Bab 44

***

"Ayah! Ayah udah sehat?" Toni berlari kecil menuju ranjang yang masih ditempati Rindra. Kini Rindra tidak lagi dalam posisi berbaring, dia mulai duduk di sisi ranjang dengan kedua kaki diluruskan dan menutupi sebagian tubuh dengan bed cover.

"Iya, ayah sudah sehat." Rindra menerima pelukan hangat Toni kala putranya naik di atas ranjang. "Gimana main sama kakek sama Om Eka? Senang?"

"Senang, dong." Toni menjawab penuh semangat. Pelukannya tak dilepas dari tubuh Rindra. "Tapi, kalau ada ayah, lebih seru lagi. Di kantornya kakek, Toni main mobil-mobilan sama kakek. Terus Om Eka bawain makanan buat Toni."

"Terus, makanannya kamu habiskan?" tanya Rindra memastikan.

"Habis. Makanan yang Om Eka beli enak banget," ungkap Toni sangat antusias.

"Rice bowl tempat langganan papa, untungnya Toni suka." Hendra berceletuk kemudian ikut masuk dalam kamarnya. "Gimana keadaan kamu, nak? Baik-baik saja?"

"Iya. Kebetulan bubur sudah kuhabiskan dan obat juga minumnya rutin."

"Bagus Naura memperhatikan kamu sampai sedetail ini." Hendra berkesempatan duduk di sisi ranjang sambil mencuri kesempatan menggendong Toni ke pangkuannya.

"Toni, masih mau main sama Om Eka nggak?" tanya Hendra berinteraksi dengan sang cucu. "Kata Om Eka, dia mau main ular tangga loh. Om Eka udah nungguin tuh di bawah. Lekas hampiri Om Eka ya."

"Wah, asik. Baik, kakek." Toni bersorak gembira lalu cepat-cepat turun dari ranjang dan mengayun kakinya cepat keluar dari kamar milik sang ayah.

Tinggal mereka berdua di dalam kamar itu. Hendra mulai melepas kacamata kala ingin membuka mulut untuk berbicara sesuatu dengan menantunya.

"Nak. Apa belakangan ini kamu merasa sesuatu yang aneh?"

Rindra terdiam sejenak mencerna pertanyaan mertuanya barusan. "Maksud papa apa?"

"Nggak. Cuman barusan ... papa seperti didatangi Aurel lalu mengatakan 'papa sehat?' atau 'gimana keadaan Naura sama mama?' dan itu terjadi selama hampir 10 menit."

Tunggu, Hendra merasakan hal yang sama dengan dirinya. Sore tadi juga dia didatangi bayang-bayang Aurel dan gerak-geriknya pula seperti membawa secangkir teh untuknya. Juga tentang pengingat bahwa Naura lebih baik dibanding Aurel.

"Pa." Rindra meraih tangan berkerut Hendra dan membuat tatapan intens pada sang mertua. "Rindra juga ... mengalami hal itu. Aurel mendatangiku di saat baru terbangun setelah meminum obat. Dan ... Aurel juga tanya kondisiku gimana. Bayangan Aurel terasa nyata, saat tatapan kami bersirobok."

"Iya. Aurel pasti akan mendatangi orang-orang yang dia sayangi. Mungkin juga, Naura mengalaminya cuma anak itu belum cerita ke papa."

"Naura tentu sudah didatangi juga sama Aurel," duga Rindra. "Nggak mungkin nggak, secara kan Naura sangat menyayangi kakaknya."

"Memang Naura cerita sama kamu?" tanya Hendra seakan kurang memercayai asumsi Rindra barusan.

"Ya kan ... kita nggak tahu kalau saja Naura benar-benar didatangi Aurel. Kita berdua sudah mengalaminya barusan."

Helaan napas menjadi jawaban Hendra kini. Entah bagaimana Aurel bisa muncul dengan menanyakan kabar serta situasi sekarang? Mungkinkah karena rasa rindu yang membuncah sehingga Aurel tiba-tiba datang dan tersenyum padanya? Hendra persis ingat kejadiannya di ruang kerjanya, tepat sebelum pulang dari kantor.

"Pa. Mungkinkah ini adalah pertanda bahwa aku harus lebih memperhatikan Naura dibanding mengabaikannya?" Dengan penuh percaya diri, dia mengungkapkan hal yang masih membekas dalam kepalanya. "Aku merasa ... Naura adalah penyelamat. Coba bayangkan kalau saja nggak ada Naura di rumah ini, paling sekarang aku ada di rumah sakit bahkan membutuhkan perawatan sampai seminggu. Penanganan jadi terlambat dan lebih parahnya ... bisa sampai berhari-hari di rumah sakit kalau nggak segera ditangani."

Rindra merasa dia hanya mengalami demam biasa, namun karena tekanan pekerjaan serta sempat mengalami stress, terutama dia tidak pernah memeriksakan kesehatannya tentu menjadi pemicu berat. Naura, si gadis yang mengira akan membawa masalah setelah nekat menginap di rumahnya, justru membawa keberuntungan. Awalnya Rindra melakukan hal apa pun sendiri, tapi dengan adanya Naura, makin mempermudah hidupnya. Terlebih setiap malam Naura membuatkan kopi untuknya di sela-sela pekerjaan. Belum lagi Naura yang membersihkan satu rumah, memilah sampah, dan lain-lain.

Rasanya kurang enak memperlakukan Naura seperti pembantu di rumahnya, namun agaknya Rindra harus menyingkirkan rasa egonya dan lebih menyejahterakan Naura, salah satunya adalah menaikkan gaji Naura.

"Nak. Sepertinya perasaan itu tumbuh begitu saja," celetuk Hendra di sela keheningan. "Jika kamu sungguh mempertimbangkan Naura sebagai pengganti Aurel, mungkin saja papa akan mendukung keputusan kamu nantinya."

Tentang perasaan, pastinya Rindra masih berproses. Namun yang lebih penting adalah, membuat Naura senang dengan balas budi yang sekiranya akan menenangkan hati Naura. Entah bagaimana perlakuannya nanti kepada Naura, dia masih saja memikirkannya.

***

Dua hari setelah pemulihan dari sakit, akhirnya Rindra bisa hadir di kampus untuk memenuhi jadwal mengajarnya. Beruntungnya, Naura dapat menjalankan tugas dengan baik tanpa ada masalah sekalipun.

Menyetir dengan tenang diiringi musik piano yang mengalun seisi mobil membuat Rindra rileks selama perjalanan. Dia merasa bersyukur sebab jalanan pagi ini terlihat lengang. Biasanya sekitar jam 7 atau kurang jam 8, jalanan utama kota akan macet dan untuk bisa lepas dari itu membutuhkan waktu setengah jam. Yang ada menghabiskan waktu di jalan sehingga dampaknya adalah telat sampai di tujuan.

Tidak butuh waktu lama untuk berbelok menuju gedung kampus lalu menepi di depan gedung fakultas ilmu komputer. Rindra menuruni kendaraannya dengan hati-hati, kemudian mengambil tas briefcase cokelat miliknya di jok belakang.

Naura sengaja pergi sendiri sebab katanya ingin ke suatu tempat terlebih dulu. Begitu Rindra melihat Naura menaiki tangga kecil depan pintu masuk gedung, Rindra langsung berlari kecil kemudian menghampiri Naura yang fokus berjalan lurus di sekitar teras gedung.

"Kamu ke U-tion lagi?" tanya Rindra langsung pada inti. Tentu dia menangkap kantong kresek ukuran kecil berlogo U besar sedang ditenteng Naura kini. "Kenapa nggak sarapan di rumah aja kalau niatnya ingin beli pengganjal perut?"

"Ini buat Bapak." Lantas Naura menghentikan langkahnya diikuti Rindra lalu spontan memberikan sekotak susu cokelat untuk dosennya. "Bapak harus jaga kesehatan dan jangan sering-sering merasa tertekan."

Rindra tiba-tiba menatap lebih dalam Naura di hadapannya. Justru mematung melihat sikap perhatian Naura padanya.

"Bapak tahu tidak? Saya tuh awalnya nggak pengen merawat Bapak waktu itu, dan saya biarin Bapak dibawa ke klinik atau di rumah sakit biar diperiksa oleh dokter. Tapi, Kak Aurel terus saja menghantui saya. Kak Aurel seakan memaksa saya agar saya harus merawat suaminya. Kak Aurel merasa cemas melihat Bapak terengah-engah di tempat tidur. Pun, waktu saya menemukan Toni menangis di meja makan, saya nggak tahu Bapak sakit di situ. Cuma setelah saya lihat lebih dekat, Kak Aurel justru berbisik di telinga saya, kalau saya harus merawat Bapak tanpa perlu ke rumah sakit lagi."

Rindra mencerna kata-kata Naura sejenak, terutama menyinggung tentang 'kedatangan' Aurel dan menggentayangi orang-orang yang disayanginya. Jadi, Aurel lebih dulu mendatangi Naura untuk membujuk sang adik agar merawat dirinya? Pantas saja Naura tiba-tiba perhatian dan bersikap peduli, bahkan memberikan obat untuknya.

"Saya nggak mau lihat Bapak sakit," tambah Naura kini menunjukkan raut cemasnya. "Apalagi Kak Aurel, dia nggak mau kalau sampai tahu Bapak tumbang dan tidak dapat bergerak ke mana-mana."

"Saya-saya ..." Rindra tersendat saat ingin mengucapkan sesuatu, kini yang ada hanyalah hembusan napas yang mengandung frustrasi. "Saya harusnya berterima kasih sama kamu karena kamu merawat saya, bahkan mengecek kondisi saya sehari setelahnya."

"Nggak, pak. Berterima kasihlah sama Kak Aurel," ucap Naura tegas. "Saya cuma sebagai perantara buat Bapak."

Susu cokelat bentuk kotak serta roti yang terbungkus plastik masih tersodor di depan Rindra. Bahkan dia belum mengambil pemberian Naura.

"Ambillah. Meski Bapak sudah sarapan, tapi Bapak harus meningkatkan energi dan semangat pagi ini," bujuk Naura. "Ingat ya, saya nggak mau repot lagi dengan merawat Bapak. Sudah cukup sekali saya seperti itu."

Jadi bukan atas dasar tulus dari Naura? Baiklah, mungkin Rindra terlalu berharap. Lagipula dia tetap harus berterima kasih pada Naura karena membuatnya sembuh dalam waktu dua hari.

"Terima kasih ya, Nau," ucapnya dengan tenang namun ada ketulusan di dalamnya. Barusan dia sudah mengambil pemberian Naura. "Kamu juga, jaga kesehatan. Jangan banyak begadang, kerjakan tugas dengan baik. Tidak boleh membolos lagi."

Naura mematri senyuman pelan sambil mengangguk kaku. "Iya, pak. Saya mengerti."

"Ingat. Saya terkadang suka mengabaikanmu bukan karena saya benci, tapi saya memperhatikan kamu diam-diam."

Rindra sadar dia masih saja bersikap cuek pada Naura meski telah ditolong oleh gadis tersebut, namun lagi-lagi dia melakukannya karena ingin membalas budi tanpa dilihat oleh Naura. Tentu menjadi faktornya adalah sikap canggung yang terkadang kambuh bila di sekitar Naura. Dia tak dapat menyeimbangkan perasaannya sebab belum melupakan Aurel seutuhnya.

"Saya ... permisi dulu ya. Pak Haidar takutnya nungguin saya." Naura izin pamit kemudian melangkah pelan menuju tangga untuk naik ke lantai atas.

Sementara Rindra juga enggan buang-buang waktu. Sembari memegang bawaannya berupa susu cokelat serta roti keju pemberian Naura barusan, dia langsung berbelok ke arah kiri menuju ruangan dosen. Dia tak boleh ketinggalan untuk memenuhi jadwal mengajar sebab dua hari pula dia tak datang ke kampus.

Singkatnya pada sore hari, Rindra menyelesaikan jadwal mengajarnya. Beruntung bisa diselesaikannya tanpa terhambat.

Seolah tidak memiliki waktu lagi, Rindra memasukkan tas briefcase miliknya ke dalam mobil, tepatnya di jok belakang. Rindra juga sempat mengecek jam di pergelangan tangan, dia hanya butuh waktu 30 menit untuk bisa sampai ke kantornya.

Selagi Rindra sibuk memilah dokumen yang ada di bagasi, tiba-tiba seruan seorang wanita yang memanggil namanya spontan menghentikannya berbuat aktivitas.

"Pak Rindra Hartawan!" panggil wanita tersebut. Rindra tak menoleh, justru mengambil waktu untuk menyerap suara yang menelusup dalam telinga. "Akhirnya ketemu juga ya."

Rindra mulai menoleh saat kata-kata selanjutnya terucap dari mulut wanita itu.

"Siapa Anda? Kenapa bisa ... Anda tahu nama saya?" tanya Rindra mengernyit kening.

"Nggak sia-sia kita ketemu. Saya ini mau cari ..."

"Maaf, tapi saya buru-buru. Saya takut nantinya kejebak macet." Rindra langsung menutup bagasi kemudian cepat-cepat membuka pintu mobil agar dapat masuk ke dalamnya.

"Hei, saya cuma mau nyari Naura. Kamu tahu tidak?" sergah wanita paruh baya tersebut. "Pak Rindra, jangan seenaknya mengabaikan orang tua kayak gitu dong! Hei!"

Ni orang gila banget, sampai mau jedorin kaca mobil saya segala.

Rindra memilih tak peduli kemudian mempreteli persneling untuk memudahkannya memundurkan mobil, lalu dengan kencang dia memutar kemudi dan melajukan mobil mengitari jalanan sekitar kampus.

"Jangan lari kamu!" Wanita tersebut mulai teriak. "Kamu suaminya Aurel, kan? Mantan anak saya yang tidak berguna itu!"

Rindra spontan menginjak rem saat mendengar jeritan wanita tua tadi. Mantan anak tidak berguna? Aurel?

"Pantas aja ya, kelakuan Aurel sama kayak suaminya. Suka banget abaikan orang."

Rindra mendadak terpaku, kemudian membuat tatapan pada kaca spionnya di sebelah kanan. Wanita itu masih berdiri di belakang mobilnya. Wanita itu menggunakan blus warna krem serta celana pensil yang senada namun lebih cerah. Bahkan model rambut wanita paruh baya tersebut adalah long-bob. Tak lupa membawa tas tangan bermotif, dan dia yakini pasti mahal harganya.

Apa jangan-jangan wanita itu adalah ... Yulianti?

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top