Bab 64
***
"Kamu mau ngomong apa?" tanya Yulianti sekadar penasaran, sebab barusan Hendra berniat menelepon ingin mengobrol sesuatu padanya.
"Kapan sebaiknya kita rujuk? Kita sudah setuju agar kita balikan seperti dulu. Nah, yang aku tanya itu, kapan? Di momen apa kita ingin merajut hubungan kita?"
Ditanyai seperti itu malah bikin Yulianti gugup seketika. Apa yang membuat Hendra makin semangat? Yulianti belum siap secara mental, namun Hendra justru antusias.
"Aku bilang 'iya' bukan berarti kita harus mempercepat proses rujuknya. Butuh banyak pertimbangan loh," tutur Yulianti lembut. "Belum lagi Naura, belum terima permohonan maafku."
Hendra terdiam di seberang, mungkinkah sedang menjalani aktivitas lain sampai mengabaikan aktivitas meneleponnya?
"Emm, untuk masalah rujuk, aku terima. Keputusanku sudah bulat. Cuman ya, nggak perlu tergesa-gesa." Yulianti berusaha merespon agar Hendra mendengar.
"Iya, Yul. Aku tahu. Ini terjadi secara cepat. Hanya saja, kita perlu kejelasan. Aku tidak boleh menunda-nunda."
Yulianti menggigit bibirnya kini bersikap kebingungan. Yulianti paham Hendra masih punya sisa perasaan untuknya. Tapi bagaimana dengan Yulianti sendiri? Dia mungkin bisa menghargai keputusan Hendra buat rujuk, tapi rasanya untuk mencintai Hendra terasa sulit. Tidak sepenuhnya mudah seperti dulu. Yulianti justru masih merasa bersalah atas Aurel, walau sejatinya dia sudah minta maaf pada Aurel.
Namun sekali lagi, Yulianti tidak memiliki siapapun selain Naura. Memaksa Naura jadi ATM berjalan? Sepertinya itu tidak terlalu etis buat dilakukan. Yulianti enggan membuat orang-orang sekitarnya jadi terbebani akibat keegoisannya, termasuk Naura. Memang jalan satu-satunya adalah rujuk sama Hendra, keuangan serta kebutuhannya pun bakal terjamin.
"Setelah Naura menyelesaikan semester enamnya, baru kita boleh melaksanakan pernikahan. Bagaimana?" Yulianti mengusulkan dengan hati-hati. Harap saja Hendra mengiyakan keputusannya itu.
Beruntung dalam beberapa detik, Hendra langsung menyetujui lewat telepon. Bahkan nada bicaranya makin bersemangat lagi ketimbang awal membuka telepon tadi.
"Baiklah. Itu berarti Naura akan bebas memilih, apakah mau tinggal di rumah Rindra atau di rumahku? Mungkin lebih bagus di rumahku, kamu juga boleh tinggal di sana." Hendra menambahkan saran.
"Terus, gimana rumah yang kutinggali ini? Masa dibiarin?" Yulianti tidak terima apabila rumah yang dia beli dengan jerih payahnya diabaikan begitu saja. Seenaknya Hendra meminta tinggal di rumah megahnya.
"Aku beli. Mau berapa?" tantang Hendra. "Rencana mau aku jadikan penginapan bagi klien luar negeri yang kebetulan ingin menginap. Bagaimana?"
Benar-benar Hendra. Membuat Yulianti berdecak terkejut. Pesona orang kaya sungguhlah di luar nalar. Hendra malah sampai rela membeli rumah Yulianti yang tak seberapa besarnya. Bahkan jauh dari kata megah. Meskipun kebersihannya terawat dan minimalis, namun tidak sebanding dengan rumah Hendra yang biasa dia lihat di internet. Maklum Hendra mulai dikenal khalayak publik karena membuat personal branding di sosial media.
"Ada-ada aja kamu ya. Mentang-mentang situ punya uang banyak," sindir Yulianti lalu mulai mengeluarkan kekehannya meski terasa pelan. "Ah, ngomong-ngomong, gimana keadaan menantuku?"
"Me–menantu?" Hendra spontan bingung dengan pertanyaan Yulianti.
"Duh, Rindra. Masa mantu sendiri nggak kenal?"
"Oh, bilang dong daritadi. Rindra, gitu. Dia baik-baik saja kok. Malah dia masih bercengkrama dengan papa mamanya. Aku nggak bisa ganggu karena dia sangat rindu dengan Yudha dan Indah."
"Kamu ... jadi akrab gitu sama besan. Aku iri jadinya, sampai hafalin namanya pula." Yulianti mendadak mengulum senyum sambil mengontrol nada bicaranya yang sempat meninggi tadi.
"Yah, namanya juga satu keluarga, jadi kami harus saling akrab. Bagaimanapun, meski Aurel sudah tidak ada, Rindra tetap kujadikan menantu," jelas Hendra langsung dibalas helaan napas dari Yulianti.
"Tapi, begitu Rindra dan Naura menikah, hubungan kamu dan Rindra tetap berlanjut sebagai mertua-menantu. Bukan begitu, kan?"
Hendra lama menjawab, kemudian memberikan tanggapannya. "Betul. Tapi juga, kamu akan menjadi istrinya Hendra Budiman dan otomatis kamu juga jadi mertuanya Rindra. Kamu kan mamanya Naura."
"Aku pulang!" Seruan seorang gadis lantas mengalihkan atensi Yulianti lalu menoleh kepalanya ke arah jam 3 dari tempatnya duduk.
Tunggu. Naura? Kenapa dia pulang di rumahnya, bukannya di rumah Rindra? Terlebih di sore jelang petang? Naura dengan pakaian kuliahnya serta tas punggung dan buku yang dipeluk.
"Emm, Hend. Nanti kita teleponan lagi. Naura pulang ke rumah."
"Naura? Ke rumah kamu?"
Yulianti memilih menutup teleponnya, mengabaikan keterkejutan Hendra yang tahu Naura tidak pulang ke rumah Rindra.
"Na–Naura? Kenapa kamu ke sini, nak?" Yulianti berdiri dari kursinya. Bicaranya juga terbata-bata, tak menyangka Naura berinisiatif datang sendiri ke tempat tinggalnya.
"Kamu bukannya ... kamu harusnya pulang ke rumah Rindra." Yulianti masih tak dapat mengendalikan gugupnya. Sekujur tubuh mulai menciptakan getaran. "Kamu ... nggak perlu repot-repot pulang ke sini."
Tanpa aba-aba, Naura perlahan menurunkan tubuhnya hingga berlutut di depan kaki mamanya. Hal itu tak luput dari pandangan Yulianti, dan secara spontan membulatkan kedua matanya atas tindakan Naura terhadapnya.
"Nak, ngapain berlutut? Mama yang salah, nak. Mama yang salah, jangan begini ya nak." Yulianti berusaha melarang Naura, tak lupa menaruh kepeduliannya sembari memegangi kedua lengan Naura. Namun Naura justru enggan berdiri dan tetap berada pada posisinya.
"Ma. Naura sadar Naura keterlaluan sama mama. Maka dari itu, Naura terima permintaan maaf mama. Mungkin saya seperti ini karena Naura merasa bersalah. Tapi bagaimanapun juga, mama tetaplah mama kandungnya Naura. Mama yang melahirkan Naura dan membesarkan Naura sampai sekarang."
Yulianti membiarkan putrinya berbicara meski harus berlutut. Yulianti berdiri tepat di hadapan Naura seraya memasang ekspresi iba di wajahnya.
"Ma. Kalau memang mama mau balik ke papa, silakan. Naura izinin. Toh, papa juga kelihatannya masih cinta sama mama. Mau sekeras apa pun Naura melarang, tetap aja papa kelihatan bucin."
"Nak. Mama sangat ingin rujuk sama papa sambung kamu." Yulianti mulai menurunkan tubuhnya sambil mengelus pundak Naura. "Mama nggak tahan bila harus ikut arisan dan lain-lain. Mau cari kerjaan juga, mama nggak punya kemampuan apa pun. Mama nggak punya gairah buat berjuang. Jadi mama–jika memungkinkan, mama akan jadi ibu rumah tangga yang baik buat kamu juga papa kamu nantinya."
Naura perlahan memajukan tubuhnya dengan berjalan pelan menggunakan tumpuan pahanya baru menarik tangan Yulianti untuk dia peluk secara leluasa.
"Maafkan Naura ya. Maaf kalau Naura sering menyusahkan mama."
Yulianti perlahan sakit mendengar Naura yang meraung meminta maaf. Padahal sejatinya Yulianti-lah yang sangat bersalah. Justru dia pula yang menyusahkan Naura. Naura harusnya tidak pantas meminta maaf padanya. Toh Naura merasa terbebani olehnya.
"Jangan bilang begitu, nak. Mama yang salah. Mama yang sering rampas uang penghasilan kamu. Uang keringat kamu. Mama minta maaf ya, sayang. Mama merasa bersalah sama kamu, nak."
Yulianti menumpahkan tangisannya hingga dialah yang tersedu-sedu sekarang. Yulianti memperkuat pelukannya dan kini dia tengah mengelus kepala putrinya. Sungguh, dia benar-benar berubah. Dia tidak akan lagi menjadi mama yang buruk untuk Naura. Terlalu banyak kesalahan yang telah dilakukannya. Yulianti merasa capek sendiri, terlebih dia sudah menciptakan beban bagi beberapa orang termasuk Hendra.
"Setelah ini, kamu–kamu boleh nikah sama Rindra. Kamu boleh juga tinggal di sana. Mama izinin kamu." Yulianti memegang kedua pipi Naura lalu secara spontan memberikan restu pada Naura apabila putrinya ada niat untuk menikah dengan Rindra.
"Tapi, Naura harus nunggu sampai Naura wisuda, terus Naura harus S2, dan kejar sampai S3. Naura lebih mentingin pendidikan. Lagipula, Pak Rindra itu tetap Naura anggap keluarga. Selain dosen Naura di kampus." Naura bertutur parau.
"Iya, nak. Iya. Mama ngerti." Yulianti membimbing kepala Naura ke dadanya lalu mengelus lengan Naura beberapa kali. "Mama sekali lagi minta maaf ya nak. Mama sudah banyak salah sama kamu."
Naura perlahan merasakan kenyamanan dengan perlakuan baik Yulianti setelah sekian lama. Tidak sia-sia pula Naura datang ke rumah hanya ingin berlutut dan memberikan rasa hormatnya kepada sang mama.
Awalnya Naura enggan untuk menghampiri Yulianti, namun lagi dan lagi atas dorongan dan inisiatif dalam diri, dia pun melakukan niatnya untuk menerima permohonan maaf mamanya. Dan akhirnya, berhasil. Naura dan Yulianti resmi berbaikan dan saling melempar janji akan bersikap lebih baik ke depannya.
Yulianti sendiri merasa seolah bebannya terlepas, ketika Naura mulai terbuka terhadapnya. Memang benar, keberuntungan memihaknya jika Yulianti berniat berubah. Buktinya, Hendra ingin rujuk. Naura pun. Naura tidak membencinya lagi. Yulianti merasakan kedamaian di dalam hati.
Mungkin suatu saat, Yulianti akan menciptakan keluarga yang harmonis, tentu bersama Hendra. Melihat putri tunggalnya bahagia, dia ikut bahagia. Begitulah seharusnya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top