Bab 53

***

Aku meneruskan buku diary ini, cuma ingin memastikan kondisiku sekarang. Iya, akhirnya aku lari dari tante Yul juga anaknya. Kemudian papa terus mengingatkanku agar jangan menghubungi mereka atau jangan membuat komunikasi dengan mereka. Intinya, aku harus menjauh dari tante Yul dan Naura. Yah, meskipun ... aku sudah dekat dengan Naura bak saudari kandung. Tapi inilah satu-satunya pilihan agar aku bebas dari mereka, terutama tante Yul.

Aku menikah. Benar, aku menikah dengan seorang pria yang baik dan tulus kepadaku. Ketampanannya juga keramahannya membiusku ketika dia datang dan melamarku di depan papa. Begitu aku menjalani hidup sebagai istri seorang Rindra Hartawan, aku menyerahkan semuanya hanya kepada Mas Rindra. Hingga, perlahan-lahan hidupku membaik semenjak bersamanya. Lalu aku memiliki Toni. Kebahagiaanku sangat terasa.

Namun ... aku berpikir aku menikah dengan Mas Rindra adalah hal paling terindah. Ternyata aku salah. Dua atau tiga tahun yang lalu, saat Toni masih bayi, aku diperiksa dokter karena mengalami sakit di bagian tubuh. Kemudian saat aku melihat diagnosisnya, aku terkejut. Apakah aku akan terbaring di rumah sakit? Itu pertanyaan yang menggerogotiku. Penyakit umum yang kadang diderita beberapa orang. Kanker.

Aku sempat merahasiakan ini dari Mas Rindra. Hingga ketika dia melihat hasil pemeriksaan dokter, Mas Rindra justru makin memberikan kasih sayangnya kepadaku. Memperlakukanku seperti barang berharga baginya.

Hingga tulisan ini dibuat, apa aku akan tetap bertahan dengan penyakit ini? Entah, semoga saja Mas Rindra terus seperti itu padaku. Malah, rasa cemas ini menurun ketika Mas Rindra menghiburku. Yang penting, aku masih punya Mas Rindra sebagai obatku. Itu saja yang buat hidupku tenang.

Buku tersebut ditutup begitu saja kala Rindra membaca sebagian isinya. Helaan napas tak terhindarkan lagi. Banyak yang belum dia ketahui tentang mendiang istrinya, termasuk bagaimana Aurel sempat merahasiakan penyakitnya dari Rindra. Membuat Rindra–sekali lagi– terpukul dengan apa yang sudah terjadi.

"Bagaimanapun, harusnya kamu beri tahu semuanya, sayang." Rindra menggumam sambil menatap nalar di hadapannya. "Kamu nggak perlu menutupinya, sampai aku cari tahu sendiri dan kemudian kamu kasih tahu di saat aku sudah memahami keresahan kamu setiap malam."

Rindra seakan ingin menumpahkan rasa sedihnya yang membuncah dalam hati. Namun, dia tidak ingin matanya bengkak lagi gara-gara tangisan tak berujung. Lebih baik, mengatur napas adalah jalan terbaik Rindra agar tidak terus menerus mengingat masa lalu. Baginya itu terlalu berlebihan.

Seperti kata Hendra kala Aurel pergi meninggalkannya, sesaat setelah Aurel berjuang dengan penyakitnya, beliau mengatakan bahwa Rindra tidak perlu berlarut-larut dalam kesedihan. Aurel bahagia di atas sana, Aurel tidak merasakan sakit lagi. Harusnya Rindra menanamkan hal itu, namun saat itu Rindra justru egois dan bersikeras bahwa dia menginginkan Aurel berada dalam hidupnya. Aurel harus ada di sampingnya kala tertidur.

Semua hal terkait kebodohannya justru menjadi pukulan buat dirinya sendiri. Sejak awal, Rindra perlu belajar yang namanya ikhlas. Begitu tulus rasa cinta Rindra kepada sang istri, membuat Rindra seakan tidak rela harus kehilangan istrinya. Apalagi terpisahkan oleh kanker yang dialami Aurel.

"Sayang. Kalau kamu harus tahu ini, aku sudah belajar ikhlas sekarang," kata Rindra pelan, seolah membuat komunikasi dengan Aurel. "Aku ... tetap akan mengenangmu sebagai istri yang paling aku cintai. Aku ikhlas kamu pergi meninggalkanku dan juga anak kita. Aku bahagia, kamu lebih bahagia lagi."

Setelah mengucapkan itu, air mata Rindra lantas tumpah begitu saja hingga mengaliri pipinya. Segera, Rindra mengelap bola kristal yang meleleh dari matanya. Dia tidak boleh terlihat menyedihkan di depan Hendra, apalagi anaknya, Toni. Bisa-bisa mereka justru menasihati Rindra terus menerus.

Ketukan pintunya mulai mengalihkan atensinya. Daun pintu bergerak dan menampilkan seorang gadis yang sedang membawa nampan yang ditata secangkir teh. Naura mengendap-endap masuk dalam kamar Rindra. Lalu dengan tenang, dia menjelaskan bahwa dia disuruh sang papa untuk membawakan teh yang sekiranya cocok di malam hari.

"Pak. Boleh saya mengganggu?" tanya Naura meminta izin.

Sambil memperbaiki suaranya yang sempat dia rasa serak, Rindra langsung menegakkan tubuhnya di tempat meja kerjanya. Kemudian dengan gerakan tangan, dia menyuruh Naura untuk masuk dan menaruh nampan di atas mejanya.

"Bicara apa? Soal mama kamu?" Rindra menebak. "Sudah pasti. Kamu pasti mau minta maaf, kan? Atas nama mama kamu?"

Naura terperanjat mendengarnya. "Loh, kok Bapak tahu?"

"Iya. Setelah kejadian dua hari lalu, saat mama kamu datang ke rumah dan menuduh-nuduh kamu bahwa ada sesuatu di antara kita, kamu malah jaga jarak dengan saya."

Rindra mulai menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi putarnya. "Apa kamu ... merasa bersalah? Atas kelakuan mama kamu?"

Mendengar pertanyaan itu, Naura menahan mulutnya untuk membalas. Entah kenapa, dia lebih memilih menunduk. Seakan-akan memiliki kesalahan besar. Padahal faktanya, mamanya-lah yang jadi pemantik amarah Rindra.

"Naura. Itu bukan salah kamu, kok." Rindra menjelaskan semata-mata menghibur adik iparnya. Bahkan dari tutur bicaranya terdengar tenang, tidak ada geraman yang terdengar. "Pasti sulit, punya mama yang selalu mengekang kamu untuk bekerja? Mama kamu, yang tidak mau berusaha justru menjadikan anaknya alat untuk mencari uang, kamu merasa sangat susah.

"Saya akui, kamu bekerja keras menghidupi mama kamu, termasuk kamu. Sampai kamu rela membolos kuliah, bahkan bekerja sampai malam. Saya akui. Kamu itu sangat bekerja keras."

"Saya ... minta maaf ya, pak." Naura tetap merasa punya harga diri lalu membungkukkan badannya untuk melepaskan rasa bersalah yang menggerogoti dirinya.

"Naura," panggil Rindra sedikit menaikkan suaranya. "Saya sudah bilang, kamu nggak bersalah. Kamu nggak perlu minta maaf begitu. Justru, saya menunggu permohonan maafnya mama kamu di atas makamnya Aurel."

Naura terdiam, lagi-lagi dia tidak punya kata-kata untuk diucapkan. Dia malah menyimak dosennya berinteraksi kepadanya.

"Berhubung masih libur, rencananya pekan depan ... saya, papa, Toni, akan berziarah ke makamnya Aurel. Kamu juga harus ikut, kamu pasti pertama kali ke makamnya kakak kamu, kan?"

Naura termangu sebentar, lalu mengangguk pelan. "Saya juga ... belum tahu lokasi makamnya sih, Pak."

"Baguslah kalau begitu. Kita pergi sama-sama, kita ziarah dan mendoakan semoga Aurel lebih bahagia. Lebih baik kita terus kirimkan doa buat Aurel."

Senyuman Naura mulai tampak, kemudian kepalanya kembali mengangguk memahami ucapan Rindra.

"Katanya mau jadi adik yang baik buat Aurel," kata Rindra mengungkit keinginan Naura. "Saya masih ingat loh, kamu pernah bilang begitu di sela pembicaraan makan malam sama papa."

"I–Iya, pak. Saya lupa malahan." Naura merespon sambil tertawa ringan.

"Ngomong-ngomong, terima kasih teh-nya ya. Saya akan minum dan nanti saya bawa nampan serta cangkirnya di wastafel." Rindra mengingatkan, dibalas dengan anggukan pelan dari Naura.

"Pergilah. Saya mau istirahat," pintanya pelan kemudian Naura mulai berbalik untuk keluar dari kamar Rindra.

Hembusan napas lega kini terdengar dari mulut Naura, setelah dia menutup pintu. Lagi dan lagi, perlakuan baiknya ini tidak atas insiatifnya sendiri. Naura malah terus didatangi Aurel, seolah meminta Naura untuk menyajikan teh.

Naura berhaluasinasi, dia seperti bertemu kakaknya sendiri. Dengan ikatan rambut kuncir kuda serta berpakaian warna merah dan memiliki perawakan mungil dan sikap lemah lembut. Itulah Aurel.

Naura. Bikinkan teh buat Mas Rindra, ya. Kasihan dia kerja seharian menatap laptop.

Masih teringat di dalam benaknya permintaan Aurel yang terdengar tenang menelusup dalam pendengarannya.

Setelah melakukan itu, entah kenapa Naura seperti merasa ada yang lain di hatinya. Seolah, dia merasa jantungnya berpacu cepat kala melihat Rindra dengan penampilan santainya.

Rambut depan yang berantakan, hanya menggunakan kaos berbahan tipis lengan panjang, serta rahang tegas itu. Seperti membius Naura. Sekali lagi, dia memuji ketampanan dosennya.

Nggak tahu kenapa, aku merasa ... aku jatuh hati sama Pak Rindra. Tapi ini mustahil, hanya sebentar saja aku merasakan itu. Aku harus menerima kenyataan bahwa Pak Rindra itu cuma keluargaku. Dia adalah kakak pengganti Aurel, nggak lebih.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top