Bab 9
***
Dua pekan setelah Naura menerima kabar bahwa dia memulai pekerjaannya sebagai pengasuh. Naura menjalani pekerjaan barunya selama tiga hari. Di hari pertama, Naura mengantar Toni ke sekolah. Untung dalam tiga hari tersebut Naura bisa cepat berbaur dengan anak kecil. Bahkan Naura senang melihat sikap Toni yang beda dari anak-anak pada umumnya. Toni yang sopan dan penurut menjadi nilai plus.
Melihat anak dosennya justru teringat akan sang kakak, Aurel. Malahan semua sikap tersebut persis sama dengan Aurel. Namun hal tersebut hanyalah sepintas ingatan. Naura bahkan belum bertemu dengan Aurel. Putus komunikasi adalah hambatannya. Berharap saja Aurel baik-baik saja dan Aurel bahagia bertemu dengannya.
Di hari keempat, Naura punya jam tugas di malam hari untuk menjaga Toni. Lebih tepatnya, mengajak Toni jalan-jalan. Karena Toni punya tabungan yang disimpan sang ayah untuk dibelikan mainan dan Naura harus pilih. Toni tidak mempermasalahkan jenis mainan asal Naura yang memutuskan. Begitu cepat anak kecil itu akrab dengan Naura.
Kini Naura berada di kampus untuk menjalani perkuliahan. Beruntung pula Naura tidak izin lagi ke dosen tertentu sehingga tidak menghambat pembelajaran.
Setelah mata kuliah Pemrograman Web, Naura memutuskan untuk ke kantin yang berada di belakang gedung fakultas manajemen dan bisnis digital. Tanpa sengaja, Naura melihat pria berbadan tinggi lengkap suit vest warna biru tua menempel sempurna di tubuh. Jalannya begitu cepat sehingga Naura inisiatif menyapa.
"Pak Rindra?" Naura memanggil, otomatis Rindra menghentikan langkah dan menoleh. "Bapak mau ke kantin? Kebetulan, saya juga ingin ke kantin."
Rindra tak menjawab hanya anggukan sebagai tanggapan. Lalu kakinya mengayun kembali lurus ke depan untuk masuk ke wilayah kantin. Naura mengekori.
"Kamu ingat nggak apa tugas yang saya berikan untuk kamu?" tanya Rindra spontan ketika menyadari Naura ada di belakangnya ikut mengantri.
"Ingat, pak. Mengajak Toni jalan-jalan dan memilihkan mainan untuknya."
Rindra melenggut. "Baguslah, kamu nggak lupa." Tanggapannya barusan disambut tawa pelan dari Naura.
"Setiap tugas ya saya catat di ponsel, pak. Tentunya saya tidak lupa, hehe." Naura berujar sekadar mengingatkan dosennya.
Rindra berdiri di depan kedai untuk membeli semangkuk mie bakso, sementara Naura tetap di posisi belakang sang dosen.
"Sama tugas kedua yang buat visual audio. Nggak lupa, kan?" Lagi-lagi Rindra bertanya memastikan. "Saya tuh begini agar kamu tidak teledor seperti sebelumnya."
"Tugasnya diberikan sehari lalu, tidak ada alasan bagi saya untuk lupa, pak." Naura kembali mengingatkan bahwa dirinya bakal selalu ingat apa yang Rindra perintahkan padanya.
"Bagus. Begitulah seharusnya."
"Bapak ini masih nggak percaya saya ya?" Naura bertanya memastikan pikiran Rindra terbuka. "Saya gini-gini nggak akan lupa sama semua hal."
"Yang kamu jawab asal-asalan terus ngumpulnya dua jam sebelum deadline itu apa, hah?" Rindra mengingatkan kesalahan besar Naura bahkan sambil meluapkan amarah ringan.
"Iya deh, pak. Tapi tetap, saya berubah semenjak kerja sama Bapak," jelas Naura percaya diri.
Rindra tak lagi menanggapi. Begitu mendapat giliran setelah mengantri cukup panjang, dia langsung memesan satu mangkuk bakso dengan mie.
"Kamu gimana? Mau bakso?" tawar Rindra menoleh ke belakang, memanggil mahasiswinya.
Naura mendadak terperanjat. "Hah? Bapak mau ... traktir saya?"
"Iya, saya traktir. Tapi saya potong uang yang saya berikan nanti. Otomatis, gajimu ya saya gunakan untuk beli bakso." Rindra seperti bermain dalam suasana, dia berucap seperti itu agar Naura jadi cemas.
"Eh, jadi Bapak nggak traktir saya nih?" Naura tak canggung memegang lengan Rindra. "Nggak mungkin traktirannya Bapak malah masuk ke gaji yang bakal Bapak berikan ke saya. Kali-kali gitu."
Rindra mengulum senyum pelan beberapa detik kemudian. "Saya bercanda. Jangan panik gitulah." Tangan berurat Rindra melepas genggaman tangan halus Naura. "Saya traktir, karena kamu sudah membuat anak saya senang dan mudah akrab sama kamu."
"Yeay!" sorak Naura tidak terlalu kencang.
"Asal, kerja yang benar. Jangan teledor lagi, mengerti?"
"Siap, Pak! Laksanakan!" Naura berlagak seperti anak buah yang menerima perintah sang atasan. Melihat itu, Rindra hanya menggelengkan kepala.
"Cepetan, mau yang mana?" desak Rindra meminta Naura pilih menu yang dia suka.
"Emm ... mie pangsit bakso." Naura memajukan langkah dan menyebut pesanannya.
"Baik, nanti diantarkan ya," sahut bapak penjual bakso dengan handuk kecil di leher dan topi bucket di kepala.
"Ayo, ikut saya." Rindra memberikan perintah untuk mengikutinya lalu melenggang pergi seolah membuat Naura mengekorinya.
Naura sungguh mengikuti langkah Rindra dan duduk di pojok sebelah kiri dekat kedai minuman. Mereka duduk berhadapan seraya menunggu makanan datang.
"Oh iya, tampaknya kamu masih sering ke U-tion," celetuk Rindra tiba-tiba. "Kamu kangen sama tempat kerja kamu?"
Bukan tanpa alasan Rindra bertanya seperti itu. Belum lama Naura jadi pengasuh, gadis itu sering beli susu cokelat kemasan di minimarket tempatnya bekerja. Pun hampir tiap hari membelinya untuk putranya. Pantas kantong kresek berlogo U warna ungu jadi berserakan di rumahnya.
"Yah, sekadar temu kangen aja sama Kania. Walau saya sudah lepas kewajiban di sana," jawab Naura diikuti ekspresi melesu.
"Kalau diingat kamu itu bahkan berbuat nekat demi dapat gaji full di sana, sampai izin sakit bohongan." Rindra mulai menggerutu. "Saya selamatkan kamu agar kamu nggak keterusan."
"Iya sih, pak. Memang bos saya pengertian, cuma ya bos saya kadang suka kelewatan ngasih jam kerja. Syukur ketemu bapak."
Rindra berdeham panjang sebagai balasan. Kemudian tanpa aba-aba, Rindra berdiri dari kursi dan menghampiri salah satu kedai minuman di posisi belakang. Rindra ingin memesan dua es jeruk untuknya juga Naura.
Beberapa menit menunggu, Rindra menghampiri mejanya kembali dengan membawa dua gelas pesanannya.
"Kalau saya boleh jujur, Nau. Banyak dosen yang membicarakan kamu sebelum semester ini. Kamu yang paling pintar sefakultas. Terus di awal semester kamu dapat IPK rata-rata 3,97. Ikut lomba desain web lalu lomba coding. Ditambah lagi kamu ikut workshop yang menambah sertifikat kamu." Rindra menyebutkan satu-satu prestasi Naura berdasarkan pembicaraan para dosen.
"Saya lihat-lihat nih, kamu ini punya potensi besar untuk bisa cumlaude di acara wisuda dua tahun ke depan, Nau," ucap Rindra bangga sambil mengangkat kedua jempolnya rendah. "Pokoknya kamu benar-benar jadi panutan. Saya akui itu."
Naura mengulum senyum ringan lalu menanggapi. "Saya juga mengakui hal itu sih, pak."
"Tapi untung, tidak ada yang tahu tentang keburukan kamu," sela Rindra. "Harusnya kamu itu berterima kasih karena saya sudah menutupi semuanya."
"Iya, pak. Saya juga berterima kasih sekali lagi karena Bapak menyelamatkan saya. Intinya, saya ingin lebih kerja keras lagi untuk tugas yang Bapak berikan ke saya."
"Yap, sudah seharusnya begitu." Rindra mengangguk spontan.
Obrolan mereka terjeda begitu bapak penjual bakso tadi membawakan hidangan mereka di nampan.
"Mie pangsit bakso buat neng Naura. Mie bakso komplit buat Bapak Rindra."
Kedua mangkuk bakso sudah tersaji di meja. Mereka berdua spontan menggerakkan sendok dan garpu untuk menyantap makanan.
Entah kenapa, tiba-tiba pandangan Naura tertuju pada Rindra seraya melahap daging bentuk bulat tersebut. Ketampanan dosennya justru terpancar bahkan keringat yang mulai muncul di kening. Membuat Naura jadi tidak bisa melepas tatapannya.
Sekejap Rindra menyadari bahwa dirinya dipelototi begitu lama oleh mahasiswinya. Spontan saja Rindra menjentikkan jarinya.
"Hei, ngapain kamu mandang saya?" tanya Rindra tiba-tiba ketus.
"Hah?" Naura perlahan memanggil kesadarannya. "Nggak, saya nggak natap Bapak kok."
"Jangan bohong kamu," tunjuk Rindra intens. "Jelas-jelas kamu menatap saya."
"Bapak berkeringat tuh." Naura mendadak berkilah lalu kotak tisu diambilnya dan merobek beberapa gulungan tisu tersebut dan memberikannya kepada Rindra. "Seka dulu, pak. Takutnya nanti Bapak terganggu sama keringat apalagi vest Bapak, nanti kotor lagi."
Rindra tak membalas ucapan Naura justru menerima sodoran tisu dari mahasiswinya. Lantas mengelap keringat di bagian kening kemudian lanjut menyantap mie baksonya.
"Tumben perhatian gitu sama dosennya sendiri." Rindra berceletuk lagi. "Apa jangan-jangan kamu mau caper sama saya?"
"Caper? Apanya yang caper sih, pak?" Tawa renyah Naura menjadi balasan. "Saya justru terganggu melihat seseorang di depan saya tiba-tiba berkeringat. Nggak tahu tuh, kayak ... terganggu."
Rindra mendecih kemudian. "Alasan."
"Sudah, pak. Saya mau makan cepat-cepat, saya ada mata kuliah tambahan RPL jam setengah dua siang," desak Naura sambil mengangkat sendok dan garpu di kedua tangan.
"Pak Haidar sempat nggak masuk ya Rabu lalu?" tanya Rindra memastikan.
"Katanya ada kesibukan sih, pak. Makanya beliau menggantinya di hari Kamis. Mumpung jadwal saya juga satu matkul hari ini."
Rindra berdeham panjang tanda memahami jawaban Naura.
"Ngomong-ngomong, Pak Haidar tuh setiap pertemuan pasti dikasih tugas. Benar, kan?" Rindra menebak dan dibenarkan oleh Naura.
"Ih betul, Pak. Justru itu yang saya suka, tapi yah ... informasi tugasnya sih, kadang suka melalui ketua tingkat tanpa beri tahu lebih lanjut pada mahasiswanya. Biasanya beliau begitu," tutur Naura lancar membicarakan dosen pengampu tersebut.
"Memang begitu beliau. Hanya saja, tetap nikmati saja proses belajar mengajarnya. Karena kadang beliau baik kasih nilai A untuk mata kuliahnya, kalau rajin."
"Saya akan tetap rajin, demikian mata kuliah lainnya." Naura mengacungkan kepalan tangannya bertekad.
"Termasuk mata kuliah saya, kan?"
Naura tertawa memperlihatkan giginya yang bersih. "Ya iya dong, pak. Termasuk Multimedia Lanjutan yang diampu oleh Bapak Rindra Hartawan, S.Kom., M.Kom."
Mendengar itu membuat Rindra menampakkan senyum diikuti tawa pelan. "Kamu ini hafal betul ya gelar saya."
"Ya kan tercatat di jadwal kuliah saya."
Gelengan kepala menjadi tanggapan Rindra kini. "Sudah, lebih baik cepat makannnya. Katanya ada kuliah lagi, kan?"
"Iya, pak. Siap."
***
Malam setelah tiga mata kuliah yang untung Naura bisa ikut semua, Naura pun langsung ke rumah Rindra untuk menunggu Toni bersiap.
Naura tentu naik ojek daring alih-alih diantar Rindra. Mustahil saja, Naura enggan merepotkan dosennya.
Sesampainya di sana, Naura dipersilakan untuk duduk di ruang tamu. Naura tak perlu lagi melihat seisi rumah besar milik Rindra sebab dia pernah berkunjung di hari pertama bekerja.
Seraya menunggu, Naura curi-curi kesempatan menelaah seisi rumah. Seperti rumah pada umumnya, di bagian ruang tamu disediakan taplak meja serta toples berisi kue-kue yang sengaja ditaruh sebagai sajian para tamu. Lalu sofa panjang juga sofa single berseberangan dengan jarak dekat. Sofa yang dia duduki termasuk empuk, apalagi warna abu-abu terang yang menurutnya cocok.
Selagi mengelilingi pandangan, tiba-tiba Naura melihat sesuatu di sekitar lemari penyimpanan barang-barang pecah belah. Ada foto Rindra bersama seorang wanita di samping. Dari jauh Naura sudah menebaknya bahwa memang adalah wanita.
Spontan saja, Naura berdiri dari tempat duduknya. Mendekat perlahan foto bingkai kecil itu. Naura penasaran siapa mendiang istri Rindra. Sekadar informasi, Naura sudah tahu semua hal tentang keluarga Rindra bahkan Rindra sendiri cerita banyak pada Naura saat hari pertamanya kerja sebagai pengasuh.
"Gue penasaran, siapa sih mendiang istrinya Pak Rindra?" Naura membatin, seraya kakinya mengayun begitu pelan mendekat kepada satu bingkai foto yang ditaruh di dekat pintu lemari.
Saat jaraknya pada lemari makin mengikis, suara teguran seorang laki-laki membuyarkan niat Naura.
"Ngapain kamu dekat-dekat lemari?" tanya Rindra saat tahu Naura mendekati satu bingkai foto dirinya dan sang istri.
Naura menoleh. Rindra menggunakan kemeja polos sebagai pakaian untuk keluar, sementara Toni menggunakan kaos warna kuning terang dan celana denim serta sepatu putih. Ketika tahu mereka sudah bersiap, Naura justru gugup.
"Bapak sudah mau jalan?" Naura mengalihkan suasana.
"Barusan itu tadi ngapain? Lihat-lihat foto mendiang istri saya?" Rindra bertanya serius sambil berkacak pinggang.
"Ng–nggak kok, Pak." Kedua tangan Naura mengibas. "Saya cuma penasaran dengan gelas yang ada dalam lemari itu. Sepertinya bagus."
Rindra mengalihkan pandangan pada hal yang ditunjuk Naura. Apa mungkin Naura tidak penasaran dengan gelas tersebut melainkan foto yang dipasang di salah satu sela?
'Mustahil. Naura juga bukan orang kepoan.'
"Kamu temani Toni belanja. Tapi saya tetap mengawasi," jelas Rindra memberikan instruksi. "Terus saya kasih kamu kartu debit, tabungannya Toni. Isinya sejuta."
Naura mengangguk bak robot. "Iya. Baik, pak."
Merasa tidak ada lagi obrolan, Naura pun mengekori Rindra yang mulai meninggalkan ruang tamu dan beranjak menuju garasi.
Sembari masuk dalam mobil lalu duduk di kursi belakang, Naura mendadak kepikiran sesuatu. Matanya yang tajam justru terlihat jelas siapa sosok mendiang istri Rindra.
'Kok waktu gue mendekat ke foto itu, wanita di samping Pak Rindra itu ... seperti Kak Aurel?'
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top