Bab 41

***

"Jadi, anak kamu kabur, jeng?" tanya Gita, salah satu teman sosialita Yulianti. Mereka duduk berhadapan di sebuah kafe dengan interior warna merah muda pastel, dikelilingi oleh suasana yang tenang.

Yulianti yang sedang menikmati jus jambu mengangguk dengan wajah penuh kekhawatiran. "Iya, dia beneran pergi. Kupikir dia udah berangkat kuliah dan kerja, jadi aku tunggu Naura pas malam. Pikirku bakal pulang telat, bahkan sudah kumasakkan hidangan spesial buatnya, sekaligus berencana ingin minta maaf padanya atas sikapku yang kasar. Tapi, semenjak tengah malam tadi, dia tidak pulang. Aku coba hubungi, tapi nomornya tidak aktif. Saat masuk dalam kamarnya, malah kudapati bajunya berantakan di ranjang. Lemari pakaiannya pun kosong."

Wanita berambut panjang setengah pirang itu terkesiap. Memberikan kesempatan membasahi kerongkongannya dengan jus jeruk pesanannya.

"Cuma karena aku kasih bukti dia bertemu dengan mantan suamiku, dia ngambek kayak lagi PMS aja," tambah Yulianti menggerutu. Lalu menyedot sekali lagi jus jambu yang tersaji di gelas panjang. "Tapi ya mau bagaimana? Semua salahku. Aku terlalu mendikte hidupnya, terus memaksanya bekerja. Seandainya saja aku bersikap lebih lembut, mungkin Naura tidak akan kabur seperti ini."

Gita mendengarkan dengan penuh perhatian, kemudian memberi tanggapan dengan lembut. "Jujur ya, jeng. Kamu kan sering banget tuh ikut arisan yang aku rekomendasikan, tetapi hanya beberapa kali yang memenangkan hadiah. Selain itu, uang yang kamu dapatkan dari Naura sering kamu gunakan untuk belanja yang tidak penting."

Gita melanjutkan setelah menyesap minumannya barusan. "Yah, memang pada dasarnya, kamu sudah keterlaluan jeng." Gita bahkan mengakuinya. Dia sering mendapati Yulianti membawa paper bag tiap kali minta ketemuan. Sebenarnya dia sangat ingin menyinggung banyak hal tentang sikap gila belanja Yulianti, namun dia menjaga perasaan sang sahabat dengan memilih diam.

Yulianti merasa tersinggung oleh komentar Gita. "Heh! Maksudmu apa aku keterlaluan? Aku nggak keterlaluan, aku cuma berlebihan mendisiplinkan Naura!"

Selagi Yulianti tidak menerima, Gita tetap bersikukuh dengan pendapatnya.

"Memang pada dasarnya kamu keterlaluan. Coba bayangin, tiap hari loh kamu sakiti perasaan putri kamu. Kamu nggak kasihan lihat Naura sedih cuma karena kamu terlalu memaksa dia bekerja terus menerus?

"Satu lagi nih jeng. Uang yang kamu rampas itu, hasil kerja keras Naura, anak kamu sendiri. Aku tahu itu karena kamu bilang secara gamblang sama teman-teman kalau kamu mendapatkan uang yang banyak dari Naura. Pun dengan alasan kamu ambil sebagai setoran arisan. Bukankah itu keterlaluan?"

Yulianti menghabiskan sisa jus jambunya hingga gelasnya hampir kosong. Dia akhirnya mengakui dengan penuh penyesalan. "Iya, aku mengakui kesalahanku. Aku tahu aku sudah terlalu berlebihan. Makanya aku berusaha buat meminta maaf pada Naura. Namun sayangnya, telat, jeng. Dia keburu pergi, dan sekarang aku tidak tahu bagaimana mencarinya."

Kini Yulianti merasa kepala berputar, dipenuhi berbagai masalah yang melanda hidupnya. Dia merenung sejenak, memikirkan semua kesulitan yang dia hadapi.

"Selama beberapa bulan belakangan, aku terus mendesak anakku untuk bekerja. Cuma karena apa? Hanya untuk kesenangan sesaat, jeng. Aku ingin punya banyak uang, seperti kamu dan teman-teman kita yang lain. Aku ingin mengikuti tren dan gaya hidup mereka. Aku tidak ingin ketinggalan," keluh Yulianti dengan wajah yang kian dipenuhi penyesalan. "Tapi sekarang, semuanya jadi begitu rumit, bukan?"

Yulianti merasa pasrah terhadap semua keadaan yang dialaminya, termasuk bagaimana anak satu-satunya itu kabur tanpa dilihat olehnya. Dia memikirkan apakah Naura kabur saat pagi-pagi dirinya pergi ke hotel untuk check-in sehari sebelumnya. Tentu dia mendapat hadiah gratis menginap tiga hari di sebuah hotel dari salah satu teman sosialitanya.

Padahal Yulianti rela tidak menginap di hotel selama sehari demi bisa pulang ke rumah untuk memberikan kejutan pada Naura. Namun yang ada dia melihat baju-baju Naura berserakan di tempat tidur, serta lemari yang kosong tanpa jejak. Meja belajar Naura juga kosong, tanpa buku-buku kuliah seperti biasanya.

"Nggak tahu lagi tuh anak di mana?" gerutu Yulianti sambil menyandarkan punggungnya di kursi berlengan yang sangat empuk ditempati. "Apa dia ke rumah Hendra lagi? Naura itu nggak akan pernah jauh-jauh dari papa sambungnya."

Yulianti mulai menegakkan tubuhnya setelah bersantai sejenak, lalu segera mengambil tas tangan yang ditaruhnya di meja bulat putih, mencari ponselnya untuk menghubungi Hendra. Dia menemukan nama Hendra di daftar kontaknya dengan label 'si nyebelin' dan emotikon setan, yang mencerminkan perasaannya yang ambivalen terhadap mantan suaminya. Dengan cepat, dia menekan nomor Hendra dan membawa ponselnya ke telinga, menunggu Hendra menjawab panggilannya.

"Halo, Yul." Hendra menyapa dengan santainya di seberang telepon.

"Eh, Hendra!" seru Yulianti tanpa membalas sapaan ramah barusan. "Kamu sembunyikan di mana anakku?"

Sekilas hening yang dia dengar. Kemudian Hendra menjawab. "Sembunyikan apa?"

"Jangan bohong! Naura pasti nginap di tempat tinggal kamu kan? Iya, kan?" tuduh Yulianti.

"Apa maksudmu, Yul? Aku nggak paham."

Yulianti membuang napas seraya menggeram kecil. "Naura kabur. Dia nggak tahu ada di mana, dan nomornya juga nggak aktif lagi. Aku kirimin WA berkali-kali tapi nggak nangepin, centang satu pula."

"Apa? Naura kabur?" Hendra menaikkan suaranya, terkejut dengan apa yang dia dengar barusan. "Kabur ke mana dia? Jangan bilang kamu buat sesuatu padanya, ya?"

Senyuman miring terpatri di wajah Yulianti. Jelas, dia menebak Hendra pasti sedang bersandiwara. Seolah-olah merasa tersudutkan dengan keburukan yang dia lakukan.

"Jangan bohong deh, Hendra! Aku tahu Naura pasti mendatangi kamu, kan?" Yulianti tak henti-henti menuduh Hendra.

"Jangan asal bicara kamu, ya! Aku nggak tahu apa-apa tentang Naura yang kabur. Baik, mungkin kamu sudah tahu kalau aku sering ketemu dengan Naura karena kamu yang tiba-tiba jadi detektif. Tapi kaburnya Naura itu aku sungguh tidak tahu, beneran!"

Pengalaman beberapa kali ditipu oleh mantan suaminya tidak membuat Yulianti sepenuhnya percaya. Yulianti menduga Hendra membawa Naura ke rumah pria tua itu dan membuat skenario seolah-olah Naura tidak berada di tempat tinggal Hendra.

"Buktikan kalau Naura memang tidak berada bersama kamu," tantang Yulianti.

"Aku masih kerja. Jadi jangan main-main," desis Hendra di dalam telepon.

"Tuh. Tuh, kan? Kamu masih nggak mau buktiin Naura sungguh tidak bersamamu, kan? Lagipula, tukang tipu mana mau ngaku?"

"Maaf, Bu Yulianti. Anda tidak boleh mengganggu jam kerja Pak Hendra. Sekarang beliau sedang mengikuti rapat dan karena Anda menelepon jadinya rapat ditunda sejenak." Suara wibawa dari sekretaris Hendra memenuhi pendengaran Yulianti.

"Ta–tapi, Hendra itu ..." Panggilan terputus. Yulianti pun menjauhkan ponsel dari telinganya.

"Dia bilang apa, jeng? Naura pergi ke mantan suami kamu apa bagaimana?" tanya Gina penasaran sambil mencondongkan tubuhnya.

Yulianti menggeleng kuat. "Naura nggak di sana, kata Hendra. Walau dugaanku, Naura memang ada di sana cuma dibuat akal-akalan Hendra aja kalau Naura tidak bersamanya."

"Jadi kamu harus bagaimana? Apa harus ke kantornya lagi untuk memastikan aja?" Gita bertanya seakan memberikan saran.

"Ogah aku ke kantornya. Yang ada aku malah diusir sama satpam-satpam di sana karena tahu aku mantan istri salah satu direktur di sana." Yulianti mengibaskan tangan menunjukkan penolakan. "Nggak. Aku nggak mau lagi ke sana."

Yulianti langsung berdiri dari tempatnya kemudian menyapukan blus warna merah menyala miliknya yang sempat kusut.

"Ayo, kita balik ke hotel. Dini menunggu kita di sana, mau diajakin makan siang katanya." Yulianti mengajak Gita untuk ikut berdiri dari kursi.

Lalu tanpa melihat Gita mulai meninggalkan tempat, Yulianti lebih dulu berbalik dan mengayunkan kaki keluar dari kafe.

***

Tiba pada malam hari, Rindra dan sekeluarga sedang menyiapkan makan malam. Rindra membuat minuman dingin untuk dirinya sendiri, sementara Naura menggoreng telur dadar untuk Toni. Tak lupa Eka dan Hendra menyisihkan beberapa makanan lauk yang mereka beli dari wadah untuk ditaruh ke piring saji.

"Kenapa mendadak kamu tinggal di sini, bukannya di rumah papa?" tanya Rindra selagi menyibukkan diri membawa nasi sebakul ke meja makan. "Kamu kan bisa ke rumah papa saja untuk menenangkan diri, alih-alih di sini."

"Nggak ada pilihan lain lagi, pak," jawab Naura seakan menghadapi pertanyaan menegangkan dengan santai. "Yah, saya tahu saya keterlaluan berada di sini. Tapi saya juga nggak tahu rumahnya papa di mana dan tahunya rumah Bapak saja."

Sambil membalikkan telur di teflon, Naura melanjutkan. "Pun demi hemat waktu dan tenaga, jadi nggak bolak-balik lagi. Saya bisa di sini sementara waktu sampai masalah mereda."

Rindra melenggut memahami, bahkan kini dia sedang mengisi air minum di cerek ukuran satu liter. "Meskipun begitu, aku akan tetap mengawasi kamu selagi menginap. Jangan berbuat hal aneh saat kamu di sini."

Naura mengangguk, tanpa menoleh pada lawan bicara. "Iya, pak. Saya paham dan saya tahu nggak ada yang gratis, jadi saya akan lebih giat bekerja mengasuh Toni dan membantu keluarga Bapak menyiapkan makan malam."

Rindra tiba-tiba ada di belakang Naura lalu menyodorkan piring kecil tepat di samping gadis itu. "Bagus. Begitulah kamu seharusnya bekerja, Nau. Bukan cuma tahu main-main doang."

Mendadak bersuara rendah seperti itu malah membuat Naura terperanjat sekaligus tidak menyangka akan sikap perhatian Rindra kini. Beruntung Naura tidak terlalu melamun lebih jauh hingga dia menerima sodoran piring saji tersebut untuk menatakan telur dadar yang kebetulan matang.

"Ayo kalian kemarilah!" seru Hendra dari kejauhan. "Makan malam sudah siap!"

Terpanggil oleh papa mertuanya membuat Rindra cepat memperbaiki posisi tubuhnya yang sempat membungkuk sebab menyesuaikan tinggi Naura. Kemudian Rindra berjalan pelan menuju meja makan seraya berdecak kagum. Tepat sekali Eka dan Hendra ikut duduk di kursi masing-masing.

"Ini bukan langganan yang sering kubeli itu ya?" tanya Rindra penasaran, lalu mengambil tempat untuk duduk di samping Hendra.

"Bukan. Tapi ini rekomendasi Eka sih," jawab Hendra sambil mengarahkan pandangannya pada pria berjas di hadapannya. "Ini ayamnya murah loh. 15 ribu malah dapat tiga potong, dia agak besar dagingnya."

Rindra memandang piring saji yang bertatakan ayam balado, dan memang benar. Rindra menebak ayam tersebut adalah bagian dada dan paha atas, itu jadi bagian kesukaannya.

"Sayur kangkungnya juga seperti baru ditumis." Hendra menunjuk piring sebelah kiri, yang mana bersejajar dengan tempat Naura duduk. "Sama sambal tumisnya juga enak. Ada sambal bawang juga cuma papa lupa beli."

"Iya, pa. Kita langsung makan aja, takut nanti keburu dingin." Rindra spontan mengambil piring kosong beserta sendok, kemudian dengan cepat menyalin nasi sebanyak dua sendok besar.

"Asik, tante Naura ikut tinggal di sini, jadi tante Naura nggak pulang-pulang deh," celetuk Toni mengalihkan atensi semua orang, termasuk Rindra.

Mendengar hal itu, Rindra hanya mengulum senyum pelan. "Iya. Bagus buat kamu, nak. Boleh tuh kamu ajakin tante Naura main. Kalau bisa isengi tante Naura selagi main, sama seperti kamu sama ayah waktu itu."

Matanya mendadak mengerling ke arah Naura, seakan sedang menggoda gadis yang mulai tinggal di rumahnya tersebut.

"Kenapa jadi ajang bercandaan begini sih?" tanya Hendra langsung memasang tatapan curiga. "Hmm. Agaknya papa mencium bau-bau pendekatan di antara kalian berdua."

"Nggak!!!" seru mereka berdua bersamaan.

Eka seakan tidak dapat menahan tawanya dan memilih menutup mulut agar dapat menjaga kewibawaannya.

"Pendekatan hanya sebagai seorang kakak-adik saja, nggak lebih." Rindra meralat maksud papanya barusan, kemudian kedua tangan langsung bergerak untuk menyantap nasi serta beberapa lauk di piringnya.

Sementara itu, Naura mengedarkan pandangan sekeliling meja makan. Semua tampak menikmati makanan mereka, bahkan Hendra sering memancing untuk melontarkan candaan meski hanya singkat.

Sejenak Naura merasa 'hidup' berada di tengah-tengah mereka. Sebelumnya Naura mendapatkan kehangatan ketika dua kali ikut makan malam bersama Hendra di luar, namun kini kehangatan tersebut makin kuat. Apalagi baru pertama kali Naura bergabung di meja makan.

Belum pernah sama sekali melihat gelak tawa masing-masing anggota keluarga, bahkan Rindra ikut tertawa. Begini rasanya hidup bersama papanya, kenapa tidak dari dulu Naura kabur dan memilih tinggal bareng Hendra? Naura yakin dia tidak akan capek meladeni amarah mamanya setiap hari.

Ngomong-ngomong bagaimana keadaan mamanya setelah dirinya kabur? Naura tidak memikirkan hal tersebut selama seharian tidak pulang ke rumah. Apakah mamanya mulai mencari-cari dirinya?

Naura bahkan sengaja memblokir semua akses yang terhubung melalui mamanya agar beliau tidak menghubunginya terus-menerus. Naura membuat dua dugaan, entah mamanya sedang meronta-ronta mencari dirinya di suatu tempat atau mamanya tidak peduli? Dugaan kuat Naura mengatakan bahwa bisa saja mamanya tidak peduli. Buktinya, pertengkaran mereka justru makin panas kala Naura pulang diantar Rindra sehari lalu. Bisa jadi mamanya sungguh tidak menganggap dirinya seorang anak.

Bersyukurlah Naura punya Hendra. Andai saja dia tidak mencari keberadaan papanya dari jauh-jauh hari, Naura pun tak akan mau tinggal di rumah Rindra. Jika Naura tidak tahu Rindra punya hubungan kekeluargaan dengan Hendra.

Yang penting sekarang, Naura punya tempat untuk bernaung sembari memikirkan cara menghadapi sikap Yulianti. Walau agaknya Hendra memiliki niat mendekatkan mamanya dengan dirinya. Namun, biarkanlah Yulianti bersusah payah mencari Naura. Toh dengan usaha keras pasti Yulianti akan menemukan Naura.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top