11 September
You're not alone.
Together we stand.
I'll be by your side.
You know I'll take your hand.
When it gets cold.
(Avril Lavigne – Keep Holdong On).
Nyaris tiga minggu lebih, aku tak lagi berbincang dengan Axel. Padahal kami satu kelas. Bisa dibayangkan setebal apa ego kami berdua, kan? Beberapa kali aku dan Axel berpapasan di ambang pintu. Lalu, di koridor dan pagar sekolah. Hampir berlanggaran. Tidak ada yang mengucapkan permisi atau maaf. Tapi selalu salah satu dari kami mengalah dan mempersilakan salah satunya lewat.
Pernah saat kejadian tersebut ada Akila di samping Axel. Cewek itu langsung mendecih ke arahku, sementara sahabatku tak berkomentar. Kalau bukan karena Axel, pasti langsung kusahutin gaya tengil cewek itu. Di hari lain, saat aku dan Kaivan bertemu muka dengan Axel seorang. Ia hanya mengesah. Kaivan bergeming.
Aku tidak lagi tahu alasan kami membangun kubu masing-masing. Dan Axel jelas-jelas tidak mencoba memperbaiki. Aku ingin mengajaknya berbincang. Tapi, tidak kubiarkan harga diriku terbakar habis oleh keinginan hatiku. Biar saja Axel meminta maaf. Meski sampai saat ini cowok itu belum juga melakukannya.
Dua hari yang lalu, aku berpikir untuk memberitahu Axel soal Akila. Mungkin menanyakan baik-baik soal Akila memiliki saudara laki-laki yang sangat akrab atau tidak. Meski Kaivan sudah bersikeras mengatakan Akila punya cowok selain Axel, aku tetap mencoba berpikir positif.
Mungkin saudara. Saudara tidak ada yang seperti itu, kata Kaivan sambil tertawa. Barangkali sepupu jauh yang baru kembali bersua. Hubungan jauh tidak bisa menghasilkan kedekatan yang nyaris intim, sahut Kaivan saat itu. Akhirnya setiap pembelaanku selalu dipatahkan Kaivan. Hingga aku tak punya alasan apa pun untuk mengatakan Akila setia.
Lantas kemarin, aku melihat binar riang dari mata Axel. Ia berbincang dengan Akila begitu bersemangat di kantin. Entah apa yang dibicarakan sahabatku. Yang jelas, Akila tampak tidak tertarik dengan topik yang Axel bicarakan. Itu terlihat jelas saat cewek itu memutar kedua bola mata dan bersandar sambil matanya melihatnya ke arah lain. Kasihan Axel, ia dicintai separuh hati. Padahal cowok itu tahu ada yang mencintainya sepenuh hati. Ya, itu aku.
Kaivan berkali-kali memberitahuku agar tidak perlu mengusik hubungan Axel dan Akila. Tapi, aku tidak bisa membiarkan sahabatku tersakiti di depan mataku sendiri. Setelah itu, Kaivan hanya mengangkat bahu tak mau ambil pusing.
Namun, cowok itu bersikap baik belakangan ini. Ia menjemput dan mengantarku pulang tanpa kuminta. Padahal saat itu aku hanya bercerita alasan-alasan aku datang terlambat. Barangkali di dorong rasa kasihan sehingga Kaivan menawarkan bantuan. Aku sempat menolaknya. Tapi, Kaivan berkata ia tak keberatan dan senang punya teman mengobrol di perjalanan.
Reaksi Mama dan Papa seperti orangtua pada umumnya. Awalnya memang tiada komentar, tapi perlahan keduanya mulai bertanya. Hingga akhirnya mewanti-wanti.
"Kamu boleh bergaul dengan siapa saja. Asal jangan sampai terbawa hal negatif. Mama sudah tahu track record Kaivan," kata Mama tajam.
"Ma, Kaivan tidak seburuk itu. Ia bersikap begitu karena kurang perhatian orangtuanya. Ibu dan Ayahnya lebih sibuk kerja dibanding mengurusnya. Kaivan sendiri yang cerita," kataku membela.
"Poor boy. Ajak ke rumah. Biar kita bimbing dan kita cari bersama solusinya," sahut Papa prihatin.
"Papa!" Mama menunjukkan ketidaksetujuan.
Namun, aku memanfaatkan kesempatan itu dengan baik. Kuajak Kaivan ke rumah dan memperkenalkannya ke Mama dan Papa secara sopan. Serly yang mengintip di dinding ikut nimbrung saat Kaivan berkenalan dengan orangtuaku. Kaivan pun bercakap-cakap dengan Mama dan Papa. Kurang luwes. Cendrung canggung.
Sejujurnya, perhatian Mama dan Papa agak berlebihan setelah itu. Mereka sebisa mungkin memberi makanan atau minuman ke Kaivan, setiap cowok itu datang di pagi hari. Maksud Mama dan Papa memang baik. Mencoba membuat Kaivan riang. Tapi, cowok itu agak risih diperhatikan berlebihan. Aku hanya tersenyum malu tanpa komentar.
Akhirnya, aku memberitahu orangtuaku agar tidak perlu seperti itu. Biasa saja. Akhirnya mereka mengerti. Meski berkali-kali mengusap puncak kepala Kaivan. Agak konyol. Tapi lucu untuk diamati saat aku memerhatikannya.
Sekarang, Kaivan datang ke kelasku. Senyumnya semringah. Padahal kami baru berpisah tiga menit.
"Pev, maaf ya baru aku balikin buku catatan ekonomi. Ajari aku lagi kalau ada waktu," kata Kaivan.
Suaranya ternyata cukup keras untuk membuat Axel menoleh ke arahku. Padahal ia sedang menghapus tulisan di papan tulis saat Kaivan masuk. Binar mata Axel terlihat sengit. Tapi aku mencoba mengabaikannya. Nyatanya cowok itu tidak bisa tidak peduli
Axel lewat mejaku sambil berkata, "Baru kelas XI saja sudah belagu mau belajar pelajaran lintas jurusan."
Aku mengernyit. Axel tidak pernah memiliki mulut tajam begitu. Seumur hidup dalam pertengkaran kami, aku sadar kalau ini yang paling parah. Ini pasti efek buruk berlama-lama dengan Akila. Tanpa basa-basi segera kucekal tangannya.
"Maksudmu apa?" tanyaku kesal.
"Tidak ada maksud apa pun." Suara Axel sedikit melunak.
Aku yang sudah meradang langsung melontarkan kalimat. "Urus saja pacarmu yang menyeleweng itu."
"Hei. Jangan asal bicara."
Aku pun memelankan volume suaraku, nyaris berbisik. "Akila jalan sama cowok lain. Aku tidak tahu itu saudara kandung atau sepupunya. Pokoknya mereka gandengan tangan dan mesra. Kejadiannya di mall beberapa hari lalu."
"Pev, jangan bicara macam-macam. Aku tahu Akila seperti apa," sahut Axel resah. Bahunya sedikit merosot. Barangkali akibat terkejut.
"Mungkin kamu tidak benar-benar tahu Akila," sahutku masam.
"Ia sayang sama aku. Itu yang kutahu," katanya.
"Aku juga sayang kamu dan jika benar sayang tidak mungkin berbohong," kataku sambil melepaskan tanganku dari tangannya.
Seketika wajah Axel bercampur aduk. Aku sulit menerjemahkan air mukanya. Bagian terpenting, aku sudah mengungkapkannya. Dan kurasa itu sudah cukup. Axel berjalan langsung ke mejanya. Seketika aku berharap bel pulang cepat berdering.
Sayangnya, itu tak mungkin karena jarum jam bahkan belum mencapai jam tujuh. Sisa waktu yang ada kupakai untuk membuka catatan ekonomiku. Sesaat ada yang menyita perhatian aku. Tanpa titik garis pada bagian bawah dari akhir catatanku. Aku sama sekali tidak mengerti.
Tertulis begini:
. _ _ _ / . _ / _ . / _ _ . / . _ / _ .
. . . / . /_ . . . / . . / . . . .
. . . / _ _ _ / . _ / . _ . .
. _ / _ . . _ / . / - _ . .
. . . / . / ._ . . / . _ / _ _ / . _
_ . / _ . . / . _
. _ / _ . _ / . . _
Aku yakin kalau mengadakan sayembara membaca kode begini, mungkin aku tak akan menang. Kode? Ah, keren sekali. Seperti aku terlibat dalam petualangan penuh intrik. Ini pasti pesan dari Kaivan. Tidak asik kalau bertanya langsung. Aku akan mencari tahu dari sumber terpercaya.
Karena di dorong rasa penasaran, pada jam istirahat segera kuberitahu Savannah dan Vadinda. Keduanya mengamati bukukku untuk sesaat. Savannah yang tersenyum paling dulu. Vadinda dan aku cuma melongo.
"Siapa yang menulis begini ke kamu? Jangan bilang dari Kaivan," tanya Savannah.
Aku mengangguk. Memang aku harus menjawab apa lagi? Lagipula wajah Savannah seakan senang dan penuh cengiran jail sehingga aku penasaran sekali.
"Ini kode morse," kata Savannah.
"Apa itu kode mor... mor apa?" tanyaku bingung.
"Kode morse itu bukannya kode dalam pramuka?" Vadinda ikut bertanya.
Savannah mengangguk. Aku langsung menghela napas. Ah, harusnya sudah kuduga perilaku Kaivan. Itu pasti tidak jauh dari pramuka.
"Apa artinya?" tanyaku penasaran.
Savannah tersenyum. "Jangan sedih soal Axel selama ada aku."
Vadinda terbelalak. "Wow. Yakin Kaivan yang menulis begitu? Too good to be true."
Savannah mengangguk lagi. Seketika aku tertegun. Manis dan sopan sekali. Sejak hubunganku renggang dengan Axel, memang hampir selalu Kaivan mencoba menghibur. Padahal awalnya kami saling tak mengenal dan aku nyaris berpikir buruk dengannya. Mendadak, aku merasa pipiku memanas dengan tak wajar.
"Sekarang, apa yang harus kulakukan?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top