BAB 6

"Fokus pada tujuan awal, sebab ada keluarga yang perlu kita bahagiakan."

***

Minggu bergulir berganti bulan. Kedekatan Tan dan Vi pun mengalir seperti air yang tenang, santai tapi pasti. Hampir setiap malam mereka melakukan live bersama, membuat konten untuk menghibur penonton mereka. Banyak orang menyukai saat mereka live bareng. Tan yang hobi menyanyi sering bernyanyi untuk Vi, pun sebaliknya, Vi juga suka menyanyi. Dalam waktu dua bulan pengikut Tik Tok mereka naik cukup pesat.

Pagi hari sebelum Tan terbang ke Ho Chi Minh City (dulu namanya Saigon), kota terbesar di Vietnam, dia mengirim pesan kepada Vi. Setiap Tan ingin mengirim pesan pada Vi, dia akan translate ke bahasa Indonesia lebih dulu. Sebaliknya, Vi pun melakukan hal sama, dia juga mentranslate dulu pesannya sebelum dikirim ke Tan.

Hari ini aku akan berangkat ke Ho Chi Minh. Ada acara di sana.

Tak butuh waktu lama menunggu, ternyata pesan Tan dibalas Vi.

Acara apa? Berapa lama di sana?

Aku diundang menyanyi untuk menghibur di salah satu acara. Mungkin sekitar satu minggu aku di sana. Aku akan membuat konten bersama teman-teman di sana.

Semangat! Hati-hati di jalan. Jangan lupa makan, ya?

Terima kasih, Vi.

Hubungan yang mereka jalin sejauh ini masih sebatas patner konten. Tan maupun Vi belum memikirkan sejauh mana hubungan mereka nanti. Bekerja profesional dan berusaha menjalin hubungan baik walaupun terkendala bahasa yang terkadang membuat mereka sedikit salah paham.

Ketika Vi ingin meletakkan ponselnya di meja, tiba-tiba ada panggilan masuk. Vi mengurungkan niatnya, lalu melihat ke layar ponsel itu. Agar orang yang meneleponnya tidak menunggu lama, Vi langsung menerimanya. Sejujurnya Vi sudah sangat malas berhuungan dengan Firman, mengingat perlakuan Firman beberapa lalu yang secara tidak sengaja sudah mengecewakannya dan melukai hati Vi.

Dengan wajah malas Vi menjawab, "Asalamualaikum, Mas Firman."

"Waalaikumsalam, Dek. Lagi apa nih?"

"Lagi mau packing pesanan, Mas."

Vi mengangkat telepon itu hanya menghormati Firman sebagai patner kontennya, sebab mereka masih ada beberapa projek yang belum selesai.

"Wah, lancar ya jualan bajunya?"

"Alhamdulillah. Pokoe disyukuri aja, Mas."

"Iyalah, Dek. Disabari, ya?"

"Iya, Mas."

"Oh, iya, Dek, Mas mau tanya, boleh?"

"Tanya apa, Mas?"

"Soal patner barumu orang Vietnam itu."

"Tan? Kenapa?"

"Kalian lagi deket, ya?"

"Iya, seperti aku sama Mas Firman gini. Emang kenapa, Mas?"

"Masa sih? Kok aku lihatnya lebih dekat sama dia daripada sama aku."

"Mas Firman lihatnya begitu, ya? Tapi perasaanku sih sama saja. Tidak ada yang tak spesialkan, semua patnerku aku samakan."

"Dek, aku mau ngomong serius ini."

"Ngomong aja."

"Sering kan aku bilang sama kamu tentang perasaanku. Aku masih nunggu jawabanmu loh, Dek."

Vi menarik napas dalam, bisa-bisanya Firman bicara seperti itu. Tidak ingatkah dia dengan kata-katanya di publik saat menyudutkannya kemarin? Tidak malukah Firman kepada Vi? Dasar bermuka dua!

Vi memutar bola matanya malas. "Mas, aku kan udah sering bilang, aku enggak mau pacaran dulu. Ada hal yang lebih ingin aku utaman dari itu. Sebelum ibuku mengizinkanku memiliki komitmen dengan seorang pria, aku tidak akan melakukannya. Toh kita sejauh ini nyaman sebagai teman. Jangan rusak hubungan baik kita dengan perasaanmu itu, Mas."

"Aku serius loh, Dek, tentang perasaanku ini."

"Sudah ya, Mas, aku mau packing barang dulu. Asalamualaikum."

Tanpa menunggu jawaban Firman, Vi memutus panggilannya.

"Lama-lama ilfeel kalau didesak-desak begitu terus," gerutu Vi sambil berjalan ke ruang tamu.

Di sana sudah ada Siti, kakak perempuan Vi yang sering membantu mengurus pesanan baju.

"Kenapa kok cemberut?" tanya Siti sembari memasukkan baju ke bungkusan plastik hitam.

"Lagi kesel aja, Mbak." Bibir Vi manyun, suasana hatinya jadi berantakan gara-gara Firman.

"Kesel kenapa?"

"Masa Firman tuh desak aku mulu sih, Mbak."

"Desak apa sih? Bicara yang jelas."

Vi mendengkus. "Firman tuh belakangan ngungkapin perasaannya terus ke aku. Padahal aku tuh udah jelasin tentang perasaanku ke dia sama tujuanku saat ini bukan untuk itu dulu. Tapi dia seolah enggak peduli, kayak maksa gitu loh, Mbak. Kan lama-lama aku risih."

"Ya kamu kalau sudah tahu kayak gitu jaga jaraklah. Jangan terlalu dekat, nanti dipikir kamu memberi peluang kepadanya."

Sepertinya ucapan Mbak Siti benar. Aku memang harus menjaga jarak dengannya, batin Vi sambil menghitung bungkusan baju yang sudah rapi dan siap dikirim ke pembeli.

***

Pukul 22.00 WIB seperti biasa, Vi masih melakukan live. Saat dia sedang bernyanyi, tiba-tiba Tan mengundangnya untuk bergabung, Vi menerima undangan itu. Senyum manis Tan menyapa Vi, dia tampak senang setiap melakukan live bersama Vi. Tak bisa ditutupi wajah berseri Vi menggambarkan suasana hatinya saat ini.

"Taaaaan!" seru Vi girang.

"Anh Tan." Tan mengajari Vi untuk memanggilnya lebih sopan, sebab Tan lebih tua darinya.

"Apa?" Vi belum paham maksud Tan.

"Anh Tan." Dengan suara lembut, Tan mengejanya pelan agar Vi mudah mengikutinya.

"Iya, gue tahu nama lo Tan. You Tan, I see."

"No, no, no." Tan menggaruk kepalanya bingung ingin menjelaskan kepada Vi.

"Apa sih maksudnya? Tolong guys typing," pinta Vi kepada penonton live di room-nya.

Vi sejenak mengamati komentar penonton di berandanya, berharap ada yang bisa membantu memahami maksud Tan. Salah seorang penonton dari Vietnam berkomentar dan sudah ditranslite ke bahasa Indonesia.

"Ooooh, Anh Tan itu Mas Tan guys. Owalah, dia minta gue manggil dia mas. Oke, oke, oke. Emang sih dia lebih tua dari gue," ucap Vi ditimpali dengan tawa renyahnya. "Kayaknya gue butuh moderator lagi dari Vietnam deh. Biar enggak puyeng kalau ngobrol sama Tan."

Agar obrolan lebih nyambung dan tidak membuang waktu, buru-buru Vi mengambil ponsel satunya untuk membantu mereka berkomunikasi.

"Apa kamu masih di Ho Chi Minh?"

Tan mengangguk berulang kali, dia mengedarkan kameranya, memberi tahu Vi kamar hotel tempatnya menginap. Di kamar itu ternyata Tan tidak sendiri. Dia bersama Tuyen. Di kesempatan itu juga Tan memperkenalkan Tuyen kepada Vi.

"Bagaimana acaramu di sana?" Vi kembali bertanya, masih dengan bantuan google translite.

Tan membalasnya dengan bantuan google trasnlite juga. "Sangat menyenangkan. Aku akan kirimkan video untuk kamu nanti."

Wajah Tan tampak masih kucel dan lelah, Vi menduga Tan belum mandi.

"Heh, Tan, mandi!" Vi mengatakan itu secara langsung sambil memeragakan mandi.

"Tâm?"

"Hah? Apa?"

"Đi tâm."

"Đi tâm? Apaan itu, guys?" tanya Vi kepada penonton live. "Gue enggak ngerti, Tan." Vi menggaruk kepalanya dengan wajah kebingungan dan mimik lucu. Inisiatif Vi mentranslate kata itu ke bahasa Indonesia. "Owalah, pergi mandi, guys artinya."

"Vi!" seru Tan.

"Ôi!"

"No, no, no! No ôi. Đa (pengucapan za)," kata Tan membenarkan Vi.

"Why?"

Dat kebingungan ingin menjelaskan, dia menggapai ponselnya dan mengetik sesuatu. Setelah itu dia mengarahkan ponselnya untuk lebih dekat dengan ponsel yang dipakainya live.

"Ôi untuk menyahuti orang yang lebih muda atau seumuran denganmu. Đa (za) sahutan jika orang lebih tua memanggilmu."

"Oke, Anh Tan," sahut Vi sambil malu-malu menutup wajahnya dengan tangan.

Terlihat raut wajah Tan senang dan tersenyum lebar saat pertama kali Vi memanggilnya seperti itu. Live malam itu begitu hangat dan asyik karena mereka saling bertukar bahasa. Vi belajar bahasa Vietnam, lalu Tan belajar bahasa Indonesia. Tan yang pandai menghibur, sama seperti Vi, sukses membuat penonton larut ke dalam konten mereka. Sampai-sampai banyak fans baper dan mendoakan mereka bisa bertemu secara langsung.

"Vi, đi ngủ nha?" suruh Tan dengan suaranya yang lembut.

"Aku belum ngantuk, Tan!" gerutu Vi yang pastinya tidak dipahami Tan. "Anh Tan đi ngủ." Malah Vi yang menyuruh Tan tidur.

Tawa Tan pecah. "Vi ngủ, Tan ngủ. Vi no ngủ, Tan no ngủ."

"Aaaaaaa, aku ki durung ngantuk ki loh, guys. Moso dikon turu?" (Aku tuh belum ngantuk loh, guys. Masa disuruh tidur?) Vi berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa kepada penonton live-nya.

"Vi!" seru Tan karena Vi malah asyik menggerutu sendiri.

"Đaaaaa," sahut Vi dengan suara seperti anak kecil yang membuat Tan gemas.

"Đi ngủ nha?" pinta Tan dengan wajah memelas.

"Oke, oke, oke. Tan đi ngủ nha."

"Oke."

Setelah mencapai kesepakatan akhirnya mereka menutup live bersama. Vi maupun Tan di balik layar masih melanjutkan komunikasi lewat chat DM. Tan mengirim video keseruan acaranya tadi siang. Dalam video itu Tan bernyanyi di panggung dan mendapat sorakan riuh cinta dari para penggemar.

Aku ikut senang melihat kemajuanmu hingga seperti sekarang.

Beberapa waktu lalu Tan meminta agar Vi tetap menulis chat menggunakan bahasa Indonesia dan Tan akan membalasnya dengan bahasa Indonesia. Tan tidak mau Vi kerepotan, biar dia yang mengartikannya ke bahasa Vietnam. Akhirnya sejak itu mereka berkomunikasi chat menggunakan bahasa Indonesia, walaupun Tan harus bekerja ekstra untuk hal ini, tetapi dia tidak keberatan.

Sepertinya aku akan menyewa apartemen untuk tinggal di Hanoi.

Selama ini Tan tinggal di desa bersama keluarganya. Hanoi adalah ibu kota Vietnam. Tan berpikir, jika dia pindah ke kota besar, mungkin akan bisa mengubah nasibnya lebih baik lagi.

Apakah Hanoi jauh dari rumah orang tuamu?

Tidak begitu jauh. Sekitar dua jam kalau tidak kena macet.

Aku akan selalu mendukungmu. Lakukan hal yang terbaik untuk keluargamu, ya?

Aku juga akan selalu ada untuk mendukungmu. Fokus dulu dengan tujuan utamamu yang ingin membahagiakan ibumu. Abaikan orang-orang yang tidak menyukaimu.

Terima kasih, Anh Tan.

Selamat malam, Vi. Mimpi indah.

Vi tidak lagi membalas chat terakhir Tan. Sejauh ini Vi menganggap Tan seperti kakaknya, sebab sikap Tan yang hangat dan cara dia melindungi Vi meski mereka berjauhan apalagi mereka belum pernah saling bertemu secara langsung.

Aku mulai merasa cerita ini memiliki nyawa. Ayo, bestie kita berselancar ke dunia VIDAT! Hehehe

Selamat flashback para VIDAT sejati. Semoga cerita ini dapat mengingatkan perjalanan dan perjuangan mereka dalam versi khayalanku. Terima kasih teman-teman yang sudah klik bintang dan meninggalkan jejak di sini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top