13. Keluarga

-

-

Diamnya Riana berlanjut sampai ke hari-hari selanjutnya. Riana seperti menjaga jarak. Beberapa kali dia mengunjungi Baskara Kopi. Seorang diri ataupun dengan teman-teman satu jurusan. Beberapa kali juga Djuan berpapasan dengan Riana. Namun, seperti tidak pernah saling mengenal, Riana berlalu seolah Djuan sosok tak kasat mata. Jelas, Djuan semakin dihantui rasa bersalah.

Sampai hari berganti minggu dan minggu berganti bulan. Djuan dibuat makin kalang kabut. Hari-harinya terasa aneh tanpa pesan dari Riana ataupun kertas tempel merah jambu. Termasuk hari ini, Djuan mendapati Riana bergerombol di kafe bersama beberapa orang teman dekatnya. Suara tawa mereka menggema di ruangan yang lumayan sepi sore itu. Sidang skripsi baru saja selesai minggu ini. Mereka agaknya sedang merayakan hasil sidang.

Diam-diam Djuan mengintip dari balik mesin kopi. Bahkan, untuk memesan makanan, Riana meminta bantuan temannya. 

"Dju, saya anter Ayah ke dokter dulu. Udah beberapa hari ini Ayah enggak enak badan. Kamu jaga kafe sebentar, aman kan?" tanya Baskara tiba-tiba mengagetkan Djuan. "Ada Kang Dayat di belakang."

Djuan mengangguk seadanya. Tatapannya masih fokus ke satu titik di sudut kafe.

"Serius amat? Lihatin siapa?"

Sontak, Djuan menggeleng. Baskara ikut mengamati titik yang sedari tadi mengunci pandangan Djuan. Dia terkekeh.

"Oh, Riana. Beberapa hari ini juga dia sempat ke sini dan cari kamu."

Djuan tersentak kaget. "Akang tahu Riana?"

"Tahu lah. Kan sebelum kamu kerja di sini, dia emang udah sering mampir. Cuma memang enggak sesering setelah kamu di sini sih."

"Terus dia tanya apa?"

Bibir Baskara mengatup rapat-rapat. Ekspresi penuh harap milik Djuan membuat dirinya tidak lagi bisa menahan tawa. Gelak tawa pun terdengar sampai membuat pelanggan mereka menatap penasaran. Termasuk Riana. 

Djuan dibuat makin gelagapan.

"Saya bercanda," ujar Baskara berhenti tertawa. Spontan, wajah Djuan ditekuk dalam. "Makanya... Kalau suka bilang... yang gentle dong. Masih jaman cowok mendam perasaan."

Djuan membisu makin keki. Dia kembali mengamati Riana dari jauh. Perempuan itu sudah kembali asyik mengobrol. 

"Udah jangan dilihatin terus, dikira orang aneh kamu. Saya jalan deh. Titip kafe."

Djuan meringis tengsin. Baskara menyabet tasnya dan melenggang pergi. 

"Oh, iya soal pastry yang kemarin kamu buat... lumayan. Cuma masih kebanyakan tepung. Belajar yang rajin," ujar Baskara lagi sebelum keluar kafe.

Senyum Djuan merekah seiring kepergian Baskara. "Siap, Kang." 

Dua jam sudah berlalu. Malam sudah menjelma di luar jendela kafe. Mendung disertai angin dingin mulai menyelinap masuk dari sela-sela pintu dan jendela ruangan kafe. Djuan masih sibuk melayani pesanan pelanggan. Sementara satu per satu pelanggan sudah mulai pulang.

"Dju, punten. Bisa bersihin meja di luar dekat toilet. Saya mau bersih-bersih dapur."

"Udah mau tutup, Kang?"

Dayat mengiyakan sambil menatap jam dinding. "Harusnya sih setengah jam lagi, tapi Kang Baskara belum ngabarin euy kapan mau balik ke kafe. Dia hubungin kamu?"

Djuan menggeleng. Sambil membawa lap dan baki kosong, Djuan melangkah keluar. Meja Riana sudah sepi ketika Djuan lewat. Hanya tersisa piring dan gelas. Ada perasaan aneh ketika Djuan melewati meja itu.

Setelah membersihkan meja, Djuan berbalik ke arah dapur. Namun, langkahnya tertahan ketika hampir saja dia bertubrukan dengan perempuan dari arah toilet. Canggung menyergap keduanya, kala mereka tanpa sengaja saling tatap. Namun, buru-buru Riana membuang muka dan melenggang pergi.

"Ria," panggil Djuan. "Bisa kita ngobrol sebentar?"

"Udah malam. Saya harus pulang."

Djuan meletakan piring dan gelas bekas ke permukaan meja. Dia pun menghampiri Riana.

"Ada apa?" tanya Riana ketus.

"Bagaimana kabar kamu?"

Riana mengeratkan pegangan pada tali tas di bahu. "Kamu panggil saya cuma mau tanya ini?"

"Saya ngerasa bersalah sama kamu setelah hari itu. Apalagi kita mendadak kayak orang asing."

Kekehan pelan terdengar dari tubuh Riana. "Kamu pikir saya marah, sedih, atau galau karena kamu nolak saya? Jangan kepedean. Kamu bukan satu-satunya orang yang pernah nolak saya."

Mulut Djuan yang hampir mengeluarkan suara, kembali mengatup rapat. Gerimis mulai turun di halaman. Angin basah menyentuh kulit keduanya. 

Riana menarik napas panjang. Pandangannya beralih ke arah Dayat yang sedang merapikan kursi dan meja kafe. "Lagian bukannya kita emang dari awal cuma orang asing, Dju? Kamu enggak perlu minta maaf dan ngerasa bersalah. Saya balik ya, kayaknya Kang Dayat udah mau tutup kafe."

Langkah kaki Riana membawa perempuan itu melewati tubuh Djuan. Sementara, Djuan masih membisu seakan kehilangan kata.

"Saya juga suka sama kamu."

Kedua bola mata Riana membulat. Dia kembali berbalik menatap punggung Djuan. "Maksud kamu?"

"Jujur, saya kangen dengan telepon-telepon kamu, perhatian kamu, dan semua pesan kamu. Rasanya aneh. Apalagi setelah lulus. Saya takut enggak lagi bisa ketemu kamu."

Pipi Riana diam-diam memanas. Bahagia terpancar jelas dari wajah mungilnya.

Salah tingkah, Djuan berbalik. "Perasaan kamu masih sama, kan?"

Riana menunduk. Bibirnya merekah. Rona kemerahan menghiasi kedua pipi Riana. 

"Kenapa diam? Kamu udah punya cowok lain?"

Tanpa berani mendongak, Riana mengangguk sebagai jawaban.

"Oh, sori. Saya kira, kamu menghindari saya karena... Oke. Kalau kamu memang baik-baik aja, saya balik ke dalam. Dah, Ria," pamit Djuan terdengar getir. Dia pun berjalan masuk ke dalam kafe.

"Gimana? Enak kan rasanya ditolak?"

 Djuan berbalik. Raut mukanya tampak bingung ketika menatap wajah Riana.

"Perasaan saya ke kamu masih sama, Dju. Saya suka dan sayang sama kamu."

Djuan berdecak. Dia mendekat dengan ekspresi pura-pura sebal. "Jangan lagi-lagi kamu ngerjain saya kayak tadi." 

"Kamu marah? Makanya jangan sok jual mahal," ejek Riana mati-matian menahan tawa.

Djuan menggeleng dan malu-malu mulai merengkuh tangan Riana. "Boleh?"

Setelah Djuan mendapatkan izin dari Riana, dia menggenggam tangan Riana erat. Seakan tidak ingin lagi melepaskan gadis itu. Mereka terkekeh. Keduanya bahkan tidak lagi terganggu dengan gerimis yang mulai berubah menjadi hujan deras, atau cipratan airnya yang membasahi baju.

"Djuan! Dju!"

Djuan maupun Riana tersentak mendengar suara Dayat. Keduanya makin bertanya-tanya ketika Dayat berlari tergopoh-gopoh ke arah mereka.

"Kenapa, Kang?" tanya Djuan ketika Dayat muncul dari pintu teras.

"Uak Ali, Dju... Tadi Kang Bas telepon, Uak Ali masuk rumah sakit."

Jantung Djuan serasa jatuh ke tanah. Kepalanya sekarang dipenuhi celotehan pria tua berambut panjang itu. Perasaan penuh di benak Djuan mendadak sirna, berubah sedih dan cemas bersamaan. Padahal baru saja dia bahagia.

***

Malam semakin larut di atas kepala Djuan. Sementara kafe tampak kosong malam itu hanya ada dia, Dayat dan Baskara, yang sedang membersihkan kafe. Semuanya seperti terjadi sangat cepat ketika Baskara mendadak menghubungi Djuan dan memberitahukan bila Uak Ali meninggal dunia setelah seminggu dirawat intensif.

Ingatan-ingatan tentang Uak Ali menyiksa Djuan. Rasanya baru kemarin dia merasa memiliki keluarga di Bandung. Tanpa sadar, matanya berkaca-kaca ketika hampa tertangkap mata Djuan. Kafe ini terasa kosong sekarang.

"Dju, ada yang nyari."

Ucapan Dayat menyadarkan Djuan. Dia menoleh dan mengulas senyum ketika melihat ada Riana dari pintu depan.

"Terima kasih, Kang," ucap Riana mendekati Djuan sambil membawa kantung kertas cokelat di tangannya. "Sibuk banget kayaknya sampai telepon aku enggak diangkat."

"Maaf ya. Besok kafe mau dibuka lagi, jadi sekarang kami bantu Kang Bas buat bersihin. Tutup seminggu, jadi kotor banget," jawab Djuan sembari menyandarkan alat pel ke dinding. Matanya kemudian mengarah ke kantung cokelat di tangan Riana. "Itu apa?"

"French toast buat kamu. Udah makan?"

Djuan menggeleng. Dia menyambut kantung cokelat di tangan Riana dan meletakan bokongnya ke salah satu kursi. "Thanks ya."

Riana mengambil kursi, lantas ikut duduk di samping Djuan. Dari dekat, Riana dapat melihat sisa air di pipi Djuan. Raut wajahnya pun masih jauh dari kata bahagia. "Dju, kamu enggak apa-apa kan?" 

Djuan tersenyum tipis. Dari jauh dia menangkap bayangan Baskara di ruangan Uak Ali. Sedih masih nampak jelas dari wajah lelaki itu. Terlebih ketika sedang menumpuk laporan dan buku dari meja.

"Aku enggak bisa bayangin jadi Kang Bas. Meskipun Aku enggak tahu rasanya punya Ayah, tapi kehilangan satu-satunya sosok orang tua dari sisi kita pasti sakit. Apalagi sosok konyol kayak Uak Ali. Aku sama Kang Dayat kadang masih bengong kalau ingat Uak Ali, apalagi kalau lihat kafe ini sekarang. Sepi rasanya enggak ada beliau."

"Sama. Aku juga terpukul dengar beritanya dari Kang Bas. Ternyata benar kata orang, orang baik memang selalu pergi lebih cepat," gumam Riana ikut mengamati ruangan kafe yang kosong malam itu. Dia kemudian melirik Djuan yang sekarang memandangi kotak bekal berisi french toast darinya. "Memang ayah kamu ke mana?"

Bola mata Djuan melirik Riana. Bibirnya terkatup seakan dia sudah salah bicara. Riana mengusap lengan Djuan.

"Enggak apa-apa kalau kamu enggak mau cerita. Makan gih, kamu pasti belum makan kan dari siang."

Tanpa kata, Djuan menyantap perlahan french toast buatan Riana tanpa kata. Suasana kafe yang senyap, menyisakan kasak-kusuk Baskara dan Dayat di ruangan Ali, bersahutan dengan suara penyedot debu. 

"Dari kecil aku enggak tahu siapa ayahku. Mungkin aku cuma anak yang enggak diharapkan," kata Djuan akhirnya buka suara. French toast di tangannya tinggal setengah, sementara Riana memandangi Djuan dengan wajah kaget bercampur iba. "Apalagi setelah Ibu menikah lagi. Di satu sisi. Aku bahagia ibu punya teman, tapi di sisi lain aku merasa kehilangan rumah. Ketemu dengan Uak Ali dan Kang Bas yang ngajarin banyak hal soal kopi, kafe, dan pastry buat aku kayak punya keluarga baru."

Riana terenyuh ketika Djuan tiba-tiba menunduk. Tanpa diminta, Riana memeluk Djuan. Hangat menjalar. Djuan pun menyambut rengkuhan Riana dan mengeratkan tubuhnya. 

"Padahal... Uak Ali janji mau datang ke wisuda."

"Kan sekarang ada aku. Aku bakal jadi keluarga dan teman kamu di sini."

Djuan melepaskan rengkuhan Riana. Dia lantas menatap erat wajah Riana seakan tengah menikmati setiap lekuk wajah gadis itu. 

Riana pun sama. Tubuhnya seperti membeku ketika tatapan Djuan semakin dekat. Kelopak mata Riana menutup perlahan. Dia biarkan perasaan haru, rindu, dan bahagia menuntunnya kali ini.

"Udah beres semua, Kang?"

Sontak, Riana membuka bola matanya. Djuan menghilang dari pandangan. Lelaki itu bahkan sudah berdiri saling berhadapan dengan Dayat. Riana merutuki diri sembari menutupi wajahnya malu-malu. 

Dari jauh, Djuan memandangi Riana sambil terkekeh geli. Apalagi kala menemukan Riana kedapatan curi-curi pandang dari kursinya. 

"Cengengesan kenapa kamu? Udah, tinggal angkut-angkut. Ayo, bantu di dalam!" ajak Dayat menarik tangan Djuan. Lelaki itu menggeleng dengan senyum masih tersisa di bibirnya. "Cepetan jalan. Enggak akan ada yang nyulik Riana juga di depan."

"Iya, Kang."

***

TBC

Acuy's Note:

Buah mangga jatuh di talang, dipetik pagi oleh si Ria.

Kalau suka segera bilang, jangan lupa komen dan love-nya!

Selamat libur nasional. Jangan lupa nyoblos ya....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top