Bab 68 (End)
***
"Tunggu, tunggu. Apa ini? Kok kita ada di rooftop cafe, Pak?" tanya Naura heran sekaligus berdecak kagum kala melihat pemandangan berupa awan yang menggumpal serta langit biru yang memanjakan mata. Ini tepat jam tiga sore, waktu di mana Naura telah melaksanakan ujian tengah semester untuk matkul Kreatif Digital. Memang tak terasa, tahu-tahu Naura sudah UTS di pertemuan kuliahnya ke-delapan.
Rindra yang mengenakan kemeja putih serta vest warna hitam kebiru-biruan itu tampak memasukkan kedua tangan di saku celana, kemudian mengulum senyum ringan seraya mengambil posisi tepat di belakang Naura.
"Kamu suka? Ini saya sengaja reservasi dari pagi-pagi banget hanya demi bisa saya ajak ke sini," jelas Rindra yang membuat Naura jadi tercengang.
"Se-effort banget ya, Bapak Rindra Hartawan ini." Naura tak ragu mengacungkan satu jempolnya ketika Rindra melangkah lurus untuk berdiri di sampingnya dan menikmatinya indahnya sore.
"Gimana UTS-nya? Lancar, kan?" Rindra bertanya. "Maksud saya yang sebelum Kreatif Digital. Kamu kan UTS matkul Riset Operasi. Yang saya tahu itu agak susah dan harus hitung banyak rumus, kayak ngerjain matematika."
Rindra tahu Naura pasti bisa melewati semuanya, termasuk Kreatif Digital barusan. Pun lagi dan lagi, Naura mendapatkan benefit istimewa yaitu bisa mendapatkan bocoran soal dari Rindra. Sama seperti semester lalu.
"Yah, rumit sih." Naura berucap pelan. "Cuman ada satu soal yang tidak masuk dalam kisi-kisi yang sempat diberikan Pak Haidar. Untunglah saya ngerjainnya tanpa hambatan."
"Tapi itu open-book loh. Pak Haidar diminta mahasiswa bebas membuka apa pun, asal bukan kunci jawaban. Kamu pasti contek rumus di internet ya."
"Hmm ..." Naura melangkah agak maju ke depan agar menyesuaikan dengan Rindra di samping. "Iya. Lagipula anak sepintar saya pun butuh referensi di internet kalau mau cari jawaban. Kapasitas otak saya kayaknya agak menurun."
Rindra sadar dirinya juga dikenal pintar dan dia tak pernah melakukan hal yang namanya mencontek referensi di internet. Mungkin anak-anak sekarang banyak yang melakukan itu, tak jarang pula mereka curi kesempatan membuka galeri dan mencari kunci jawaban yang sudah difoto sebelumnya.
Namun Rindra dan Aurel dulu adalah pasangan yang punya otak encer. Rindra sendiri mendapat IPK bagus di S2-nya. Hampir mencapai 4.00. Rindra akui hasil yang didapatkannya adalah hasil menguras otak setelah belajar berjam-jam. Tak pernah satu kalipun menyentuh ponsel atau referensi lain. Sekalipun dosen diminta open-book pada sesi ujian, Rindra tidak mau membuka buku. Dia bergantung pada ingatannya yang terisi beberapa materi.
Memang pantas Rindra dikenal sebagai dosen terpintar di kampus. Rindra menjadi role-model mahasiswa lain, merasa terinspirasi dengan Rindra. Tak heran, Rindra perlahan mulai mengenalkan dirinya di sosial media dengan membangun personal branding sendiri. Lama kelamaan bila ditekuni, Rindra bisa menjadi influencer.
"Tumben banget, Nau. Kamu malah contek referensi," ucap Rindra heran, sambil menatap pemandangan kota dari atas. "Dulu waktu matkul Multimedia Kreatif, kamu bisa tuh ngerjain soal tanpa lihat buku atau hape. Sekalipun saya minta buat open-book."
"Cih. Kan matkul itu cuma teori tok. Nggak ada hitungannya. Sementara Riset Operasi? Mana harus baca soalnya yang agak panjang, terus hafalin rumuslah. Kalau ada yang nggak masuk kisi-kisi gimana? Saya nggak selalu loh mencatat apa yang dijelaskan Pak Haidar."
Rindra tertawa ringan lalu menanggapi. "Wajarlah. Kan kita tahu gimana Pak Haidar. Bahkan saat semester lalu beliau mengajar RPL."
"Iya sih. Saya agak lupaan dosennya seperti apa."
Selanjutnya Naura menghela napas, sembari menikmati indahnya angin sepoi-sepoi di sore hari. Tidak salah Rindra memilih rooftop cafe yang menyediakan berbagai macam pernak-pernik yang berkaitan dengan lingkungan. Sudah pasti, beberapa yang berwarna hijau memanjakan matanya. Belum lagi ada rumput artificial di pojok kiri. Lalu beberapa tanaman yang disusun cantik berderetan. Membuat Naura seakan mencuci mata.
"Oh ya, Nau. Tujuan saya bawa kamu ke sini, bukan tanpa alasan." Rindra mulai memutar tubuhnya 90 derajat, meminta Naura untuk ikut memutar tubuh hingga mereka saling menatap. "Mungkin kalau saya ulur-ulurin, bakal tambah canggung nantinya."
"Canggung ... kenapa, pak?" tanya Naura memasang wajah lugu, tidak tahu apa-apa.
"Meskipun nanti tahu kamu nggak bakal balas perasaan saya, tapi saya sangat percaya diri. Terlebih kamu juga merasa nyaman bila berada sama saya."
Langsung saja Rindra menurunkan tubuhnya, lalu merogoh sesuatu dari saku celana kemudian mengeluarkan beludru kecil warna merah.
Naura yang sedari tadi melihat tindakan Rindra itu spontan peka terhadap apa yang ingin dilakukan dosennya itu. Pasti dia ingin mengakui perasaan.
Rindra mendongakkan kepala, lalu menunjukkan beludru warna merah tersebut dan membuka isinya. Memperlihatkan satu cincin perak yang menegak di dalamnya.
"Kamu mau menikah sama saya?" tanya Rindra dengan kepercayaan diri penuh.
Seketika itu juga hati Naura berdegup kencang. Tidak kebayang seorang Naura yang awalnya asing tiba-tiba menjadi keluarga, kemudian mengetahui kebenaran kakaknya.
Memang awalnya Naura enggan membalas perasaan Rindra, meskipun dia sempat mengagumi ketampanan yang dimiliki Rindra. Terlebih saat Rindra bermain bulu tangkis bersama papanya. Dia terus-terus memuji Rindra, bahkan dia menanyakan kondisi Rindra setelah sembuh dari sakit. Tapi yang dilakukan semua itu adalah murni kepeduliannya sebagai seorang keluarga, bukan hal lain.
Tetapi kini, dia ingin mempertimbangkan apa perlu mengubah status dari adik ipar seorang dosen menjadi istri seorang dosen? Rasanya itu terlalu cepat, mengingat umurnya yang masih terbilang belia. Walaupun usianya kini hampir mencapai 21 tahun. Sementara Rindra, usianya kepala tiga. Perbandingan yang agak jauh menurutnya.
Teringat lagi ketika Naura sempat bertemu 'Aurel' dan kakaknya itu meminta sesuatu yang mungkin harus dituruti Naura.
"Jika kamu siap. Kamu ... jadi pengganti Kakak ya. Jadi istrinya Mas Rindra."
Tentu jawaban yang Naura berikan adalah dia harus siap terlebih dulu. Dia ingin meraih impian dan mengenali Rindra lebih dalam dan memaklumi kebiasaan. Dia harus beradaptasi.
"Suatu saat, jika Mas Rindra merasakan hal yang sama, maka tidak ada alasan lagi untuk tidak bersatu."
"Kok kamu diam?" tanya Rindra yang peka terhadap Naura yang masih mengatup mulut, belum mengeluarkan balasan apa pun.
"Emm, untuk saat ini, boleh." Naura menjawab tanpa ragu. "Hanya saja--sekali lagi, saya masih punya banyak impian yang belum saya wujudkan. Termasuk ingin S2 di luar kota, terus mau cari pekerjaan yang layak. Pengen kerja di gedung perkantoran. Terus, mau S3 lagi. Mau dapat gelar doktor, terus ..."
"Terus! Terus saja bahas impian!" RIndra spontan berseru seraya menegakkan tubuhnya untuk berdiri. "Nanti keburu Toni udah SMA, gimana?" Rindra bertanya agak ketus. Beludru tadi langsung dimasukkan ke dalam kantong celana.
"Hadeuh ..." Naura menghela napas pasrah. "Ya udah gini aja deh. Saya, memang suka sama Bapak. Saya mau juga dicintai sama Bapak, sama seperti Bapak yang mencintai Kak Aurel dengan sepenuh hati. Cuman, saya nggak mau mengorbankan impian saya, pak. Kalau saya jadi istri Bapak dan Bapak minta hal lebih, bagaimana? Saya belum siap dengan semua itu."
Tentu Naura tahu maksud hal lebih itu seperti apa, hanya saja dia enggan mengumbarnya lebih detail.
"Justru ..." Satu tangannya kini ditaruh di atas kepala Naura. "Kamu tuh harusnya bilang iya aja dulu. Baru boleh kamu melakukan apa pun yang kamu mau. Bilang 'iya', coba."
Kini Rindra memperlakukan Naura bak anak kecil. Mode seorang kakak atau abang sedang bekerja sekarang.
"Iya." Naura menjawab mengikuti arahan Rindra tadi.
"Nah, gitu dong dari tadi." Rindra mengacak rambut Naura secara gemas. "Cincinnya, kamu boleh ambil."
Tak lupa beludru yang barusan dimasukkan ke dalam saku celana, dikeluarkannya lagi dan memberikan kepada Naura.
"Cincinnya amankan dulu," pinta Rindra. "Terus ada lagi yang mau saya ucapkan ke kamu."
Naura menurut, lalu memasukkan beludru tersebut ke tas selempang miliknya. "Apalagi, pak?"
"Aturan penting, yang harus kamu turuti." Rindra memberi sedikit ancaman sembari mengacung telunjuknya, tak lupa dengan sorotan agak menajam, membidik tepat ke arah mata Naura. "Di luar kampus, jangan panggil saya 'pak'. Sekali lagi, jangan panggil saya 'pak'. Panggil saya Kak Rindra. Bukannya juga saya ingetin kamu waktu dua pekan lalu setelah acara makan siang?"
"Saya terlalu menghargai Bapak sebagai dosen." Naura menjawab tanpa sama sekali mendengar arahan Rindra tadi.
"Eh, bilang apa tadi?"
"Ba-- Kak. Kak Rindra."
"Karena kamu masih mau ngejar impian, saya pengen ... kita berdua ... jadi saudara. Walau nggak satu darah, tapi kita harus berbuat selayaknya kakak-adik pada umumnya. Karena mengingat saya anak tunggal dan saya sangat pengen punya adik, jadi saya pilih kamu."
Rindra langsung mengangkat satu tangan, mengulurkan punggung tangan dan mengajak Naura untuk salaman. Tak lupa mematri senyuman hangat yang membuat ketampanan Rindra makin terpancar.
"Selamat, Naura Aneisha! Sekarang kamu sudah menjadi adik saya! Kamu adalah adiknya Rindra Hartawan."
Naura menyimak antusias Rindra tadi. Lalu karena senyuman dari Rindra yang terlalu cerah membuat Naura juga ikut tertular senyuman itu. Dia menarik bibirnya mengulum senyum ringan.
"Jadi papa, papa gimana?" tanya Naura memastikan status Hendra kini.
"Anggap papa adalah papa kita. Jadi saya bukan anak tunggal lagi, melainkan saya anak pertama. Saya anak sulung." Rindra menjawab dengan kepercayaan diri yang sangat tinggi, bahkan dia memukul dadanya dengan kepalan tangan. Semangat Rindra membara sekarang.
"Wah, benar-benar. Berarti saya sudah resmi jadi keluarganya Pak Hendra Budiman." Naura berucap antusias kemudian senyuman ringan tadi berubah menjadi senyuman merekah. Bahkan deretan gigi bersihnya kelihatan.
"Ngomong-ngomong, papa sama mama Yul mau nikah dalam waktu dekat. Rupanya berjalan cepat dari yang direncanakan." Rindra memberikan sesuatu lagi berupa kertas undangan dikemas plastik, menyodorkannya langsung kepada Naura.
Naura menilik nama kedua mempelai, yang tercetak jelas di bagian depan. "Hendra & Yulianti."
"Papa dan sifat bulolnya kadang di luar kendali," celetuk Rindra sembari menggelengkan kepalanya. "Maka itu artinya adalah, Yulianti juga mama saya."
"Benar-benar waktu nggak terasa ya. Semua berjalan tanpa kita sadari." Naura tentu mengucapkan hal itu disertai rasa syukur. Karena dalam waktu dekat dia sudah semester tujuh atau semester akhir. Dia pun harus menentukan judul skripsi ke depan, terus mengikuti masa magang, dan lain-lain selama itu berproses.
"Saya akan bantu kamu dalam hal apa pun." Sekali lagi Rindra berceletuk, seakan ingin memberikan hiburan untuk Naura. "Saya jaminkan kebutuhan akademis kamu terpenuhi. Asalkan, kamu harus bersungguh-sungguh melakukannya."
"Sudah pasti dong, pak. Kan impian itu harus dibarengi dengan usaha. Jangan lupa juga berdoa." Naura berucap bijak, hingga memicu Rindra untuk berbuat sesuatu yang lain. Yang mungkin juga jarang dilakukan.
"Gemes banget adiknya Kak Rindra ini." Rindra mencubit pipi berisi milik Naura. Yang membuat Naura agak terkejut.
"Eh, apa nih cubit-cubit?" tanya Naura protes, lalu menepis tangan berurat Rindra agar tidak lagi mengenai pipi meronanya. "Tahu nggak wajah saya ini selalu dirawat. Malah sentuh-sentuh lagi."
Sebagai balasan, Naura yang berniat iseng itu langsung menjitak kepala Rindra, tepatnya di bagian kening. Tentu dia ingin lakukan semata-mata ingin jahil kepada sang kakak. Dia benar-benar mendedikasikan dirinya menjadi adik seorang Rindra.
"Aww!!!! Sakit!" eluh Rindra langsung memegang keningnya. "Berani banget kamu sama abangnya sendiri."
"Ayo kejar saya kalau berani." Naura menantang sambil menjulurkan lidah sedikit, lalu menjauh seraya berlari, niat memancing Rindra untuk main kejar-kejaran bersamanya. "Ayo, Pak. Sini kalau berani."
"Pak?" Rindra agak meninggikan suaranya, kemudian tiba-tiba dia menyisingkan lengannya ingin menerima tantangan dari Naura. "Awas kamu ya. Saya kejar kamu sampai dapat."
"Ayo, sini."
Lalu sejenak, Naura tertawa kencang begitu Rindra berhasil mencoba menghadang pergerakan Naura. Rindra ikut tertawa karena mereka murni melakukannya cuma ingin bermain kejar-kejaran.
Naura kali ini merasakan kebahagiaann yang amat membuncah. Justru, dengan sedikit keberanian, yang awalnya tidak mengenal Rindra dengan baik, jadi lebih banyak tahu tentang Rindra juga keluarganya. Membuat Naura pun diterima oleh semua keluarga, termasuk Rindra.
Begitu pula Rindra. Bahkan Rindra juga merasakan hal yang sama. Selagi berkabung atas Aurel, dia sangat kesepian. Hanya papa mertuanya serta Toni yang menjadi hiburan. Pun belum secerah ketika ada Naura di rumahnya. Rindra harus akui, Naura benar-benar membawa pelangi yang indah. Maka sudah sepantasnya, Rindra harus memperlakukan Naura dengan baik. Menjadi kakak sekaligus pelindung buat Naura. Rindra perlu menjalani peran ini dengan baik, sebelum melangkah lebih jauh lagi.
Kini mereka masih menikmati peran sebagai kakak-adik yang saling menjahili. Mereka terhanyut dalam tawa yang menggema, kala Rindra berhasil dengan permainan kejar-kejarannya. Mereka mengubah permainan dengan melakukan batu, gunting, kertas. Yang kalah akan memesan sesuatu buat si pemenang. Sangat seru mereka melakukannya.
Impian Naura akan terus berjalan. Selagi mendapatkan keluarga yang baik, Naura tetap konsisten dalam akademisnya. Dia ingin berusaha lebih keras, agar dirinya berhasil meraih impian tanpa hambatan.
Semoga ... aku terus bahagia, bersama kalian. Kak Rindra, Toni, mama, dan papa.
TAMAT
***
Yeay, satu lagi ceritaku yang sudah tamat.
Terima kasih banyak sudah membaca Closer Distance sampai selesai. See you on my next project. ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top