Bab 47

***

"Ini gaji kamu untuk bulan kedua." Rindra langsung memberikan amplop tebal untuk Naura, ketika gadis itu menyelesaikan aktivitas cuci piring. "Kinerja kamu bagus."

Naura terkejut akan sodoran amplop tersebut yang makin membuatnya bingung. Selagi Toni terlelap di kamar, tinggal dirinya dan Rindra saja yang masih terjaga. Bahkan di jam 10 malam.

"Secepat itu, pak?" tanya Naura heran sambil mengelap kedua kain dengan kain yang kebetulan digantung dekat wastafel kemudian langsung mengambil amplop warna putih itu dari tangan Rindra.

"Kalau kamu empati sedikit saja sama mama kamu, tolong deh. Mending kamu pulang saja daripada mama kamu khawatir." Rindra memberikan saran yang sekiranya akan membuat Naura kepanasan. "Kamu masih nyaman aja tinggal di sini, bahkan belum berpikir gimana caranya kamu berdamai sama mama kamu. Memang kamu nggak kasihan apa sama mama kamu, yang terus saja cari-cari keberadaan kamu?"

Naura mendecih kecil saat Rindra mengungkit tentang mamanya. Apa tidak sebaiknya Rindra melihat situasinya terlebih dulu? Naura bahkan enggan untuk pergi dari rumah Rindra hanya untuk menyelesaikan masalah tentang mamanya. Dia masih harus memberikan waktu yang cukup agar situasi mereda dan harap saja mamanya dapat bersikap lunak padanya.

"Hmm? Kamu nggak kasihan gitu?" tanya Rindra sekali lagi, tahu pertanyaannya belum terjawab oleh Naura selama semenit.

"Nggak," jawab Naura cepat. "Setelah apa yang terjadi pada mama, saya tidak akan menaruh rasa kasihan sama sekali kepada mama saya. Mama saya juga jahat orangnya."

"Bagaimanapun juga, Nau. Mama tetaplah mama kamu." Rindra mengingatkan, kemudian dia bergerak mengambil gelas di lemari dan mengisinya dengan air minum di dispenser. "Kamu tuh ya. Apa-apa kalau berantem sama mamanya, harus bicara baik-baik lalu masing-masing cari cara agar kamu dan mama kamu bisa berdamai."

"Memang mudah pak, mengubah sikap seseorang?" Naura bertanya seolah menantang. "Bapak kan tahu gimana mama saya. Bahkan saya sempat cerita berkali-kali loh tentang mama saya."

Naura kini berkacak pinggang sambil menghembus napas kasar. "Oh iya, Bapak pasti belum pernah ketemu dengan mama saya ya? Bahkan saat Bapak menikah dengan Kak Aurel."

"Yang saya pahami itu, mama kandungnya Aurel sudah meninggal lama sekali. Saya juga nggak tahu kalau Aurel punya mama sambung, yaitu mama kandung kamu sendiri." Rindra bicara fakta, lalu tiba-tiba mengayunkan kaki keluar dari area dapur.

Naura mengekori dosennya hingga meja makan. Kemudian mereka duduk berseberangan, hanya untuk melanjutkan obrolan.

"Ngomong-ngomong, gimana mama kamu sama Aurel waktu saya belum menikahinya? Apa mereka sempat akur?" tanya Rindra seakan memancing Naura untuk berbicara. Alih-alih meminta sebuah rahasia pada Naura.

"Katanya keluarga kamu bak Cinderella. Aurel itu Cinderella-nya, terus kamu saudari tirinya yang baik. Terus mama kamu, mama tiri yang jahat. Apa betul?" Rindra memperjelas pertanyaannya.

"Betul." Naura spontan membenarkan.

"Seperti bagaimana jahatnya mama kamu terhadap Aurel?" tanya Rindra makin serius. Dia terus memancing Naura agar bisa menjawab dengan jelas. "Gini-gini saya masih suaminya Aurel walau Aurel sudah tidak ada lagi."

"Saya nggak bisa cerita secara detail, pak," ungkap Naura seraya menghela napas. "Karena ini adalah masalah keluarga saya, jadi saya nggak mau ceritakan semuanya pada Bapak."

Rindra tertegun mendengarnya. Apa mungkin masalahnya besar sehingga Naura enggan menceritakannya? Rindra tidak masalah untuk menyimak setiap cerita Naura, pun dia hanya penasaran tentang perlakuan wanita paruh baya yang ditemuinya di kampus beberapa waktu lalu.

Kamu suaminya Aurel, kan? Mantan anak saya yang tidak berharga itu?

Masih teringat dalam benaknya tentang Yulianti yang menyebut Aurel sebagai anak yang tidak berharga. Apa yang mendasari Yulianti jadi tidak menyukai putri kandung Hendra? Rindra tahu beberapa alasan umum yang katanya anak sambung mengganggu hidup atau terkadang menyebalkan. Aurel bahkan tidak pernah menunjukkan sikap buruk selama menjadi suaminya. Mungkinkah pemicunya adalah Yulianti?

Lagipula Aurel juga tidak memperlihatkan tanda kejiwaannya terganggu atas perbuatan mama sambungnya.

"Kenapa kamu keberatan menceritakannya pada saya?" tanya Rindra mencondongkan pandangannya pada Naura."Saya ini suaminya, dan saya berhak untuk tahu. Pun mertua saya adalah papa sambung kamu, sekaligus suami Ibu Yulianti."

"Sama seperti cerita Cinderella pada umumnya kok, pak. Menyuruh-nyuruh Kak Aurel membersihkan rumah, memperlakukan Kak Aurel seperti babu di rumah. Terus beli bahan makanan ke pasar. Gitu-gitulah."

Entah kenapa semua jawaban yang dilontarkan Naura belummemuaskannya. Tentu, Rindra menebak Naura hanya asal cerita supaya lolos dari berbagai pertanyaan yang sekiranya rumit untuk dijawab.

"Memang kamu lihat sendiri?" tanya Rindra tidak percaya.

"Loh, itu saya sudah jawab tadi, masa nggak percaya begitu sih, pak?" sergah Naura tiba-tiba. "Lagipula mama saya memperlakukan saya dan Kak Aurel itu sama rata. Nggak ada yang dibeda-bedakan."

Naura menyudahi obrolan, kemudian berdiri dari kursi tempatnya duduk barusan lalu menaiki tangga dengan perasaan berkecamuk.

Rindra hanya bisa menggaruk kepalanya. Kenapa bisa Naura semarah itu padanya? Padahal tinggal menjawab masalah keluarga saja, lagipula dirinya sendiri juga bagian dari keluarga.

Rindra sungguh menduga kalau masalah yang dialami Aurel begitu berat hingga semua anggota keluarganya enggan untuk bercerita, termasuk Naura si adik sambung yang baik.

"Apa aku perlu cari tahu sendiri?" gumam Rindra masih duduk di tempatnya. Dia mulai meneguk air minum yang tidak tersentuh olehnya semenjak mengisinya di dispenser barusan. "Kalaupun begitu, aku mungkin bisa minta papa cerita. Apalagi Aurel pasti menceritakan semua masalahnya pada papa."

***

Keesokan harinya, Yulianti meminta janji temu dengan Hendra. Entah apa yang mereka bicarakan lagi kali ini, yang penting mereka jadi punya waktu berdua untuk mengobrol sesuatu.

Hendra bisa menebak pasti Yulianti membahas Naura. Tidak salah lagi, dari awal mereka duduk di sebuah kafe artistik dan disajikan makanan serta minuman, Yulianti mulai membuka mulut dan menyebut nama Naura. Bahkan membahas Naura selama lebih dari lima belas menit.

"Yul. Ini jam makan siang, kalau kamu berceloteh tentang Naura di depanku, nggak akan mempan bagiku. Naura ada di Singapura sekarang. Jagain kakaknya." Hendra seakan eneg melihat Yulianti yang tidak ada habis-habisnya membahas Naura. Bukannya Yulianti tidak sayang sama Naura dan tidak menghargai Naura sebagai seorang anak? Apa yang mendasari mantan istrinya itu membahas Naura di tengah-tengah obrolan?

"Aku tahu." Yulianti mendekatkan jarak pandangannya meski duduk berseberangan di meja bulat. "Berarti cuma ada kita berdua. Naura dan menantumu yang ganteng itu, ada di Singapura."

Menantu? Jadi Yulianti bertemu Rindra juga? Sungguh tidak menyangka, berawal dari kaburnya Naura membawa dampak besar. Termasuk Yulianti yang tidak menyerah sama sekali mencari keberadaan Naura.

"Ngomong-ngomong soal Naura, berapa uang yang kamu kasih padanya?" tanya Yulianti sambil menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Tak lupa dia melipat kedua tangannya dan menatap intens Hendra.

"Ada sejuta sehari?" tambah Yulianti menebak nominal.

"Nggak sebanyak itu," jawab Hendra santai. "Pun Naura juga nggak pengen tuh disogoki uang dariku. Katanya mau hidup mandiri atau apalah."

"Bohong. Naura itu mata duitan, sama seperti mamanya. Mustahil kamu nggak kasih sebanyak itu." Yulianti tertawa renyah lalu mulai mengarahkan telunjuknya tepat di depan Hendra. "Gara-gara kamu, aku jadi mengingat masa-masa menyakitkan di mana kamu berkata 'pisah' dengan lantang. Juga kamu yang memarah-marahiku sebelum kamu pergi dari rumah dan meninggalkan kami. Apa itu tidak cukup untuk membuat hatiku sakit, hah?"

"Kamu menikahiku cuma ingin ... ginian." Hendra menggosok ujung jari telunjuk dengan ibu jari, seolah menunjukkan isyarat bahwa itu adalah uang. "Kamu nggak cinta sama aku, dan lebih cinta pada uangku. Wajar aku marah."

"Tunggu, itu ..."

"Hush, hush." Hendra menyodorkan jari telunjuknya, meminta Yulianti tidak menyela ucapannya. "Ditambah lagi kamu memperlakukan Aurel lebih buruk dari ibu tiri pada umumnya. Mungkin kamu nggak akan ingat ini, Yul, karena ini sudah lama sekali. Tapi aku sebagai papa kandungnya Aurel, tahu betul bagaimana Aurel sering mengeluhkan rasa sakitnya ketika kamu memukulnya."

"He–hei! Aku hanya menyuruh Aurel menyapu, mengepel, cuci piring, juga membersihkan kamar kita berdua saat itu. Apa maksudmu bicara tentang memperlakukan Aurel lebih buruk, hah?" Yulianti menyergah tidak menerima.

"Aurel tiap hari dipukuli kamu, Yul. Aurel sendiri yang bilang sama aku, bahkan dia juga tiap hari mengeluh lengannya sakit dan menyebabkannya tidak bisa datang ke kampus lalu memutuskan dirawat di RS sebab takutnya ada luka di bagian lengan."

Mendengar penjelasan Hendra justru membuat otaknya buntu. Yulianti mengakui dia tidak ingat bagian itu. Malahan yang paling membekas dalam ingatannya hanyalah melontarkan amarah dan menampar Aurel. Hal fisik yang dilakukan Yulianti cuma satu tamparan saja, tidak ada hal lain lagi.

"Hend. Jangan bicara omong kosong deh, aku nggak pernah mukul Aurel sampai sejauh itu. Apalagi menyakiti lengannya, nggak pernah tuh." Yulianti membela dirinya sendiri juga menunjukkan wajah-wajah polos dan tidak bersalah. Membuat Hendra sekali lagi muak dengan pemandangan tersebut di depannya.

"Harusnya aku mau bicarakan ini padamu sudah sangat lama, Yul," ungkap Hendra. "Tapi kurasa ini memang waktu yang tepat untuk membahas semua."

Hendra menyingkirkan piring berisikan mie goreng yang ditata rapi lalu menaruh kedua tangannya seakan menunjukkan posisi bersedekap.

"Yul. Kamu itu sadar nggak sih, kamu bukan cuma memperlakukan buruk Aurel, tapi kamu juga berbuat hal yang sama kepada Naura?"

Yulianti menaikkan kedua alis sambil memiringkan sedikit kepalanya, kembali menunjukkan rasa tidak bersalahnya. "Berbuat semacam apa?"

Hendra baru membuka mulut namun Yulianti menyela cepat seolah peka dengan jawabannya.

"Ah, aku tahu. Karena sering merampas uang hasil kerja kerasnya Naura?" tebaknya enteng.

"Bukan hanya itu." Hendra menggeleng. "Kamu bahkan nggak segan-segan membentak Naura, cuma karena tersinggung Naura mengungkit dirimu yang gila belanja dan menghamburkan uang."

"Loh, itu kan ..."

"Kamu benar-benar seorang ibu?" tanya Hendra kini menyatukan kedua alisnya. "Bahkan kamu nggak segan-segan membentak darah daging kamu sendiri? Kamu nggak kasihan sama Naura kalau sikapmu semena-mena terhadap dia?"

"Tunggu sebentar." Yulianti mengangkat satu tangannya meminta Hendra menjeda obrolan. "Kamu bukan mau ultimatum, kan? Aku nggak sampai segitunya pada Naura. Bahkan Naura sendiri juga terkadang menyebalkan. Gimana sih?"

"Justru itu." Hendra menaikkan nada bicaranya. "Kamu yang membuat Naura menjadi menyebalkan karena sikap kamu yang keterlaluan padanya."

Yulianti mendadak tertegun. Entah kenapa otaknya berjalan tanpa diminta, seakan-akan membawa ingatannya pada masa saat dirinya bersikap buruk pada kedua anaknya. Anak kandung juga anak sambung.

"Kamu dipecat dari perusahaan asuransi, lalu berteman dengan geng sosialita dan ikut arisan. Terus meminta uang padaku dan karena aku bucin jadi memberikanmu kartu kredit hingga aku punya tagihan membengkak. Apalagi sifat buruk kamu? Memarahi anak-anak tidak bersalah. Itu juga berimbas pada anakku satu-satunya, Aurel."

"He–Hendra ..." Yulianti berusaha meredakan situasi, namun sepertinya Hendra masih punya banyak stok kata-kata untuk diucapkan."

"Yang paling parah. Kamu mengurung Aurel selama tiga hari di gudang rumah. Membuat dia nyaris mati karena tidak diberikan makan." Hendra mulai menggelengkan kepala bahkan matanya juga sembab oleh tangisan yang keluar. "Kamu sungguh tega, Yul. Ibu macam apa kamu sampai membuat anak yang tidak bersalah jadi kena juga?"

Yulianti memukul meja, lagi-lagi tidak terima atas tuduhan yang diberikan Hendra padanya. "Dengar ya, Hendra. Aku itu mengurung Aurel karena dia sendiri yang bandel. Mengepel juga nggak becus, ditambah lagi ... dia memasak telur gosong. Dia itu sengaja atau bagaimana?"

"Telur gosong itu tidak disengaja Aurel, Yul," elak Hendra. "Bayangin dia juga harus motong bahan-bahan dan mengecek nasi. Dia semua yang mengerjakannya sendiri, tidak ada bantuan orang lain. Pun ujung-ujungnya aku yang memakan setengah telur gosong itu, biar kamu nggak usah makan yang dibuat Aurel saat itu."

"Aurel-nya aja yang nggak becus bekerja," sergah Yulianti tak ragu menaikkan nada bicaranya. "Lagipula, anak macam apa yang nggak guna melakukan semuanya? Dia itu anak yang nggak ada artinya, nggak ada otaknya, nggak ada apa-apanya. Anak pintar? Lebih tepatnya dia hanya anak dungu yang mau-mau aja diperalat sama mama tirinya."

"Diam kamu, Yul!" Hendra berteriak kencang, tak peduli ketenangan orang-orang di sekitar kafe. "Sudah cukup kamu bicara yang buruk-buruk tentang Aurel. Aku nggak terima anakku satu-satunya bicara hal yang sudah kelewatan. Terutama apa? 'Anak dungu?' Kalau aku nggak punya hati, bisa aja aku ejek Naura dungu juga. Tapi, Naura itu satu-satunya keluarga yang menyayangi Aurel sama seperti kakak kandungnya sendiri. Jadi aku nggak benci anak kamu. Pun, aku anggap anak kamu juga anak aku sendiri. Sementara kamu nggak menganggapnya begitu, demikian kepada Aurel."

"Kenapa jadi melebar ke mana-mana?" tanya Yulianti heran. "Tadi bahas Naura, sekarang bahasnya Aurel. Nggak konsisten banget."

"Tuh. Mulai lagi sikap kamu yang seperti itu." Hendra menunjuk seakan menduga reaksi Yulianti setelah berbicara panjang lebar tentang Aurel. "Bilang aja kamu nggak mau mengakui kesalahan kamu sendiri telah membuat mereka nyaris rusak mentalnya karena ulah kamu."

"Aku? Merusak mental mereka?" Yulianti mendecih lalu menertawakan fakta omong kosong Hendra. "Mereka yang menyebalkan malah aku yang dibilang merusak mental mereka. Kamu tuh juga harus pikir, gimana kalau punya anak tidak mau nurut dan nakal seperti Aurel dan Naura? Kamu juga pasti akan merasa tertekan, bukan?"

"Nggak. Nggak sama sekali." Hendra menggeleng mantap. "Aurel lemah lembut dan penyayang, sering tersenyum pada orang lain. Penurut pula. Naura juga begitu."

"Ya sudah, angkat aja Naura jadi anak kamu lagi," tantang Yulianti seraya tercengang. "Tanpa harus menikah denganku, aku nggak apa-apa sendirian."

"Oh, berarti kalau kamu menyerahkan Naura kepadaku, maka kamu nggak menginginkan 'ini'?" Hendra spontan mengangkat tangannya dan menunjukkan berlembar-lembar uang merah yang sekiranya mungkin dapat menggoyahkan Yulianti.

"Kalau kamu sungguh-sungguh ingin Naura berada di tanganku, berarti kamu nggak akan dapat 'alat pencetak uang' khusus untuk kamu. Karena apa? Karena Naura itu dijamin semua-muanya. Termasuk uang makannya, kebutuhannya, bahkan kuliahnya juga. Naura nggak akan bekerja lagi dan membuatnya harus fokus kuliah."

Yulianti meneguk ludahnya pelan dan mulai tidak berdaya dengan pancingan Hendra kini. Bukan Yulianti namanya jika tidak tergoda dengan uang. Semua amarah yang mengendap dalam kepala seakan luruh begitu saja.

"Keputusanmu bulat, maka nggak ada lagi yang kasih kamu uang." Hendra tak ragu memasukkan uangnya ke dalam tas kecil yang dibawanya. "Baiklah kalau itu maumu. Naura akan tetap tinggal tanpa harus pulang ke rumahnya lagi. Begitu Naura pulang dari Singapura, Naura bakal langsung aku angkat jadi anak. Kamu nggak ada hak untuk menengok Naura."

Mendengar ancaman Hendra membuat Yulianti spontan berdiri dan memegangi tangan mantan suaminya seraya berlutut. "Hendra. Kamu nggak boleh gitu dong. Aku nggak bisa melepaskan Naura begitu saja tanpa meminta maaf dari aku."

Yulianti tampak menghela napas lalu mengatur dirinya agar tidak kelepasan dalam meluapkan amarah. "Iya, aku akui aku salah. Aku memang kelewatan bersikap kasar terhadap Naura. Aku malah merasa bersalah pada Naura."

"Ke Aurel nggak?" tanya Hendra iseng.

"Dengarkan aku dulu, Hend." Yulianti menyela begitu cepat. Jelas, dia enggan mengakui kesalahannya kepada Aurel. Hanya kepada Naura saja dia seperti itu.

"Aku salah. Aku sangat merasa bersalah bahkan semenjak anak itu kabur dari rumah," ungkap Yulianti. "Aku marah karena anak itu sering bertemu dengan kamu. Yang menimbulkan rasa sakit hati. Dan, dan ..." Yulianti mendadak terbata-bata. "Untuk Aurel, aku tetap tidak terima kamu membela Aurel. Jelas kok dia salah."

"Kalau kamu mau Naura memihakmu seperti seorang anak bagimu, minta maaflah terlebih dulu pada Aurel." Hendra menanggapi dengan lugas. "Aku permisi."

Hendra menyudahi obrolan begitu saja, bahkan makanan yang dia santap setengah itu dibiarkannya begitu saja. Hendra pergi dengan membawa tas kecil, namun sebelumnya dia membayar kedua makanan yang dipesannya tadi.

"He–Hendra." Yulianti spontan mengikuti langkah Hendra, namun sayang Hendra mendadak berlari dan menjauh begitu saja dari pandangannya.

"Dasar sialan."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top