15 Agustus

Oh, I'm looking for affection in all the wrong places.

And we'll keep falling on each other to fill the empty spaces.

(Between Friends – Affection).


Siapa yang bilang pelajaran anak IIS alias anak IPS itu mudah? Aku yang membaca materinya saja sudah pusing tujuh keliling, apalagi mengerjakan soal. Orang-orang yang meremehkan pelajaran IPS harus membaca catatan ekonomi Vadinda. Seperti kata Savannah, catatan Vadinda super lengkap. Sampul belakang buku kelas satu disteples dengan sampul depan buku kelas dua.

Didorong rasa penasaran, aku membaca dari catatan kelas satu. Awal pelajaran memang mudah. Aku bisa paham. Tapi semakin membalik halaman, semakin bertambah tingkat kesulitannya. Vadinda mungkin satu pemikiran denganku. Karena di beberapa halaman buku ada yang di highlighter, ditebelin dan diwarnai dengan Stabilo.

Vadinda sudah mewanti-wanti agar aku mengembalikan bukunya hari ini. Karena hari ini ada pelajaran ekonomi di kelasnya. Ia mungkin hanya belajar di malam hari dengan bermodal buku cetak. Memikirkannya saja aku langsung tak enak hati.

Dengan waktu yang singkat di rumah, aku membaca, mencatat dan mempelajari tentang pendapatan nasional. Satu bab sudah kurangkum lebih ringkas ke buku catatan khusus. Aku sengaja memakai buku kosong untuk menulis materi tersebut. Barangkali Kaivan membutuhkannya kelak.

Aku yakin Kaivan perlahan akan menguasai ekonomi jika tekun. Seperti kalimat peribahasa yang kusukai. Lancar kaji karena diulang, pasar jalan karena diturut. Orang pandai karena terus berlatih.

"Terima kasih ya, Vadinda," kataku sambil menyerahkan buku catatan ekonomi sesaat sampai sekolah.

Selepas dari kelasnya, aku masuk ke kelasku sendiri dan nyaris terpeleset ketika melihat Axel. Astaga. Ada apa dengan rambutnya? Kalau aku membawa gunting, segera kupangkas rambutnya itu.

Aku meletakkan tas di meja dan memelotot padanya. "Rambutmu berubah," kataku ragu-ragu.

"Aku tahu. Keren, kan?" sahut Axel bangga. "Dengan bagian depan naik ke atas, aku akan semakin terlihat gagah. Begitu kata Akila."

Aku sama sekali tidak bisa menghubungkan antara gagah dengan rambutnya yang berjambul. Iya. Rambut Axel yang awalnya selalu klimis dan tertata rapi ke belahan samping sudah musnah. Sekarang, ada bagian yang mencuat di kepala. Jika waktu SD, jabrik. Kini, aku tidak tahu lagi jenis apa rambutnya ini.

"Ini model rambut quiff. Mirip sama model rambut pompadour. Akila yang memberitahuku," jelasnya seakan membaca pikiranku. "Tapi karena ini di sekolah. Aku bikin tipis dan sedikit panjang di depan supaya bisa dijadikan jambul. Semoga enggak ada guru yang protes."

Aku berharap sebaliknya. Semoga ada guru yang murka dengan gaya rambutnya. Tapi, itu nyaris tak mungkin. Barangkali karena potongan itu termasuk pendek. Apalagi semakin tak terlihat panjangnya karena Axel memakai gel rambut.

Sekarang model rambut Axel sama seperti cowok King Card lainnya. Mungkin gaya rambut begitu menjadi syarat King Card. Berbeda dengan Kaivan yang rambutnya dipotong tipis, nyaris gundul.

Aku menghela napas. "Aku lebih suka rambutmu yang lama," responsku jujur.

"Akila justru suka dengan gaya rambutku yang sekarang," sahut Axel.

"Kenapa sih kamu selalu mendengar perkataan cewek itu?" tanyaku kesal sekali.

"Karena cewek itu pacarku. Dan aku mempertimbangkan pendapatnya," kata Axel kalem.

Aku mendengus. "Kamu bukan mempertimbangkan. Lebih tepatnya menurut perkataan Akila."

"Kalau pendapatnya membangun, kenapa tidak dituruti?"

"Kamu lebih bagus kalau disisir ke samping rambutnya. Sangat cocok denganmu," kataku. Axel menggeleng. Lalu, aku melanjutkan berkata. "Apa hubungan pacar itu kastanya lebih tinggi dari hubungan sahabat sehingga pendapatku tidak dipertimbangkan?"

Axel hanya mengangkat bahu. Sekarang sudah tiada bedanya lagi dengan kerbau yang dicucuk hidungnya. Aku senewen sendiri.

Gaya rambut Axel yang dulu pantas sekali. Cocok dengan citranya yang kalem dan tenang. Dan sebenarnya, gaya rambut sekarang juga tidak jelek-jelek amat. Tapi memikirkan kalau ide itu berasal dari Akila, jelas membuatku dongkol. Axel semakin asing saja gara-gara cewek itu.

Di pergantian pelajaran kedua, aku ingin ke kamar mandi. Begitu guru mengizinkan, aku langsung melesat keluar. Lega rasanya tidak berada di dekat Axel. Maksudku, aneh sekali dekat dengan seseorang yang sudah berubah jauh. Aku pikir kami akan berkembang bersama. Ternyata dugaanku salah.

Begitu di kamar mandi, saat aku membuka salah satu pintu WC, tangan seseorang menahan pergerakanku. Ternyata Akila. Cewek itu tersenyum ramah. Meski aku curiga, dibaliknya ada kejahatan yang siap diluncurkan.

"Walau enggak pulang sekolah bersama, ternyata kalian masih saja terlihat akrab. Aku sudah berkali-kali melihat kalian berbincang sebelum dan setelah kami pacaran," kata Akila sambil menegaskan statusnya.

Nah, kan. Aku sudah menduganya. Tapi, kali ini aku harus lebih cerdik.

"Kamu tahu kami berteman sejak dulu. Akrab adalah hal lumrah," sahutku.

"Aku mengerti." Akila menyetujui. "Tapi, Axel sudah memiliki pacar. Kupikir, kamu harus mengerti posisimu."

Aku akan tertawa terbahak kalau bukan mode serius. Lucu sekali Akila bisa percaya diri mengatakan hal tersebut. Sesudah menjalin hubungan dengan Axel, ia harusnya tahu itu. Akila seharusnya bisa memprediksi hal tersebut bahkan sebelum memulainya. Namun, aku memaklumi jika ia tidak berpikir sampai situ. Di otaknya pasti cuma ada fashion, hal trendy dan sejenisnya.

"Hubungan sahabat dan pacar bisa terus berjalan kalau semua pihak berpikiran terbuka," sahutku. Aku merasa otakku bekerja cerdas dalam mengelola kata-kata. Mungkin karena sering bergaul dengan Savannah yang berbicara keren. Atau gara-gara Kaivan yang santai.

"Itu bisa saja terjadi. Sayangnya, sahabat Axel itu cewek. Sahabat jadi cinta itu sering terjadi dan aku enggak mau Axel mengalaminya," ujar Akila. "Lagipula Axel milikku. Aku berhak marah kalau ada cewek lain yang mencoba mendekatinya."

Aku mengernyitkan kening. Apa tadi katanya? 'milikku" Huh. Akila merasa memiliki Axel. Cewek itu mengatakannya seolah ia merawat Axel sejak kecil dan mendidiknya hingga remaja. Arogan. Sikapnya sudah mencerminkan betapa ia tidak pantas bersama Axel. Dan itu menambah daftar kekesalanku padanya.

"Kamu terlalu berpikir negatif," sahutku mencoba sabar.

Akila tersenyum sok manis. "Bukannya kamu sedang dekat dengan Kaivan? Aku lihat kalian sering mengobrol. Lebih baik kamu pacaran dengannya saja."

Loh, kenapa membahas Kaivan? Aku semakin tidak mengerti dengan pikiran cewek di hadapanku. Tapi, aku tak akan menyerah.

"Kami dekat karena berada di eskul yang sama. Bahkan kamu yang PMR saja bisa kan dekat dengan Axel yang ikut eskul futsal," sahutku mulai gusar.

"Jangan naif. Kak Sarah curhat ke aku tentang kedekatan kalian. Kak Sarah yang baru selesai fotokopi bahkan lihat kalian pernah naik motor dan bolos bersama," katanya tajam. "Ternyata kamu bukan cuma dekat satu cowok. Tapi, dua cowok sekaligus. Kamu nggak tahu kalau Kak Sarah itu mantan Kaivan, kan?"

Aku mendidih mendengar setiap perkataan Akila. Tapi, aku juga baru tahu kalau Kak Sarah itu pernah menjalin hubungan dengan Kaivan. Pantas di hari pertama sikap mereka akrab. Walau tak hangat. Untuk sesaat, aku merasa tak enak hati. Lalu, melihat Akila. Cewek itu bertolak pinggang seakan berhasil menguasai situasi.

"Kita lihat saja perkembangannya nanti," kataku sambil bergegas meninggalkan toilet.

Aku menahan gejolak di kandung kemihku dan berjalan dengan kepala tegak. Kenapa semuanya jadi makin rumit saja, ya? Aku menghela napas. Padahal nyaris dua puluh empat jam Axel bersama Akila. Tapi masih saja cewek itu marah jika aku dan Axel mengobrol. Kami bahkan mulai jarang bercakap-cakap dan sebatas berbincang di kelas.

Lalu, ia membawa masalah Kaivan juga. Padahal cowok itu tidak ada hubungannya sama sekali. Aku menghentakkan kaki sepanjang jalan di koridor.

Ketika sampai ke kelas, aku mencoba sebisa mungkin fokus ke pelajaran. Tidak mudah. Berkali-kali Axel menyenggol lenganku ketika mendapati aku bengong memandang luar jendela. Saat melihat ke arahnya, pada rambut yang kini berjambul, aku malah semakin jengkel. Tidak ada yang salah dengan rambutnya yang dulu. Kenapa sih Axel tak mau mendengarku?


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top