Bab 46

***

Sudah hampir sebulanan Yulianti mencari-cari Naura namun tidak menemukan keberadaan anak itu. Menelepon Hendra rasanya percuma, mantan suaminya pasti tidak bakal mau mengangkatnya. Kini Yulianti menumpang mobil Gita hanya sekadar mencari informasi tentang keberadaan Naura. Yulianti juga bergelut dengan pikirannya.

"Aku sebenarnya takut, jeng." Yulianti berceletuk sambil memegang bibir bawahnya. "Kalau Naura terjadi sesuatu padanya, aku nggak mau sampai Naura kenapa-napa."

"Segitu khawatirnya sama anak kamu, jeng?" tanya Gita iseng. "Biasanya kamu nggak pernah peduli tuh tentang anak kamu. Apalagi kamu juga, mikirnya kalau bukan belanja baju, mikirin arisanlah, emaslah buat kamu gunakan sebagai perhiasan."

"Aku tuh takut kalau dia mau nyusul kakaknya," tegas Yulianti.

Gita spontan mengangkat kedua alisnya, menciptakan kerutan di tengah dahi. "Apa maksudnya menyusul kakaknya?"

"Duh, jeng ini. Aku kan menikah dengan Hendra di saat Hendra punya anak perempuan, namanya Aurel. Aku juga nggak tahu kabar anak itu gimana. Yang kita tahu kan, anak itu sakit tapi dirawatnya di mana coba?"

Kak Aurel menahan rasa sakitnya dan mama nggak kasih Naura kesempatan bertemu dengan Kak Aurel!

Menahan rasa sakit? Yulainti sempat ingat Naura pernah mengucapkan itu padanya sembari menangis. Yulianti tahu beberapa bulan lalu, Naura menangisi hal yang menyakitkan.

"Apa jangan-jangan, anak itu sudah meninggal kali ya?" duga Yulianti. "Nggak sih, Aurel pasti masih dirawat di rumah sakit. Dan si pria tua bangka itu pasti membawa Naura ke luar negeri untuk menjenguk anak tidak berguna itu"

"Kenapa kita tidak cari saja nomornya mantan suami kamu?" usul Gita. "Baik, kamu pasti cuma punya satu nomor dari Hendra. Kita ke Gyodi, tempat Hendra bekerja. Siapa tahu kita punya petunjuk, bukan? Kalau kamu menemukan nomor lain yang Hendra punya, hubungi salah satunya. Hendra itu orang kaya, jeng. Dia punya banyak ponsel dan nomor, menyesuaikan kebutuhannya. Kamu harus ingat itu, jeng."

Ada benarnya juga Gita. Mantan suaminya bahkan memiliki semuanya, termasuk kartu kredit, kartu debit, bahkan ponsel serta perangkat-perangkat lainnya. Meski Hendra hampir memasuki kepala enam, Hendra tetap segar dan bugar. Tubuh tegapnya itu sempat menghipnotis dirinya kala masih merindukan suaminya yang terdahulu.

Hanya saja, kenangan tetaplah kenangan. Begitu berhasil menikahi Hendra, tidak ada yang bisa dia nikmati seluruhnya. Ada satu anak perempuan yang menyebalkan dan selalu saja mengganggu hidupnya. Bak ibu tiri, dia pun memperlakukan Aurel dengan buruk bahkan berani mengadu domba situasi agar Aurel disalahkan. Namun pada akhirnya dialah yang ditunjuk sebagai sumber permasalahan utama, sebab Hendra terlalu memercayai Aurel.

"Sudahlah, jeng. Aku nggak mau mikirin itu," kata Yulianti dengan pasrah. "Tapi tetap aku harus berusaha mencari Naura. Mama macam apa aku membiarkan Naura pergi? Aku nggak punya bantuan atau pegangan apa-apa lagi selain Naura seorang."

"Berarti kalau kamu sudah menemukan Naura, kamu bakal menjadikan si Naura itu alat pencetak uangmu lagi, begitu?" tebak Gita.

"Sembarangan!" sergah Yulianti terkejut mendengar tebakan sahabatnya. "Nggak lah! Aku cuma ingin ... Naura membuka pikirannya kalau mamanya ini sendirian tanpa sanak saudara ataupun keluarga. Pokoknya aku nggak mau biarin Naura tinggal bersama Hendra. Aku ini bagaimana? Aku nggak bisa bergantung terus sama orang lain, terus gimana dengan uang yang harusnya Naura kasih setiap hari? Ini beberapa hari sebelum kabur, Naura tidak lagi kasih uang padaku."

"Bukannya uangnya Hendra ya semua itu?" tanya Gita perlahan menyadarkan Yulianti bahwa segepok uang yang diberikan Naura pada sang sahabat adalah milik mantan suami Yulianti.

"Iya, aku tahu uangnya Hendra, tapi ya pasti tuh anak tahu diri kalau dia nggak akan mau memberikan mamanya sendiri uang dari Hendra. Pasti anak itu sering dikasih uang sama Hendra dan menikmatinya sendiri. Nggak anak nggak mamanya sama aja. Tentu akan seperti itu, jeng."

Gita melenggut membenarkan pendapat Yulianti. "Ada benarnya juga sih."

"Kecuali ... ketika Naura tiba-tiba memberikan satu juta padahal sebelumnya cuma 250 ribu." Yulianti menambahkan hanya untuk memperlengkap informasi. "Nggak apa-apalah terima uang dari si Hendra itu, cuma karena mengingat Hendra jadi terbawa pada situasi panas di mana Hendra berucap pisah dengan lantang di depan mukaku. Bagaimana nggak murka? Dia tiba-tiba minta pisah dan mengancam akan meninggalkanku dan Naura."

"Jadi di situ kamu mulai benci pada si pria tua bangka itu?" Gita ikut-ikut memanggil ledekan khusus dari Yulianti, bahkan dia mengikuti nada khas sahabatnya tersebut.

"Oh iya, jeng." Gita pun mulai memancing obrolan pada Yulianti tanpa menunggu tanggapan. "Soal suaminya Aurel yang ... siapa lagi namanya?"

"Rindra Hartawan." Yulianti menyebutkan nama pria tinggi yang ditemuinya di kampus beberapa waktu lalu.

"Oh si dosen itu kan, jeng?" Gita memastikan, dibenarkan oleh Yulianti. "Tapi kan jeng, Aurel itu sakit dan dirawat di RS yang kemungkinan dugaan kita di luar negeri. Kenapa Rindra nggak di sana? Harusnya kan sebagai seorang suami yang baik, dia harus bisa jaga Aurel dengan sepenuh hati. Apa jangan-jangan Rindra itu mau jadi seperti mertuanya, tidak peduli?"

"Nggak tahulah, jeng. Aku juga nggak sempat nanyain dosen itu lebih lanjut lagi. Keburu pergi orangnya."

Mereka berdua spontan membuang napas gelisah, seakan tidak punya cara lain lagi.

"Sebenarnya tuh, jeng." Gita bersuara kembali ketika mobilnya berada di depan lampu merah. "Aku bantu kamu, nggak mengharapkan imbalan apa-apa dari kamu. Hanya–mohon maaf nih kalau kesannya aku ikut campur– aku tuh penasaran loh sama rumah tangga Rindra dan mantan anak kamu itu. Apa Rindra sendiri tahu kelakuan kamu pada Aurel semasa kamu jadi istrinya Hendra?"

Benar juga. Kalau saja Rindra tiba-tiba mengetahui betapa kejamnya dia dahulu dengan Aurel, apa Rindra akan membencinya? Tentu percuma saja kalau Yulianti meminta mereka bergabung pada keluarga Hendra juga Rindra yang aturan adalah menantunya itu.

"Aku merasa tidak berdaya jika tidak ada Naura, jeng," ungkap Yulianti seolah mengalihkan topik. "Pokoknya sampai ke luar negeri sekalipun, aku tetap akan cari Naura."

"Ya nggak sampai segitunya juga, jeng. Intinya sekarang tuh, kita ke Gyodi. Kebetulan aku pegang alamatnya."

Lampu lalu lintas kini berwarna hijau, dia langsung menginjakkan gasnya lebih dalam lagi agar mobil yang dia kendarai melaju dengan cepat.

"Jeng, pelan-pelan," peringat Yulianti sambil memegang kuat hand grip mobil. Apalagi di jam sembilan pagi, jalanan agak lengang membuat Gita jadi ada kesempatan untuk menyalip beberapa kendaraan di depan dan makin mempercepat laju kendaraan.

***

"Papa kenapa diam?" tanya Naura menyadari Hendra hanya membuat tatapan kosong. "Siapa yang menelepon papa?"

Mengesampingkan respon Naura terhadapnya, Hendra kembali memasang telinganya pada bagian depan ponsel.

"Apa Naura ada di LN sekarang? Lalu kamu ikut bersamanya, kan?" Suara Yulianti memenuhi pendengarannya.

"Apa maksudmu bicara kayak gitu?" Hendra pun merespon. Naura melihat respon Hendra langsung di depannya.

"Aku tahu kamu pasti nyusulin si Aurel, kan?"

"Maksudnya apa, sih?" Hendra tidak pura-pura, dia sungguh tidak paham maksud Yulianti itu.

"Kamu membawa Naura ke Singapura supaya mau menengok kakaknya kan? Terus apa? Kamu biarin aja perkuliahan Naura jadi berantakan karena mengikuti kemauan kerasnya Naura."

Tunggu, apa jangan-jangan Yulianti tidak tahu kalau Aurel sudah meninggal setahun yang lalu? Kira-kira siapa yang memberikan informasi tentang Aurel pada Yulianti?

"Benar nggak?" Yulianti seakan mendesak Hendra untuk merespon pembicaraannya.

"Be–benar. Naura sekarang ada di Singapura dan sedang berada di rumah sakit, menjaga kakaknya. Memangnya kenapa?"

Mendengar Hendra mengatakan itu membuat Naura terkesiap. Selama ini mamanya mengira Aurel masih hidup. Mungkin karena Naura pernah sekali berkata 'jahat' ke mamanya dan membuat Aurel menderita tanpa menyebutkan bahwa Aurel sudah tidak ada lagi di dunia.

Pantas saja Hendra menyinggung tentang Singapura. Memang benar Aurel sempat dirawat di Singapura, Hendra sendiri yang pernah bilang padanya.

"Terus ... kenapa kamu nggak di sana? Kata orang-orang di kantormu, kamu masih sering mengikuti rapat atau melakukan pekerjaan lain?" tanya Yulianti heran.

"Aku nggak bisa meninggalkan pekerjaanku, Yul. Lagipula sudah ada adiknya yang menjaga, pun ada suaminya juga."

Yulianti terdiam. Hendra menjauhkan ponsel dan menengok layar, memastikan Yulianti tidak mematikan ponselnya lalu menempelkan bagian depan ponsel ke telinga.

"Kenapa?" Hendra berusaha memancing agar Yulianti merespon.

"Aku tutup teleponnya."

Di sisi lain, Yulianti mulai menangkup wajahnya dan mengusapnya kasar. Gita yang melihatnya jadi heran.

"Kenapa lagi dengan mantan suami kamu itu?" tanya Gita sambil menyesap jus buah naga yang berada dekat sekali dari wajahnya. Kebetulan Gita dan Yulianti singgah di sebuah kafe sederhana bernuansa kayu yang menyajikan makanan ringan dan jus buah.

Mereka duduk di bagian luar kafe sambil menunggu kabar dari Hendra tentang Naura. Namun yang ada, Yulianti menggeram keras bahkan nyaris membanting ponselnya di atas meja.

"Kata Hendra, suaminya Aurel ada di Singapura. Tapi bukannya si Rindra itu ada di kampusnya, sedang mengajar? Jangan bilang mereka mencoba membohongiku berulang-ulang kali."

"Hei, jeng. Bukannya kamu ketemu si Rindra itu sepekan lalu ya?" Lagi dan lagi Gita berusaha mengingat apa yang sudah dilupakan oleh Yulanti. "Bisa saja kan dari sehari lalu atau mungkin beberapa hari yang lalu Rindra sudah pergi ke Singapura untuk menjaga istrinya di sana. Memang benar perkataan Hendra itu. Kamunya aja yang nggak tahu situasi."

Selanjutnya helaan napas gelisah menjadi respon Yulianti kini. Tak lupa dia menepuk dahinya seakan merutuki dirinya yang pelupa. "Benar juga ya. Aku nggak terlalu banyak mengikutinya, makanya nggak tahu. Paling barusan cuma menebak aja, karena aku lihat Rindra di kampus belum lama ini."

Baiklah, mungkin karena faktor usia justru membuat Yulianti jadi pelupa. Sejenak Yulianti mengatur napasnya terlebih dulu kemudian menyesap jus sirsak yang sedari tadi dipesannya.

"Jeng. Kan kamu sudah tahu tuh kalau Naura kabur sampai ke luar negeri. Kamu mau nggak nyusulin?" Gita mencari kesempatan mengusulkan sesuatu, yang mungkin tidak akan dicapai Yulianti.

"Ya mana bisa jeng?" Yulianti bersuara dengan nada pasrah, seolah menyerah terhadap tindakannya. "Aku nggak punya paspor. Mau ngurus, takutnya kelamaan. Ya udah, biarin aja Naura jagain si anak nggak berguna itu. Lagipula mereka deket banget kayak kakak-adik sedarah."

Yulianti mengerucutkan bibirnya sambil mengaduk cepat jus sirsaknya dengan sedotan plastik.

"Aku menyerah sajalah. Lagipula ..." Matanya mulai mengerling ke arah Gita. "Apa kamu masih bisa bantu aku kan? Soal ... ginian?"

Yulianti menggosokkan permukaan kulit telunjuknya dengan ibu jari, menandakan kalau wanita itu menginginkan uang.

"Ya pasti dong, jeng." Gita langsung menaruh tangannya ke pundak Yulianti, sebagai bentuk solidaritas. "Yang penting, demi sahabatku tercinta dan misi untuk mencari Naura. Tapi ya terhenti dulu karena anaknya lagi di LN."

"Benar lagi."

Mereka pun melempar tawa masing-masing seraya menyesap jus mereka masing-masing. Kemudian mereka pun memulai obrolan dengan topik basa-basi, seakan mereka enggan meninggalkan tempat yang mereka kunjungi.

Sementara itu, Hendra dan Naura berada dalam satu mobil disopiri oleh Eka untuk berangkat ke tujuan selanjutnya yaitu kampus Naura.

"Pa. Naura tuh nggak nyangka kalau mama masih belum tahu tentang Kak Aurel," celetuk Naura. "Ada bagusnya juga papa bilang ke mama soal Naura yang kabur ke Singapura untuk menjenguk Kak Aurel."

Hendra melenggut semangat sambil menyimpulkan senyum. "Iya. Lega juga mama kamu nggak bakal menelepon papa seterusnya. Lagipula kata resepsionis yang bertugas, mama kamu nekat pergi ke kantor papa dan meminta nomor bisnis papa."

"Sebenarnya terlalu membahayakan bukan sih dengan tindakan mama itu?" Naura menduga. "Makanya, pa. Lebih baik jangan rujuk sama mama. Mama itu orangnya nggak baik buat papa. Atau lebih baik jangan menikah sama siapapun, pa. Kan ada Pak Rindra, ada Naura juga, ada Toni. Banyak kok keluarga papa yang bisa membuat papa nggak kesepian lagi."

Teringat sekali Aurel pernah mengatakan hal yang sama dengan Naura, bahkan jauh sebelum Hendra bertemu dengan Yulianti.

Pa. Mending papa jangan menikah sama wanita manapun. Atau menikah dengan wanita seumuran Aurel. Aurel belum siap untuk memiliki ibu sambung, pa.

Meski ujung-ujungnya Hendra menikah lagi dan Aurel yang rela punya ibu sambung seperti Yulianti, tetap saja Hendra merasa saat itu dia terbelenggu oleh pesona dan kebaikan hati Yulianti. Walau pada akhirnya Yulianti mulai kelihatan sifat aslinya setelah menikah.

Hendra bisa memetik pelajaran dari semua hal yang terjadi. Dia tidak boleh terperdaya. Hanya itu jalan satu-satunya agar tidak menyesal suatu saat nanti.

"Iya, nak. Papa paham. Papa saja yang bodoh karena mengikuti kemauannya papa. Yang ujung-ujungnya, papa jadi nyesal dan membuat Aurel hancur." Hendra sempat tertawa namun spontan membuat wajah gelisah. "Andai ya Yulianti bisa menjaga sikap dan lunak kepada keluarga kita, pasti tidak akan terjadi hal-hal yang buat papa marah besar saat itu."

"Pa. Mending jangan dipikirin hal-hal kayak gitu. Toh semua sudah berlalu. Intinya, masa depan keluarga papa juga Pak Rindra yang lebih penting. Kita lihat situasinya gimana, nanti kalau saja mama bisa lunak terhadap kita, papa boleh kok rujuk sama mama. Asalkan, mama harus berubah. Kalau nggak berubah atau masih gitu-gitu aja, Naura nggak akan tinggal diam. Lebih baik Naura bakal tinggal sama papa dan biarin mama pontang-panting menghidupi dirinya sendiri."

Naura tentu sangat berharap mamanya bisa berubah. Dia ingin tidak ada lagi permasalahan yang tercipta. Dia justru lebih kasihan terhadap Hendra, di masa tuanya beliau harus lebih tenang dan santai dibanding meladeni sang mama dan keinginan kuat untuk mendapatkan uang.

Selagi Naura mampu untuk menjaga sang papa, Naura juga ingin menghidupi suasana keluarga papanya. Tak lupa, keluarga Rindra juga. Pun Rindra sudah dia anggap keluarganya sendiri, terlebih sebagai seorang kakak untuknya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top