30 Juli
Love is patient, love is selfless.
Love is hopeful, love is kind.
Love is jealous, love is selfish.
Love is helpless, love is blind.
(Miley Cyrus – Someone Else).
Axel beneran pulang bersama Akila, tanpa kembali untuk menjemputku. Dan hal terbodoh yang kulakukan adalah menunggunya di sekolah. Padahal jelas-jelas aku yang meminta sendiri ke Axel untuk mengatar Akila saja. Kalau waktu menungguku dikonversi ke waktu untuk mengajari kordinat titik ke Serly sampai ia paham, kurasa bakal sepadan.
Sekarang, aku menunggu Axel selama lima menit. Serupa menanti putih gagak hitam. Mengharapkan sesuatu yang tak ada. Biasanya ia duluan yang muncul di depan rumahku. Maka dengan langkah menghentak aku datang ke rumahnya. Sepi. Jangan-jangan cowok itu belum bangun. Aku menekan bel di samping pagar sambil mengamati pekarangan. Motornya enggak ada. Aneh.
Bunda Axel yang menyambutku. Wajahnya riang, lalu mendadak keningnya berkerut. Dan aku tahu ada yang enggak beres.
"Pev, kamu belum berangkat sekolah? Axel udah berangkat pagi-pagi tadi. Ia tak mampir ke rumahmu dulu?"
Apa? Axel sudah berangkat tanpa menjemput? Tak biasanya seperti ini. Kalau kemarin ia pulang duluan dan aku menunggunya. Itu memang kemauanku. Bukan salahnya jika cowok itu tak kembali. Sekarang, ada apa lagi? Memang pernah Axel dan aku tidak berangkat bersama. Biasanya kalau kami bertengkar hebat. Itu pun jarang. Sekarang kami bahkan tidak merebutkan apa pun.
Aku mengusap tengkuk malu. "Kayaknya Axel memang lagi buru-buru, Bunda."
Axel tidak pernah buru-buru. Aku tahu itu. Bunda juga mengetahui fakta tersebut.
"Nanti Bunda tegur anak itu. Sekarang kamu berangkat sebelum terlambat."
Aku mencium tangan Bunda Axel dan perpamitan. Rasanya bercampur aduk. Malu dan jengkel sekaligus. Malu karena ketahuan Bunda Axel tidak berangkat bersama. Sekaligus jengkel karena Axel keterlaluan berbuat begini. Waktu SMP, walau naik sepeda masing-masing, kami tetap saling menunggu. Bahkan jika itu artinya terlambat bersama dan dihukum.
Sekarang, ia bahkan berani meninggalkanku. Tidak ada pemberitahuan. Tidak ada pesan. Sambil mencak-mencak, aku berangkat ke sekolah dengan angkot. Rasanya angkutan umum ini berjalan lamban. Bau amis, keringat dan parfum bercampur aduk saat aku duduk di sana. Penyiksaan itu baru berakhir saat aku sampai sekolah.
Di kelas, Axel langsung menyambutku dengan wajah bersalah. Aku tak berkomentar dan memilih langsung duduk. Ia mengekoriku.
"Sorry, Pev. Aku harus jemput Akila dulu."
Sudah kuduga! Begitu nama itu disebut semakin jengkel saja aku. Axel meminta maaf sekali lagi. Lalu, kujawab gumaman bahwa tak masalah. Sejujurnya, it's not okay.
Sepanjang pelajaran, Axel mencoba mengajakku berbicara. Ia mendikusikan pelajaran dan mencoba berkelekar. Upayanya tak ada satu pun yang berhasil. Aku hanya tersenyum miring dan mengangguk ogah-ogahan.
"Pev, jangan diam begini. Aku jadi makin merasa bersalah," katanya.
Aku menghela napas. Syukurlah Axel bisa merasa bersalah. Kalau dipikir-pikir, memang hak Axel untuk pergi dan pulang sekolah kapan saja. Itu memang motor milik Kak Caca dan menjadi tanggung jawabnya. Axel juga yang mengendarai motor, bukan aku. Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, kami agak berubah sejak Axel menjalin hubungan.
"Aku enggak suka ditinggal-tinggal," kataku jujur. "Maksudku, kamu bisa bilang dulu supaya aku enggak ke rumahmu."
"Hah? Kamu ke rumahku?"
"Iya. Aku kira kamu kesiangan atau apalah. Tapi, Bunda bilang kamu sudah berangkat pagi-pagi."
Axel menepuk kening. "Harusnya kalau enggak ada motor Mbak Caca di pekarangan, kamu enggak usah ketemu Bunda."
Loh? Kok aku lagi yang disudut dan disalah-salahkan? Ugh. Aku mendadak jengkel lagi.
"Syarat bisa dapat pinjaman motor Mbak Caca adalah berangkat sekolah bareng kamu. Kalau Bunda tahu, bisa-bisa aku enggak bisa pakai motor lagi."
Kenapa jadi lebih penting motor, sih? Aku keheranan. "Kenapa kalau nggak pakai motor lagi?"
"Aku kan harus jemput Akila. Masa aku jemput dengan naik angkot bareng?"
"Apa salahnya? Kita berdua pernah naik angkot bareng."
"Beda lah. Kamu sahabatku. Akila pacarku. Gengsi, dong."
"Makan tuh gengsi!" kataku kesal.
Hampir setiap Axel buka mulut, pasti selalu ada nama Akila yang terlontar. Kalau saja aku punya saringan mulut, tidak kuizinkan nama itu keluar dari mulut Axel. Aku mengabaikan ketika Axel merespons. Bodo amat soal menjemput atau apalah.
Sepanjang hari, yang kulihat cuma Axel dan Akila yang bagai kembar siam. Lebih bagusnya kembar sial saja. Soalnya mataku malah perih lihat mereka. Darahku pun mendidih. Sampai akhirnya aku harus menahan gejolak emosi.
Savannah dan Vadinda mengajakku ke kantin. Tapi ketika melihat kelas mereka dari kaca jendela, mataku melihat Kaivan sedang duduk dengan buku di hadapannya. Seketika kakiku mogok jalan.
"Itu Kai kok enggak istirahat?" tanyaku.
Savannah dan Vadinda melihat ke arah kepalaku berpaling.
"Oh, ia dihukum enggak boleh istirahat. Soalnya belum ngerti pelajaran ekonomi tentang pendapatan nasional."
"Hebat juga bisa anteng begitu," sahutku.
"Pev, di pojok belakang ada gurunya. Tuh. Lgi ngobrol sama murid," kata Vadinda sambil menunjuk arah belakang.
Aku mendekati jendela. Benar ternyata. Guru itu sedang berbincang dengan tiga murid cewek. Sesekali kepalanya menoleh ke Kaivan seakan memastikan cowok itu tidak kabur.
"Pelajaran ekonomi emang susah, ya?"
Savannah tertawa. "Pertanyaan sama seperti, apa susah pelajaran fisika buat anak MIA?"
Aku hanya menjawab dengan senyum lebar. Vadinda langsung menggiring kami ke kantin. Sekali lagi, aku melihat dua kembar siam itu. Mereka tertawa. Akila sesekali menyugar rambut Axel. Dan cowok itu mengacak rambut Akila gemas.
Pilihannya cuma dua. Tetap ke sana dan pura-pura tidak melihat. Atau balik badan. Seakan tahu situasi, Savannah dan Vadinda malah makin mendorongku ke kantin.
Meja yang tersisa tinggal di samping meja mereka. Savannah memesan bakso tiga porsi. Begitu jadi, kami duduk di sana. Pembicaraan mereka pun bisa kudengar meski aku mencoba menulikan telinga. Bakso yang biasanya gurih, bahkan terasa hambar di lidahku.
"Nanti kita pulang bareng, ya, Sayang," kata Akila dengan manja.
Axel menoleh ke arahku. Karena aku sama sekali tak berpaling ke arahnya, cowok itu mengiyakan. Menyebalkan sekaligus menyedihkan. Aku tidak bisa memprotes. Berasa di posisi tak berdaya itu tidak enak.
Ketika mendumel sendiri, tiba-tiba ada sosok cowok datang. Ia duduk di sampingku dan menarik mangkuk bakso yang masih terisi setengah. Cowok tersebut sibuk mencomot bakso-bakso yang ada dengan lahap. Aku melongo.
"Kai, itu bakso aku!"
"Minta dikit. Laper banget."
"Beli sendiri sana," tegur Savannah membantu.
"Kai, kalau minta bilang-bilang," tambah Vadinda.
"Kalau bilang dulu biasanya enggak dikasih. Oh, ya, sebenarnya aku mau beli sendiri. Tapi, lupa bawa uang," cerocos Kaivan. Kepalanya menoleh ke arahku. "Tadi lihat aku di kelas, kok enggak bantuin?"
Aku mendengus. "Pertama, aku nggak mungkin bantuin orang yang celamitan kayak kamu," kataku sambil menarik mangkuk bakso. "Kedua, jurusan kita beda."
"Ah, ya, dasar anak MIA! Pasti pelit begini karena kebanyakan belajar itung-itungan," sahut Kai.
"Aku nggak pelit," kataku.
Kai menarik mangkuk baksoku lagi. "Kalau enggak pelit, enggak keberatan kalau makan setengah-setengah, kan?"
Aku menggerutu. Tapi, kubiarkan Kai memakannya sampai kandas. Mungkin ia berkata jujur soal uang sakunya yang tidak terbawa. Aku beranjak pergi dan membeli air mineral untuknya. Savannah dan Vadinda tampak ingin memprotes, tapi segera kuberi kode agar mereka tak bicara.
Di samping meja, aku merasakan tatapan menusuk Axel. Dan mungkin Akila juga. Aku mengabaikan. Tidak ada untungnya juga mempertimbangkan perkataan Axel. Ia saja lebih peduli pada cewek itu dibanding aku.
"Baik banget." Kai bergantian melihatku dan botol air dengan mata berbinar.
"Soalnya anak MIA enggak perhitungan," tandasku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top