14. Aku Mau Kita Nikah

-

-

"Terus setelah itu gimana hubungan Mas Djuan dengan perempuan itu? Akhirnya Mas menikah?" tanya Fanny dengan mimik makin penasaran. Sementara, kopi sudah tinggal setengah dan french toast masih tersisihkan di permukaan meja.

Djuan terkekeh. "Kalau langsung sampai di situ saya mungkin enggak akan ada di sini, begitupun kafe ini."

"Jadi?"

"Kadang kala sebagai manusia kita cuma bisa punya rencana, tapi Tuhan yang punya jalan," jawab Djuan menyedot nikmat long black di gelas. "Enggak dimakan dulu french toast-nya, Mbak. Itu salah satu signature dessert di sini loh. Kecewa saya dianggurin kayak gitu."

"Sori. Terlalu penasaran dengan cerita Mas Djuan, saya jadi lupa sama lapar."

"It's okay."

Djuan mengalihkan pandangannya ke figura pada dinding di dekat jendela. Suasana malam hari dengan kelap-kelip lampu dari ketinggian. Djuan mengulas senyum tipis.

***

Jam baru menunjukan pukul enam sore, tetapi berbeda dengan hari-hari biasanya, Djuan terlihat terburu-buru merapikan berkas ke dalam map. Setelah semua barang pribadi dia lesakan ke dalam tas, Djuan segera menyabet tas dan kunci dari atas meja. Tidak peduli dengan tatapan aneh beberapa rekan kerja atau supervisor yang hampir dia tabrak tanpa sengaja. Ponsel di kantung celana berdering ketika Djuan akan menaiki lift.

"Halo, Ria. Aku udah di jalan, sebentar lagi sampai."

TING!

Suara lift berhenti di lantai dua terdengar. Beberapa orang berkemeja rapi masuk membuat tubuh Djuan terdesak ke sudut.

"Lift? Kamu kayaknya salah denger," jawab Djuan beralasan. "Aku udah di jalan, lima belas menit lagi aku sampai. Iya, aku tahu. Dah."

Lift pun berhenti di lantai dasar. Semua pegawai kantor gedung di daerah Asia Afrika itu keluar dari dalam benda besi itu. Termasuk Djuan. Dia tergopoh-gopoh berlari ke tempat parkir. Sedan Satrlet abu-abu sudah menunggu. Mobil keluaran lama, hasil tabungannya setelah bekerja sebagai akuntan di kantor jasa kontraktor hampir tiga tahun.

Mobil Djuan berlari menyusuri kota Bandung. Hujan rintik-rintik turun membasahi jendela mobil. Remang-remang jalanan Bandung menambah suasana syahdu malam itu. Bandung memang tidak terang benderang seperti Jakarta di malam hari. Namun, suasana tenang ini yang membuat Djuan nyaman untuk terus berada di sini setelah lulus kuliah. Selain, karena keberadaan Riana.

Laju kendaraan Djuan melambat ketika tempat yang familiar dia lewati. Senyum tipis muncul di bibir Djuan. Baskara Kopi kini sudah berubah menjadi tempat makan all you can eat yang selalu dipenuhi pelanggan. Baskara menjual tempat itu setelah kepergian sang ayah dan pindah ke Australia. Beberapa kali Djuan melewati tempat itu saat akan menjemput Riana dari tempat kerja, tetapi selalu saja memori lama itu mengusik ingatan.

Tentang Uak Ali, Baskara, dan Kopi. Seperti ada kenangan yang diam-diam Djuan rindukan.

"Katanya lima belas menit," gerutu Riana di depan gerbang salah satu lawfirm terkenal di Bandung.

"Maaf, tadi mendadak atasan aku minta dikirim laporan bulanan," kata Djuan keluar dari mobil. Dia memeluk Riana dan membukakan pintu mobil.

Riana memberengut. "Alesan."

"Ya udah kalau masih marah. Aku antar kamu pulang aja, gimana?" goda Djuan yang sudah duduk kembali di kursi pengemudi.

Dari tempat duduknya, Riana bersidekap dengan wajah semakin ditekuk dalam. Sontak, Djuan terkekeh gemas.

"Makanya jangan ngambek terus," sahut Djuan menggusak kepala Riana gemas.

"Djuan, rambut aku berantakan ini. Kebiasaan deh," decak Riana merapikan rambut panjangnya lewat kamera ponsel. Djuan tergelak, sementara mobil abu-abu itu melaju pelan.

Selang satu jam, mobil Djuan terparkir rapi di salah satu kafe di daerah Dago atas. Pemandangan Bandung malam hari terbentang, tampak jelas dari barisan meja di luar ruangan. Kelap-kelip lampu bangunan dan perumahan menyambut mereka dari bawah kafe. Terasa romantis.

Dari salah satu meja, Riana bangkit dan berjalan ke pinggir pagar pembatas. Sambil menatap pemandangan di hadapan, dia menarik napas dalam-dalam. Udara Bandung terasa memenuhi paru-paru, menenangkan jiwa.

Iseng, Djuan mendekat. Dia melingkarkan tangannya ke pinggang Riana dan ikut menikmati pemandangan di depannya.

"Cantik ya? Aku selalu suka suasana malam di sini, apalagi kalau habis hujan."

"Biasa aja. Enggak ada yang spesial. Menurut aku masih ada yang lebih cantik daripada itu."

"Apa?" tanya Riana.

"Kamu," jawab Djuan tersenyum iseng.

Riana mencibir geli. "Gombal. Gimana kerjaan kamu hari ini? Senior kamu masih suka rese?"

Djuan memosisikan dagunya di bahu Riana. Tatapannya terarah pada bangunan-bangunan nun jauh di bawah mereka. Aroma vanilla yang manis terendus kuat masuk ke dalam hidung Djuan. Bahu Riana selalu menjadi tempat ternyamannya selama hampir tiga tahun ini.

"Masih. Rasanya aku mau cari tempat lain. Walaupun gajinya lebih dari cukup, aku ngerasa ini bukan dunia yang aku mau," cerita Djuan melepaskan kungkungannya dari pinggang Riana. Mereka kini saling berhadapan.

"Kamu masih kepikiran sama tempat kopi Kang Bas?"

Alis Djuan terangkat. Tanda tanya besar terlihat jelas dari wajahnya.

"Kenapa? Kamu kaget aku bisa baca pikiran kamu?" kekeh Riana sembari mengusap pipi Djuan. "Aku masih inget sedihnya kamu waktu Kang Bas mutusin buat jual tempat itu. Bahkan setiap kali anterin aku ke kantor, kamu pasti selalu melirik ke tempat itu."

"Aku cuma masih belum bisa terima kalau tempat itu udah enggak ada. Rasanya baru kemarin aku kenal Uak Ali dan dikomentari habis-habisan soal kopi. Kayak kangen tapi enggak bisa lagi ketemu," cerita Djuan yang air mukanya berubah sendu. Ingatan soal suara mesin panggang kopi dan bau gurih biji kopi yang menempel di bajunya perlahan menyeruak.

"Sama. Aku juga kangen kopi buatan Kang Bas sama garingnya Kang Dayat kalau lagi nganterin pesanan. Terus lucunya Uak Ali kalau lagi kumat tengilnya," kenang Riana tersenyum lebar sambil mengamati wajah Djuan yang terlihat lelah hari itu. Maklum sudah tiga hari lelakinya itu pulang dini hari. Makanya baru malam ini mereka bisa pergi berdua.

"Kok yang diinget kopi buatan Kang Bas?" celetuk Djuan tiba-tiba.

Riana menyipitkan mata sambil tertawa kecil menggoda Djuan. "Terus maunya apa? Kopi buatan Kang Djuan gitu?"

Djuan berdecak. Hilang sudah sedih di wajahnya. Hanya ada ekspresi malas bercampur cemburu. Dia menoleh ke dalam kafe. Di sana, dia melihat seorang barista sedang membuat kopi seorang diri. Sebuah ide melintas.

"Kamu tunggu di sini."

"Kamu mau ke mana?"

Djuan tersenyum penuh misteri. Dia melangkah masuk ke dalam kafe. Riana mengernyit ketika lelakinya itu mengobrol berdua dengan barista di sana. Entah apa. Namun, yang pasti dia terkekeh geli ketika sadar apa yang sedang dikerjakan Djuan.

"Daripada kangen kopi buatan orang jauh, mending kamu minum kopi buatan aku dulu," ujar Djuan kembali ke meja dengan segelas kopi hangat di tangan. Sementara, seorang pelayan membawakan pesanan mereka di belakang Djuan. "Udah seminggu lebih kan kamu enggak minum kopi buatan Kang Djuan."

Tanpa bisa ditahan, Riana tergelak. Dia berjalan ke meja mereka lalu mengamati kopi pekat buah karya kekasihnya.

"Kamu ngomong apa sama barista di sana sampai dibolehin pinjem alatnya?"

"Rahasia. Diminum dong, kok dilihatin doang," goda Djuan sembari menerima piring berisi makan malam mereka dari pelayan kafe.

"Oke. Aku minum ya."

"Gimana udah sedikit ngobatin kangen?" tanya Djuan ketika Riana malah asyik menyecap kopi tanpa komentar.

Riana menggeleng. "Rasanya beda sama buatan Kang Bas. Tapi... kopi buatan kamu selalu lebih enak."

Mulut Djuan yang hampir protes langsung terkatup. Ulasan senyum terlihat manis di wajah Djuan.

"Kenapa kamu enggak coba buat coffee shop sendiri? Ini enak loh," komentar Riana.

Djuan menarik napas dan mengalihkan pandangannya ke arah piring makan malamnya. "Waktu masih tempat Kang Bas, aku pernah kepikiran buat coffee shop. Tapi buat sekarang kayaknya enggak mungkin."

"Kenapa? Kamu ragu?" Riana meletakan gelas kopi yang tinggal setengah ke permukaan meja dan memandangi wajah kekasihnya lekat-lekat. "Aku pasti dukung kamu."

"Buka kafe butuh modal gede, Ri, aku cuma takut rencana ini malah bikin rencana yang lain jadi berantakan," jawab Djuan dengan mulut penuh fettucini.

Riana mengunyah spaghetti dan mencibir. "Emang kamu punya rencana apa lagi? Kebanyakan rencana deh."

"Justru lelaki sejati itu harus punya rencana. Kalau lelaki enggak punya visi, patut dipertanyakan kelelakiannya."

"Iya deh... iya. Emang rencana kamu apa lagi sih."

"Menikah sama kamu. Punya rumah dekat kantor kamu. Sederhana, tapi yang penting ada kamu," jawab Djuan enteng sambil terus menikmati makan malam. Seakan semua rencana itu sudah dia buat 10 tahun lalu.

Seketika, Riana membisu. Pipinya menghangat. Bahkan dinginnya udara Bandung malam itu tidak lagi terasa.

"Kok diam? Kamu enggak mau nikah sama aku?" tanya Djuan menatap teduh Riana.

Riana tersenyum kecil. Alih-alih menjawab, Riana malah menyibukan diri dengan makan malamnya. Giliran Riana yang dirundung ragu.

Djuan kemudian merogoh kantung celana dan mengangsurkan kotak cokelat kecil ke hadapan Riana. Dia tertegun. Bola matanya memandangi kotak itu dan Djuan bergantian.

"Ini... apa?"

"Buka aja."

Tangan Riana bergetar. Syok masih jelas tergambar di wajahnya. Apalagi ketika dia membuka kotak cokelat itu dan mendapati benda bulat berkilau dari dalam sana.

"Mungkin harganya enggak seberapa, tapi aku mau jadiin cincin ini sebagai bukti kalau aku serius sama kamu."

"Ini..."

"Buat kamu," kata Djuan sambil mengeluarkan cincin dan memasangkannya ke jari manis Riana. "Aku mau kita menikah, Ria. Aku akan buktikan ke keluarga besar kamu, kalau aku serius sama kamu."

Mata Riana berkaca-kaca. Dia akhirnya mengangguk. Wajahnya berseri ketika memandangi benda kecil di jari manis. Tanpa sadar, Djuan ikut tersenyum bahagia. Suasana romantis malam itu semakin terasa intens, apalagi ketika Djuan mendekatkan tubuhnya dan melayangkan kecupan kecil di kening Riana. Bukan yang pertama kali, tetapi tetap menjadi candu bagi keduanya.

Usai makan malam, Djuan mengantarkan Riana pulang ke rumah. Rumah bertingkat dua di daerah Pasteur. Tangan keduanya terus bertaut, dari mulai Djuan membukakan pintu mobil untuk Riana sampai keduanya berdiri di depan pagar rumah.

"Terima kasih ya udah mau antar aku pulang."

"Seperti yang aku bilang tadi, minggu depan orang tua aku mau ke Bandung. Mungkin ini bisa jadi momen buat ketemu orang tua kamu. Itupun kalau mereka enggak sibuk dan bersedia buat makan siang bareng," jelas Djuan sambil menyelipkan anak rambut Riana ke belakang telinga.

Riana mengangguk. "Nanti aku sampaikan ke mereka."

"Sana masuk. Udah jam sebelas."

"Bye," pamit Riana membuka pintu pagar. Namun, dia tiba-tiba berbalik lantas menecup singkat bibi Djuan. Lelaki itu mematung kaget. "Sampai ketemu nanti, Dju."

Djuan terkekeh, apalagi Riana langsung masuk ke dalam rumah. Djuan tebak, perempuannya itu pasti juga sedang tertawa geli sambil menahan malu dari balik pintu depan.

Tatapan Djuan masih kepada teras depan rumah Riana. Senyum di Djuan menghilang tak bersisa. Dia memandangi rumah besar di depannya dengan wajah sendu. Ingatan malam minggu kemarin saat dia menjemput Riana, mencuat di kepala Djuan.

Selama ini, Djuan serasa besar kepala ketika mendapatkan sambutan hangat dari keluarga Riana. Beberapa kali bertemu dan berbincang dengan ayah Riana pun selalu berjalan mulus. Namun, ucapan Ibu dan Nenek Riana dari ruang tengah, yang dia dengar tanpa sengaja, meruntuhkan semua kesombongan Djuan.

"Teh, tos lami hubungan sareng si ujang? Mumpung belum jauh, coba pikirkeun heula nya. Nin, mah cuma mengingatkan."

"Memang kenapa, Nin? Djuan kan juga udah punya kerjaan tetap. Selama ini dia juga bertanggung jawab dan baik sama Teteh. Tanya si Mama."

"Baik aja enggak cukup, Teh."

"Mama kenapa mendadak jadi ngomong gini. Kemarin-kemarin Mama setuju-setuju aja aku jalan sama Djuan."

"Itu kan sebelum Mama tahu latar belakangnya. Apalagi dia orang Jawa, Teh. Beda atuh adatnya sama kamu. Terus apa enggak lihat sepupu-sepupu kamu yang nikah sama orang Jawa? Hubungan mereka teu aya yang langgeng. Selalu ada cekcoknya."

"Tapi beda kasusnya, Ma."

"Malah ngejawab. Didengeken ari kolot ngomong."

Malam itu, Djuan hanya bisa menyimpan patah hati dari sofa ruang tamu rumah Riana. Djuan menarik napas dalam. Sebelum pulang, dia melihat lampu di lantai dua menyala, kamar Riana. Djuan tidak menyangka akan kembali berada di titik ini. Titik di mana dia disadarkan, bila pencapaiannya selama ini tidak dapat mengubah apapun.

Terutama latar belakangnya.

***

TBC

Acuy's note:

Ke pasar beli kain tali rami,

Jangan lupa singgah ke kota tua.

Di part ini boleh Djuan patah hati,

Tapi komen dan love jangan lupa.





Terima kasih bagi yang masih setia membacaaaa~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top