Bab 63
***
"Cieee, pegang apa nih sampai terbuka terus tuh mata tanpa ngedip sama sekali." Kania menggoda sambil meraih lengan Naura untuk diapit. Kania sengaja menangkap Naura yang berjalan keluar dari gedung kampus Junjungan. Begitu mereka sampai di bawah pohon dekat parkiran khusus dekan, Naura menghentikan jalan dan menunjukkan objek yang membuat Naura mengulum senyum sampai tak mengubah ekspresi wajahnya.
"Gelang? Gelang apa itu? Kok lucu?" Tangan Kania meraih perhiasan melingkar warna-warni dengan cepat.
"Gelang manik-manik. Pak Rindra yang kasih," ungkap Naura percaya diri. "Sebelum beliau ke Toronto, gue dikasih ini."
"Wih, iri banget. Mana bagus banget lagi gelangnya."
Kania meneliti gelang manik warna dominan merah muda tersebut. Diameternya sesuai dengan pergelangan tangan Naura yang kecil. Lalu manik-maniknya terbuat dari logam dan kaca, yang dominasi warnanya adalah warna terang. Tali yang mengait manik-manik berwarna hitam sehingga cocok dengan manik-manik terang.
"Naura. Mana ada namanya lagi." Kania sekali lagi menangkap penglihatannya di mana ada lima manik yang masing-masing tersusun huruf secara horizontal. Lima huruf, sesuai dengan nama Naura.
"Gue anggap itu hadiah." Naura menyimpulkan agar tak terjadi salah paham. Kania terkadang punya pikiran acak jika melihat sesuatu spesial dari Naura. Khawatir saja Naura dianggap mendapat perlakukan khusus oleh Rindra, yang bahkan tidak didapatkan dari orang manapun. "Pak Rindra berhak karena itu adalah apresiasi dia terhadap gue. Gue udah kerja keras, gue udah bikin keluarganya bahagia. Terbukti, Toni–anaknya, makin dekat sama gue. Because what? Gue tantenya, yang awalnya adalah pengasuh."
"Gue akuin, lo hebat, Nau." Kania tak ragu menepuk bahu sahabatnya berkali-kali. "Lo berusaha sekuat mungkin untuk menemukan keluarga lo, dan lo udah dapetin semua yang lo mau. Siapa sih yang nggak bersyukur, dapat keluarga yang makin baik sama lo?"
Naura membalas dengan senyuman hangat. Semua yang diucapkan Kania memang benar adanya. Semua usahanya terbayarkan dengan baik. Mulai dari iseng mencari nama perusahaan papa sambungnya lalu tak sengaja mengetahui rahasia kakak sambungnya hingga mengetahui bahwa Rindra adalah suami dari Aurel. Akankah setelah ini, dia perlu mencari tahu banyak tentang keluarga Rindra juga papanya? Bisa saja, namun untuk sekarang dia ingin menikmati kehidupan sebagai anggota keluarga Hendra. Harap saja ke depan, satu keinginannya yaitu menjadi anak Hendra seutuhnya dapat terwujud.
Sejenak, Naura terbelenggu oleh lamunan dan terbawa ke masa lalu untuk mengingat betapa berusahanya Rindra membujuk dirinya agar ke pantai. Padahal sejatinya kala itu Naura enggan ke manapun. Namun Rindra mengiming-iming sesuatu sampai membuatnya ditarik menuju tempat yang menyegarkan pikiran.
***
Satu hari sebelum ke Toronto
"Pak. Kita ke pantai sore-sore gini di saat pengunjungnya dikit? Memang nggak ada yang lain gitu buat lihat sunset?" Naura menuturkan keluhannya, di saat cardigan yang digunakan tidak sesuai dengan tempat kunjungannya. Terlebih memakai celana denim cuma duduk di atas pasir.
"Kenapa nggak ke kafe, pak? Kan banyak tuh kafe dekat pantai, bisa lihat sunset sambil nikmatin minum." Naura memberikan saran. Namun sejenak matanya meneliti baik pakaian Rindra yang juga tidak sesuai. Kemeja putih lengan panjang, lengkap dengan dasi hitam serta celana kain hitam dan tak lupa kedua kaki melepaskan alas masing-masing. Sepatu pantofel Rindra berada di belakang tubuh si pemilik.
"Mau nenangin diri. Pun sembari lihat desiran ombak yang enak banget dengerinnya." Rindra menggulungkan kedua kaki seraya memasang pandangannya ke depan, di mana itu berhadapan langsung dengan ombak pantai. Belum pernah dalam hidupnya membawa siapapun ke pantai, termasuk Aurel. Orang yang baru pertama kali adalah Naura. Sengaja agar dia dapat membuat momen terbaik. Tentu, itu juga merupakan bagian dari pengakuan perasaannya pada Naura. Semoga Naura memahami.
"Ngomong-ngomong, Nau. Bisa kamu sebutin apa impian terbesar kamu?" tanya Rindra membuka obrolan penting. Tak lupa kedua matanya menatap matahari yang mungkin sebentar lagi akan turun ke bawah.
"Emm ... " Naura berdeham sebentar lalu membuka mulut kurang dari semenit. "Saya mau lanjut S2, setelah kuliah. Terus rencana pengen ambil beasiswa buat menunjang S2. Lalu setelahnya pengen S3 di luar negeri."
"Impiannya seputar itu-itu doang," komentar Rindra seakan meremehkan. "Apa nggak ada yang lain?"
Naura mengerucutkan bibirnya sebentar lalu menjawab. "Apa salahnya untuk berambisi? Kan Bapak bilang impian terbesar. Itu impian terbesar saya, pak."
"Baiklah," balasnya membuang napas gelisah. "Cuman saya dengarnya itu-itu terus selama saya nanya tentang impian. Kalau bukan beasiswa, pasti ngejar nilai. Memang kamu ini anaknya ambisian. Nggak heran lihat kamu kayak gini."
"Ingin punya keluarga bahagia. Impian saya yang berikutnya." Naura menyebutkan tanpa aba-aba. Membuat Rindra terdiam sebentar.
"Keluarga bahagia? Sudah terwujud, kan?" Rindra mengarahkan punggung tangannya pada Naura dalam posisi menadahkan. Dia ingin Naura sadar bahwa impian yang satu itu terkabulkan, melalui usaha Naura tanpa henti.
"Kalau mama saya benar-benar membuka kepalanya. Belum keluarga bahagia kalau nggak ada mama." Naura merendahkan suaranya begitu mengungkit sang mama.
"Kamu sudah merasa bersalah terhadap mama kamu?" tanya Rindra memastikan.
"Yah, sejatinya belum," jawab Naura tanpa ragu. "Cuman saya berpikir sesuatu, gimana kalau saya terus benci mama jika saja mama sungguh tulus ya? Memang untuk sekarang saya belum melihat betul ketulusan mama, hanya saja ... kalau saya berubah pikiran, butuh waktu berapa lama untuk menerima mama? Nggak bisa saya terima langsung, karena saya trust issue terhadap mama saya."
"Naura." Tak ragu Rindra memegang pundak Naura, memberikan ketenangan. "Kamu berhak untuk memutuskan ingin masuk di keluarga mana. Hanya saja, lihat dulu mama kamu lebih dalam. Apa mama kamu sungguh dengan niatnya untuk berubah, atau hanya semacam pancingan? Jika kamu hafal perawakan mama kamu, pasti kamu bisa membuat keputusan lebih cepat."
Rindra melanjutkan ucapan sambil melihat desiran ombak. "Saya boleh jujur nih. Mama kamu itu benar-benar tulus. Kalau saja nggak, mana mungkin dia datang pagi-pagi cuma buat berlutut dan meminta maaf? Pasti mama kamu ogah ke rumah saya. Lihat effort-nya. Mama kamu datang ke rumah saya dan mencium kaki papa. Saya lihat sendiri."
Naura mengharapkan satu hal. Semoga mamanya sungguh memegang janji untuk berubah. Naura enggan berekspektasi lebih banyak akibat perlakuan mamanya yang lalu-lalu.
"Terus Bapak, apa impian terbesar Bapak?" Giliran Naura yang bertanya, ingin membuktikan apakah pria dewasa seperti Rindra ini juga punya mimpi? Selain membahagiakan Toni dan keluarga kecilnya.
"Emm ..." Rindra mengernyit kening sambil menggigit bibir bawahnya. "Menikah sama kamu."
Naura tiba-tiba terkejut dengan ucapan Rindra barusan. "Me–menikah sama saya?"
"Saya serius loh. Saya mau menikah sama kamu."
Tertawa hingga terbahak-bahak menjadi reaksi Naura berikutnya. "Ya ampun, Bapak, Bapak. Bapak kok ngelantur sih? Apa yang buat Bapak jadi mengatakan hal tidak masuk akal, sih?"
"Loh, saya ngelantur?" Rindra bertanya heran sambil menunjuk dirinya. "Saya serius. Itu impian terbesar saya."
"Pak. Saya belum nentuin perasaan saya. Bagaimana kalau saya ternyata nggak suka sama Bapak? Jangan terlalu berbesar hati."
Rindra tersenyum miring atas tanggapan Naura padanya. "Apa salahnya dimasukkan ke dalam daftar impian?"
Tak lama kemudian, Rindra merogoh sesuatu dari saku celananya. Bukanlah barang berharga yang sangat penting, tetapi setidaknya bisa Naura terima sebagai hadiah.
"Gelang. Khusus buat kamu." Rindra menengadahkan tangan yang mana di atas telapak adalah gelang manik-manik warna merah muda pastel. "Ada nama kamu juga. 'Naura'. Silakan kamu cek."
Naura mengambil gelang pemberian Rindra dan memastikan apa benar ada namanya di antara manik-manik yang mengait tali gelang?
"N, A, U, R, A." Si pemilik nama mengeja tiap huruf, begitu menemukan lima manik-manik bertuliskan namanya. Naura langsung tersenyum semangat. "Oh bener. Ada nama saya."
Selanjutnya Naura langsung bersikap heran, karena mendapat hadiah tidak biasa. "Tapi kok ... gelang? Apa semacam pengganti cincin?"
"Kamu pakai kalau kamu mau jalan-jalan. Bagus itu sebagai aksesori tubuh."
"Besoknya saya bakal dapat apalagi nih dari Bapak Rindra Hartawan?" tanya Naura menantang.
Alih-alih menjawab, Rindra mendekatkan tubuhnya ke samping lalu tanpa aba-aba menyandarkan kepalanya di atas bahu Naura.
"Kalau ini? Kamu nggak keberatan?" Rindra tertawa pelan begitu melakukan hal tidak biasa tersebut. "Impas kan? Kamu memeluk saya, sekarang saya yang begini ke kamu. Jadi benar-benar impas."
"Ish, Pak Rindra!" seru Naura lalu tertawa geli atas perlakuan tidak biasa Rindra kepadanya.
***
"Enak bener ngebayanginnya, Nau. Sampe melongo gitu." Kania menegur seraya memecah lamunan Naura yang makin menggerogoti. "Lo mikirin Pak Rindra yang masih menikmati liburannya, kan?"
Kania segera menepuk pundak hingga membuat Naura menoleh ke arahnya. "Lo teramat beruntung, Nau. Lo disayang ama semua keluarga lo, termasuk Pak Rindra."
"Cih, udahlah. Lo terlalu berlebihan muji." Naura tersenyum kecut sambil menyingkirkan tangan Kania dari pundaknya. "Lagipula kan, kerja keras gue selama ini terbayarkan. Sebentar lagi gue bakal jadi anggota keluarga Pak Hendra Budiman, yang notabene adalah papa gue. Tunggu aja, gue nanti akan traktir lo dan semua teman-teman jika masalah pribadi gue udah selesai."
"Memang, masalah pribadi lo belum ada jalan keluarnya?" Kania tentunya tahu masalah yang dihadapi Naura, salah satunya berkaitan dengan Yulianti–mama Naura. "Lo udah minta mama lo buat renungin kesalahannya, kan? Apa masih ada yang ingin mama lo lakuin?"
Naura membuang napas sebelum menjawab. "Mama gue katanya udah minta maaf sama Kak Aurel. Itu adalah hal yang bikin gue merasa lega. Hanya saja, gue masih menutup hati pada mama."
"Kenapa?" tanya Kania penasaran.
"Entahlah," jawab Naura mengedikkan bahu. "Gue telanjur benci sama mama karena mama sering banget ngambil uang penghasilan gue, hasil keringat gue diambil sama dia. Bagaimana gue nggak marah lihatnya?"
"Nau." Kania mulai bertindak menghibur hati Naura dengan memegang bahu sahabatnya. "Kalau memang mama lo benar-benar tulus, harusnya lo lihat baik-baik wajah mama lo yang sedang minta maaf. Meskipun lo benci terhadap mama lo, tapi tetap aja, mama lo adalah mama yang ngelahirin kamu. Mama lo juga yang nyekolahkan lo dan mendidik lo. Seorang mama pasti rela berbuat apa pun demi anaknya, termasuk mama lo juga."
Kania mengarahkan tubuh Naura agar lebih menghadap padanya. Kedua tangannya memegang bagian lengan Naura dan memutarnya 90 derajat. "Udah, Nau. Lebih baik lo buka pikiran sekarang juga. Lo harus terima semua usaha dan effort mama lo. Daripada lo terus mengabaikan dia dan hubungan kalian jadi bersitegang. Mendingan kalian berbaikan aja. Gimana?"
Apa perlu? Gue bahkan masih belum mutusin apa menerima permintaan maafnya mama atau nggak? Gue belum memutuskan apa pun.
Di sisi lain, Yulianti sedang duduk di meja makan rumahnya, tanpa ekspresi sama sekali. Yulianti mendiamkan beberapa sajian makanan berupa bubur dan soto ayam, bahkan membiarkannya mengepul di hadapan. Yulianti sedang menimbang-nimbang sesuatu terkait dengan niatnya berubah.
Ada dua hal yang menjadi keinginannya. Memulangkan Naura dari rumah Rindra, serta menerima tawaran rujuk Hendra. Untuk yang kedua itu, dia telah mematangkan keputusannya. Dia tidak akan mungkin bergantung pada arisan. Pun, belakangan ini dia belum menerima info lagi seputar arisan. Bahkan tak tersebut sama sekali di grup obrolan. Mungkinkah mereka mendepak Yulianti dan sengaja tidak mengikutkan Yulianti?
"Memulangkan Naura? Apa itu terlalu berlebihan?" tanya Yulianti ke dirinya sendiri. "Lagipula aku bakal terima rujukan Hendra. Jadi seharusnya aku biarkan Naura dengan pilihannya, dong."
Yulianti memukuli keningnya dengan satu kepalan tangannya, merasa bodoh terhadap hal tersebut.
"Kira-kira, Hendra masih di Toronto, kan? Apa perlu kutelepon aja dia, ya?" Yulianti memikirkan sesuatu. "Ah, tapi menelepon orang yang lagi di luar negeri, apa nggak habis pulsa nih?"
Belum juga memutuskan niatnya, tiba-tiba suara getar dari ponselnya menggema di atas meja makan. Lantas menjadi perhatian Yulianti.
Begitu mulai menegakkan tubuhnya dengan benar, dia meraih ponsel miliknya. Nomor tidak dikenal. Siapa yang menelepon Yulianti dengan nama yang tak tercantum di kontaknya?
"Apa jangan-jangan, Hendra?" tebak Yulianti. Kemudian, beberapa detik dia langsung mengusap tombol jempol ke arah kanan dan mulai menempelkan bagian depan ponsel ke telinga.
Halo, Yul? Ini aku, Hendra. Ada yang mau aku omongin sama kamu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top