Bab 52

***

"Saya tanya sama Anda. Apa Anda punya hati nurani? Bahkan seenaknya menuduh Naura berbuat yang nggak-nggak selama kabur dari rumah?" tanya Rindra dengan suara tinggi.

Yulianti tetap enggan mengalah dan mengajak Rindra untuk beradu mulut. "Justru saya yang tanya sama Pak Rindra. Apa Pak Rindra punya hati nurani sampai mengizinkan Naura tinggal di rumah Bapak lalu membebaskan Naura mendekati Anda? Heh, Naura itu masih kecil. Nggak sepantasnya mendekati pria ditinggal mati istrinya, apalagi Naura itu pasti anaknya agak genit. Mana tahu, kan? Naura ingin menggantikan posisi Aurel dan tak memiliki rasa kasihan terhadap kakaknya sendiri?"

"Mama mending diam!" jerit Naura. "Lebih baik mama nggak usah menuduh Naura yang nggak sesuai fakta. Menambah bebannya Naura, tahu nggak??!!"

Naura kemudian menjatuhkan dirinya ke lantai kemudian mulai menangis tersedu-sedu sebab tak terima dengan tuduhan Yulianti padanya.

Spontan Hendra melompat ke sebelah kiri dan merangkul erat putrinya seraya menenangkan Naura.

"Ma. Bukankah sudah cukup dengan mama yang mengambil uang kerja keras Naura buat digunakan arisan? Terus sekarang ... mama menuduh Naura mendekati Pak Rindra dengan adanya maksud tertentu? Ma, Naura nggak sampai sejauh itu. Naura punya batasan tersendiri."

Meski dirinya sedang terisak, Naura berusaha membela dirinya. Agar setidaknya Yulianti membuka pikirannya.

"Terus ... Aurel meninggal karena apa?" Yulianti bertanya, tetap dengan gerakan melipat kedua tangan sambil menatap sinis mereka. "Apa karena sakit atau gimana?"

"Benar-benar kamu nggak punya hati," ucap Hendra yang juga sedang menahan amarahnya. "Kamu nggak punya rasa empati? Kalau kamu sudah tahu kebenarannya, bukankah seharusnya kamu menaruh iba? Kenapa sikap kamu seperti ini, Yul?"

"Cih, anak itu nyusahin. Dia beban di keluarga kita. Asal kamu tahu ya, Hend. Aurel itu tidak ada gunanya, cuma buat ribet aku aja. Aurel terus saja mecahin gelas, bikin makanan juga nggak becus. Aurel itu, sebenarnya pintar apa nggak sih? Katanya dia pintar, masa cuma melakukan pekerjaan rumah aja nggak bisa?"

Yulianti lanjut meremehkan Aurel tanpa mempedulikan perasaan semuanya. Tak lupa dia melipat kedua tangannya. "Memang. Aurel pada dasarnya bodoh. Belagu, otaknya aja nggak ada. Benar-benar beban."

"Anda jangan mengolok-olok istri saya. Karena Anda juga, istri saya jadi sakit mental, tahu nggak!!!!"

Rindra berteriak sangat kencang, lebih keras dibanding sebelumnya. Kini Rindra melotot tajam Yulianti dan menarik kerah blus yang digunakan Yulianti namun tak terlalu erat.

"Harusnya tuh Anda tahu. Harusnya Anda tahu semua perlakuan Anda ke istri saya itu terlalu jahat. Harusnya Anda tahu!!!" seru Rindra, melepaskan tarikan kerah baju tersebut. "Apa Anda tidak punya hati, hah? Sampai istri saya hampir mengalami gangguan mental karena ulah Anda! Anda tahu tidak!!!"

Kemarahan Rindra yang memuncak itu membuat Yulianti perlahan termangu. Yulianti memang bisa melawan Rindra sekali lagi, namun geraman yang nyaris memekakkan telinganya itu justru bikin sekujur tubuhnya jadi gemetar. Kini pria tersebut menampakkan urat-urat di sekitar kepala juga leher.

"Anda tuh setidaknya punya hati nurani! Bukan karena Anda tidak suka sama Aurel, Anda bisa seenaknya membicarakan Aurel begitu!" Rindra melanjutkan teriakannya. Dengan cepat, lengannya ditarik oleh Hendra sambil berusaha menenangkannya.

"Nak. Sudah. Jangan emosi. Ada Toni loh, takutnya dia dengar." Hendra berada di samping sang menantu, seraya tangannya terus mengelus bagian lengan demi membuat amarah Rindra mereda.

"Gimana? Anda menyesal?" tanya Rindra ketika tahu Yulianti tidak melawannya lagi. Bahkan Yulianti menutup rapat mulut kotor itu. "Anda menyesal karena menuduh Naura yang bukan-bukan? Juga, Anda menyesal karena memperlakukan Aurel dengan buruk?"

Yulianti tidak menjawab, justru helaan napas jadi respon. Sementara Rindra tetap memberikan ultimatumnya agar Yulianti benar-benar sadar. Tentu, dia tahu permasalahan keluarga Naura yang membuat Naura kabur dari rumah dan tinggal selama hampir tiga bulan di tempat tinggalnya sendiri.

"Sebagai seorang Ibu, apa Anda setidaknya peduli terhadap perasaan Naura?" Rindra bertanya lagi, kini sambil mengarahkan telunjuknya pada Naura yang berada di sebelah kanannya, membuat jarak yang agak jauh. "Ingat. Naura itu pekerja keras. Dia rela bolos kuliah demi mendapatkan penghasilan banyak. Dan satu lagi. Naura kerja sama saya, sebagai pengasuh anak saya. Sekaligus, dia mengasuh keponakannya. Anak saya, buah cinta saya sama Aurel. Anda harus ingat itu."

Yulianti sungguh tidak memiliki kata-kata untuk disanggah. Dia benar-benar meresapi semua ucapan Rindra kepadanya.

"Kalau Anda seterpuruk itu, itu artinya Anda benar-benar menyesal. Maka yang harus Anda lakukan sekarang, minta maaf pada saya. Juga kepada papa atau mantan suami Anda. Serta kepada Naura, anak kandung Anda sendiri."

Rindra melupakan satu hal. Dia mengucapkannya tapi sambil menunjuk Yulianti agar wanita paruh baya tersebut tidak lupa.

"Minta maaf juga sama Aurel. Tepat di atas makamnya. Anda minta maaf, berlutut dan peluk nisan makam istri saya."

Hendra kini membuat tatapan sinis kepada Yulianti, demikian juga Naura. Sungguh, momen yang mereka tunggu akhirnya benar-benar terjadi. Yulianti tampak menyesal, bahkan kini, Yulianti meunundukkan kepalanya. Ultimatum dari seorang Rindra membuat Yulianti sadar bahwa tindakannya salah. Ketika Yulianti berusaha keras membawa pulang Naura dari tempat Rindra, di situlah Yulianti membuka kepala serta pikirannya.

Sontak saja, Yulianti menjatuhkan tas tangannya dan berlutut di hadapan Rindra. Bahkan kini dia menyapukan kedua telapak tangan seraya memohon agar permintaan maafnya diterima oleh suami Aurel itu.

"Iya, saya tahu. Saya tahu kalau tindakan saya kepada kedua anak saya itu salah. Iya, saya salah. Saya terlalu ngotot untuk membawa anak saya keluar dari sini. Meminta Naura agar tetap menjadi alat pencetak uang buat saya. Tapi, saya berterima kasih pada Bapak. Karena Bapak yang berani berteriak pada saya, saya akhirnya sadar. Bahwa saya benar-benar keterlaluan. Saya ... saya cuma ingin Naura tetap berada di sisi saya, makanya saya seperti itu."

Rindra bersikap acuh pada wanita yang telah menyakiti Aurel. Dia juga tak peduli Yulianti berlutut padanya. "Saya akan menerima permohonan maaf Anda jika Anda bisa meminta maaf pada Aurel."

"Mama pergilah. Mama cuma buat keributan di rumahnya Pak Rindra," pinta Naura tanpa peduli statusnya sebagai anak kandung Yulianti. Dia berani menunjuk mamanya dan memberikan gestur seolah mengusir Yulianti dari tempat tinggal Rindra.

"Lihat. Karena perbuatan Anda, Naura jadi membenci Anda, kan?" tanya Rindra seakan ingin menyadarkan Yulianti lagi dari perbuatan buruk di masa lalu. "Ingat. Anda harus benar-benar tulus pada Naura, dengan begitu Anda akan diterima lagi sebagai mamanya."

Rindra berbalik kemudian mengambil buku diary bersampul cokelat tua yang tergeletak di atas karpet merah sekitar sofa ruang tamu. Lalu memperlihatkannya pada Yulianti bahwa Aurel menuliskan semua penderitannya di buku tersebut.

"Buku yang saya pegang ini, semuanya adalah curahan hati Aurel saat Anda memperlakukannya dengan buruk. Mungkin saya belum baca secara keseluruhan, tapi dengan ini akan membuka kebenaran tentang Aurel."

"Setidaknya, kamu harus pulang ke rumah dan sadarkan dirimu, Yul." Hendra berceletuk, lebih mendekat pada Yulianti. "Tolong. Kamu harus sadar, dan jangan cari perhatian pada kami. Terutama kepada Naura. Jangan membuat Naura jadi alat pencetak uang buatmu. Naura itu juga punya kebutuhan dengan bekerja. Lihatlah, anak kamu bekerja sebagai pengasuh anaknya Rindra. Bahkan dia sudah dua kali digaji sama kakak iparnya sendiri."

Yulianti menghapus air mata yang membekas lalu menegakkan tubuhnya seraya kepalanya tetap menunduk pada mereka.

"Baiklah. Saya nggak akan memaksa Naura untuk pulang sama saya. Toh, ini salah saya. Biarkan saja Naura di sini. Lagipula Naura bisa menjaga dirinya, saya kenal betul Naura seperti apa."

Setelah mengucapkan pamit, Yulianti berbalik dan mengayunkan kaki perlahan menuju pagar hitam rumah lalu menariknya pelan seraya lanjut melangkah menghampiri mobil matic warna biru. Mereka duga Yulianti diantar oleh seseorang, bukti bahwa Yulianti langsung masuk di dalam tempat duduk penumpang. Sesaat setelah itu, kendaraan tersebut langsung melaju dan menjauhi depan rumah milik Rindra.

Situasi pagi yang harusnya damai dan tenang justru terlewati dengan amarah yang mencuat. Terlebih Rindra, yang masih terengah-engah akibat berani menjerit keras di depan Yulianti.

"Nak. Sebaiknya papa suruh Eka antar Toni ke sekolah." Hendra memberikan saran. "Aturan seharusnya kamu yang antar Toni. Tapi karena kondisi kamu yang mendadak mengamuk begitu. Lebih baik tenangkan diri kamu selama beberapa menit, lalu kamu ke kampus. Sekalian antar Naura."

Rindra membuang napasnya sambil berkacak pinggang. Sungguh, amarah yang terbuang membuat tenaganya cepat terkuras. Gara-gara satu orang, membuatnya jadi seperti orang yang kecapean. Atau sederhananya, seperti orang yang habis pulang dari kantor.

"Sementara kamu, Nau. Apa kamu nggak buru-buru?" tanya Hendra beralih pada Naura. "Kalau ada waktu senggang, temani Rindra dulu."

"Tapi, Naura juga ada kepentingan di kampus. Naura harus temui Bu Sherly untuk asesmen tugas desain web," kata Naura berusaha meminta maklum.

"Sudah, mending kamu cepat ke kampus. Daripada telat, siapa tahu Bu Sherly nunggu kamu," pinta Rindra kemudian melangkah masuk dalam rumahnya untuk sekadar menenangkan dirinya.

Hendra yang berniat mengekori Rindra, spontan menghentikan langkah. Lalu Hendra merogoh dompetnya di saku belakang celana dan memberikan dua lembar uang merah.

"Uang untuk naik ojek daring. Sama jajan, kalau kamu mau jajan." Dengan lembut, Hendra menarik tangan Naura dan menaruh uang tersebut di atas telapak tangan putrinya.

"Nak. Jangan jadikan hal barusan sebagai beban. Yang penting, kita sudah menyelesaikan misi. Membuat mama kamu menjadi sadar." Hendra memberikan nasihat sekaligus memberikan senyuman hangat kepada Naura.

Naura yang membalas senyuman tersebut langsung menjawab singkat. "Iya, pa. Syukur, mama bisa sadar. Pun karena Pak Rindra juga."

Hendra melenggut. Lalu dia menepuk pundak putrinya berulang kali. "Sudah, kamu pergilah ke kampus. Takut telat loh."

"Baik, pa." Naura meminta punggung tangan papanya untuk dicium kemudian sembari mengangkut tasnya, Naura duduk di teras sambil menggunakan sepatunya. Barulah dia membuka ponsel untuk memesan ojek daring ke kampusnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top