dju, sebenernya.... selain gua mau ketemu lu. Gua juga ada urusan ke Jakarta buat bantu bisnis kopi punya sepupu," ujar Arya mengeluarkan kartu nama dari kantung celana. "Kalau emang lu masih belum mau balik kerja dan biar lu ada kegiatan, gimana kalau lu bantu gua?"

Wina mengangguk cepat. "Lu kan udah biasa kerja di tempat Kang Bas, dan lu juga tahu bisnis lebih baik daripada gua, apalagi Arya. Lu mau kan handle kafe punya sepupunya si Arya. Seenggaknya biar lu ada kegiatan aja, Dju."

Djuan melirik kartu nama yang diangsurkan oleh Arya dengan setengah hati.

"Gua di sini sampai lusa. Jadi, kalau emang lu berminat, gue tunggu jawaban lu sampai besok. Kalau emang lu enggak mau enggak apa-apa juga. Kita enggak maksa."

"Gue pikirin dulu."

***

Malam menjelang, seorang diri Djuan merapikan bungkus makanan bekas delivery Wina dan Arya sore tadi. Kehadiran dua teman kuliahnya itu sedikit banyak menghibur Djuan, apalagi tingkah mereka juga tidak pernah berubah. Selalu ribut setiap saat.

Tangan Djuan seketika berhenti bergerak. Dia memandangi kartu nama dari Arya yang hampir dia buang ke tempat sampah. Sambil membawa kartu nama itu, Djuan berjalan gontai ke gudang di dekat dapur.

Bau apak menyambut Djuan. Dia pun terbatuk. Bola matanya bergerak mencari tumpukan kardus berisi buku dan barang yang dia bawa dari Bandung. Satu per satu dia buka kardus itu seperti sedang mencari sesuatu.

Djuan tersenyum untuk kali pertama sejak beberapa bulan ini saat menemukan buku kecil lusuh dari salah satu kardus. Dia bersyukur buku catatan ini masih ada. Djuan membawa buku itu keluar dan membaca tulisan tangannya di meja makan.

"Peak season... degassing... lava cake," gumam Djuan membaca catatannya selama bekerja di tempat Baskara.

Senyum Djuan makin lebar membaca perencanaan dan modal membuat sebuah kafe hasil diskusinya dengan Uak Ali. Beberapa resep pastry juga tercatat rapi dari Baskara. Terlalu fokus dengan hubungannya bersama Riana, Djuan sampai lupa bila dulu dia sempat terobsesi untuk membuat coffee shop. Senyumnya tiba-tiba hilang saat secarik kertas merah jambu jatuh ke permukaan meja.

Baru kali ini saya ngerasa beruntung enggak pesan latte dan lebih pilih americano.
Tapi ini bukan soal rasa.
Besok bisa kan saya cobain kopi buatan kamu lagi?

- Riana -

Benak Djuan dirundung mendung dan kecewa bersamaan. Apalagi di salah satu halaman, masih ada belasan sticky note lagi menempel. Ini bukan kali pertama Djuan merasakan perpisahan. Namun, rasanya tetap asing ketika tulisan itu masih ada. Apalagi semua berakhir tanpa ada kata pisah secara langsung.

Djuan mencopot kertas-kertas itu dan merobek halaman buku yang berisi tentang gadis itu. Dia mengumpulkan semuanya dalam kaleng bekas, yang dia simpan kembali ke dalam kardus paling ujung di gudang. Seakan ingin menyimpannya rapat-rapat dalam sudut kenangan di dalam hati Djuan.

***

TBC

Acuy's Note

Beli rambutan bareng Melati, 

Dapatnya manis, dimakan di balkon. 

Hati galau karena patah hati, 

Apa bener nih Djuan bisa move on?

Tunggu di jawabannya di part selanjutnya ya.... Bagi yang baru bergabung di cerita ini selamat bergabung. Sekadar informasi cerita ini merupakan spin off dari cerita MIDNIGHT TEA. Jadi, kalau yang mau tahu cerita Djuan di kisah orang lain, jangan lupa baca Novelnya ya. Masih ada kok di Toko Online dan Gramedia.

Ada yang tahu habis ini kita akan ke mana??? Hehehehehe

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top