15. Mimpi Buruk

-

-

Pagi-pagi sekali Djuan sudah menunggu di stasiun Bandung. Hiruk pikuk stasiun sudah terasa sejak pagi. Stasiun yang sudah berumur lebih dari satu abad itu selalu ramai di akhir pekan. Ramai dengan orang-orang Jakarta yang akan berlibur singkat di Bandung, anak-anak rantau yang pulang kampung, atau mereka yang harus pergi karena urusan penting ke luar kota. Salah satunya sepasang parah baya yang baru keluar dari stasiun.

Mila dan Haryo. Djuan mendekati mereka, menyalami keduanya, dan membantu membawakan tas mereka. Setelah mengepak barang-barang itu ke dalam bagasi mobil, Djuan membawa mobil itu menjauhi stasiun.

"Kerjaan kamu sesibuk apa sampai enggak pernah pulang, Dju?" tanya Mila dari bangku belakang. "Masa Mama yang selalu harus samperin kamu."

"Enggak apa-apa. Sesekali kita yang jalan-jalan. Lagipula terakhir kali kita ke Bandung juga waktu Djuan wisuda, kan?" sahut Haryo duduk di sebelah Djuan.

Obrolan pun terjadi sepanjang perjalanan menuju rumah kontrakan Djuan. Dari mulai kondisi rumah di Bekasi, tetangga mereka, hingga kondisi kesehatan Mila. Tanpa sadar, Djuan ikut tersenyum dan sesekali terkekeh menimpali interaksi antara Mila dan Haryo.

"Terus hal penting apa yang mau kamu obrolin sama Mama, Dju? Serius sekali kayaknya kemarin di telepon."

Djuan mengintip dari kaca tengah, seperti sedang membaca ekspresi Mila. "Mama tahu Riana, kan?"

"Pacar kamu?"

"Besok Riana mau kita ketemu dengan orang tuanya," jawab Djuan masih fokus mengemudi. "Aku juga berencana mau ngelamar dia. Enggak dalam waktu dekat, tapi setidaknya dalam beberapa bulan lagi."

Air muka Mila seketika berubah. Begitupun, Haryo. Suara obrolan sepasang manusia paruh baya itu seakan tersedot ke ruang hampa seiring dengan jawaban Djuan. Kondisi di dalam mobil langsung terasa canggung.

"Apa enggak kecepetan? Bahkan Mama belum pernah ketemu dengan Riana secara langsung."

"Tiga tahun, Ma. Djuan rasa, tiga tahun bukan waktu yang terlalu cepat buat aku kenal Riana."

"Mama tahu. Tapi selama tiga tahun itu kenapa kamu enggak bawa dia ketemu Mama dulu? Apa susahnya pulang sebentar ke Bekasi buat kenalin Riana ke Mama."

"Aku dan Riana sibuk kerja, Ma. Susah cari waktu yang tepat. Makanya baru sekarang, mumpung Mama ada urusan di Bandung, aku bisa ketemuin Mama dengan Riana."

"Kalau begitu, biarkan Mama ketemu dulu, Dju," balas Mila tidak mau kalah. "Mama juga mau nilai, apakah dia memang cocok sama kamu atau enggak? Latar belakangnya seperti apa dan keluarganya apakah memang sudah pasti menerima kamu. Jangan langsung tiba-tiba kamu bilang mau menikahi dia."

"Aku kan udah pernah cerita ke Mama soal keluarga Riana. Lagipula aku juga enggak nikah besok, Ma, mungkin masih tahun depan. Masih ada waktu."

"Betul kata Mamamu, Dju. Memutuskan buat menikah bukan persoalan mudah. Banyak hal yang harus kamu pertimbangkan," sahut Haryo memandangi Djuan. "Lagipula setelah wisuda kamu juga belum pernah pulang ke rumah, kamu enggak mau ngabisin waktu dengan Mamamu dulu? Tunggu dua tahun atau tiga tahun lagi, Dju."

Mila membisu. Ucapan Haryo sepertinya sudah mewakili perasaannya selama ini. Wanita tua itu menarik napas panjang. Sorot matanya terlihat muram.

Rumah. Djuan bahkan sudah lupa di mana rumahnya sekarang. Sejak kehadiran Haryo, dia merasa tidak lagi memiliki rumah. Dia hanya tahu, Bandung dan Rianalah rumahnya saat ini.

Lewat ekor matanya Djuan melirik Haryo. Ucapan Haryo menyentil hati kecil Djuan. Perasaan hangat dan bahagia yang memenuhi dadanya seketika berubah dendam. Agaknya, kehadiran Haryo masih menjadi noda kecil di kehidupan Djuan. Suasana di dalam mobil menjadi hening sampai kendaraan itu berhenti dan terparkir di depan kontrakan Djuan.

"Ya udah. Kita kita ketemu dulu besok," ujar Mila akhirnya.

***

Pertemuan antara keluarga Djuan dan Riana diadakan di rumah makan area Martadinata. Djuan dan kedua orang tuanya tiba lebih dulu. Dia membawa kedua orang tuanya ke ruangan VIP yang memang khusus disiapkan untuk acara-acara keluarga. Sebuah meja panjang, jendela kayu yang menghadap ke kolam ikan, dan ornamen-ornamen bambu, menghiasi dinding-dinding ruangan.

Djuan duduk berhadapan dengan Mila. Beberapa kali dia mengecek arloji dengan ekspresi gugup tidak keruan. Setengah jam sudah berlalu, tetapi Riana dan keluarganya tidak kunjung tiba. Makanan sudah berjejer di meja makan. Beberapa kali Mila melirik Djuan seakan meminta penjelasan.

"Djuan telepon Riana dulu sebentar. Mungkin mereka kena macet."

Djuan berjalan menuju pintu samping restoran. Di sana, kolam ikan panjang dengan gubuk-gubuk bambu di atasnya menyambut Djuan. Telepon tersambung, nada tunggu berdering.

Tiga puluh detik. Satu menit berlalu. Panggilan Djuan tidak pernah diangkat.

Panik memenuhi benak Djuan. Baru kali ini selama tiga tahun, Riana tidak merespons panggilannya. Djuan memijit pelipisnya yang mendadak pening. Sampai akhirnya, suara klik tanda telepon itu diangkat oleh seseorang terdengar.

"Halo, Ria. Kamu di mana?"

Tidak ada jawaban. Hanya suara napas seseorang dari seberang. Napas panjang dan berat seakan sedang menanggung beban.

"Dju, maaf. Hari ini sepertinya aku enggak bisa datang."

"Jangan bercanda, Ria. Keluarga aku udah nunggu kamu hampir satu jam."

"Maaf. Tapi aku enggak bisa...." suara Riana dari seberang terdengar serak.

"Kamu sakit? Suara kamu kenapa?"

"Aku enggak bisa cerita lebih detail di telepon... aku..."

Ucapan Riana terhenti berganti isak tangis yang pelan-pelan semakin nyaring terdengar. Jelas, Djuan dibuat panik.

"Ria, please. Jangan buat aku bingung. Kamu kenapa? Sekarang kamu di mana? Aku ke sana jemput kamu. Kirim ke aku alamatnya."

"Jangan... Djuan. Jangan. Aku enggak apa-apa. Secepatnya pasti aku cerita ke kamu. Tolong sampaikan maaf aku ke ibu dan ayah kamu ya. Maafin aku. I love you more than you'll ever know."

"Ria. Kamu ngomong apa sih? Ria!"

Panggilan itu pun terputus. Djuan termangu memandangi ponselnya yang sudah mati. Dadanya dirundung gelisah. Dia benar-benar tidak bisa berpikir jernih sekarang. Di kepalanya hanya ada satu tempat yang ingin segera dia kunjungi.

Rumah Riana. Dia pun berbalik hendak pergi dari sana. Namun, niat Djuan sirna. Mila sudah berdiri di belakang Djuan. Mukanya terlihat marah dan kecewa. Haryo pun berdiri di sisi Mila dengan ekspresi iba.

"Kita pulang sekarang!" perintah Mila tegas.

Sepanjang perjalanan, Mila mengomentari hubungan Djuan dengan Riana. Dari kalimatnya, Mila seperti kecewa dengan Riana dan keluarganya yang mendadak membatalkan pertemuan hari itu. Kemudian, alih-alih memberikan penjelasan, Riana malah terkesan tidak sopan dan semena-mena.

Djuan mengunci mulutnya rapat-rapat. Isi kepalanya dipenuhi tanda tanya tentang kondisi Riana sekarang. Dia bahkan kedapatan beberapa kali kurang fokus.

"Sekarang, Mama minta kamu pulang ke Bekasi. Selama ini kamu bertahan di sini cuma demi dia, kan? Tinggal di kontrakan kecil, gaji juga harus kamu bagi-bagi untuk Mama dan kehidupan kamu di sini," cerocos Mila panjang lebar, begitu mereka kembali menginjakan kaki di kontrakan Djuan. "Kamu masih punya rumah. Di sana pun banyak pekerjaan dengan gaji yang lebih layak daripada di sini."

"Enggak semudah itu, Ma," jawab Djuan akhirnya bersuara. Selagi tangannya sibuk mengetikan pesan untuk Riana.

"Dju, enggak ada salahnya dengar kata Mama kamu. Di Jakarta atau Bekasi kamu bahkan bisa dapat pekerjaan lebih layak."

"Mama dan Om baiknya istirahat. Aku mau keluar sebentar," kata Djuan berniat keluar dari rumah.

"Kamu mau ke mana? Mau cari perempuan itu? Djuan dengar Mama," sahut Mila dengan dada naik-turun. Emosi sepertinya sudah naik ke ubun-ubun. "Kalau kamu keluar dari kontrakan ini sekarang, Mama juga akan pergi dari sini."

"Mil, udah. Tahan emosi kamu. Nanti kalau penyakit kamu kambuh gimana? Sekarang kamu duduk, aku ambil air buat kamu," ujar Haryo membantu Mila duduk di sofa. "Djuan masuk sekarang. Ikuti kata Mama kamu."

Djuan menggusak rambutnya kesal. Dia berbalik dan duduk di kursi meja makan. Mukanya terlihat kusut. Dia hanya memandangi Mila yang dipapah Haryo menuju kamar. Kepalanya dibuat makin penat melihat ibunya terlihat kesakitan dengan mata berkaca-kaca.

Selang dua jam, Haryo keluar dari dalam kamar. Dia melihat Djuan masih setia dengan posisinya. Duduk dengan kepala menunduk di meja makan.

"Dari awal, Om memang enggak setuju waktu kamu kenalin dia lewat telepon."

Djuan mendongak. Alisnya menyatu.

"Dia berbeda Djuan dengan kita. Latar belakang, kehidupan sehari-hari, nilai, dan budayanya jauh berbeda," terang Haryo mengangsurkan segelas air putih dan duduk di depan Djuan. "Itu yang buat sudut pandang dia juga berbeda dengan kita. Menggampangkan sesuatu yang menurut kita penting dan mungkin akan meribetkan kamu untuk hal-hal yang enggak penting nantinya."

"Om siapa berani nilai hubungan saya dengan Riana dan ngatur hidup saya," ketus Djuan menatap sinis. "Om di sini cuma sebagai suami Mama, bukan Ayah saya."

Haryo tersentak. Dia tersenyum tipis. "Om tahu. Tapi sebagai seseorang yang lebih banyak punya pengalaman, Om cuma enggak mau ada orang lain yang buat kamu dan Mama kamu sakit hati."

Djuan mendengkus. Dia menenggak air putih di gelas hingga tandas. Siang sampai malam berkelahi dengan isi pikirannya membuat tenggorokan Djuan kering kerontang.

"Setiap malam, Mila selalu nyebut nama kamu. Cerita soal masa kecil kamu ke saya. Bangganya dia sama kamu. Dia cuma mau kamu pulang, Djuan. Biar bagaimana pun Mama kamu butuh kamu."

Sambil menahan muak, Djuan berjalan menjauhi Haryo. Sepintas, dia melihat bayangan ibunya tertidur dari pintu kamar yang terbuka. Djuan mendekat. Dia mengamati ibunya dalam diam. Sudah hampir satu windu berlalu sejak hari di mana Djuan tahu soal rahasia ayahnya. Djuan merasa Mila semakin tua. Djuan tersenyum sendu kala janjinya sebelum dia pergi ke Bandung kembali muncul di kepala.

"Aku pasti pulang kalau liburan. Mama enggak usah khawatir. Mama jaga kesehatan."

***

Dua minggu berlalu tanpa terasa. Riana masih sulit dihubungi. Beberapa kali Djuan bertanya ke teman-teman Riana, berkunjung ke rumah, atau menunggu di depan kantor Riana, tetapi selalu nihil. Djuan frustasi ketika tidak ada tanda-tanda pesan balasan dari Riana. Mila dan Haryo sudah kembali ke Bekasi di hari ketiga usai urusan Haryo selesai. Sepanjang sisa waktu bersama itu, Mila menjadi pendiam seakan masih kecewa dengan Djuan. Apalagi Djuan masih bersikukuh ingin menikahi Riana.

Malam itu, usai memarkirkan mobilnya, Djuan berjalan gontai ke pintu kontrakan. Gerimis terdengar rancak dari arah jalanan. Dingin menusuk kulit. Seketika, Djuan hampir dibuat terkena serangan jantung, ketika Riana muncul menghadang.

Mata Riana terlihat sembab seperti habis menangis. Perempuan itu seperti terpaksa tersenyum lebar menyambut Djuan.

Djuan mendekat. Wajahnya langsung semringah. "Kamu ngapain di sini? Aku udah beberapa hari ini telepon kamu... dan selalu enggak kamu angkat aku pikir kamu...." Djuan menghentikan ucapannya saat Riana memeluk erat tiba-tiba.

"Kita ngobrol di dalam aja ya. Nunggu kamu dua jam di sini buat aku kedinginan."

Djuan menoleh kanan dan kiri. Suasana kontrakan berpintu delapan itu sudah sepi, karena sudah hampir tengah malam.

"Ini udah malam, Ria."

"Please...." pinta Riana dengan bibir bergetar.

Djuan akhirnya menyerah. Mereka pun masuk. Riana membawakan bahan makanan dan memasak untuk Djuan. Kemeja dan celana bahan di tubuh Djuan sudah berganti dengan kaus dan celana pendek usai dia membersihkan diri.

Djuan memandangi Riana dari sofa. Sekarang sudah jam 12 malam, sudah seharusnya dia mengantar Riana pulang. Tapi perempuan itu masih sibuk sendiri di dapur sambil terus mengoceh soal pekerjaannya hari itu.

Djuan menghampiri Riana. "Udah kan masaknya? Aku antar kamu pulang. Orang tua kamu pasti cari kamu."

"Aku lapar. Kamu juga belum makan, kan? Kita makan bareng dulu ya," kata Riana memindahkan piring berisi makan malam mereka ke atas meja.

"Ria," panggil Djuan menahan lengan Riana.

"Apalagi sih, Dju? Sekarang kamu duduk dan makan bareng sama aku. Oh, iya. Aku mau kopi ya. Kayaknya aku butuh yang hangat-hangat malam ini," kata Riana tersenyum lebar sembari menepis tangan Djuan.

Djuan hanya memandangi Riana sebal, meskipun dia tetap membuatkan segelas kopi untuk perempuan itu. Keduanya membisu sambil menyantap makanan masing-masing, hanya menyisakan suara denting sendok dan piring.

"Lima belas menit lagi, aku antar kamu pulang," kata Djuan menyelesaikan makan malamnya.

"Aku enggak mau pulang. Aku mau di sini sama kamu. Lagian aku udah izin ke orang tuaku kalau aku nginap di rumah teman," jawab Riana lantas merapikan piring dan sisa makan malam mereka.

Djuan akhirnya sadar kalau ada yang tidak beres dengan Riana. Masih betah berdiam diri, mata Djuan mengikuti gerak-gerik Riana.

Riana berdiri lalu meletakan piring kotor ke dapur. Dia kemudian duduk di sofa sambil menikmati sisa kopinya.

"Kamu sebenarnya kenapa?" tanya Djuan berdiri di hadapan Riana.

"Kenapa gimana? Aku cuma mau di sini sama kamu, emang enggak boleh? Kita udah dua minggu loh enggak ketemu? Kamu enggak kangen? Sini duduk," ajak Riana menepuk bagian sofa yang kosong. Djuan bergeming.

"Ayo sini!"

Riana menarik kuat tubuh Djuan. Tubuh Djuan oleng. Dia terjatuh menimpa Riana. Badan Djuan yang lebih besar, membuat Riana terjebak dalam kungkungan tangan Djuan.

Djuan terpaku. Wangi manis dari tubuh Riana semakin kental dicium dari dekat. Mata cerah milik Riana kini redup saat mereka saling tatap.

"Aku kangen banget sama kamu," ucap Riana lirih.

Perlahan, Djuan melihat mata Riana mulai berair lantas tertutup. Setetes air mata jatuh. Riana memajukan tubuh dan membiarkan bibir mereka bertemu dengan berani.

Djuan tertegun. Tubuhnya tidak lagi bisa dia kontrol. Pikiran Djuan kosong seketika. Suara hujan deras di luar pun sudah menggaung. Sampai jari lentik Riana terasa menyentuh punggung polos Djuan. Dia tersentak. Spontan, Djuan mendorong tubuh Riana. Dia segera bangkit dari sofa.

"Kamu pulang sekarang," seru Djuan segera mengenakan kausnya yang tergeletak di lantai. Nafasnya sudah turun naik.

"Kamu udah enggak cinta lagi sama aku, Djuan?"

"Aku cinta sama kamu Ria. Tapi enggak gini caranya."

"Terus dengan cara apa lagi? Aku udah enggak tahu lagi harus gimana buat nolak perjodohan itu. Cuma ini yang aku tahu, Dju. Mungkin kalau aku sama kamu udah...." Rian menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan ucapannya. "Orang tua aku atau bahkan lelaki itu bakal berpikir dua kali buat lanjutin ini."

"Maksud kamu...."

Riana mengusap wajahnya frustasi. "Ibu berencana jodohin aku dengan anak dari teman Bibi. Dua minggu ini, Ibu ngelarang aku buat ketemu kamu. Semua akses aku ke kamu, Ibu batasi."

Djuan terdiam. Mimpi buruknya jadi kenyataan. Djuan kehabisan kata. Dia hanya bisa diam ketika Riana menangis di sofa. Isakannya terdengar kencang. Tubuh Riana berguncang hebat. Sementara kemejanya masih berantakan.

"Aku enggak tahu lagi harus dengan cara apa biar mereka batalin perjodohan itu. Aku cuma cinta sama kamu, Dju. Aku enggak bisa tanpa kamu."

Djuan mendekat. Dia merapikan pakaian Riana. Kemudian membawanya ke pelukan. Suara isak tangis Riana semakin terdengar di pelukan Djuan. Lama mereka seperti itu sampai isakan tak lagi terdengar.

"Aku juga cinta sama kamu. Maafin aku karena aku enggak bisa jadi apa yang diharapin keluarga kamu."

Riana melepaskan pelukannya dan menggeleng. "Mereka cuma enggak tahu, Dju, seberapa besar perjuangan kamu. Kamu yang sekarang udah lebih dari cukup buat aku."

Djuan menunduk. Tanpa sadar dia ikut meneteskan air mata di depan Riana. Ucapan keluarga Riana malam itu menghantui kepalanya. Menekan tiap sudut tengkoraknya membuat kepalanya sakit sampai mati rasa.

"Dju?"

"Mulai sekarang, aku akan berjuang lebih keras buat ambil hati keluarga kamu," kata Djuan sembari mendongak dan mengusap air mata di pipi Riana. "Jadi, jangan pernah kamu berpikiran buat ngelakuin hal kayak tadi. Aku yakin akan ada cara, asal kamu juga mau berjuang sama-sama. Jangan tinggalin aku. Aku enggak bisa kalau kamu mendadak hilang tanpa kabar kayak kemarin."

"Aku janji. Aku enggak akan pergi kemana-mana."

Djuan mengecup lembut kening Riana, yang disambut pelukan hangat. Seakan ingin melepaskan semua keraguan, sakit hati, dan rasa takut akan masa depan hubungan mereka.

Ya, untuk saat ini mereka hanya ingin saling merengkuh satu sama lain. Tidak lebih.

Selang setengah jam, suara napas teratur milik Riana terdengar di pelukan Djuan. Djuan perlahan melepaskan diri dari kungkungan Riana dan melantai di sisi sofa. Bola mata Djuan bergerak mengamati tiap lekuk wajah Riana dari dekat.

Jam sudah menunjukan pukul tiga pagi. Mata Djuan sudah kadung terbuka dan tidak lagi bisa terlelap. Akhirnya dia hanya duduk di lantai sambil menikmati sisa kopi di gelas Riana hingga fajar menjelang.

***

Paginya, Djuan mengantar Riana pergi ke kantor. Meskipun, Riana menggunakan baju kemarin, dengan bantuan pelicin pakaian setidaknya tidak membuat orang kantor bertanya-tanya. Dengan tangan masih bertaut, Riana memandangi Djuan.

"Maaf aku buat kamu enggak tidur semalaman. Muka kamu jadi jelek deh."

"Enggak apa-apa jelek, yang penting cintanya kamu sama aku."

Riana tergelak. Mimiknya meringis geli, meskipun ujung-ujung kecupan singkat mendarat di bibir Djuan sebagai hadiah.

"Aku betangkat ya. Thanks, Dju. I love you more than you'll ever know."

Djuan mengangguk. "Ingat jangan pernah hilang lagi. Kita perjuangin ini sama-sama."

"Pasti," janji Riana keluar dari mobil Djuan.

Djuan memandangi Riana yang masuk ke dalam kantor dari balik jendela mobil. Senyum terulas dari bibir Djuan. Dadanya terasa penuh, hanya dengan melihat Riana berjalan riang.

Senyum Djuan menghilang ketika ponselnya berbunyi dan menunjukan nama Haryo di layar. Tanpa sadar, satu sentuhan di ponsel itu membawa Djuan ke dalam mimipi buruk yang tidak pernah sekalipun dia kira akan terjadi di hidupnya.

***

TBC

Acuy's Note

Ke taman bunga pergi berjalan,

Singgah sebentar di tepi telaga.

Penasaran dengan lanjutan kisah Djuan?

Tunggu part selanjutnya, ya!

Ditunggu love dan komentarnya~💜💜

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top