Bab 50

***

Pencarian Naura belum membuahkan hasil. Yulianti memutuskan berkeliling kota bersama Gita demi mencari satu orang anak. Meskipun sedang mencari, tetapi Yulianti enggan mendekati Hendra cuma sekadar menanyakan kondisi anak itu.

Sudah sebulanan lebih dan kini telah memasuki tahun baru. Rasanya Yulianti ingin menyerah dengan pencariannya. Dia lebih baik membiarkan Naura hidup di manapun, dia seakan tidak peduli lagi dengan situasi yang dialami Naura.

Akan tetapi, ada satu hal yang buat Yulianti jadi menarik kata-katanya. Gita ternyata mendapatkan informasi baru, dan itu sangat penting. Makanya sahabatnya itu mengajak Yulianti ke kafe hidden gem agar mereka bisa fokus mengambil keputusan.

"Jeng. Kita nggak bakal sia-sia sih mencari Naura. Kita sudah tahu tempat dia bersembunyi," kata Gita sambil berbisik.

Yulianti yang mengenakan blus merah muda itu ikut mencondong supaya memastikan dia dapat mendengar informasi tersebut dengan baik.

"Di mana dia bersembunyi? Apa yang luar negeri itu sebagai alibi agar kita tidak mencarinya?" tanya Yulianti memikirkan hal buruk.

"Sepertinya benar, dan aku terkejut begitu tahu tempat persembunyiannya. Mau tahu dia bersembunyi di rumah mana?" Gita mencoba memancing sahabatnya itu, bahkan menggantungkan sebuah pertanyaan yang sekiranya Yulianti bisa tebak.

"Pasti di rumahnya Hendra, kan?" duga Yulianti sambil mengarahkan telunjuknya dengan semangat. "Sudah kuduga. Anak itu cuma 'omong' doang pergi ke luar negeri, tapi nyatanya dia tinggal di sana tanpa sepengetahuan kita. Terus juga dia sengaja menutup komunikasi dari kita."

Gita mengangkat kedua tangannya meminta Yulianti untuk diam. "Salah, jeng. Bukan di rumahnya Hendra."

"Terus di mana kalau begitu?"

Wanita dengan rambut blunt bob itu menggerakkan keempat jari seolah menyuruh Yulianti lebih mendekatinya. Tentu Yulianti memasang satu telinganya untuk mendengar seksama.

"Di rumah dosennya. Pak Rindra Hartawan." Gita menjawab pelan tanpa intonasi.

Kemudian Gita menyandar punggungnya pada sandaran kursi lalu melipat kedua tangannya untuk melanjutkan ceritanya. "Jadi aku tuh nggak sengaja menemukan Naura keluar dari minimarket dominan ungu yang namanya U-tion itu. Sempat terkejut juga kan pas tahu Naura berada di depan mataku, dan ngak keluar negeri. Terus aku ikut aja ke mana dia pergi. Pas aku masuk ke kompleks residence, mataku terbelelak ketika Naura memasuki rumah seseorang. Dan ternyata itu rumahnya Pak Rindra Hartawan."

"Eh, tunggu bentar. Kamu kenapa bisa tahu itu rumahnya Pak Rindra?" tanya Yulianti heran. Padahal setahunya baik Gita atau dirinya tidak pernah mengikuti orang sampai di rumah. Hanya sebatas bertanya-tanya dan mencari informasi. Bahkan dia juga belum tahu tempat tinggal Rindra.

"Kamu nggak tahu aku aja deh," jawab Gita tidak terima dengan keraguan sahabatnya. "Aku sempat memata-matai Pak Rindra dan mengikuti dia. Persis sama pas aku ngikutin Naura, mengarahnya ke kompleks residence yang ada pak satpamnya di gerbang. Di situ aku kaget banget dan banget, jeng."

Berikutnya Gita menggelengkan kepala begitu lama, seakan tak menyangka. "Jadi aku berekspresi begini 'Loh, loh. Kok Naura, ke rumahnya Pak Rindra?' gitu. Sambil melongo."

Yulianti berusaha menyerap jawaban kompleks dari Gita. Kemudian menarik napas, mencoba menahan amarah. "Jadi ... Naura sungguh di rumah dosennya?"

"Ya kali aku bohong sama kamu, jeng. Naura, putri kamu satu-satunya, ada di rumah dosennya." Gita menekankan nada bicara tiap ucapannya. "Jangan bilang, ada sesuatu lagi di antara mereka berdua. Malah mereka tinggal bareng. Apa nggak malu tuh Pak Rindra bawa seorang gadis di rumahnya sendiri? Bukannya ada anaknya juga?." Gita memberikan asumsi buruknya seraya terkekeh pelan.

Yulianti spontan berdiri tergesa-gesa sambil meraih tas tangan miliknya di atas meja. "Jeng, mending kita ke sana sekarang. Aku perlu bukti apa si Naura itu benar-benar ada di sana."

"Hei, hei! Jeng!" Gita ikut berdiri dan mencoba menahan Yulianti yang berusaha bertindak gegabah. "Jeng Yul! Tunggu, kita nggak boleh buru-buru kayak gini dong. Lebih baik kita tunggu sikon dulu."

"Tapi anakku ada di sana, Git!" seru Yulianti. "Aku nggak mau dan nggak terima ya Rindra apa-apain Naura. Secara mereka pasti cuma berdua, terus istrinya dirawat di rumah sakit jadi mereka ada kesempatan dekat-dekat. Nggak peduli Rindra punya anak kecil di rumah, dia pasti melakukannya di tempat rahasia. Aku yakin itu!"

"Jeng!" Gita memilih mencengkram lengan Yulianti, meminta agar sahabatnya diam. "Kalau sikap kamu begini, Naura pasti akan tambah benci sama kamu . Apalagi kamu nyuruh Naura pulang, terlebih dengan cara memaksa

Gita melepas cengkraman tersebut lalu beralih memegang bagian bahu. "Sudah, jeng. Mending dengerin aku aja. Naura juga pasti nggak akan mau tuh ngelakuin hal buruk karena dia masih belia, masih mahasiswa pula. Naura punya harga diri, jeng. Jadi jangan berpikir hal buruklah."

Yulianti membuang napas perlahan sambil menenangkan dirinya. Memang sudah seharusnya dia pergi ke rumah Rindra untuk membawa pulang Naura, namun dengan melakukan itu justru bakal menambah rasa benci Naura padanya. Setidaknya biarkan situasi tenang dan mungkin membujuk Naura agar mau pulang bersamanya.

"Lagipula masih suasana tahun baru loh, jeng. Mending, nggak usah rusak suasananya Naura. Pun, ada Hendra juga yang ngawasin Naura, kan?"

Yulianti mendecih sebagai balasan. "Memang kamu tahu darimana kalau Hendra bakal ngawasin Naura?"

"Kayak lupa aja kamu, jeng. Kamu kan sering cerita ke aku kalau si Hendra itu lebih sayang sama Naura. Bahkan setelah keluarga kalian pisah. Terus juga, Hendra sering banget traktir Naura untuk makan sesuatu di luar. Apa itu belum cukup Hendra yang terus ngawasin Naura?"

Yulianti sekali lagi membuang napas namun secara keras. Kemudian tas tangan miliknya ditaruh ke tempat semula sambil menempati kursinya dan memilih bersandar agar menenangkan dirinya.

Sebaiknya Yulianti mendengarkan saran Gita, agar jangan terburu-buru. Itu adalah cara satu-satunya agar tidak terjadi huru-hara dalam misi membawa Naura pulang.

***

Tepat pada malam hari, Naura sedang berada di kamarnya untuk mengerjakan tugas kuliah. Selama libur Nataru, Naura tak senantiasa leha-leha justru beberapa dosennya memberikan tugas berupa mengerjakan presentasi atau sekadar membuat suatu program di sebuah aplikasi. Itu sebabnya Naura sering-sering berhadapan dengan layar laptop.

Ketukan pintu kamarnya mulai terdengar. Naura spontan mengalihkan atensinya pada arah jam 11. Ranjang yang dia tempati berjarak sangat dekat dengan pintu.

"Nau. Apa saya mengganggu?" tanya Rindra yang mengenakan kemeja merah gelap sambil membawa sesuatu di tangan sebelah kanannya. "Kebetulan, saya pesan makanan lewat daring dan sengaja saya beli banyak supaya dapat promo. Kamu mau?"

Naura dengan posisi tengkurap itu seketika bangkit dan menegakkan tubuhnya di atas tempat tidur. "Apa itu, pak?"

"Rice bowl ayam katsu. Pasti kamu suka." Rindra memberikan sekantong berisi wadah makanan rice bowl warna cokelat pada Naura. "Ada sendoknya juga di dalam. Makan dulu, setidaknya istirahat. Daripada kamu kecapean, kan?"

Naura mengulum senyum pelan sambil mengambil pemberian Rindra. "Terima kasih, pak."

Sembari demikian, Rindra ikut gabung dan memilih duduk di meja belajar yang berada tak jauh dari pintu keluar. Hanya dua langkah kaki, dia sampai di meja kecil warna cokelat tersebut.

"Sekalian saya ke sini ingin mengobrol sesuatu sama kamu," ucap Rindra tenang sambil membuka tutup rice bowl dan mengaduk-aduk isinya terlebih dulu.

"Ngobrol apa, pak?" tanya Naura duduk di sisi ranjang sambil ikut membuka makanan miliknya.

"Tentang saya yang tiba-tiba mencium kamu waktu di taman kota. Saya tahu ... saya keterlaluan di situ. Cuma karena mengingat Aurel, saya jadi kayak gini. Hampir saja kamu jadi 'tidak suci' gara-gara saya."

Mendengar kalimat mengandung rasa bersalah dari Rindra membuat Naura menghentikan aktivitas makannya terlebih dulu, kemudian spontan mendongak untuk menatap Rindra yang kini menunduk.

"Saya ... perlahan-lahan mulai terbuka sama kamu. Tapi kamu jangan salah paham, sesuai apa yang saya singgung sejak awal. Daripada kita terus-terus menjaga jarak, bagaimana kalau saya mengambil alih tugas Aurel sebagai seorang kakak yang baik untukmu?"

Kata-kata yang dilontarkannya sepenuhnya bukan murni dari dalam hati, melainkan itu hanyalah sebuah hiburan agar Naura tenang. 'Terbuka' dalam artian sudah memiliki perasaan penuh pada Naura. Makanya dia berusaha dekat bukan hanya sebagai kakak melainkan lebih dari yang seharusnya.

"Bapak tuh berulang kali bilang seperti itu, tapi nyatanya kini kita masih saja jaga jarak," ucap Naura mendecih. "Bukankah seharusnya sebagai seorang kakak itu memberikan semangat atau setidaknya bikin adiknya senang atau gimana gitu?"

Rindra tersenyum pelan meski melakukannya sekejap lalu kembali dengan wajah datarnya. "Memang. Seperti sekarang ini, saya kasih kamu makanan dan meminta kamu istirahat dari tugas-tugas kuliah. Kurang baik apalagi coba saya?"

"Iya deh, saya akui yang 'ini' sudah ada peningkatan." Naura mengangkat rice bowl miliknya sebagai anggapan bahwa kali ini Rindra benar-benar baik padanya.

Balasan lelaki itu hanyalah mengangguk, kemudian menyuap sesendok makanannya.

"Sekali lagi ... saya minta maaf ya kalau saya bersikap berlebihan di taman kota waktu itu," tutur Rindra dengan lembut. "Harusnya saya sadar bahwa kerinduan saya terhadap Aurel membuncah dan saya melampiaskannya ke kamu."

"Wajar, pak. Saya juga begitu, kok. Saya sangat rindu Kak Aurel. Cuma ya kita kudu sadar tuh kalau Kak Aurel sudah bahagia di atas sana. Kak Aurel tidak merasakan sakit lagi, dengan Kak Aurel 'menggentayangi' keluarganya, mereka harus tahu bahwa Kak Aurel tidak perlu dicemaskan.

"Pun, kalau memang Bapak mau melupakan Kak Aurel dan memilih wanita lain sebagai pengganti Kak Aurel, kenapa tidak lakukan saja? Daripada terus-menerus sedih, kan?"

Rindra terdiam mendengar ujung kalimat Naura barusan. Apa yang tiba-tiba membuat Naura mengatakan hal itu? Jelas, Rindra enggan dengan wanita lain, dia menginginkan Naura suatu saat nanti. Dengan begitu, hubungan Hendra sebagai seorang mertua tidak akan putus begitu saja. Hendra juga pastinya bakal senang bila mendengarnya.

"Enak aja kamu ngomong begitu ke saya." Rindra membalas diikuti tawa pelannya. "Mau bagaimanapun, saya tetap tidak akan melupakan Aurel. Saya ingin Aurel membekas dalam hati saya."

"Kalau Kak Aurel masih ada nih, kira-kira reaksinya gimana tuh?" tanya Naura berandai-andai, kemudian pertanyaan tersebut tergantung begitu saja tanpa dijawab oleh lawan bicaranya. Rindra memilih topik lain untuk mereka bicarakan.

"Oh iya, Nau. Karena masih suasana libur Nataru, kamu mau ikut sama papa? Besok katanya kita diajak ke mall, keliling-keliling. Papa ngebolehin kita belanjakan duitnya. Toh duit papa nggak habis-habis kalau kita belanja apa yang kita suka."

Mendengar ajakan Rindra membuat Naura mendongak sekali lagi. Kata keliling mall tentu tidak asing baginya sebab beberapa kali dirinya dan Aurel sering diajak sang papa untuk belanja semau mereka. Kini terulang lagi, namun bersama Rindra, sang kakak ipar.

"Gimana? Mau nggak? Besok lumayan loh cari udara segar, daripada seharian menatap layar laptop." Rindra berusaha membujuk. "Kalau mau, saya langsung konfirmasi ke papa sekarang."

"I–Iya, pak. Saya mau," jawab Naura antusias.

"Habisin makanannya, jangan banyak sisa." Rindra mengingatkan sambil tertawa pelan. Dia benar-benar memposisikan dirinya sebagai pengganti Aurel, bahkan hal kecil pun menjadi perhatiannya, terutama Naura yang bersikap ceria seperti dulu.

Naura hanya membalas, "Baik, Pak Rindra."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top