22 September

Let's talk about all those things that we shouldn't talk about.

Those kind of words that would change all the things we talk about.

Tell me do you ever think of us?

Should I ask for more or should I stop?

(Mackenzie Ziegler and Johny Orlando – What If).


Aku selalu berpikir bahwa seseorang bisa menjadi konyol dan sinting karena jatuh cinta. Misalnya, aku yang awalnya menulis jurnal untuk mengabadikan perasaanku ke Axel pada setiap pergantian waktu. Sekarang, setelah kami bertengkar, aku tetap menulis jurnal. Barangkali karena terbiasa.

Kini, aku agak beruntung karena bukan hanya aku yang sinting. Kaivan juga tidak fokus belajar. Cowok itu malah memerhatikanku sedemikian rupa. Itu terlihat jelas di tulisannya. Detail dan tersusun runut. Pada halaman yang terakhir kubuka, aku membacanya lagi tanpa gangguan.

Secara umum, APBN dan APBD memiliki fungsi sebagai berikut:

Fungsi Alokasi. Fungsi ini dipakai secara bersama karenanya disebut fasilitas umum. Hal ini disediakan pemerintah dari hasil pendapatan negara untuk dipakai... Aku melihat Pevita menangis dan tidak tahu penyebabnya. Mau bertanya takut mengusik ranah pribadinya. Sampai ia bilang karena Axel. Rupanya cowok rese itu lagi yang menyakiti Pevita. Padahal cewek tersebut lebih manis kalau tertawa. Bersama-sama. Seperti jembatan, telepon umum dan sejenisnya.

Fungsi Distribusi. Fungsi ini untuk menimbulkan tingkat kesejahteraan yang... Penyebab Pev menangis karena Axel membaca buku jurnalnya. Konyolnya, masih sempat-sempatnya Axel membahas Akila. Tapi sekarang, aku malah bertanya-tanya, apa Pevita menangis karena jurnalnya dibaca atau karena Axel lebih memilih Akila? Merata. Seperti pengadaan jaminan kesehatan yang bisa digunakan di rumah sakit.

Fungsi Stabilisasi. Fungsi yang digunakan untuk menciptakan stabilitas ekonomi dan kehidupanku sebenarnya tidak stabil sejak mengenal Pevita. Tawanya serupa ombak dan membuatku sulit tidur. Tapi, tetap saja aku selalu mengajaknya bermain agar ia punya amunisi untuk tertawa dibanding marah atau menangis. Tapi, cukupkah itu? Cukup apa? Aku nulis apa, sih? Menjaga agar tidak adanya benturan antarkepentingan ekonomi.

Tidak ada lanjutan catatan dari Kaivan karena cowok itu malah mencoret satu halaman dengan metode puting beliung. Barangkali karena terlalu banyak coretan. Tak masalah, aku memfotocopy halaman tersebut dan menempelkannya di jurnalku dengan selotip.

Di dorong intuisi, aku membalik halaman terus sampai paling akhir. Sekali lagi, Kaivan memberi kejutan. Ada tulisan di halaman terakhir. Berbait. Mungkin puisi. Aku membacanya secara tekun.


Aku menyukai pramuka.

Selayaknya langit mencintai mentari.

Seperti aku yang jatuh rasa padamu.

Sebab kamu memiliki mata sedalam laut,

yang menenggelamkanku bersamamu.


Lalu, aku membaca puisi lainnya.


Di pramuka,

ada raimuna,

pertemuan penegak dan pandega dalam satu perkemahan besar,

tapi aku malah lebih senang kalau bertemu denganmu.


Dan puisi paling akhir. Tulisannya nyaris di sudut kertas. Huruf yang kecil semakin kecil saja. Dasar, Kaivan. Ia bisa menulisnya di halaman sebaliknya. Ah, terserahnya lah. Aku membacanya saja.


Ada ulang janji di pramuka

Kau tahu?

Ada ucap dasa darma saat kegiatan pramuka.

Kau tahu?

Aku tebak kau bergeming.

Tak apa.

Asal kau tahu aku menyukaimu.


Aku membaca puisi Kaivan berulang-ulang serupa candu. Setiap bait membuatku tergelincir untuk memahami. Setiap puisi membuatku bertanya-tanya ditujukan pada siapa puisi tersebut.

Kaivan tak pernah bercerita apa-apa soal cewek. Ia hanya mendengarkanku. Mendengarkanku. Dan begitu terus. Sekarang, aku baru tahu kalau kami serupa Naruto dan Mitsuki. Mitsuki selalu tahu semua hal tentang Naruto. Tapi, Naruto tidak tahu apa pun soal Mitsuki.

Kemudian aku teringat kalimat Axel. Kaivan merupakan saingannya karena perbedaan visi dan misi. Ia meminta cheerleader untuk menyemangati futsal. Dan Axel tak suka gagasan tersebut.

Sesuatu di dalam otakku tersentak. Mungkin puisi ini ditujukan untuk cewek yang eskul cheerleader. Wah, aku harus menanyakannya pada Kaivan nanti. Di saat yang tepat dan tidak tampak mencurigakan.

Sejujurnya, mengobrol dengan Kaivan sangat menyenangkan. Pemikirannya luas dan bisa berbicara apa saja. Tapi, ia selalu hemat berkomentar saat aku membahas Axel. Seolah menceritakan Axel adalah hal yang sakral bagi Kaivan. Begitu juga sebaliknya.

Kemudian aku berfokus lagi pada puisi Kaivan. Sederhana tapi jujur. Ternyata walau tak suka membaca, ia bisa menumpahkan perasaan ke dalam kata-kata. Menurutku itu hal yang sangat romantis dan luar biasa. Barangkali selalu seperti ini orang yang jatuh cinta dan patah hati, mereka mendadak menjadi pujangga dan menelurkan karya.

Akhirnya, karena terasuk oleh puisi Kaivan yang manis. Aku membuat puisi juga. Tidak terlalu bagus karena biasanya aku hanya membaca bukan menulis.


Katamu semua akan baik-baik saja.

Kau benar; hidupmu tak berkelukur.

Tapi aku sekarat serupa secangkir kopi tumpah,

Bukan diselamatkan untuk diminum,

Tapi untuk dibanting,

Dan pecahannya menertawai kopi itu sendiri.


Lalu, aku menulis puisi lain. Otakku tampaknya bekerja lebih cepat dibanding tangan. Maka dengan tergesa, aku menulis ini di jurnalku.


Aku menyukaimu dalam kesunyian.

Mendengarkan tawamu yang bergaung di telinga.

Mengamatimu diam-diam dengan pipi merona.

Mencintaimu adalah gejolak yang membuatku bersemangat.

Menyaksikanmu bahagia bersamanya adalah caraku bunuh diri.

Kemudian, satu puisi terakhir.

Perasaan tak akan padam saat kau berteriak lantang: henti!

Lidah bisa ditahan bergerak

Tapi, debar jantung akan selalu bersenandung.

Di sana berkampung angan ingin memiliki

Meski sering koyak kala melihatmu dengannya

Kau mampu mengantarku ke hotel prodeo

Sekadar melokap afeksi yang mengakar

Namun serupa mandevilla

Aku selalu menemukan cara merambat bebas

Dan akhirnya tetap sama

Aku mengangumimu bagai canting mengecup malam

Sementara kau melihatku seperti kuman


Lantas aku teringat kembali pada Axel. Di hari libur begini, biasanya kami sama-sama meluangkan waktu untuk bermain dan nongkrong bersama. Atau aku memerhatikannya bongkar motor. Walau aku sama sekali tidak memahami onderdil motor. Nyatanya, Axel tak keberatan aku bertanya-tanya.

Barangkali karena sejak awal aku tak tertarik, aku hampir selalu melupakan apa yang sudah Axel jelaskan tentang motor. Dan cowok itu selalu memaklumi. Seakan ia punya energi lebih untuk memberitahuku. Lagi dan lagi.

Dengan Axel bersama Akila, mungkin cowok itu menjelaskan apa pun pada Akila soal motor. Barangkali Akila tak memerhatikan, seperti kejadian di kantin. Mungkin Axel hanya bermonolog sementara cewek itu lebih fokus pada rambut, kukunya dan apa pun selain Axel.

Lucu sebenarnya ini terjadi pada kita. Karena aku tidak pernah membayangkan situasi ini. Axel yang menjauh dan terbang bersama Akila. Sedangkan aku bersama Kaivan dan mencoba hal-hal baru.

Benar. Kaivan selalu mengajakku melewati batas yang kubuat sendiri. Ia membuatku berhenti menangis dengan menghiburku secara tak langsung. Ia memang tidak menyediakan pundak sebagai sandaran. Tapi, Kaivan rela menungguku selesai menata hati kembali.

Sekarang aku bertanya-tanya. Aku memang benar bahagia atau sedang memanipulasi diri sendiri? Jawabannya belum kutemukan di hari selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top