7 Desember

Feels like we're on the edge right now.

I wish that I clould say I'm proud.

I'm sorry that I let you down.

(NF – Let You Down).

Aku kesulitan tidur. Bukan karena gonggongan anjing atau gemerisik dedaunan di pohon. Justru karena terlalu fokus memikirkan Axel dan Kaivan sekaligus. Berulang kali aku menghirup dan mengembuskan napas untuk menenangkan diri. Sesekali mengubah posisi tidur agar nyaman. Untung saja akhirnya aku terlelap dan bangun dalam situasi segar.

Kuputuskan untuk bertemu dengan Kaivan. Aku harus mengurai pintal di antara kami. Lebih dari itu, aku harus menjawab pernyataan cintanya kemarin.

Sebelum aku mengirimkan pesan ke Kaivan, cowok itu ternyata lebih dulu menghubungiku mengajak bersua. Akhirnya kami sepakat untuk bertemu di warung es kelapa dekat sekolah. Kali ini aku menolak dengan tegas ketika ia ingin menjemput. Sebelum bertemu cowok tersebut, kupikir aku harus menenangkan kemelut hati selama di perjalanan.

Ketika aku sampai tujuan, Kaivan sedang mengaduk es kelapanya dan satu minuman lagi di hadapannya. Aku menyapa cowok itu ramah. Lalu, bergegas duduk di hadapan ia.

"Minum dulu, Pev," kata Kaivan sambil tersenyum.

"Terima kasih," jawabku.

Es kelapa di siang hari memang sangat bermanfaat untuk menetralkan kegugupanku. Sejak awal jumpa, Kaivan bergerak gelisah di bangkunya. Mungkin karena kami sama-sama ingin menyampaikan hal yang akan mengguncang situasi kami berdua.

"Ada yang perlu aku bicarakan."

Ucapanku dan Kaivan berbenturan di kalimat yang sama. Seketika kami saling menatap. Lantas, terkikik geli.

"Baiklah, kamu dulu," ujar Kaivan ramah.

Aku berdeham. "Aku mau minta maaf karena tidak merespons pernyataanmu, Kai. Sejujurnya, aku malah sibuk dengan pikiran lain dan mengesampingkan ucapanmu tempo hari. Padahal kamu juga butuh kejelasan segera."

Kaivan bergeming.

"Aku memulai cara yang salah ketika memulai dekat dengan kamu. Mungkin cara yang salah itu juga mengantarkanku ke kekeliruan selanjutnya. Karena itu, aku ingin mengurai kekusutan yang kuciptakan sendiri," ujarku.

Hening sejenak. Aku memberi jeda sambil menunggu respons Kaivan. Cowok itu mengangguk dan gantian angkat suara.

"Aku juga mau minta maaf sebab membuat kamu lelah dengan aktivitasku. Sebenarnya ini salahku yang mengajakmu untuk menemaniku mencari pelarian kesepian. Aku terlalu fokus sama diriku sendiri. Sampai aku tersadar kalau kamu lebih senang berjalan dibanding berlari," kata Kaivan sambil tersenyum miris.

Aku langsung meletakkan tanganku di atas punggung tangannya yang berada di meja. "Aku mengerti kalau kamu kesepian karena orangtuamu sibuk bekerja. Dan mungkin aku bakal ngelakuin hal yang sama kalau berada di posisimu."

Kaivan menghela napas. "Pev, aku ingin menarik pertanyaanku tempo hari."

"Kenapa?"

"Aku ingin menundanya saat kamu siap," katanya.

"Maksudnya?"

"Aku enggak mau kamu membuat keputusan bukan karena perhatianku yang berlebihan kemarin. Atau sebab sweet escape yang pernah kita lakukan dengan alibi sama-sama telat." Kaivan menyeruput minumnya. "Aku pengin kita berteman baik seperti seharusnya dulu. Tanpa membenani pundakmu dengan perasaanku."

Setelah itu, aku dan Kaivan hanya menghabiskan waktu dalam kebisuan. Ini hal yang sangat aneh. Awalnya aku ingin mengiyakan pertanyaan tempo hari. Karena kalau bukan didorong rasa suka, tentu saja aku tidak akan betah berlama-lama dengannya. Nyatanya, aku menikmati waktu bersamanya walau lelah.

Meski kami sama-sama berada di medan magnet yang sama, aku ingin mencoba menjalani hari-hari bersama Kaivan. Aku ingin ikut serta petualangannya. Namun, mendengar ucapan Kaivan, aku lega.

Aku senang karena Kaivan tak egois. Ia juga mengerti situasiku sebelum aku sempat mengatakannya. Barangkali serupa medan magnet yang berkutup sama, kami memiliki pemahaman yang setara. Tapi, seperti medan magnet di kutup serupa, kami akan saling menolak jika dipaksa bersama.

Kaivan mengantarku sampai rumah. Ketika ia berpamitan dan hilang dari pandangan, aku melihat Axel berdiri di depan pagar rumahnya. Tanpa perlu berkata-kata, aku segera menghampirinya.

"Mau temenin aku bongkar motor?" tanya Axel.

Aku mengangguk tanpa berniat berganti baju atau meletakkan tas di rumah. Dari menit yang berlalu di pekarang rumahnya, ajakan Axel tampak bukan sekadar menemaninya membongkar motor. Seolah ada yang ingin dibicarakan dari lirikan matanya.

Aku meletakkan tas di ayunan dan berjongkok di dekat Axel. Cowok itu menoleh dan meringis. Aku hanya mengangguk sebagai tanda agar ia berbicara saja tanpa kusuruh. Axel memahami.

"Pev, terima kasih karena telah menyadarkanku ketika aku ragu antara meminta Akila menetap dan melepaskannya," kata Axel.

Aku mengangguk. "Lalu, apa yang mengganjal di hatimu?"

"Aku tidak suka jika melihatmu bersama Kaivan," katanya lugas.

"Kenapa?" tanyaku heran. Ia begitu terkendali dan tenang jika aku dan Kaivan berbincang.

"Sebenarnya aku cemburu lihat kamu dideketin Kaivan," ujar Axel. "Aku engga tahu kapan perasaan ini dimulai. Barangkali saat kamu meminjamkan buku catatanmu ke ia. Bahkan rela mencatat ekonomi yang bukan dari jurusanmu Seolah hubungan kalian makin akrab dan itu membuatku resah."

Axel berbicara cepat sekali sampai aku melongo. Terutama karena begitu banyak fakta yang cowok itu ungkapkan dalam satu tarikan napas. Kendati memintanya mengulang perkataannya, aku justru tersenyum. Rasanya lega mendengar pengakuan itu langsung dari orangnya.

"Kupikir tidak ada salahnya saling menolong ke sesama," kataku.

Axel tertawa. "Ya, memang tidak ada yang salah, sih."

Aku nyaris bisa merasakan kegugupan Axel yang menguap di udara. Dulu, aku yang selalu resah dan berdebar di dekatnya. Kini, mungkin situasi terbalik. Atau hanya perasaanku saja. Pokoknya, kami bahkan sudah saling berhadapan meski dengan posisi jongkok. Tidak ada lagi yang sibuk memerhatikan motor.

Lalu, tanpa kata, kami mengubah posisi menjadi telentang di pekarangan rumah. Kejadian yang persis awal mula ia menceritakan tentang Akila. Kali ini tiada tentang siapa pun selain kami.

Dari siang beralih ke sore, cuaca panas perlahan berubah sejuk. Bahkan awan mengisi langit sehingga tak kosong. Dan seperti perkataan Axel perihal awan cirrus fibratus yang berbentuk seperti benang. Aku melihatnya. Seakan ada benang-benang halus di langit yang luas tak bertepi.

"Pev, kita kan udah sahabatan lama dan saling tahu sifat masing-masing," kata Axel. "Bagaimana kalau kita coba pacaran?"

Tiada keraguan dari ucapan Axel. Tapi, entah kenapa aku tak terkejut. Aku hanya bergeming. Dulu, pertanyaan itu seolah hanya angan-angan. Bagai punguk merindukan bulan. Dahulu, aku ingin menjalin hubungan dengan Axel. Sekarang, setelah semua yang terjadi. Aku malah menimbang-nimbang dibanding mengiyakannya langsung.

Aku perlu waktu untuk menata hati kembali. Aku tidak ingin menjadi sekadar tempat persinggahan. Serupa keberadaan Kaivan di tengah kepedihanku melihat Axel dan Akila beberapa bulan lalu. Kupikir, Axel juga perlu waktu untuk merapikan perasaannya.

Serta ulangan kenaikan kelas yang layak untuk diprioritaskan. Aku tak ingin studiku berantakkan karena terlalu pusing dengan masalah perasaan. Setelah ulangan pun, aku tidak bisa memberi kepastian apa pun.

Ketika memikirkan jawaban yang tepat, aku melihat awan nimbostratus. Bentuknya berantakkan dengan tepi sobek-sobek. Seketika aku melihat gambaran di langit. Aku sedang menoleh ke belakang dan tertawa. Seakan ada cahaya yang mengarahkan pandangan. Aku melihat lanjutan potongan dari gambaran Axel tempo dulu.

Ternyata aku menoleh ke Axel. Aku sedang menoleh ke belakang melihat Axel dan tertawa. Ucapan Axel benar, aku bisa mengintip sedikit masa depan jika melihat awan nimbostratus di tengah awan cirrus fibratus.

Mendadak, aku tak perlu lagi khawatir. Selama kami bisa saling tertawa, aku pikir kami sama-sama baik-baik saja. Lantas aku berpaling ke Axel. Ia menatapku mencari jawaban.

"Aku ingin kita memperbaiki kondisi hati masing-masing. Jangan sampai membuat keputusan impulsif lagi," jawabku.

Axel terkejut. Lalu, berangsur-angsur ia tersenyum. Seperti senyum yang pernah ia berikan padaku saat mengembalikan buku diari aku di kala SD.


TAMAT

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top