2 | Pesona Vanilla de Passion

Pelajaran BK alias Bimbingan Konseling merupakan satu-satunya pelajaran yang membosankan bagi ketiga orang rusuh. Bagaimana tidak, saat ditanya tentang masa depan mereka plonga-plongo saja. Seperti hari ini, mereka ditanya mau jadi apa kalau masih saja jadi anak nakal. Dengan enteng Bayu menjawab, "Jadi manusialah, Bu. Kalau saya jadi Ultraman bisa heboh nanti."

Bu Endang yang mendengarlah ingin rasanya minum Paracetamol saat itu juga karena pusing. Bayu hari ini telat dan harus berdiri di depan kelas sampai jam pelajaran selesai plus jadi penghapus papan tulis. Sama juga dengan kedua rekannya yang lain. Lha wong mereka naik sepeda bertiga dari rumah. Sebagaimana prinsip hidup mereka adalah saling berbagi. Jajanan berbagi, duit berbagi, senang berbagi, hukuman berbagi, namun cuma satu kalau nanti mereka tidak mau berbagi, yaitu kalau ngejar cewek. Muke gile, mereka bukan pandawa cuy yang sanggup berbagi satu istri.

Waktu berlalu hingga akhirnya jam istirahat. Bayu segera meluncur ke kantin, Tirta dan Bumi masih di kelas. Tirta memperhatikan Bayu yang sudah tak kelihatan lagi, kemudian dia segera ke bangkunya Bumi.

"Bum, sini deh. Aku punya rencana," ucap Tirta bersemangat.

"Apaan?" tanya Bumi.

"Sebentar lagi kan kita ulang tahun, Bayu duluan, terus aku, lalu kamu. Nah, gimana kalau kita kerjain si Bayu," usul Tirta.

Bumi mengernyit. "Nge-prank?"

"Ya gitudeh, tapi nanti kita kasih hadiah juga kok buat dia. Kan tahun lalu aku yang kalian kerjain. Masih inget nggak kalian kunci aku di toilet sampai pulang sekolah?"

Bumi terkekeh-kekeh. "Itu idenya Bayu."

"Sama saja, kon sisan yo pelakune (kau juga pelakunya)," gerutu Tirta, "yok opo? Gelem ta gak? (gimana? Mau apa tidak)"

"Aku manut wae wis. Cah ndugal iku sekali-kali butuh diwenehi pelajaran. Sik, sik. Tapi opo hadiahe gawe Bayu? Mesakne nek areke cuman dikerjai tok, Cuk. (Aku ikut aja. Anak berandal itu sekali-kali dikasih pelajaran. Bentar. Tapi apa hadiahnya buat Bayu?)"

"Bayu iku saiki lagi ngesir hoodie Alan Walker iku lho. Kan deweke seneng banget karo lagu-lagune. (Bayu sekarang sedang suka hoodie Alan Walker. Dia kan seneng banget ama lagu-lagunya). Gimana kalau kita kasih dia hadiah itu."

"Njir, piro regane, Cuk? (Njir, berapa harganya, Cuk)"

"Kemarin aku lihat di onlineshop sekitar tiga ratus ribuan," jawab Tirta sambil mengusap-usap dagunya.

"Waduh, sanguku mbendino ora nyucuk. (Waduh, uang sakuku tiap hari nggak sampai)"

"Halah, gampang. Koe duwe duit piro saiki (kau punya duit berapa sekarang)?"

Bumi mengeluarkan isi dompetnya. Recehan. Recehan. Recehan. Dua lembar lecek uang dua ribu, dua lembar lagi seribu. Selembar uang lima ribu. Tirta mengelus dadanya. Ia lupa sahabatnya ini termasuk kaum missqueen. Ia menepuk-nepuk pundak Bumi.

"Yo, aku emang kaum missqueen. Bapakku cuman pengusaha kerupuk. Tapi suatu saat nanti aku bakalan jadi ahli fisika," ucap Bumi.

"Heleh, fisikamu karo fisikaku jik apikan fisikaku, ahli soko ngendhi?" ledek Tirta.

"Cuman terpaut dua poin. Awakmu entuk 52, aku entuk 50. Ngono wae bangga (Kamu dapat 52, aku dapat 50. Gitu aja bangga)." Bumi terkekeh-kekeh. Tirta juga tergelak.

"Jadi, rencananya gini. Kita bakal kasih Bayu surprise. Menurutmu apa yang paling bagus surprisenya?" tanya Tirta.

"Tempat dia duduk dikasih lem?" usul Bumi.

"Kuno, klise itu."

"Diiket di tiang bendera, trus ditemploki tepung?"

"Kuno juga. Sering itu orang lain gituin orang pas ulang tahun."

Bumi berpikir keras. "Ah, disiram air comberan aja."

"Kuno juga."

"Heh, dengar dulu. Ini bukan air comberan biasa. Nyiramnya juga nggak biasa."

Tiba-tiba Tirta ingin menyimak. "Gimana? Gimana?"

"Nyiramnya dari lantai atas. Airnya campuran air kembang tujuh rupa, kemenyan sama minyak kenyongnyong yang biasa dipakai Pak Haji," terang Bumi.

Tirta pun tertawa cekikikan. Ia tahu bagaimana bau minyak kenyongnyong yang biasa dipakai oleh Pak Haji—guru ngaji mereka. Baunya bisa tahan selama seminggu. Bukan bau yang menyegarkan menurut mereka, tapi bau yang bikin pusing. Dia yakin pasti Bayu bakalan pusing tujuh keliling dan akan mengingat terus peristiwa ini.

"Idemu bagus. Aku bantu nyiapin. Untuk hadiahnya aku ada cara, aku ambil semua uangmu ya," ucap Tirta sambil mengambil uangnya Bumi.

"Lha? Terus, aku mangan opo?"

"Poso dhisik! (Puasa dulu)"

"NJIIRR!"

* * *

"Baru kali ini ke kota Malang, Mbak?" tanya sopir taksi kepada penumpangnya. Dia baru saja turun dari bandara.

"Iya, Pak," jawab Agni, penumpang taksi tersebut.

"Dari mana kalau boleh tahu?" tanya sopir taksi.

"Dari Jakarta, Pak. Papa dinas di Kota ini," jawab Agni.

"Oh, kok tidak dijemput?"

"Papa sibuk. Mama baru bisa berangkat seminggu lagi. Saya harus masuk sekolah besok," ujar Agni.

Pak Sopir mengangguk-angguk saja. Terus terang Agni ini bukan gadis biasa. Dia sangat cantik, rambutnya sedikit berwarna merah, karena diwarnai. Senyumnya manis, membuat siapapun merasa hangat melihatnya. Tak banyak barang bawaan yang dibawa oleh gadis Ibukota ini. Hanya satu koper dan satu ransel.

Mobil taksi mulai meluncur meninggalkan Bandara Abdul Rahman Saleh. Jalanan hari itu cukup ramai dengan mobil pribadi. Agni melihat kiri dan kanan. Kota yang selama ini hanya ia lihat dari internet, sekarang bisa ia lihat secara langsung. Sopir taksi mulai bercerita tentang Malang, baik makanan khas, bahasa dan budaya. Agni menanggapi saja. Dia sebenarnya tak begitu peduli. Kepergiannya ke Malang juga atas desakan papanya, karena tugas dinas yang tak bisa ditinggal.

Jakarta sebenarnya sudah menjadi bagian dari hidup Agni dalam beberapa tahun ini. Papanya sering dipindahkan dari satu kota ke kota lain. Awalnya dia lahir di Bekasi, lalu saat masuk SD Agni pindah ke Bandung. Kemudian, pindah lagi ke Tangerang, terakhir pindah ke Jakarta Selatan. Menurut Agni ia tak akan pindah lagi, karena sudah SMA. Sayangnya dugaannya salah. Hanya satu tahun saja ia menempuh pendidikan SMA di Jakarta, lalu ia harus pindah lagi ke Malang.

Agni sampai juga di rumah orang tuanya. Rumah tersebut membuat alisnya naik. Halamannya luas, bangunannya juga besar. Rumah dua lantai, dengan model Yunani. Di halamannya banyak tanaman-tanaman yang terawat. Ayahnya berkata kalau rumah ini rumah dinas. Itu artinya kalau suatu saat nanti, mereka pasti akan pindah lagi.

Tak ada yang menyambut. Hanya keheningan di rumah yang seluas ini. Seorang perempuan yang diperkirakan usianya masih tiga puluhan keluar dari rumah. Agni langsung menebak itu pasti pembantu baru.

"Non Agni?" sapa perempuan itu.

Agni mengangguk.

"Saya Yuli, Non. Pembantu di rumah ini. Tadi Tuan sudah pesan kalau Non Agni datang hari ini. Sini saya bantu, Non," ucap Yuli. Menurut Agni, Yuli ini masih terlihat muda dan energik. Terlihat ia sangat cekatan dalam membantu Agni mengeluarkan barang-barangnya dari mobil.

Mereka berdua kemudian masuk ke dalam rumah. Cuaca hari itu panas, namun Agni tak begitu mempersoalkannya. Jakarta lebih panas dari ini.

"Papa, pulang kapan biasanya?" tanya Agni.

"Tuan biasanya pulang sore," jawab Yuli.

Ponselnya kemudian berbunyi. Agni melihat nama Mamanya muncul di layar ponsel. Dia segera mengangkatnya. "Halo, Ma?"

"Halo. Sudah sampai?" tanya Mama.

"Sudah dong, barusan sampai," jawab Agni sambil berkeliling melihat-lihat rumah barunya.

"Mama yakin kamu pasti suka rumahnya. Soalnya lebih besar daripada rumah kita di Jakarta," ucap Mama. "Kamu baik-baik ya di sana, jangan keluyuran. Soalnya tempat baru, kota baru, suasana baru."

"Mama tak usah khawatir. Aku bisa jaga diri kok," kata Agni.

"Kalau butuh apa-apa minta ke Mbak Yuli. Nanti setelah urusan Mama di Jakarta selesai segera datang ke situ," ucap Mama.

"Oke, Ma."

Mama menutup telepon. Agni melihat di dalam rumah ternyata ada taman. Lebih tepatnya di tengah rumah. Ternyata bagian tengah rumah memang dimodel terbuka, di atas taman tersebut ada atap yang bisa dilipat, sehingga ketika hujan bisa ditutup. Agni berpendapat arsitek yang membangunnya cukup keren punya ide seperti ini.

Yuli langsung mengantarnya menuju ke kamar tempat Agni berisitrahat. Kamarnya bersih dan ternyata sesuai dengan keinginan Agni agar mendesain kamarnya seperti yang ia tempati dulu di Jakarta. Dia selalu memuji Papanya dalam urusan kedetailan. Kamarnya nyaris sempurna seperti punyanya dulu. Dindingnya ditutupi wallpaper warna pink dengan gambar hello kity. Rak buku sudah full penuh dengan buku miliknya. Sengaja Agni kirim barang-barangnya lebih dulu ke Malang agar Papanya bisa mengatur kamarnya. Kemudian juga meja belajarnya. Semuanya sempurna, hanya satu yang kurang. Cermin tempat make-up yang tak bisa dibawa, lemari pakaian dan juga tempat tidur. Sebab barang-barang itu terlalu berat dan ribet untuk dibawa. Akhirnya Papanya memutuskan untuk beli baru.

Di meja belajar ada tumpukan buku dan beberapa lembar dokumen. Agni mengambil salah satu dokumen tersebut lalu membacanya. Dokumen ini berisi pemberitahuan kalau dia akan bersekolah di salah satu SMA di kota Malang.

Agni mendesah. Ia letakkan lagi dokumen tersebut ke tempatnya semula. Di atas kasur tampak ada pakaian yang dibungkus oleh plastik. Seragam sekolahnya yang baru. Agni meletakkan ransel yang ia gendong sedari tadi, lalu ia seragam tersebut dari plastik. Dia lalu bercermin dengan meletakkan seragam itu ke tubuh.

"Not bad. Not bad at all," gumamnya.

Agni boleh memuji Yuli dalam hal memasak. Masakannya sangat enak atau mungkin karena gadis ini sudah lapar sekali sehingga orak-arik tahu, tauge dan kacang saja sudah terasa nikmat. Saat menikmati makanan terdengar suara klakson dari luar. Yuli segera bergegas untuk melihat siapa yang ada di luar. Agni sudah bisa menebak kalau itu adalah papanya.

Benar dugaannya, tak berapa lama kemudian papanya datang. "Agni?" sapa papanya.

Agni berdiri menyambut papanya. Gadis ini mencium tangan lelaki paruh baya itu lalu memeluknya. "Sudah pulang, Pa?"

"Papa sengaja pulang cepat untuk menyambutmu. Gimana rumahnya? Nyaman? Oh, kamu sedang makan ya? Lanjutin saja!" ucap Papa.

Agni mengangguk. Dia kemudian duduk ke tempatnya semula untuk melanjutkan makan. "Rumahnya bagus, nyaman dan masakan Mbak Yuli enak," puji Agni.

"Syukurlah kalau begitu. Papa mengira kamu bakal nggak kerasan di sini," kata Papa.

"I'm used to it, Dad," ucap Agni.

"Yeah, I know. And I'm sorry we move again. But, I'll make sure this is the last time," kata Papa.

Agni mengernyit. "Yang bener? Papa sudah berjanji berapa kali kalau kita tidak pindah lagi. Nyatanya pindah juga."

"Tapi ini serius, lho. Papa sudah bertekad kalau ini adalah yang terakhir," kata Papa.

Agni tersenyum. "Sudahlah, Pa. Meskipun, nanti kita pindah lagi tak apa-apa. Aku sudah terbiasa."

"Bukan begitu. Meskipun nanti Papa ditugaskan lagi ke luar kota. Kamu tetap stay di sini bersama Mama."

"Oh, kenapa?"

"Karena, Kota ini adalah tempat kelahiran Mamamu," ucap Papanya. "Jadi, Mama ingin ini adalah terakhir kalinya kita menjadi kaum nomaden."

Agni baru menyadarinya. Mamanya memang lahir di Malang. "Iya, aku baru ingat kalau Mama lahir di Malang."

"Kuharap besok kamu bersiap untuk melihat sekolahmu yang baru," kata Papanya sambil menepuk pundak Agni.

Agni mengangguk saja. Setelah itu Papanya berceloteh tentang banyak hal. Tentang pekerjaan, tentang Malang, tentang Yuli, tentang Mama. Kurang lebihnya, saat ini Agni merasa nyaman. Mood-nya sedang bagus. Dia penasaran, bagaimana suasana sekolahnya yang baru besok.

* * *

Kembang tujuh rupa sebenarnya merupakan campuran dari tujuh bunga. Orang-orang menganggap kembang tujuh rupa itu pasti berhubungan dengan mistis. Sebenarnya tidak juga. Tak ada bau-bau mistis dalam tujuh jenis bunga tersebut. Hanya saja memang biasanya para dukun dan para normal menggunakan bunga tersebut, terlebih lagi sebagian di antara bunga tersebut dipakai di kuburan. Wanginya khas. Bumi bisa menyiapkan bunga tersebut, karena tak jauh dari rumahnya ada penjual bunga ini. Tak ketinggalan pula minyak kenyongnyong yang dia dapatkan dari kakeknya. Kakeknya memang suka minyak-minyak berbau menyengat, ia bahkan terkadang sampai pusing kalau lama-lama mencium baunya.

Adonan telah diracik. Air seember dengan penuh bumbu bunga tujuh rupa, minyak wangi, tak ketinggalan pula Tirta punya ide agar Bumi menambahkan Molto, agar baunya sangat wangi. Katanya "sewangi persahabatan mereka".

Rencananya adalah Tirta akan mengajak Bayu untuk berdiri tepat di tempat di mana Bumi akan mengguyurnya. Jam pelajaran belum dimulai, murid-murid masih bercengkrama satu sama lain. Bumi mengangkat ember yang berisi racikannya ke lantai dua. Beberapa murid yang menyaksikannya bertanya-tanya buat apa ember itu. Dia cuma memberi isyarat agar yang lain diam. Memang kelakuan Bumi, Tirta dan Bayu sudah terkenal satu sekolah. Murid-murid lain juga tak ada yang bisa menghentikan kenakalan mereka. Bukannya tidak mau, meskipun sudah dinasihatin juga mereka tetap tak berubah.

Bumi memanggil salah satu temannya. Namanya Dido. Anaknya penurut, karena Bumi dulu pernah membantunya saat Dido dalam masalah.

"Ini aku ngapain?" tanya Dido.

"Jadi gini, aku nanti kasih aba-aba, kamu tuangin tuh ember ke bawah," jawab Bumi.

"Lha? Aba-abanya gimana?" tanya Dido.

"Gini," ucap Bumi sambil mengangkat tangannya.

"Nggak pakai hitungan misal satu, dua, tiga?"

"Nggak."

"Apa nggak perlu pakai tanda khusus seperti siulan gitu?"

"Nggak."

"Apa nggak pakai bendera saja?"

"Nggak."

"Kalau misalnya pakai tanda yang lain bisa, nggak?"

"Bawel amat, aku nggak bakal bantu kamu lagi nanti," ancam Bumi.

"OK, paham. Angkat tangan yah," ucap Dido yang ketakutan dengan ancaman Bumi.

Dia lalu bersiap-siap di koridor melongok ke bawah. Bumi segera berlari-lari kecil menuruni tangga untuk menemui kawan-kawannya. Tirta mengangkat alisnya memperhatikan Bumi yang baru muncul. Bumi tersenyum saja. Pertanda semuanya sesuai rencana.

"Mana Bayu?" tanya Bumi.

Tirta angkat bahu.

"Wah, jangan sampai rencana kita hancur," kata Bumi.

"Tenang, dia pasti ke sini kok."

Panjang umur, yang dibicarakan nongol dari kejauhan. Ia tampak terburu-buru saat melihat kedua sahabatnya. Dengan napas yang nyaris habis ia berhenti sambil memegang lututnya tepat di depan dua rekannya.

"Koe lapo? (kau kenapa)," tanya Tirta.

"Anu, iku..hosh...hossh....anu... aku tadi lihat bidadari," jawab Bayu.

"Marini?" tanya Bumi.

"Dengkulmu, Marini. Marini sudah pergi keluar pulau. Nggak usah dicari lagi, masih ingat saja sama Marini," ucap Tirta sambil menoyor kepala Bumi.

"Lho, memangnya ada bidadari mana yang lebih cantik daripada Marini?" tanya Bumi.

"Nah, itu masalahnya. Dia mirip sama Marini, tapi bukan Marini," jawab Bayu. Dia sudah mulai bisa mengatur napasnya.

"Marini ya Marini, mana ada Marini yang lain?" Bumi bersikeras bahwa Marini cinta pertamanya itu tidak ada yang bisa mengalahkan kencantikannya.

"Wistalah, Sob. Marini itukan gebetanmu pas masih SD. Rupanya seperti apa sekarang juga kita nggak tahu, bener nggak?" hibur Tirta.

"Tapi ini beneran, mirip Marini, tapi bukan Marini," kata Bayu. "Dia mau lewat sini kalau tak percaya. Tunggu saja!"

"Mana?" tanya Tirta dan Bumi serempak.

Ketiga orang rusuh ini menghampiri lorong sekolah. Mereka menengok kiri kanan. Tak ada siapa-siapa. Bayu bersumpah berkali-kali kalau akan ada murid baru. Tirta dan Bumi tak peduli. Tirta menyikut lengan Bumi.

Tirta kemudian berbisik, "Dia apa tahu rencana kita ya? Lalu mengalihkan perhatian?"

Bumi mengangkat bahunya, "Tidak mungkin."

Tirta kemudian menggeret Bayu. "Bay, sini deh. Kayaknya kamu belum sarapan. Jadi kita sarapan dulu gimana?"

Mereka kembali ke tempat semula agar rencana Tirta dan Bumi berhasil. Namun, di saat mereka sudah sampai Bayu menunjuk-nunjuk ke lorong sekolah. "Itu tuh, itu! Itu!"

"Mana?" tanya Tirta dan Bumi.

Dari lorong sekolah ada seorang murid perempuan bersama Bu Hariyati, wali kelas mereka. Rambutnya panjang diikat. Wajahnya cantik jelita. Dari kejauhan saja sudah tercium bau parfum yang khas aroma Vanilla de Passion. Tirta dan Bumi tiba-tiba terpana. Tirta terpana baru kali ini ia melihat cewek secantik ini. Dari setiap cewek yang ada di sekolahan, tidak ada yang secantik murid baru ini. Bumi juga terpana bukan karena kecantikannya, melainkan karena kemiripan cewek ini dengan Marini.

"Tuh, kan. Apa aku bilang," ucap Bayu.

Murid baru ini adalah Agni. Dia tersenyum kepada ketiga orang yang terbengong-bengong melihatnya. Tangan Agni melambai kepada mereka. "Hai?" sapa Agni ramah.

Nyaris saja jantung Bayu, Tirta dan Bumi copot. Ketiganya serempak mengangkat tangan membalas lambaiannya, "Hai"

Ini adalah momen-momen yang terindah. Benih-benih cinta bermekaran. Bunga-bunga cinta semerbak wangi Vanilla de Passion menutup mata mereka. Baru dilambaikan tangan saja Tirta sudah terbayang ia membonceng Agni naik sepeda motornya keliling Indonesia, Bayu sudah bisa membayangkan ia bakalan duduk di pelaminan, Bumi sudah membayangkan ia dan Agni belajar bersama di Perpustakaan sambil bercanda.

Namun, semuanya berubah ketika isi ember dengan kembang tujuh rupa plus minyak kenyongyong mengguyur ketiganya. Semua impian, kehaluan sirna. Wangi parfum Vanilla de Passion pun lenyap, berubah menjadi wangi mistis dukun yang bisa mengundang semua setan dari segala penjuru.

"Asu, Jiamput. Opo iki?" gerutu Bayu.

"Woy! Lapo kon siram (Woy, kenapa kau siram)?" tanya Bumi ke Dido yang ada di lantai dua.

"Lha? Jarene aba-abane angkat tangan (Lha, katanya aba-abanya angkat tangan)?" kata Dido membela diri.

"Semprul, aku dadi mambu dukun (Semprul, aku jadi kecium wangi dukun)," gerutu Tirta.

"Kurang ajar! Mrene kowe tak antemi! (Sini kau kuhajar)" ucap Bayu yang sudah emosi.

Tirta dan Bumi mencegahnya. "Sudah! Sudah!"

"Klambiku dadi teles kabeh iki!" gerutu Bayu.

"Wistalah, awake dewe asline arep wenehi kejutan. Selamat Ulang Tahun," kata Tirta yang mencegah Bayu agar tidak marah.

Bayu terkejut. "Beneran?"

Bumi mengangguk sambil menepuk pundak sahabatnya. "Iya, ini kejutan sebenarnya. Tapi ya kita basah-basahan gini."

"Bayu, Tirta, Bumi!?" panggil Bu Hariyati, "kalian kok basah-basahan?"

Ketiga orang rusuh menoleh ke Bu Hariyati. Mampus. Langsung ketiganya cabut.

"Hei, tunggu! Jangan lari! Awas ya! Kalian bakalan dihukum!" teriak Bu Hariyati.

Agni yang melihat kejadian itu tertawa. "Sepertinya bakalan menyenangkan sekolah di SMA ini," gumamnya.

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top