Bab 40

***

"Apa? Kamu melarikan diri dari rumah?" Hendra bertanya dengan keheranan yang jelas saat mengetahui apa yang dilakukan oleh putri sambungnya.

Naura memiliki kesempatan untuk bertemu dengan papanya setelah mengikuti seminar di kampus. Beruntungnya, sang papa setuju untuk janji pertemuan tersebut, dan papanya juga kebetulan punya banyak waktu luang di siang hari sebelum rapat sorenya.

"Naura tidak tahan lagi dengan sikap mama," ujarnya sambil memainkan kedua ibu jarinya, duduk santai di sofa panjang, sementara tatapannya mengunci kuat pada papanya yang menempati meja kerja.

"Terus kamu nginap di mana, nak?" Hendra terlihat sangat khawatir saat mendengar kabar tersebut secara langsung. Bahkan kecemasan terpancar jelas di wajahnya yang berkerut. "Kamu taruh koper di mana? Nggak mungkin kamu di hotel, kan? Secara kamu nggak akan mau membuang-buang uang kamu."

"Naura taruh kopernya di rumahnya Pak Rindra. Yah, meski Pak Rindra nggak tahu sih. Tapi nanti kan Naura ke rumah Pak Rindra setelah jadwal mata kuliah sore ini. Naura akan jelaskan semuanya ke Pak Rindra, kenapa Naura harus di rumahnya dan lain-lain sebagainya."

Hendra merenung sejenak, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi putar sambil menghela napas berat. "Kenapa nggak telepon papa kalau mau pindah? Gini-gini kan jadinya kamu yang merepotkan diri kamu sendiri."

"Naura nggak enak kalau menelepon papa tengah malam atau pagi-pagi. Naura takut mengganggu papa di saat jam kerja. Lagipula Naura nggak mau merepotkan papa loh." Naura menjelaskan, sambil mengingatkan dirinya sendiri tentang pentingnya privasi. Hendra tampak terkejut oleh pandangan putrinya yang dewasa ini.

"Tapi papa selalu ada buat kamu, nak. Kenapa merasa sungkan?" tanya Hendra sungguh terkejut dengan kejujuran Naura barusan. "Kalau kamu menelepon papa, yakin papa akan langsung kasih tahu alamat rumah papa. Bahkan di tengah malam pun. Asal kamu tahu, papa kasih nada dering berbeda-beda di tiap nomor jadi papa bisa tahu siapa yang menelepon, termasuk kamu. Papa pasti bakal cepat angkat kalau kamu menelepon."

Perhatian Hendra pada Naura mulai meningkat dibanding sebelumnya. Naura sadari hal itu, dan yang bisa dilakukannya hanya termangu melihat keseriusan papanya.

"Papa nggak melarang kamu untuk tinggal di rumah Rindra. Asal kamu bisa bicara jujur padanya, semua. Pun Rindra juga sudah mulai bersikap baik sama kamu," imbuh Hendra sambil melepas kacamatanya.

"Benar, pa. Semalam saja Pak Rindra mengantar Naura sampai ke rumah. Naura minta agar menurunkan Naura di depan jalanan masuk, tapi Pak Rindra bersikeras mengantar Naura tepat di depan pagar rumah."

Hendra melenggut sebagai balasan. "Baguslah kalau begitu."

"Tapi, pa ..." Naura menggigit bibirnya sebentar, seolah kelu untuk mengucapkan kata selanjutnya. "Mama sudah tahu kalau kita sering ketemu. Bahkan tentang rencana yang sempat kita bahas sebelumnya. Mama memfoto Naura di kafe itu. Duduk di hadapan papa."

Sebenarnya, Hendra tidak memiliki rencana pasti tentang cara melunakkan hati Yulianti. Dia tahu bahwa satu-satunya cara adalah memberikan waktu kepada Yulianti untuk merenungkan kesalahan yang telah dilakukan. Tapi apakah mungkin Yulianti benar-benar akan menyadari kesalahannya?

"Kita lihat sejauh mana usaha Yulianti untukmencari kamu," kata Hendra dengan tegas, mencoba mencari solusi dalam situasi rumit yang dialami Naura. "Kalau Yulianti tidak menunjukkan perasaan peduli atau bahkan tidak mencari kamu, itu berarti hatinya benar-benar sudah redup. Mungkin dia lebih mementingkan harta daripada anaknya sendiri. Kita hanya bisa menunggu sampai Yulianti merasa menyesal dan meminta maaf kepada kamu, bahkan kepada papa."

Naura hanya bisa mengangguk setuju dengan kata-kata papanya. Dia tahu bahwa keputusannya untuk pergi adalah langkah yang benar, dan dia ingin tahu apa Yulianti benar-benar akan mencarinya dengan penuh penyesalan. Apa Yulianti masih memiliki naluri seorang ibu yang merindukan anaknya? Semua pertanyaan ini hanya bisa terjawab jika dia melihatnya dengan mata kepala sendiri.

"Jadwal kuliahmu jam 2 siang, bukan?" tanya Hendra mengkonfirmasi. "Kita makan siang jam 12 ya. Hanya kamu dan papa."

"Loh, Kak Eka gimana?"

"Hari ini, dia bertugas sebagai sopir. Dan Eka hanya akan menjaga mobil selama kita makan siang," jelas Hendra.

Naura melenggut. "Baik, pa."

***

Rindra sedang membereskan meja setelah mengajar dua jadwal sampai sore hari. Kini Rindra tengah berbenah menuju kantor untuk menuntaskan pekerjaan.

Ketika akan mengangkut tas briefcase setelah berdiri dari kursi, dia mendapatkan pesan melalui ponsel. Begitu dicek, ternyata dari Eka. Tapi saat membaca gelembung pesan, bahasanya tidak biasa.

(Ayah. Ini Toni. Toni pakai hapenya Om Eka untuk kabarin ke ayah.

Koper besar warna biru muda punya siapa? Tahu-tahu ada di rumah waktu Toni sampai.)

Di bawah gelembung pesan tersebut, terlampir satu foto yang memperlihatkan sebuah koper berdiri tegak dekat lemari gelas di ruang tamu.

Tunggu, siapa yang menaruh koper besar itu di rumahnya? Rindra berpikir sejenak. Tidak mungkin papa atau mamanya yang datang. Mereka masih ada di luar negeri untuk menyelesaikan studi magister.

"Naura?" Satu nama terbersit di kepalanya. Benar, Rindra memberikan kunci cadangan pada Naura jika sewaktu-waktu ingin ke rumahnya lebih dulu tanpa repot. Mustahil orang lain atau keluarga besarnya. Mereka tidak punya kunci cadangan. Lagipula sebelum berangkat ke kampus, dia mengunci semua pintu bahkan pagar pun.

"Lalu kenapa dia membawa kopernya? Apa dia kabur dari rumah?" tanya Rindra menerka-nerka.

"Saya sangat rindu, Pak." Naura menjawab semangat. "Saya juga ingin ketemu dengannya dan ... saya ... ingin memohon tinggal bareng papa."

Teringat saat pertemuan pertamanya dengan Naura, yang mana anak itu menceritakan keluhan tentang keluarganya. Mama Naura yang menyusahkan dan sering mengekang Naura. Juga bagaimana Naura sangat berharap tinggal bersama papanya.

Mungkinkah ada konflik di antara Naura dan sang mama? Sehingga membuat Naura kabur dari rumah?

Rindra tentu peka menebak situasi karena dia tahu betul apa yang dialami Naura, bahkan cerita-cerita dari papanya yang makin membuktikan bahwa Naura sungguh berada dalam masalah.

"Tapi, kenapa Naura harus tinggal di rumahku? Kenapa bukan di rumah papa?" Rindra bertanya heran.

Sempat merenung sebentar, namun tiba-tiba kesadaran memanggilnya seakan harus memburu waktu. Rindra mengecek jamnya kemudian dengan cepat melangkahkan kakinya keluar dari ruangan dosen.

Biarkan pertanyaannya menggantung dan nantinya akan dijawab oleh si pemilik koper yaitu Naura sendiri. Pekerjaannya di kantor lebih penting dan perlu dia selesaikan secepatnya. Tentu di jam sore, dia mendapat giliran untuk bekerja. Selagi jadwal mengajarnya kosong, wajib baginya mengejar pundi-pundi penghasilan.

Sementara itu, Naura lebih dulu pulang dijemput Eka. Tidak hanya dirinya seorang di dalam mobil MPV yang dia tumpangi, ada Hendra yang senantiasa selalu berada di samping Naura. Papanya itu bertekad terus menjaga Naura bak putri kandungnya sendiri, lebih intens dibanding sebelumnya.

"Pa. Memang Pak Rindra akan mengizinkan Naura untuk tinggal di rumahnya dalam waktu beberapa hari?" tanya Naura seakan ragu-ragu dengan keputusannya. "Lagipula hanya sementara aja Naura taruh kopernya, mungkin Naura tidak akan tinggal di sana. Naura bakal cari hotel untuk menenangkan diri habis itu ke rumah papa."

"Kamu masih terikat pekerjaan sama Rindra, bukan?" Hendra memastikan. "Nah lebih baik kamu di sana saja daripada repot harus pulang ke rumah papa terus ke sana lagi untuk kerja?"

Sembari memegang erat tangan putrinya, Hendra melanjutkan. "Lagipula papa juga rencananya akan sesekali menginap di sana, kalau saja papa jenuh di rumah papa yang megah."

"Loh, papa juga mau ke rumah Pak Rindra untuk menginap?" Naura mengernyit kening heran.

"Untuk menengok cucu. Sekalian kamu di sana mengurus keponakan kamu."

Naura terbiasa dengan istilah-istilah tersebut, meski dia tidak sepenuhnya masuk dalam keluarga papanya. Lagipula Naura belum memantaskan diri menjadi bagian dari keluarga Hendra ataupun Rindra. Dia hanya bertugas sebagai pengasuh dan sesekali menjadi tante yang baik untuk Toni.

"Nak." Hendra bersuara kala hening menghampiri. "Kalau saja nih ya, kalau saja. Mamamu benar-benar menyesali perbuatannya, bahkan dengan ketulusan yang berarti. Apa perlu, papa rujuk sama mama kamu?"

Naura terperanjat sebentar. Lalu dengan kuat menoleh ke arah papanya. "Ma–maksudnya apa, pa?"

"Yah, kita tidak bisa mengira-ngira bagaimana orang-orang akan berubah setelah melakukan kesalahan. Tapi bisa saja, kan? Dengan kamu kabur dari rumah, Yulianti akan merasa menyesal dan mencari-cari kamu."

"Nggak." Naura menggeleng kuat. "Mau bagaimanapun situasinya, Naura nggak mau papa rujuk sama mama. Kalau mama terus-terus menyusahkan papa, Naura nggak mau." Gadis itu bersikeras, melarang niat papanya untuk rujuk dengan mamanya. "Kalau Kak Aurel masih hidup dan dengar apa yang papa katakan, Naura yakin Kak Aurel juga nggak akan mau papa kandungnya rujuk pada mama kandung Naura."

"Itu cuma rencana aja, kalau Yulianti benar-benar menyesali perbuatannya." Hendra menegaskan. "Sebenarnya papa juga nggak mau rujuk, cuman yah ... perasaan setiap orang kadang berubah-ubah. Sama seperti papa yang sempat marah padamu karena tahu kamu sering membela Yulianti, dan papa jadi baik kala kamu menceritakan yang sejujurnya pada papa."

Naura terdiam, membiarkan tangannya digenggam erat oleh papanya. Naura tidak sepenuhnya menerima pendapat papanya tentang perasaan. Memang perasaan seseorang bisa berubah sesuai kondisi yang diterima, namun bukan berarti papanya harus membuka lagi hatinya terhadap mamanya. Setelah apa yang terjadi, bisa-bisanya Hendra masih memiliki sisa perasaan pada sang mama. Kalau Naura jadi papanya, dia tidak segan-segan membenci Yulianti meskipun Yulianti mengutarakan penyesalan.

"Papa ... waktu itu suka sama mama karena apa?" tanya Naura iseng, ketika mobil menepi di depan lampu merah.

Hendra berdeham panjang, memikirkan kata-kata yang cocok diucapkan melalui mulut.

"Entah bagaimana caranya papa terpikat pada mama kamu waktu itu. Yah, pokoknya setelah mamanya Aurel sudah meninggalkan papa sejak lama, kesedihan di hati papa masih membekas. Apa mungkin, Yulianti saat itu menjadi pelipur lara papa kala masih mengingat mama Aurel ya?"

Naura tidak menanggapi, hanya fokus menatap papanya yang mulai kebingungan merangkai kata.

"Yulianti datang ke acara pernikahan kolega papa waktu itu. Nggak tahu bagaimana pertemuan pertama kami, yang jelasnya papa terpikat sama sisi lembut mama kamu."

Sisi lembut? Ataukah jangan-jangan mamanya juga belum menerima kepergian papa kandungnya sehingga mencari pelipur lara agar tidak terus-terusan sedih? Naura seakan belum puas dengan jawaban papanya, namun yang paling menarik perhatian adalah sisi lembut yang sempat disinggung papanya barusan.

Jika saja Yulianti benar-benar menyesal atas kaburnya Naura, akankah Yulianti sungguh menyadari perbuatan buruk yang dilakukan dahulu? Naura bahkan tidak sabar melihat Yulianti meraung-raung seraya berlutut di depannya bahkan kepada Hendra.

"Naura akan menunggu mama sadar. Bagaimanapun juga, mama punya kesalahan yang begitu besar pada kita," celetuk Naura. "Tapi satu hal penting. Naura tetap tidak akan izinin papa untuk kembali pada mama."

Hendra mengangguk sebagai balasan, tak lupa senyuman ringan terpatri di wajah. "Iya. Kita lihat situasinya saja ya, nak."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top