13 Agustus
Try to understand that I'm.
Trying to make a move just to stay in the game.
I try to stay awake and remember my name.
But everbody's changing and I don't feel the same.
(Keane – Everybody's Changing).
Ide membantu Kaivan memang terbilang nekat. Barangkali aku terlalu impulsif. Bahkan aku sampai sulit tidur dan berkali-kali membenamkan kepala ke bantal setiap kali memikirkannya. Malu, rasanya. Terutama ketika mengingat reaksi Kaivan. Cowok itu tidak berkata apa pun. Tapi wajahnya terlihat senang luar biasa.
Hari ini aku belum bertemu dengan Kaivan. Baguslah. Aku jadi bisa menenangkan diri tanpa perlu melihat senyum jailnya.
Akhirnya, aku nongkrong di kantin bersama Vadinda dan Savannah. Mereka membicarakan soal ulangan mendadak di kelasnya. Keduanya saling mencocokkan jawaban di beberapa nomor. Sesekali mengeluh dan bernapas lega.
"Semoga saja nilaiku bagus," kata Vadinda akhirnya.
"Aamiin," sahut Savannah. "Sebenarnya kalau pilihannya enggak ambigu pasti nomor empat bisa aku kerjakan dengan mudah."
Vadinda tertawa. "Di nomor lima belas aku juga salah jawab. Jawabannya 45. Eh, aku malah mencoret 46 saking buru-buru."
"Kalau ekonomi memang banyak itung-itungannya gitu, ya?" tanyaku ikut nimbrung.
Vadinda dan Savannah kompak mengangguk. "Iya. Kayak fisika gitu, deh." Savannah memberitahu.
"Harus teliti menghitung dan memasukkan rumusnya. Sebenarnya, kalau benar-benar memerhatikan penjelasan guru pasti bisa paham," tambah Vadinda.
Sekarang, aku jadi tahu alasan Kaivan bingung atau tidak tahu jawaban dari setiap persoalan ekonomi. Itu pasti karena ia tidak mendengarkan guru. Bukan sok tahu, tapi ada buktinya. Kaivan jika mendengarku mengoceh panjang lebar tentang Axel pasti langsung mengajak bermain di Game Loop. Seakan ia berharap kupingnya punya kelopak seperti mata agar bisa menutup dan tak perlu mendengarku. Meski begitu, aku yakin Kaivan bisa jika tekun.
Kalau sepengalamanku mempelajari fisika, kadang aku harus memahami rumus dasar supaya paham. Barangkali ekonomi juga seperti itu. Seperti pelajaran tersebut, fisika tidak selalu mudah. Seandainya aku serius seperti Axel, aku juga bisa mengerjakan fisika walau loadingnya lama.
Semua orang memang cendrung lebih paham pelajaran kalau menyukainya. Seperti aku yang senang membaca dan tak masalah di pelajaran Bahasa Indonesia. Pelajaran bahasa menjadi perkara kalau aku melihat Axel bersama Akila. Sebab setelahnya, aku tak fokus belajar.
Lantas, aku menyingkirkan soal Axel sebelum badmood dan mencoba memikirkan hal lain. Aku mengorek ingatanku tentang hal yang Kaivan sukai. Barangkali ia memiliki kemampuan non akademis yang patut dibanggakan dibanding akademik. Ah, ya. Cowok tersebut suka futsal. Apa lagi? Kemudian, aku teringat dasa darma yang pernah cowok itu sebut. Ia suka pramuka juga.
"Oh, ya, dasa darma itu apa, sih?" tanyaku.
"Dasa darma itu prinsip yang harus dimiliki seorang pramuka. Ada sepuluh," jawab Savannah bersemangat. "Mirip pancasila yang menjadi pedoman hidup bangsa dan negara. Nah, dasa darma juga seperti itu di kepramukaan."
"Ada sepuluh? Apa saja?"
"Aku pernah membahasnya waktu awal masuk eskul, kan," jawabnya.
"Aku lupa. Ayo dong sebutkan, biar aku ingat lagi."
Savannah menghela napas. Ia menyebutkan setiap butirnya dengan monoton. Sesekali ia menyebutkan contohnya. Aku mendengarkan dengan antusias kali ini. Setelah Savannah selesai berbicara, Vadinda menyenggol tanganku langsung.
"Tumben kamu nanya begitu, Pev. Tertarik pramuka?" tanya Vadinda sambil memperbaiki posisi bando kucingnya.
"Oh. Enggak. Kaivan yang sering bahas itu." Aku keceplosan.
"Kaivan bahas itu pas kapan?" tanya Vadinda langsung.
"Pev, jangan bilang kamu lagi dekat sama dia. Apa itu ada hubungannya pas kalian absen bareng?" tuding Savannah curiga.
Aku mati kutu. Ya, sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur. Kukatakan bahwa Kaivan pernah mengatakan itu saat sepulang sekolah tanpa kujelaskan rinci jamnya. Hal yang penting, memang benar Kaivan bicara seperti itu sewaktu pulang sekolah. Aku tak perlu bohong lagi.
"Kami awalnya memang terpukau melihat Kai. Tapi, tampang tak selalu menjamin. Ia bandel luar biasa. Suka terlambat, merokok, bolos, lupa mengerjakan tugas dan kenakalan lainnya. Makanya aku dan Savannah kaget ketika ia masuk eskul Klub Buku," kata Vadinda prihatin.
Aku mengingat penjelasan Kaivan. Ia tidak merokok. Orang-orang menilai cowok itu merokok pasti karena bau tembakau di jaketnya. Serta tragedi yang dialaminya dengan rokok di tangan dan korek di tasnya. Sebenarnya, aku agak terkejut karena teman sekelas Kaivan bahkan tidak tahu alasan Kaivan di eskul Klub Buku. Mungkin itu hukuman yang dirahasiakan. Entahlah. Kaivan tak pernah mengoreksi kekeliruan penilaian orang lain terhadapnya, kecuali jika ditanya.
"Aku pikir ia tidak seburuk itu," kataku.
Savannah mengangguk. "Benar. Kaivan sudah memutuskan jalan hidup yang dipilihnya. Kita harus menghormati itu. Jangan menjelekkannya, Vadinda."
Aku dan Vadinda sama-sama memutar kedua bola mata. Terkadang ucapan Savannah sangat dewasa dan ajaib. Otakku terlalu kecil untuk memahami perkataannya yang super keren. Tapi mengetahui ia membelaku, aku bersyukur.
Untunglah bel berbunyi, kami jadi tidak memperpanjang membahas soal aku dan Kaivan. Seluruh murid segera beranjak ke kelas masing-masing. Begitu juga dengan aku, Savannah dan Vadinda yang bergegas berjalan di koridor bersama. Begitu sampai di kelas XI IIS 2, aku langsung mencegah keduanya sebelum masuk.
"Aku boleh pinjam buku ekonomi? Catatan atau buku cetaknya tak masalah," kataku.
Savannah mengerutkan kening. "Buat apa?"
"Cuma pengin tahu soal pendapatan nasional," ujarku.
"Boleh. Tapi, buku catatan Vadinda lebih lengkap dari kelas satu. Dan lebih rapi dari punyaku. Aku juga kadang minjam bukunya," jawab Savannah.
"Sebentar. Aku ambil dulu," sahut Vadinda.
Vadinda masuk ke kelasnya dan kembali semenit kemudian. Ia meminjamkan buku catatannya saja. Cewek itu bilang, buku catatannya sudah merangkum hal penting dari buku cetak. Jadi lebih mudah untuk dipelajari. Aku mengangguk sambil mengucapkan terima kasih. Begitu keduanya masuk kelas, aku beranjak ke kelasku sendiri.
Namun, baru saja aku berbalik badan. Aku melihat Akila dan Axel di samping pintu kelas XI MIA 1. Axel sedang memegang susu taro. Tapi, Akila merengek memintanya. Aku bisa melihat raut keraguan di wajah Axel.
"Aku beli buat Pev," kata Axel.
"Pev lagi. Pevita lagi. Selalu kamu kalau beli susu taro inget dia. Terus kapan buat akunya?"
"Nanti kita beli setelah pulang sekolah, Honey."
"Nggak. Susu taro ini buatku aja."
"Tapi-"
"Honey, please deh. Pacarmu itu aku atau Pevita, sih?"
"Kamu," jawab Axel otomatis. "Oke, ini buatmu. Jangan marah lagi."
Di depan mataku, minuman yang biasanya Axel berikan padaku kini diserahkan secara sukarela ke cewek lain. Apa Axel tidak mempertimbangkan aku lagi di konstalasi hidupnya sebagai sahabat? Aku merasa tidak dihargai secara tak langsung. Tapi tak punya daya untuk mencegahnya. Mencegahnya? Miris sekali. Karena memang hak Axel untuk memberikan minuman pada siapa saja. Jika aku bisa request, cowok itu bisa memberikan minuman apa pun ke Akila, asal bukan susu taro.
Akila berbalik badan dan berjalan. Tatapan kami berserobok. Aku bisa melihat senyum kemenangan yang terukir di wajahnya. Ia senang bisa berada di atas langit bersama Axel. Kini, aku meragukan ucapan Axel soal melihat masa depan dari awan nimbostratus di tengah awan cirrus fibratus. Mungkin bukan aku yang ia lihat di gambaran masa depan, tapi cewek tengil tersebut.
Aku mencoba meredam kemarahan di dada dan segera bergegas masuk ke kelas. Saat sampai di bangkuku, aku tidak mengucapkan permisi. Tapi, Axel sendiri yang berdiri. Aku langsung duduk tanpa bicara. Mengabaikannya dan mencoba tekun membaca catatan Vadinda. Belum apa-apa saja, aku sudah pusing.
"Kamu baca buku catatan apa?" tanya Axel sambil menoleh ke arahku.
Seakan kejadian itu bukan masalah besar, Axel mengajakku berbincang. Ia memang tidak melihatku yang berdiri di kelas XI IIS 2 karena terhalang daun pintu terbuka dan posisiku yang agak tersembunyi. Tapi, seharusnya ada rasa bersalah yang berakar di dadanya. Dasar cowok tidak peka!
"Bukan apa-apa," kataku cuek.
"Oh, ya, kemaren aku ke Game Loop bareng Honey. Di sana keren banget, kamu harus ke sana sekali-kali, Pev," kata Axel antusias.
Sudah pernah! Aku ingin berteriak lantang di depan muka Axel. Tapi karena aku tahu itu tidak mengubah apa pun, aku memilih bungkam. Axel tidak tahu kegiatanku beberapa hari ini.
"Oh," kataku tak tertarik.
"Honey emang selalu tahu tempat-tempat keren. Kamu seharusnya berteman dengannya supaya gaul," kata Axel lagi.
Aku mendengarnya langsung tersentil. Songong. Lalu, aku tersentak sadar. Eh, sebentar. Aku berpikir sejenak. Honey itu artinya madu. Maksudnya, Axel jalan sama madu? Atau nama orang Honey? Tadi aku juga dengar Axel berkata begitu ke Akila. Apa maksudnya, sih? Axel meracau tak jelas, aku pusing mendengarnya.
"Honey siapa?" tanyaku konyol.
"Honey itu ya Akila. Panggilan sayang. Ia yang minta," jawab Axel.
Julukan! Astaga. Mereka punya julukan sekarang, sementara aku tidak. Setelah mendengarnya, aku bersandar pada tembok dan mengamati Axel. Cowok itu masih orang yang sama. Tapi, pikirannya sudah berbeda. Ini karena Akila mendiktator otaknya. Aku pun berpaling ke jendela di sebelahku persis. Kenapa sih Axel semakin berubah asing?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top