Bab 67 #2
***
"Tunggu, bukannya kita pernah ke sini waktu awal-awal kita menikah, Hend?" tanya Yulianti terkejut begitu berdiri di depan sebuah restoran seafood. Hendra yang mengenakan jas abu-abu sangat rapi, langsung merangkul lengan Yulianti tanpa aba-aba.
"Iya. Kita pernah ke sini waktu Aurel meraih nilai tertinggi di semester akhir kuliahnya. Pas itu kita masih segar-segarnya jadi pengantin baru," ungkapnya sambil tertawa cekikikan. "Ayo kita masuk ke dalam. Soalnya Naura dan Rindra nungguin kita."
Keduanya mulai melangkah memasuki lingkungan restoran. Sebelumnya mobil yang dikendarai Hendra pun terparkir di basement, pun dibantu Eka agar Hendra bisa memasuki restoran. Sekretarisnya itu tidak masuk dalam restoran dan hanya berjaga di pos keamanan.
Menaiki sebuah tangga dan langsung mendorong pintu kaca begitu berada di teras restoran. Pelayan mulai membukakan pintu untuk mereka dan menyebutkan reservasi atas nama Hendra, barulah pelayan yang bertugas di bagian depan mengarahkan meja yang telah dipesan sehari sebelumnya.
Mulai dari langkah pertama membawa mereka masuk ke dalam area foyer yang memukau. Lantai keramik bergaya pasir pantai memberi nuansa alami pada ruang tersebut. Di salah satu sudut, ada pernak pernik unik yang menjadi perhatian para pengunjung.
Langit-langit foyer dihiasi dengan jaring nelayan bseerta kerang-kerang berkilauan dan benda-benda laut lainnya. Cahaya redup dari lampu gantung yang tersembunyi di dalam jaring menciptakan bayangan-bayangan menari di seluruh dinding dan lantai, menciptakan suasana ajaib yang mengingatkan pada malam di tepi pantai.
Hendra sengaja meminta Rindra untuk duluan saja ke restoran, kemudian kata Yulianti juga meminta Naura pergi lebih dulu dan sudah pasti mereka telah berada di dalam restoran, menunggu si pemilik reservasi datang menghampiri meja.
"Nah, itu mereka." Benar dugaan Hendra, ada tiga orang yang duduk di sisi kanan meja. Ada Naura, Rindra, juga Toni yang duduk berderetan. Barulah mereka ikut mengambil tempat di sisi kiri, sehingga mereka saling berhadapan.
"Tumben mama bisa seromantis itu sama papa," kata Naura tanpa canggung. "Pantas mama nyuruh Naura buat pergi duluan, ternyata janjian ya sama papa."
Hendra terkekeh pelan, kemudian tak ragu merangkul lengan Yulianti. Biarkan tindakannya itu jadi ajang pamer. Toh mereka juga tahu kalau Hendra dan Yulianti sedang memasuki proses rujuk, dan tinggal selangkah lagi mereka bakal jadi suami-istri seperti dulu.
"As always, papa dengan sifat bulolnya," sindir Naura langsung tertawa ringan. "Tapi, ada anak kecil loh, pa. Jangan kayak gitu, nanti malu dilihat cucu sendiri."
"Biarin, papa mau romantis, nggak mau kalah dari menantunya papa." Hendra tak ragu menjulurkan lidahnya ke Naura dan itu memicu Toni buat mengeluarkan tawanya. Toni merasa lucu melihat sikap sang kakek yang tidak biasa.
"Oh iya, kamu ... mau UTS ya pekan depan?" tanya Yulianti memastikan, mengalihkan topik pembicaraan.
"Masih dua atau tiga pekan lagi, ma," jawab Naura cepat. "Kalau nggak ada halangan, mungkin dua pekan."
"Wah, waktu nggak terasa banget ya." Yulianti berdecak kagum, lalu pandangannya mulai mengarah pada anak kecil yang duduk tepat di seberangnya.
"Halo, cucu nenek. Ganteng banget kamu hari ini." Yulianti melambaikan tangan pelan pada Toni yang mengenakan kaos lengan panjang garis-garis.
Toni yang kurang terbiasa akrab dengan Yulianti justru menoleh ke ayahnya. Malah, respon Rindra hanyalah anggukan paham.
"Sapa aja. Dia orang baik." Rindra memberikan pesan. "Kamu sudah lihat nenek Yulianti minta maaf, kan?"
Sudah sepantasnya dia menanyakan hal itu, ketika Yulianti datang ke rumahnya dan meminta maaf, Toni tak sengaja melihat pemandangan tersebut di ruang tamu dan membuat rasa penasaran Toni membuncah kala itu. Untunglah Rindra menjawabnya dan Toni jadi menyimpulkan bahwa Yulianti bukanlah orang yang buruk.
"Berapa umurnya anak kamu ini, nak?" tanya Yulianti pada Rindra.
"Tahun ini udah mau tujuh tahun," jawabnya sambil mengacak gemas rambut Toni.
"Berarti dia bakal naik kelas ya." Yulianti kembali berinteraksi pada Toni. "Toni, kalau misalnya kamu bisa dapat nilai tinggi dan naik kelas, mau hadiah apa dari nenek?"
Ditanyai seperti itu membuat Toni hanya menatap Yulianti tanpa berucap sesuatu. Bahkan ada keraguan yang terpatri di wajah mungilnya.
"Nak. Itu ditanya sama nenek," desak Rindra pelan, setelah sempat Toni menoleh padanya.
"Mau mobil-mobilan." Toni menjawab sedikit terbata-bata.
"Baik, apa pun buat cucu nenek yang ganteng ini." Tak ragu Yulianti memuji. Kemudian sekali lagi Rindra mengangguk memaklumi. Barulah setelah itu, Toni hanya membalas dengan anggukan kaku.
"Sepertinya Toni belum terbiasa bertemu dengan Anda," ucap Rindra serius. "Paling kalau Anda ingin akrab lebih lanjut dengan Toni, pasti Toni akan suka. Cuma untuk saat ini, Toni masih agak ragu-ragu. Mungkin masih perlu penyesuaian."
"Papa telepon Eka aja. Suruh ke sini dan bawa keluar Toni." Hendra dengan sigap meraih ponselnya di atas meja dan menelepon sekretarisnya untuk segera memasuki restoran. Toni perlu menenangkan diri agar tidak terbiasa bersikap canggung di hadapan orang asing.
Beruntung tak berapa lama, pria tinggi dengan jas hitam menghampiri meja. Lalu Rindra meminta Eka untuk menjaga Toni baik-baik.
"Ayo ikut sama Om." Eka mengulurkan tangan sambil membungkuk.
Dengan cepat Toni menerima ajakan Eka dan langsung saja melenggang pergi dari dalam restoran.
"Anda harus tahu, Bu Yul." Rindra berceletuk, menatap intens Yulianti yang berada di arah jam 1 tempatnya duduk. "Toni itu sifatnya menurun ke Aurel. Penurut, baik, dan ramah. Hanya saja karena Anda masih belum terlalu akrab dengan Toni, wajar kalau Toni masih merasa canggung. Lagipula sebelumnya, Anda sempat datang ke rumah sebelum meminta maaf dan marah-marah di ruang tamu. Tentunya, itu kesan pertama yang buruk buat Toni."
"Betul, ma." Naura menyetujui pendapat Rindra. "Sebaiknya mama harus lebih bekerja keras menciptakan interaksi baik dengan cucu mama sendiri."
Yulianti menghela napas berat sambil menanggapi. "Yang terpenting adalah, mama sudah menebus kesalahan yang telah mama lakukan ke kamu. Bahkan ke Hendra, dan ... Pak Rindra."
Situasi mendadak hening. Meski tahu bahwa Yulianti diterima oleh Hendra juga keluarganya, Yulianti tetap merasa bersalah. Bahkan menciptakan kesan buruk saat pertama berpapasan dengan Rindra.
Namun sekali lagi, kesalahan mereka telah dimaafkan Hendra. Bahkan Naura dan Rindra. Tinggal usahanya yang tidak boleh kendor, termasuk dia harus mengakrabkan diri kepada Toni. Yang juga merupakan cucunya.
Agar tidak terlalu monoton, Hendra pun mengendalikan obrolan. Tak lupa menyalin nasi serta lauk yang kebetulan baru saja diantarkan oleh pelayan.
"Ngomong-ngomong, Yudha dan Indah, kata mereka jika ada libur kuliah lagi, mereka akan balik ke sini untuk liburan. Lagipula kita kan baru habis dari Toronto, bawain oleh-oleh. Jadi kedatangan mereka haruslah lebih berharga dibanding kita."
"Untuk rumah, biar rumahku aja yang jadi tempat menginap. Nggak perlu sewa hotel. Mereka tidur di kamar yang sebelumnya Naura tempati," kata Rindra memberikan usulan.
"Boleh juga. Pun, mereka nggak lama lagi studinya bakal selesai. Jadi mereka bisa langsung pulang ke Semarang."
Hendra terlalu menikmati obrolan dengan sang menantu sampai lupa ada Naura di samping Rindra. Tiba-tiba dengan ide cemerlang, Hendra menanyakan sesuatu sekali lagi pada Rindra.
"Oh iya, hubungan kamu dengan Naura, bagiaimana?" Hendra mengerling di antara keduanya sambil menopang dagu pada kedua punggung tangan.
Mereka berdua saling melempar tatapan, justru bingung menjawab pertanyaan dari Hendra.
"Yah seperti biasanya sih, pa," jawab Rindra santai. "Dia jadi asistenku sekarang. Kalau aku sibuk, dia bisa menggantikanku mengajar."
"Oh ya, mata kuliah apa?" tanya Hendra penasaran, malahan dia tidak diberitahu sama sekali oleh Rindra maupun Naura.
"Kreatif Digital. Termasuk mata kuliah pilihan yang Naura pilih sebagai konsentrasi. Aku dapat matkul itu dan malah ketemu Naura lagi di semester genap."
"Sudah takdirnya begitu, nak." Hendra makin memancing-mancing dengan menyinggung takdir. "Entahlah nanti kalau saja, kamu yang jadi pembimbing skripsinya Naura. Bakal gimana?"
"Aduh, udah deh, pa." Rindra meminta Hendra menyudahi ungkit-ungkit soal takdir, malahan dia tertawa dulu sebelumnya. "Jangan menyinggung tentang hal itu, justru sudah jadi kebijakan kampus kok. Aku dapat kelas 6-B. Sama seperti sebelumnya waktu aku ngajar Multimedia Lanjutan."
"Aurel beruntung dapat suami yang baik seperti kamu, nak." Yulianti mendadak berceletuk, mengalihkan atensi Hendra, Naura, juga Rindra. "Pantas, Aurel seperti mendapatkan kenyamanannya. Meskipun ujung-ujungnya dia tetap mengingat keburukan mama hingga menanggung suatu penyakit yang dideritanya."
"Ma. Justru dengan menikahi Pak Rindra, Kak Aurel merasa sangat senang. Naura belum sempat ketemu dengan Kak Aurel, tapi melihat keluarga ini saja, semua jadi jelas." Naura menuturkan pendapatnya. "Jelas dalam artian, semua baik-baik saja."
"Iya, mama memahami itu." Yulianti tak ragu menggenggam tangan Hendra dan mulai berkomitmen. "Mama janji ke diri mama sendiri, mama akan merangkai ulang kenangan indah yang sempat mama rusak sebelumnya. Dengan rujuk sama Mas Hendra."
"Mas?" Hendra seakan tidak percaya apa yang didengarnya. "Kamu memanggilku dengan sebutan 'Mas'?"
"Kita memulai semuanya, Mas. Sembari melanjutkan menebus kesalahanku kepada kamu, Naura, dan juga nak Rindra."
Yulianti memulai tindakan dengan meraih kepala Hendra dan mencium pipi berkerut itu. Spontan Naura dan Rindra memicu untuk bersorak sambil bertepuk tangan.
"Beruntunglah, melihat papa sama mama langgeng begini, aku jadi merasa senang," ujar Naura merasa bersyukur. "Awalnya Naura nggak mengharapkan apa-apa dengan kalian berdua yang rujuk. Tapi nyatanya di luar ekspektasi Naura. Malah Naura bahagia lihatnya."
"Terima kasih, Naura sayang," balas Yulianti dengan senyuman.
"Ayo makan semua sajian di atas meja ini." Hendra mempersilakan lalu menambahkan sayur kangkung untuk memperlengkap piringnya.
Demikian juga Naura dan Rindra. Mereka pun menyalin nasi dan mengambil beberapa lauk yang tersaji. Tak ada lagi obrolan yang menghiasi, justru menyantap makanan mereka dengan tenang.
Setelah acara makan siang, Hendra dan Yulianti pulang lebih dulu. Sementara Toni ikut sama Naura beserta Rindra.
Mereka berdua berjalan menuju parkiran, demikian juga Toni yang hanya mengekori. Sambil mendekati mobil, tiba-tiba Rindra spontan membukakan pintu untuk Naura. Tak lupa Toni yang langsung menaikkan anaknya ke dalam mobil terlebih dulu, lalu menunggu Naura masuk.
"Kenapa? Kamu nggak terbiasa dengan perlakuan manis saya?" tanya Rindra melempar tatapan tajam pada Naura.
"Ng–nggak kok, pak. Cuman baru kali ini Bapak bukakan pintu untuk saya." Naura langsung masuk dalam mobil, diikuti Rindra yang ikut masuk dan langsung memasang sabuk pengaman.
"Oh iya, pak. Nanti kita boleh singgah ke U-tion? Saya mau beli sesuatu soalnya." Naura meminta dengan pelan. Lalu spontan Rindra mencengkram kemudi sambil menarik napas keras.
"Tolong ya, Naura Aneisha." Rindra menoleh kuat pada Naura, menggunakan mode ketegasannya yang biasa ditunjukkan di depan kelas. "Jangan memanggil saya dengan sebutan 'Pak' kalau di luar kampus. Panggil saya, Kak Rindra. Sudah beberapa kali saya ingatkan tentang itu. Mengerti?"
Alih-alih membuat reaksi ketakutan, Naura justru mengulum senyum sambil melenggut. "Iya. Iya, Saya mengerti. Lagipula saya kan sudah bilang, saya tahu kok, pak. Cuma saya menghargai Bapak sebagai dosen, makanya saya kelewatan memanggil Bapak dengan sebutan."
Naura menyandarkan tubuh di sandaran jok sambil bernapas lega. "Tapi terima kasih loh pak, karena sudah mengingatkan. Saya langsung saja memanggil Kak Rindra. Hanya saja suatu saat, bila saya mendapatkan semua yang saya mau, cepat atau lambat nanti saya akan manggil dengan sebutan Mas Rindra."
"Itu panggilan Aurel kepada saya. Malah jadi teringat, kan?" Rindra tiba-tiba mengulum senyum lalu menyalakan mobilnya untuk keluar dari parkiran restoran.
"Mas Rindra, nanti ke U-tion ya."
Rindra terperanjat mendengar panggilan dari Naura. "Secepat itu?"
Naura spontan tertawa iseng. "Bercanda, Kak. Kak Rindra, ke U-tion ya. Sekalian belikan susu cokelat buat Toni." Naura menoleh ke belakang seraya berinteraksi dengan Toni. "Gimana, Toni? Mau kan tante beliin susu cokelat?"
"Mau, tante!" seru Toni antusias.
"Ayo jalan, pak."
Rindra peka mendengar panggilan itu di ujung kalimat Naura, hingga membuatnya langsung menatap tajam Naura.
"Kak Rindra."
Naura hanya tertawa renyah sembari cekikikan. "Iya, Kak Rindra. Ayo jalan."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top