17 Agustus
You got my permission.
Don't need no admission.
Cause I'm on a mission.
You got my attention.
There's no need to mention.
The way.
The way you feel.
(Emily Osment – Let's Be Friends).
Aku membaca buku lagi perihal materi pendapat nasional. Dari pengertiannya, cara menghitungnya dengan tiga metode pendekatan sampai konsep pendapatan. Aku sampai mual memahami rumus setiap metode. Bukan hanya karena ada hitungan matematika, tapi juga sering tertukar rumusnya.
Untunglah tidak ada tugas dari kelasku sendiri, jadi aku lebih leluasa mempelajari ekonomi. Rasanya seperti belajar berenang di kolam baru. Aku bisa mengetahui upah, sewa, untung, eksport dan import dalam sekali menceburkan diri. Padahal biasanya aku menelan kesetimbangan, hidrokarbon dan ditambah menghapal tabel periodik sesuai golongannya.
Ini pengalaman baruku. Sekaligus aksi nekat. Aku tahu diri. Tentu tidak bisa selalu mempelajari dua bidang studi dalam satu waktu. Kalau pun bisa, itu pasti karena manajemen waktu yang baik. Padahal aku saja jarang belajar dan lebih suka main bersama Axel. Mungkin karena Axel sekarang sibuk dengan Akila, aku jadi bersembunyi di goa a.k.a kamarku.
Setelah sejam yang penuh konsentrasi, akhirnya aku menyerah. Kuputuskan untuk jalan-jalan keluar sebentar. Hari juga sudah sore. Bahkan aku enggak sadar. Mungkin aku bisa beli keripik di mini market. Tapi sesaat melewati ruang tengah, suara Mama menggelegar memanggil.
Aku langsung menuju ruang tengah. Papa sedang melipat koran. Mama duduk dengan tegang. Keduanya duduk di sofa, cuma Serly yang duduk di lantai beralas karpet. Ia sedang sibuk menempel sticky note ke bukunya.
"Pevita, kenapa kamu enggak lapor kalau sekarang pulang pergi sekolah sendiri?" tanya Mama.
"Sweety, seharusnya kamu bilang," tambah Papa kalem.
Aku menggaruk kepala. "Bukan masalah besar, kan?"
"Bukan masalah besar gimana? Bunda Axel nanya sama Mama soal kalian dan konyolnya Mama bilang kalian selalu pulang pergi ke sekolah bareng. Lalu, Bunda Axel menjelaskan kalau kamu pernah mampir ke rumah Axel saat anak itu sudah pergi sekolah. Kok bisa kamu enggak cerita?"
Sebelum aku sempat menjawab, Mama kembali buka suara.
"Pantas di sekolah kalian terlihat jauh. Mama kira hanya salah lihat saja. Dan berasumsi kalau kalian selalu bersama, baik pulang atau pergi sekolah."
"Mama enggak nanya," sahutku akhirnya.
"Bagaimana Mama bisa bertanya kalau kamu belum cerita," jawab Mama meradang. Ia mengambil sticky note Serly yang masih bertumpuk untuk dipegang. "Kalau kamu ada apa-apa di jalan, Mama dan Papa jadi enggak tahu, Pev. Karena yang kami tahu kamu berangkat bersama Axel."
"Mama, sticky noteku jangan diremas menjadi bola," pekik Serly.
"My angel, calm down," kata Papa sambil mengusap punggung Mama. Kepalanya menghadapku. "Pev, kalau ada masalah apa pun, ceritalah ke kami. Let us know. Kamu bisa Papa antar dengan motor kalau mau."
Aku menggeleng. Sesopan mungkin menolak. Sudah sangat aneh kalau aku dan Mama berada di sekolah yang sama, walau Mama tidak mengajar di kelasku. Dan semakin aneh kalau Papa ikut-ikutan terlibat. Seakan aku mengumumkan Pevitan Anak dari Sepasang Orangtua Guru.
Aku yakin Papa mencoba sabar. Maka, aku bergeming. Kalau ada masalah apa pun, ceritalah ke kami. Kalimat Papa terekam di benakku. Apa aku bisa cerita soal perasaan anehku ke Axel tanpa mendapat tatapan menghakimi? Aku tahu Papa dan Mama adalah orangtua berpikiran terbuka. Tapi, selalu ada hak prerogatif yang tumbuh dalam diri mereka sebagai orangtua. Aku sudah tahu karena telah bersama mereka selama enam belas tahun.
"Pevita, lain kali tolong jangan seperti itu. Mama bukan cuma khawatir keselamatanmu. Tapi, Axel juga. Bunda Axel pernah cerita ke Mama kalau anak itu beberapa kali pulang malam dan terlalu sering keluar rumah. Dan yang Bunda Axel tahu itu perginya sama kamu. Padahal kamu sedang di rumah seperti ini."
"Iya, Ma," sahutku pelan.
Sekali lagi, Axel yang membuat keonaran, aku yang kena getahnya. Kenapa bukan Axel yang dimarahin? Kenapa mesti aku, sih?
"Kak Pev pasti punya alasan untuk itu, Ma," kata Serly sambil merapikan sticky notenya yang lecek.
Aku agak terkejut dengan ucapan Serly yang membelaku. Tetapi aku juga bersyukur karena kalimat adikku jadi penutup perdebatan. Aku diizinkan boleh keluar rumah sebentar untuk main. Maka aku langsung bergegas sebelum kesempatan itu menguap. Konyolnya, buku catatan ekonomi justru terbawa di genggaman tanganku.
Di jalan, aku menggerutu sambil menghentakkan kaki. Biar saja Axel pulang malam dan sering keluar rumah. Mungkin lama-lama Axel bakal lupa letak tempat tinggalnya. Aku jadi tidak perlu melihat jambulnya.
Astaga. Sudah lama sekali kami tidak berbincang tanpa membuat emosi. Aku merindukannya. Tapi, lebih dari itu. Aku rindu saat masih bercanda dan tertawa bersama Axel. Apa ia juga merasakan hal yang sama? Aku tertawa hambar saat mengetahui jawabannya.
Ketika sampai di mini market dan mendorong pintu, seseorang cowok mencoba menarik dari arah dalam. Aku berhenti mendorong pintu. Tapi, cowok tersebut tetap menarik handle pintu kaca.
"Kaivan?" tanyaku tak percaya.
"Hai, Pev," sapanya.
"Kamu ngapain di sini?" tanyaku bodoh.
"Emang kalau orang ke mini market ngapain? Beli truk?"
Aku tertawa mendengar leluconnya. Ketika aku mencoba masuk mini market, Kaivan mencegah dan mengajakku duduk. Ternyata ia membeli cemilan dan mengajakku bergabung untuk menghabisinya. Rambut cowok itu yang nyaris gundul tampak basah. Senyum Kaivan masih cemerlang seperti biasanya.
"Aku jadi sering belanja di sini gara-gara lihat kamu ke sini. Sekarang, kita ketemu enggak sengaja lagi," kata Kaivan.
"Emang kenapa jadi sering ke mini market di sini? Barangnya memang lengkap dan harganya relatif terjangkau. Walau tempatnya sempit," sahutku.
Kaivan tersenyum. Tampan. "Supaya bisa ketemu kamu tanpa janjian."
Mendadak mukaku panas sekali. Hanya sesaat. Sebab aku langsung ingat kejadian sebelum pergi. Seketika aku dongkol lagi.
"Kai, tadi aku dimarahi orangtuaku. Gara-gara tidak pernah memberitahu mereka kalau aku dan Axel tak lagi pulang pergi sekolah bersama," curhatku. Seiring mengenal Kaivan, aku jadi nyaman berbincang dengannya.
Kaivan mengerutkan kening. "Kenapa kamu enggak bilang ke mereka kalau itu kemauan Axel?"
"Tidak. Axel pernah marah karena syarat untuk bisa membawa motor ke sekolah adalah mengantarku juga," keluhku. "Sekarang, aku enggak tahu gimana, deh."
"Kalau kamu mempertimbangkan Axel dalam mengambil keputusan, apa Axel akan melakukan hal yang sama?" tanya Kaivan.
Aku memberengut. "Axel kini menjadi semakin ganjil. Jadi, aku tidak tahu jawabannya dengan pemikiran cowok itu sekarang. Tapi, kalau kami masih baik-baik saja, sudah pasti Axel akan melakukan hal yang sama sepertiku."
"Menurutku, kamu harus mulai membiasakan diri tanpa Axel. Karena seperti katamu, cowok itu sudah semakin ganjil. Ia sudah membuat lompatan besar tanpa mengajakmu."
Aku tertegun, mendadak tertohok dengan ucapan Kaivan. Axel memang sudah melompat jauh tanpa mengikutsertakanaku. Kendati begitu, aku masih berharap Axel memiliki waktu lagi untuk sekadar main dan nongkrong denganku.
"Buku apa yang kamu bawa, Pev?" tanyanya sambil mencomot buku di tanganku. "Ah, catatan ekonomi. Emang anak MIA belajar ekonomi?"
Seketika aku teralihkan dan fokus pada pertanyaan Kaivan. Aku senang karena cowok itu bersamaku di sini. Bukan apa-apa, aku bersyukur punya teman mengobrol di saat suasana hatiku sedang anjlok. Apalagi sikap Kaivan yang luwes dan mudah menetralkan atmosfer.
"Bukan buatku. Tapi buat kamu belajar. Sekaligus aku akan mengajarimu. Siapa tahu lebih mudah dipahami jika teman yang mengajari, kan?" kataku ramah.
Kaivan terbatuk-batuk. "Serius? Wow."
Aku mengangguk. "Sebagai tanda terima kasihku karena kamu sudah sering membantuku secara tak langsung. Jadi, kita mau belajar di sini atau di mana?"
"Di rumahku saja. Akan kuminta Bibi masak makanan kesukaanku buatmu juga," kata Kaivan riang.
"Memang apa makanan kesukaanmu?"
"Kwetiau. Telornya dipisah dengan diceplok. Kalau kamu?"
Aku mengangkat bahu. "Entahlah. Aku suka semua masakan buatan Mama. Kalau Mamamu enggak suka masak?"
"Ah, orangtuaku sibuk kerja."
"Di hari libur begini?" tanyaku ragu.
Kaivan mengangguk yakin. "Ayo, ke rumahku. Sebelum kamu kaget, jarak rumahku dengan Akila tak jauh. Bisa jadi, kita ketemu mereka."
Aku yang tadi memikirkan kehidupan Kaivan, lalu terganti dengan ucapan cowok tersebut. Rumah Akila jaraknya tak jauh dari rumah Kaivan. Itu artinya, bisa jadi aku bertemu dengan Axel. Lantas aku jadi teringat percakapan di toilet yang dibicarakan Akila tentang Axel.
Akhirnya berburai sudah. Aku ceritakan hal itu ke Kaivan. Serta menanyakan kebenaran soal hubungannya dengan Kak Sarah. Sungguh, aku tak enak hati.
"Aku memang pernah pacaran dengan Kak Sarah, cewek itu yang mendeklarasikannya," jawab Kaivan.
"Oh." Aku baru tahu ternyata cewek bisa mengungkapkan perasaan duluan.
"Aku menerimanya karena melihat betapa merah mukanya. Bayangkan kalau aku menolaknya," kata Kaivan lagi.
Aku yang mendengarnya hanya bergeming. Cewek bisa mengatakan perasaan ke cowok tanpa perlu menunggu sang cowok tersebut. Tapi efeknya bisa luar biasa jika ditolak. Malunya mungkin sampai tak ingin bertemu dengan si cowok lagi. Atau bahkan memilih di telan bumi saja. Kemudian terbesit keinginan itu. Aku ingin mendeklarasikan perasaanku ke Axel. Di lain sisi, khawatir jika ia menolaknya.
"Kamu menerimanya karena kasihan?" tanyaku.
Kaivan menggeleng. "Karena aku berterima kasih ada yang menyukaiku."
Aku tahu Kaivan tak serius. Ia tergelak. Aku hanya memukul pundaknya dengan gemas.
"Apa kamu akan menerima cinta Akila jika ia mengatakannya padamu?" tanyaku bermaksud menantang.
Di luar dugaan, Kaivan terbelalak. "Akila yang memberitahumu kalau ia pernah menembakku?"
Aku melongo. Nyaris tak memercayainya. Apa itu artinya mereka pernah menjalin hubungan?
Kaivan tersenyum. "Aku menolak Akila. Ia marah sekali, bukan malu."
"Kenapa kamu menolak cewek sehebat Akila?" tanyaku. "Jangan mengernyitkan dahi begitu, Kai. Kamu tahu. Kita berdua tahu kalau ia cewek gaul dan memiliki banyak teman."
"Aku tidak suka cewek yang tidak setia."
Rasanya ada bom nuklir yang dijatuhkan tepat ke tengah-tengah kami. Sebelum sempat menghindar, sudah terhempas duluan. Akhirnya, ucapan Kaivan terngiang-ngiang di otakku bagai kaset rusak. Tidak setia. Akila tidak setia. Aku bahkan baru tahu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top